HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 25 Desember 2017

Pesan Natal dari Partai Komunis Indonesia

Kolumnis: Muhidin M Dahlan | 25 Desember, 2016
Komunis (di) Indonesia memang ketiban sial dalam sejarah. Sereligius-religiusnya mereka, sedemikian-demikian rupa mereka beramal memajukan kesejahteraan anggota-anggotanya yang beragama samawi, tetap saja dapat lontaran air got busuk dari tentara dan teman-temannya. 

Orang Komunis itu tahu betul, konsekuensi dari Pancasila yang dibelanya habis-habisan di sidang Konstituante adalah mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan, salah satu amalan reguler dari sila itu adalah berlebaran Idul Fitri (Muslim) dan merayakan Natal (Kristiani).

Saat tiba perayaan Natal, misalnya, orang komunis Tentu saja merayakan. Paling tidak, biasanya, dua hari menjelang hari sakral di mana warga setanah air ini libur, secara reguler Comite Central PKI mengumumkan sikap-sikapnya soal Natal, lengkap dengan tuntunan bagaimana sebaiknya mengamalkannya dalam konteks sosio-politik.

Bagi PKI, Natal bukan lagi sebuah kalimat Injil. Natal sudah menjadi “kabinet hati” dari setiap manusia yang masih memiliki kemanusiaannya. Bahkan, arah sejarah dalam banyak hal ditentukan oleh hasrat damai yang memenuhi rongga dada ratusan juta umat manusia itu.

Nah, di sinilah soalnya. Setiap tahun Natal, tapi perdamaian begitu-begitu saja. Bahkan, seorang pengasong kebiadaban dan pengekspor perang dan senjata-senjata pemusnah massal juga mengucapkan "Selamat Hari Natal, Damai di Bumi". 

Dalam konteks kiwari, sponsor-sponsor perang dan pabrik senjata juga mengucapkan Natal dan bahkan menghiasi bibir senjata kontemporer ciptaan mereka dengan simbol-simbol Natal. 

"Paus Jonnes menyatakan amanat damainya, Sukarno menyatakan amanat damainya. Abdul Karim Kusim menyatakan amanat damainya. Nikita Chrusjov juga menyatakan amanat damainya. Eisenhower pun menyatakan menginginkan perdamaian. Dimana lagi letak rintangannya?" demikian catat CC PKI lewat editorial Harian Rakjat, 26 Desember 1958.

PKI "menemukan" soal pesan Natal yang kian jauh dari kenyataan terletak pada bahwa "beberapa pemimpin dari beberapa negara perdamaian itu dianut dalam kata, tetapi bahwa dalam perbuatan. Bagaimana misalnya damai bisa tercipta, jika orang tak mau juga menghentikan percobaan senjata2 atom dan nuklir secara mutlak. Bagaimana bisa tercipta, jika orang masih saja mendirikan pangkalan2 di negeri2 orang lain, sekalipun ditolak oleh Rakyat negeri yang bersangkutan. Bagaimana bisa damai tercipta, jika kolonialisme masih saja disokong, bahkan misalnya oleh WF-AS Nison masih saja dipuji."

Jika kita menginginkan perdamaian, jelas PKI, jalan yang mesti ditempuh ialah dengan memobilisasi pendapat umum sedemikian rupa, sehingga pertentangan antara kata dan perbuatan bisa dihilangkan. 

Merayakan Natal berada dalam garis poros dengan "Etika dan Moral Orang Komunis". Di Salatiga pada November 1962, D.N. Aidit mendakwahkan soal hubungan orang Komunis Indonesia dan agama yang dituangkan dalam konstitusi partai. 

Dalam Qanun Asasi PKI (Anggaran Dasar) tidak mengharuskan seseorang meninggalkan agamanya untuk diterima menjadi anggota PKI. Tetapi kaum Komunis tidak menyetujui dan menentang orang-orang atau golongan yang menggunakan ajaran dan otoritet agama untuk tujuan-tujuan politik reaksioner, untuk menghambat dan menentang kemajuan perkembangan masyarakat.

