Minggu, 07 April 2019

Mengenal Orde Baru: Genosida

Dhianita Kusuma Pertiwi - 

Selama dua dekade terakhir, tepatnya setelah kejatuhan rezim Orde Baru, sejumlah upaya telah dilakukan beberapa kelompok untuk mengkaji ulang peristiwa kekerasan massal yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1965–1966. Salah satunya adalah para peneliti, relawan, dan penyintas yang menginisiasi Peradilan Rakyat Internasional 1965 (International People’s Tribunal of 1965). Putusan final panel hakim menyatakan peristiwa berdarah yang terjadi beririsan dengan pergantian kekuasaan dari Sukarno ke Suharto tersebut sebagai genosida.


Konvensi Genosida 1948 mendeskripsikan genosida sebagai “suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasionalitas, etnis, ras, agama, dan lainnya.” Peristiwa pembunuhan massal 65–66 yang menyusul G30S bertujuan untuk menghancurkan dan menghilangkan kelompok politik ‘kiri’, sehingga sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan deskripsi tersebut. Tetapi beberapa peneliti di bidang kajian genosida dan kekerasan massal telah menyatakan definisi sempit genosida yang dihasilkan dari Konvensi Genosida 1948 dapat dimaknai lebih luas.

Upaya untuk menyosialisasikan hasil putusan peradilan tersebut agaknya sama sulitnya dengan usaha yang telah dilakukan berbagai pihak untuk melawan narasi resmi tentang peristiwa tersebut. Narasi resmi yang dibentuk oleh negara dan disebarkan (baca: dipropagandakan) melalui berbagai media seperti buku teks pelajaran sejarah, monumen, media budaya populer seperti film, dan penetapan undang-undang; cenderung berat sebelah.

Peran militer dalam membasmi komunisme diglorifikasikan sebagai tindakan heroik, sementara itu di sisi lain hampir tidak ada upaya untuk menggambarkan kesengsaraan yang dialami oleh para korban, penyintas, dan keluarganya. Bahkan rezim Orde Baru meluncurkan propaganda yang menyudutkan kelompok tersebut dengan gagasan ‘dosa turunan’ yang melekat pada anak-anak dan keluarga korban pembunuhan, kekerasan, serta mantan tahanan politik. Sebagai akibatnya, kontestasi narasi yang terjadi antara narasi resmi negara dengan narasi memori penyintas tidak hanya terjadi di panggung politik praktis di Indonesia, namun juga dalam kehidupan sosial masyarakat.

Terlepas dari tidak lagi digunakannya tanda ‘ET‘ di kartu identitas eks-tapol dan dikembalikannya hak-hak politik para penyintas peristiwa 65–66, antagonisme kelompok dan golongan masih terjadi sampai hari ini. Bahkan memasuki 21 tahun berakhirnya Orde Baru, isu-isu yang berhubungan dengan representasi ideologi kelompok kiri masih menjadi suatu permasalahan sosial tersendiri. 
Menuju pemilihan umum presiden mendatang, beberapa minggu yang lalu muncul tagar PKI vs Pancasila di media sosial, yang mengindikasikan masih berlangsungnya kontestasi narasi tersebut di kalangan masyarakat Indonesia.

Gagasan-gagasan yang diangkat sampai hari ini secara umum menggaungkan propaganda rezim Orde Baru dan menolak untuk mengakui adanya narasi kecil yang dimiliki oleh para penyintas. Hal ini agaknya diperburuk dengan respon-respon yang diberikan oleh sejumlah tokoh yang duduk di kursi pemerintahan terkait peradilan rakyat tersebut, juga keengganan masyarakat untuk membaca hasil-hasil penelitian terkait isu ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gagasan pernah terjadinya genosida di Indonesia masih belum bisa diterima oleh kebanyakan masyarakat negeri ini.

Perjalanan dan perjuangan yang harus ditempuh oleh para aktivis, ilmuwan, relawan, dan juga penyintas untuk mengangkat narasi memori tentang kekerasan massal dan pembunuhan massal yang pernah terjadi di Indonesia jelas masih panjang, dan mungkin berat. Kontestasi narasi yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir bisa saja melahirkan banyak pertanyaan dan inisiatif baru yang dapat memberikan perkembangan untuk pengetahuan yang ada saat ini. Dan Ibu Pertiwi tidak akan pernah bisa membohongi bahwa tubuhnya menyimpan ratusan ribu, atau bahkan jutaan, tubuh korban pembunuhan massal; juga tangis yang jatuh dari pelupuk mata para penyintas.
DhianDHarti.Com 

0 komentar:

Posting Komentar