Sabtu, 20 April 2019

"Kucumbu Tubuh Indahku", Mengungkap Tragedi '65 dan Homoseksual dalam Tradisi Indonesia


20 April 2019   15:32
Pieta Dhamayanti 

Film Kucumbu Tubuh Indahku

"Semua trauma adalah bagian dari hidup".

Satu lagi film festival yang akhirnya tayang di bioskop Indonesia: Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body) karya Garin Nugroho.

Ini menjadi salah satu film yang paling ditunggu di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2018 yang berlangsung di Jogja tahun lalu.

Bagaimana tidak? Tema JAFF 2018 adalah Focus On Garin Nugroho. Berkat tema tersebut saya yang terbilang awam di dunia "menonton film festival" menjadi belajar bahwa Garin Nugroho itu semacam gurita di perfilman Indonesia.

Ada banyak karya Garin yang hingga kini mengilhami karya-karya lain. Dahsyatnya, Garin adalah laki-laki yang menyebarkan bibit kegelisahan itu, bukan hanya kepada para sineas film tapi juga bagi para penonton, pengamat, dan pembaca karyanya.

Selama beberapa hari saya menikmati Garin lewat Gerbong 1, 2, ... (1985), Cinta Dalam Sepotong Roti (1990), Surat Untuk Bidadari (1994), Bulan Tertusuk Ilalang (1994), Aikon: Sebuah Peta Budaya (1995), Dongeng Kancil Untuk Kemerdekaan (1995), My Family. My Film. My Nation (1998), Puisi Tak Terkuburkan (1999), Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002), Opera Jawa (2006), Mata Tertutup (2011), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015) dan yang paling spesial Kucumbu Tubuh Indahku (2018) tayang perdana di Indonesia tanpa di sensor hanya di JAFF.

Mendengar kata "tanpa sensor" ini saja sudah menggairahkan, bukan? Apalagi setiap selesai menonton film, Garin hadir dan kami bercakap-cakap membahas filmnya secara langsung dengan beliau. Kesempatan yang sungguh langka.

Sesuatu yang khas Garin adalah film-filmnya sarat dengan statement dan jujur saja, penuh dengan pandangan politik yang berusaha ditanam ke dalam alam bawah sadar kita. Misal saja, untuk bisa memahami pola pikir dalam Film Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017) karya sutradara Mouly Surya, Anda sebaiknya menonton Surat Untuk Bidadari (1994) karya Garin Nugroho untuk memahaminya secara utuh.

Filmnya dibuat dengan rentang tahun yang begitu jauh, tapi Surat Untuk Bidadari (1994) -lah asal muasal dari semua kegelisahan Marlina.

Garin adalah maestro dalam menggabungkan dokumenter menjadi cerita film yang kita tonton. Seperti itulah yang kita rayakan saat menonton Kucumbu Tubuh Indahku.

Film Kucumbu Tubuh Indahku

Film Kucumbu Tubuh Indahku dibagi dalam 3 (tiga) periodesasi: Juno kecil, Juno remaja dan Juno dewasa. Juno atau Wahyu Arjuno adalah tokoh utama, narator bagi perjalanan film ini dari awal hingga akhir.

Film ini dibuka dengan adegan Juno kecil masuk ke hutan mencari lubang jangkrik. Lubang dan jangkrik. Awalnya tersurat, kemudian tersirat. Lubang dan jangkrik menjadi simbol-simbol yang terus dimunculkan oleh Garin hingga film berakhir.

Jangkrik yang rasanya gurih saat digoreng itu, menjadi konsumsi umpatan bagi masyarakat Jawa. Kata "jangkrik" lebih sering digunakan ketimbang umpatan "asu", karena jangkrik dirasa lebih halus daripada anjing oleh nilai sosial. Meskipun dua duanya adalah makian. Bahkan, mengumpat saja mengenal strata sosial.

Lubang menjadi simbol yang paling banyak diexplore oleh film ini. Anda bisa melihat ekspresi penuh hasrat dari Juno kecil saat pertama kali oleh Guru Tari Lengger (Sujiwo Tejo) ditunjukkan "lubang kehidupan" yang hanya dimiliki oleh perempuan.

Kelak, hasrat menjadi elemen penting dalam kehidupan Juno. Tapi hasrat bisa berubah menjadi simalakama jika tak terkendali. Hasrat mengenalkan Juno pada trauma tubuh dan darah. Trauma yang terus dibawanya hingga kemudian hari.

Dalam kehidupan Juno kecil bersama buliknya (Endah Laras) Anda akan merasakan cita rasa Bulan Tertusuk Ilalang (1994) hadir di diri Juno. Upaya menjadi "normal" hadir seiring rasa sakit pada tubuh. Ejakulasi melalui trauma jarum hadir beberapa kali untuk menguatkan konflik dalam diri.