Menurut kaum Komunis, masalah kepercayaan dan agama adalah hak masing-masing orang untuk menganutnya dan tidak menganutnya.

"Moral ini kami anggap paling tepat dan sesuai dengan penerimaan kami terhadap Pancasila. Menerima Pancasila menurut paham kami berarti menerima ketentuan bahwa tidak boleh mengadakan propaganda anti-agama dan tidak boleh melakukan paksaan beragama," kata Ketua CC PKI D.N. Aidit.

Dengan moral seperti itulah kita bisa memahami konteks mengapa Lebaran dan Natal bagi orang Komunis di Indonesia adalah waktu-waktu sakral yang mesti dirayakan secara syahdu dan dengan penuh kegembiraan. Dengan demikian, beginilah pernyataan resmi CC PKI: 

"Atas nama kaum Komunis Indonesia, Central Comite PKI mengutjapkan SELAMAT HARI NATAL kepada golongan Rakjat Indonesia jang beragama Kristen. Semoga tahun jang akan datang, berkat bantuan umat Kristen Indonesia akan mendjadi tahun jang lebih baik bagi Rakjat Indonesia dan umat manusia didunia, dimana persatuan nasional melawan imperialisme dan persatuan internasional anti-kolonial dan untuk perdamaian abadi mendjadi lebih kuat dan lebih berhasil dalam mentjapai tujuannja." 
Sumber: Tirto.Id 

Jumat, 22 Desember 2017

Saat Pembantaian PKI di Solo Dihentikan Banjir Besar

Reporter: Petrik Matanasi | 22 Desember, 2017


Banjir bandang Solo; 1966. FOTO/Istimewa


  • Pembantaian besar-besaran anggota/simpatisan PKI di Solo banyak dilakukan di Sungai Bengawan.
Banyak pembantaian setelah Oktober 1965 di Solo. Banjir besar Bengawan Solo pada Maret 1966 sangat mengganggu pembantaian di sana.

Sedari zaman revolusi, Solo dianggap "daerah merah" — istilah untuk kawasan yang menjadi basis kelompok atau partai kiri, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika pembersihan PKI terjadi pasca1965, tak hanya anggota partai yang digulung, orang yang dianggap simpatisan pun wajib hukumnya diciduk. Solo menjadi salah satu daerah pembersihan, bahkan tepi-tepi Bengawan Solo pun menjadi ladang pembantaian. 

“Sekitar bulan Desember awal […] ketika melewati Sungai Bengawan Solo, saya melihat banyak sekali orang-orang diikat, trus dijajar di pinggiran Bengawan Solo,” kata Yong Witono dalam buku Suara di Balik Prahara (2011:284). 

Setelah percakapan antara orang-orang yang diikat dengan tentara (yang menurutnya dari Kostrad), kemudian orang-orang yang diikat itu ditembaki. 

“Begitu ditembak, tubuh mereka langsung nyemplung ke Sungai Bengawan Solo itu,” kenang Yong. 
Tak hanya Yong yang menyaksikan Bengawan Solo jadi ladang pembantaian. Seorang guru, Suyatno Prayitno yang diciduk pada November 1965, menurut catatan Antonius Sumarwan dalam Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi (2007:338), menyaksikan sejak Januari 1966 tiap malam banyak tahanan yang dikeluarkan pada malam hari, tetapi banyak dari mereka tak pernah terlihat lagi setelahnya. 

“Menurut desas-desus mereka dihabisi nyawanya di tepi Sungai Bacem dan mayatnya dilempar ke Bengawan Solo,” catat Antonius Sumarwan (2007:338). Para pelaku pembantaian tak hanya militer, tapi juga orang-orang sipil yang direkrut jadi algojo. 