Lucunya, adegan Juno kecil memasukkan jari ke anus ayam lebih mengingatkan saya pada tokoh Enrico dalam buku "Cerita Cinta Enrico" karya Ayu Utami. Kisah Enrico kecil yang kehilangan keperjakaan pada anus ayam sungguh menggelitik. Juno yang beberapa kali melakukan Anal Fisting pada anus ayam adalah simbol hasrat yang lain.

Hasrat Juno tidak berhenti di sini saja. Lubang kehidupan hadir bersama sumber kehidupan yang lain, yaitu payudara. Bersama Ibu Guru Tarinya, Juno mengexplore hasrat yang lain.

Kehidupan Juno remaja bersama Pakdhe tumbuh dengan "normal", hingga Juno bertemu dengan seorang petinju (Randy Pangalila). Scene demi scene beralih ke tone romantis. Sentuhan pertama, kecupan pertama, mata yang penuh hasrat, gairah yang menggebu semua diutarakan dalam bahasa tubuh. Bukan hanya Juno, Anda pun akan dibuat mabuk kepayang oleh Garin.

Pencarian diri akhirnya mempertemukan kembali Juno dengan penari Lengger Lanang, tarian tradisional dari Banyumas. Ingatan Juno akan masa kecil belajar menari Lengger bersama Sujiwo Tejo, hadir dalam tubuh yang masih bisa mengingat gemulai gerak tarian Lengger.
Selama proses ini, sebenarnya Garin sedang menumbuhkan kembali ingatan kolektif kita tentang tragedi PKI 1965 dan homophobia yang terjadi di daerah Banyumas yang hari ini menghabisi kehadiran Lengger Lanang dalam tradisi.

Anda akan dibawa terpingkal-pingkal oleh hasrat bapak calon Bupati yang menghalalkan segala cara untuk menang PILKADA. Sekaligus tragis, sebab hasrat yang tak kesampaian ini membuat bapak calon Bupati begitu mudah menghancurkan hidup sekelompok penari lengger lanang dan warok dengan cap komunis.

Film Kucumbu Tubuh Indahku. Sumber https://www.medcom.id

Trauma tubuh hadir secara berulang-ulang.

Juno, lahir dari bapak yang memiliki trauma keluarga besar dibantai dengan tuduhan PKI. Trauma sama, kemudian membelit Juno yang hidup di era reformasi dengan tuduhan tetap sama: yaitu PKI.

Dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, Garin mengangkat hubungan spiritual Warok dan Gemblak, sebagai bagian dari tradisi yang telah hidup di negri kita jauh sebelum orang-orang Barat membawa isu LGBT.

Warok dipercaya akan memiliki olah kanuragan yang sempurna jika tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Untuk itu, mereka diijinkan memelihara Gemblak, laki-laki yang tubuhnya lembut seperti perempuan, untuk mencapai kesempurnaan.

Gemblak menjadi genderless, maskulin sekaligus feminim dalam satu tubuh. Uniknya, Garin mengambil simbol Arjuna, bukan Srikandi, sebagai tokoh utama: Juno atau Wahyu Arjuno.

Ide cerita film Kucumbu Tubuh Indahku lahir dari ketertarikan Garin kepada Rianto. Seorang penari terkenal dan koreografer internasional. Rianto saat ini hidup di Jepang dan keliling dunia mengenalkan pada publik tarian Lengger Lanang, sebuah tarian identitas bagi genderless.

Film ini bagai sebuah buku besar dimana di dalamnya Anda akan diajak berdiskusi tentang banyak hal. Mulai dari tradisi, sejarah, trauma, politik, isu LGBT, keluarga hingga cinta. Ini film sepanjang 105 menit yang sarat akan simbol-simbol dan luka.

Satu lagi, saya termasuk beruntung, sebab saat film Kucumbu Tubuh Indahku di putar pertama kali di layar JAFF, Garin memberi kami hadiah istimewa, yaitu menonton secara langsung tarian Lengger Lanang di dalam bioskop.

Salah satu pengalaman paling istimewa selama mengikuti JAFF. Thanks, Garin Nugroho!   

Film Kucumbu Tubuh Indahku


Judul : Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body)
Sutradara : Garin Nugroho
Penulis Skenario : Garin Nugroho
Produser : Ifa Isfansyah
Pemeran : Rianto, Muhammad Khan, Raditya Evandra, Sujiwo Tejo, Teuku Rifnu Wikana, Randy Pangalila, Whani Dharmawan, Endah Laras dan Windarti.
Genre: Drama 18+
Durasi: 105 menit
Tayang: 18 April 2019
Distributor: Fourcolours Films

0 komentar:

Posting Komentar