Solo memang menjadi salah satu fokus operasi pembersihan dari orang-orang PKI. Setelah para jenderal terbunuh pada 1 Oktober 1965, jumlah personel militer di Solo pun bertambah secara signifikan. 

“Pada tanggal 23 Oktober (1965) telah dibentuk staf gabungan keamanan yang terdiri dari Angkatan Darat/Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI), yang dipimpin oleh Kolonel Infanteri Sarwo Edhi Wibowo, dengan tugas keamanan dan ketertiban umum dalam wilayah Surakarta dengan waktu yang secepat mungkin,” lapor Direktur Intelejen Angkatan Udara tanggal 29 Oktober 1965—yang belakangan digolongkan Brad Simpson dalam Dokumen 10 Jakarta Embassy Files (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 4 pol 23-9 September 30th Mvt November 1-9, 1965). 

Dokumen itu menyebutkan, pada 22 Oktober di Solo terdapat 6 meninggal dan 35 terluka. Pada 23 Oktober terjadi penculikan dan pembunuhan 14 orang dari golongan nasionalis dan agama di Kampung Sewu. Pada 24 Oktober di Kartasura terdapat 21 orang korban dan di Benteng yang dikosongkan Batalyon K terdapat 6 orang mati terkubur. 

Menurut Oei Tjeo Tat, dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1995:191), selama kurun Desember 1965 sampai 2 Januari 1966 setidaknya diduga 80.000 orang terbunuh. Termasuk di dalamnya juga korban-korban di Solo.

Namun pembantaian guna membersihkan Solo dari anasir yang di masa Orde Baru disebut G30S/PKI itu sempat mengalami gangguan. Si pengganggu yang tak bisa dicegah itu bukanlah dari golongan komunis atau sisa-sisa kader PKI dan simpatisannya yang melakukan perlawanan. Gangguan datang berupa gejala alam. 

Pada pertengahan Maret 1966, hujan melanda Solo. Volume hujan ternyata sangat signifikan dan berdampak pada terhambatnya agenda pembersihan. Sangat tidak efisien untuk membantai di tengah hujan.  

“[Hujan] berlangsung non stop dari tanggal 15 Maret 1966 jam 13.00,” tulis buku Bandjir Bandang Dikota Bengawan (1966:44) terbitan Pelaksana Kuasa Perang Surakarta (Perkuper). Itu hujan bukan hujan biasa. Hujan di siang bolong itu lebat sekali. Menurut catatan buku keluaran Perkuper itu, “air yang disertai butiran-butiran es jatuh hampir di setiap detik.” 

Esoknya, 16 Maret 1966, hujan masih turun. Sungai Bengawan Solo, yang menampung air hujan dari daerah sekitar Kota Solo pun meluap. Rupanya lima tanggul di sekitar Bengawan Solo jebol. Akhirnya banjir bandang pun melanda Solo pada 16 Maret jam 23.00. 

Menurut buku terbitan Perkuper itu, tinggi air mencapai 1,5 meter di Pasar Nguter. Dua pertiga kota terendam air. Dari tanggal 17 hingga 18 Maret, air bahkan sudah merendam tiga perempat kota. 

Saat Pembantaian PKI di Solo Dihentikan Banjir Besar


“Lumpuhlah roda pemerintahan dan perekonomian,” tulis buku Bandjir Bandang Dikota Bengawan(1966:67). 

Fokus pun beralih. Dari pembantaian mencekam beralih untuk berjuang mengantisipasi banjir. Bahkan mahasiswa yang terlibat dalam pengganyangan PKI terjun ke daerah bencana untuk mengatasi dampak banjir. 

“Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) Jakarta dan Resimen Arief Rachman Hakim langsung membentuk Kontingen Misi Ampera untuk membantu korban banjir Solo," kata Hasyrul Moechtar dalam Mereka Dari Bandung: Pergerakan Mahasiswa Bandung, 1960-1967 (1998:252). Selain itu, menurut catatan Malioboro: Djokdja Itoe Loetjoe (2002:201), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) juga mengerahkan anggotanya untuk mengumpulkan uang dan bantuan bagi korban banjir besar di Solo. 

Buku Layar Perak: 90 tahun bioskop di Indonesia (1992:94) menyebut, beberapa waktu setelah banjir reda, diadakan acara nonton film bareng untuk menghibur masyarakat. Pada 8 Mei 1966, Panitia Bandjir Solo dan sejumlah artis ibukota bersama masyarakat India mengadakan nonton bareng film India berjudul Gehra Daag. Tujuan acara itu tidak lain dan tidak bukan adalah menggalang dana bagi korban banjir di Solo. 

Setelah banjir datang dan merendam semuanya, kisah pembantaian orang-orang yang dituduh komunis maupun non komunis di Solo pun tak berlanjut. Tidak mengherankan jika ada yang menyebut banjir itulah yang menghentikan banjir darah di sana. 

Seperti terekam dalam novel Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak (1999:27), Martin Aleida sang novelis menulis: “Banjir besar yang melanda kota Solo bulan Maret 1966, orang- orang yang percaya mistik yakin bahwa itu pertanda pembantaian manusia oleh manusia yang disesatkan oleh dendam yang tiada beralasan akan segera berakhir.” 

Sumber: Tirto.Id

22 Desember 1928 Menjinakkan Kaum Ibu

Reporter: Patresia Kirnandita | 22 Desember, 2017

Ilustrasi Kongres Perempuan Pertama. tirto.id/Gery

  • Rekam historis menunjukkan, kelahiran Hari Ibu di negeri ini tidak lepas dari semangat pergerakan perempuan.
Sutra berpilin.
Rajutan kekuatan
kembang pertiwi.

Bukan bunga, bukan peluk cium dari keluarga, bukan pula lagu-lagu cinta yang diberikan untuk para mama pada momen yang kelak disebut sebagai cikal bakal Hari Ibu di Indonesia. Hari itu, di hadapan sekitar 1.000 hadirat, sebuah panembrama dilantunkan. 

Dengan harapan selamat, paduan suara ini, Panitia Congres Wanito di seluruh Hindia. Yang menjadi awal maksud adalah membicarakan dunia wanita. Jalannya kemajuan umum, membutuhkan kita semua. Menjadi kewajiban utama bagi wanita dalam segala hal, bersatu dalam dunia dan rasa, semua wanita di Hindia…

Tepat hari ini 89 tahun yang silam, perwakilan organisasi-organisasi perempuan berkumpul di Yogyakarta untuk membahas sejumlah isu terkait kesejahteraan kaum mereka. Dalam Kongres Perempuan Indonesia: Tinjauan Ulang (2007) yang disusun Susan Blackburn tertulis, seorang perempuan lajang yang kala itu baru berusia 21, Soejatin, berinisiatif menggelar Kongres Perempuan pertama yang mempertemukan kelompok-kelompok beraneka latar belakang. Ia berhasil mengajak beberapa ibu dari kalangan atas dan mapan seperti R. A. Soekonto dari Wanito Oetomo—yang kemudian menjabat sebagai ketua kongres—dan Nyi Hadjar Dewantara dari Taman Siswa.

Setahun setelah Kongres Perempuan Indonesia I digelar, 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu. Beberapa dekade setelahnya, Sukarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional bukan hari libur lewat Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959.  

Ada macam-macam wacana yang dibahas dalam Kongres Perempuan Indonesia I. Mulai dari perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, taklik (perjanjian) dalam pernikahan Islam, poligami, hingga tunjangan untuk janda dan anak yatim. Kritik terkait cara pandang terhadap perempuan juga dibahas dalam kongres ini, salah satunya disampaikan Tien Sastrowirjo.

Ia bercerita, sewaktu hendak menghadiri kongres, ada seseorang berkata kepadanya, “Orang perempuan saja, kok, mengadakan kongres. Apa yang hendak dibicarakan di situ? Tidak lain hanya hendak bergunjing tentang mertuanya, tetangganya, banyaknya gaji suaminya, dan lain-lain.” Tien tidak menanggapinya. 

Lebih lanjut dalam pidatonya, ia menekankan betapa penting bagi perempuan untuk bergerak mendobrak adat, sistem pendidikan, dan aturan-aturan lain yang membuat mereka takut, patuh, dan didominasi laki-laki. 

Sementara itu, dalam momen yang sama, R. A. Soekonto menyampaikan sebanjar kewajiban perempuan dalam rumah tangga seperti perempuan harus rajin, cekatan dalam bekerja, menghemat, sopan, berbudi teguh, dan pintar dalam segala bidang. Ia juga menyebut sejumlah pekerjaan domestik yang semestinya dilakukan perempuan.

Keragaman pandangan para peserta, dari yang cenderung "konservatif" sampai "progresif", sebenarnya mencerminkan zeitgeist (semangat zaman). Gerakan emansipasi dan konsep kesetaraan gender seperti yang kita pahami sekarang tentu saja tidak bisa dijadikan patokan untuk memandang zaman itu. 

Kendati demikian, inisiatif yang tercetus pada 1928 tetap merupakan titik krusial bagi kemajuan perempuan Indonesia. Seiring dengan semangat Sumpah Pemuda yang dicetuskan beberapa bulan sebelum kongres digelar, pertemuan organisasi-organisasi perempuan ini pada akhirnya menumbuhkan solidaritas di antara mereka yang sebelumnya beraktivitas secara terpencar.

Memandang Ibu dari Masa ke Masa

Memang hampir mustahil mendefinisikan peran ibu secara tunggal dari konteks waktu yang berbeda. Kendati stigma ibu yang hanya menjalankan fungsi domestik masih dominan, citra-citra ibu alternatif terus tumbuh dan menjalar.

Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010), Saskia E. Wieringa menyatakan, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)—yang muncul pada pertengahan abad ke-20—telah melakukan gebrakan revolusioner: mencampurkan sosok Srikandi yang progresif dengan peran tradisional perempuan sebagai ibu.

Gerwani menentang keras cara pandang perempuan sebagai pelengkap suami. Bagi mereka, untuk melenyapkan pemahaman macam itu adalah dengan menyediakan akses pendidikan bagi kaum perempuan. 

Lewat kolom "Mak Ompreng" di majalah Api Kartini, Gerwani melancarkan kritik terhadap pola pikir yang menyisihkan kedudukan perempuan. Beberapa di antaranya adalah tentang penyebutan “Bapak Anu dan istri” pada kartu-kartu undangan, aturan dan kebiasaan yang mesti diikuti ibu negara, dan embel-embel nama suami yang menyertai penyebutan nama seorang perempuan menikah.

Gerwani juga menilai, mengurus anak dan mendidik mereka memang tanggung jawab ibu, tetapi dalam mendidik, seorang ibu sepatutnya menanamkan semangat patriotisme. Lebih lanjut, kepentingan anak-anaklah yang seharusnya mendorong para ibu untuk terlibat aktif dalam politik.

Semangat revolusioner yang dibawa Gerwani mesti pupus seiring penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965. Beralih ke era Soeharto, peran ibu ditafsirkan lewat program-program pembangunan Orde Baru dan organisasi bentukan pemerintah macam Panca Dharma Wanita Kowani.

Menariknya, Kowani merupakan turunan dari Perikatan Perempoean Indonesia, badan permufakatan yang terbentuk setelah Kongres Perempuan I. Di awal pembentukan, Kowani adalah federasi yang memayungi kepentingan berbagai organisasi perempuan. Namun ketika Soeharto berkuasa, menurut Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), independensi Kowani kian tergerus.

Budaya ikut suami kian lekat dalam definisi peran ibu semasa Orde Baru. Ibu yang semula diajak aktif berpolitik oleh Gerwani, perlahan tapi pasti disingkirkan dari ranah politik. Memang benar, selalu disebut bahwa perempuan harus turut serta dalam pembangunan negara, tetapi ia tidak pernah dilepaskan dari predikat pendamping suami. 

Pidato Tien Suharto di Istana Negara kepada para istri peserta Rapat Kerja Gubernur, Bupati, dan Walikotamadya se-Indonesia yang dikutip majalah Selecta tahun 1977 meneguhkan hal ini.         

“Saat ini saya merasa sangat gembira […] karena saya berada di tengah-tengah para ibu yang dengan setia telah mendampingi dan memberikan dukungan kepada suami dalam melaksanakan tugasnya […] Kaum wanita dan kaum ibu harus mengambil bagian dalam pembangunan ini. Tentu saja kita harus dapat memilih dengan tepat bidang apa yang mampu dan sewajarnya ikut ditangani oleh kaum wanita,” kata ibu negara.

Ada pula pidato Suharto pada peringatan Hari Ibu tahun 1978 di Balai Sidang Senayan yang menyebutkan, “[…] betapa pun kemajuan yang ingin dicapai kaum wanita, namun kaum wanita tidak ingin kehilangan sifat-sifat kewanitaan dan keibuannya. Kemajuan wanita Indonesia haruslah berarti penyempurnaan sifat dan kodratnya sebagai wanita, sebagai Ibu. Wanita yang kehilangan sifat dan peranan kewanitaan dan keibuannya pasti tidak akan mengalami kebahagiaan sejati.”

Kata-kata seperti "kodrat" dan "kewajiban" menjadi senjata Orde Baru untuk mereduksi peran para ibu. Aktivitas perempuan begitu terkontrol ketika itu, semangatnya didikte dan diseragamkan. Tidak hanya kepada istri pegawai negeri, tetapi juga pada masyarakat luas lewat pembentukan PKK.

Domestikasi perempuan yang dilakukan Orde Baru pada akhirnya kian menjauhkan para ibu dari semangat awal Kongres Perempuan Indonesia. Glorifikasi diberikan kepada sosok ibu yang manut suami, tidak berkoar-koar soal politik, berlaku sesuai "kodrat"-nya sebagai pengurus rumah tangga. 

Bahkan hingga kini, imaji peran ibu yang dibentuk Orde Baru masih bertahan. Hari Ibu sering kali hanya diidentikkan dengan ekspresi kasih dan apresiasi terhadap jasa seorang ibu dalam peran domestiknya.      

Peran Ganda Ibu dan Kritik-kritiknya

“[…] sudah pasti perkataan saya ini tidak bermaksud melepaskan perempuan Indonesia dari dapur. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum. Artinya, perempuan tidak menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki,” demikian petikan pidato pembukaan Kongres Perempuan Indonesia I yang dibacakan Ketua Kongres.

Jika pidato semacam ini dibacakan pada abad ke-21, boleh jadi sebagian perempuan mengernyitkan dahi mendengar bagian tidak bermaksud melepaskan perempuan Indonesia dari dapur. Pernyataan tersebut meneguhkan bahwa perempuan memang seyogyanya mengemban beban ganda: di satu sisi terlibat aktif dalam pergerakan atau aktivitas di ranah publik lainnya, sementara di lain sisi, ia mesti bertanggung jawab atas urusan domestik. 

Pembagian peran gender secara tradisional inilah yang dipertentangkan sebagian feminis saat ini. Mereka berkampanye melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu stereotip semisal kewajiban atau “kodrat” mengurus rumah.

Menjinakkan Kaum Ibu
Bukti lain peneguhan peran ganda perempuan terlihat dari pernyataan seorang perempuan asal Bandung, yang dinobatkan sebagai pemenang kompetisi esai pada Hari Ibu tahun 1953. Dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (2008) tercantum, si pemenang esai menulis, “[…] tugas mengatur rumah tangga adalah tugas ibu; ia yang membesarkan dan mengurus anak-anak, menjaga kesejahteraan keluarga, dan mempersembahkan dirinya untuk kepentingan masyarakat.”

Tanggung jawab berlapis yang dimiliki perempuan tak pelak membuat orang-orang menilai betapa mulianya jasa seorang ibu. Karena itulah apresiasi khusus perlu dihaturkan kepadanya dalam bentuk peringatan Hari Ibu. 

Namun yang kerap luput diperhatikan, di balik glorifikasi terhadap ibu setiap 22 Desember, ada sosok-sosok perempuan yang sedang berjuang sekuat tenaga, bahkan mungkin tertatih-tatih untuk menjalankan pelbagai peran yang disematkan kepada mereka.

Kritik terhadap upaya penerapan peran tradisional perempuan yang dibentuk semasa Orde Baru juga dilancarkan Julia Suryakusuma. Menurutnya, domestikasi yang implisit lewat pembentukan sejumlah organisasi nasional dan penerapan program-programnya menghasilkan penjinakan, segregasi, dan depolitisasi kepada perempuan.

Sejalan dengan tesis Julia, Kartini Sjahrir juga menemukan kelemahan-kelemahan dari penerapan peran ganda wanita pada masa Orde Baru. Dalam catatan antropologisnya yang dimuat di jurnal Prisma tahun 1984, ia menyoroti, sekalipun dalam program pemerintah kerap kali disebutkan perempuan turut serta dalam pembangunan, mereka tetap tidak bisa ikut dalam proses-proses produksi. Selain itu, perempuan juga dikaitkan dengan sifat dan jenis pekerjaan tertentu yang dikatakan sesuai "kodrat" mereka.

Lebih lanjut Kartini berpendapat, konsep peran ganda perempuan era Orde Baru merupakan strategi dalam upaya perempuan memperoleh tempat yang lebih kukuh di masyarakat dan keluarga ketika dirinya belum leluasa menjajal ranah publik. Kalaupun mereka terlibat dalam organisasi macam Dharma Wanita, bukan berarti mereka bisa berposisi sepadan dengan laki-laki. Justru sebaliknya, agenda organisasi ini adalah menyokong suami dalam menjalankan tugas, sementara para ibu tetap di balik punggung laki-laki.

Bagaimana menjadi ibu yang ideal pada akhirnya menjadi perdebatan tak berujung di masyarakat. Sebagian mengikuti normativitas yang bersumber dari agama atau budaya, sisanya percaya bahwa seorang ibu juga manusia yang punya kebebasan dalam memilih peran. 
Sumber: Tirto.Id

Ruth Indiah Rahayu: "Konsep Ibu Berpolitik Sekarang adalah Sosok yang Melawan"

Reporter: Patresia Kirnandita | 22 Desember, 2017

Ilustrasi Ruth Indiah Rahayu. tirto.id/Sabit
  • Jika dulu namanya ibu progresif revolusioner, sekarang konsep ibu adalah ibu yang radikal dan otonom.
Makna "ibu" terus berubah seiring pergantian era. Semua tak lepas dari siapa yang berkuasa.

Pemaknaan "ibu" tidak pernah bersifat tunggal. Sejak prakemerdekaan Indonesia, cara memandang sosok ibu dalam kehidupan bermasyarakat terus berganti, mulai dari perempuan yang seyogyanya mengurus hal-hal domestik saja, perempuan yang turut berpolitik, sampai perempuan yang menjadi pencari nafkah sepadan dengan laki-laki. Pemaknaan-pemaknaan ini tidak terlepas dari faktor siapa yang tengah berkuasa dan semangat zaman yang sedang berembus pada suatu era.

Pada peringatan Hari Ibu ini, Tirto mewawancarai Ruth Indiah Rahayu, aktivis, peneliti, dan manajer program Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena)—lembaga riset yang memfokuskan pada kajian tentang krisis dan perlindungan sosial transformatif bagi rakyat pekerja. Kamis (21/12/2017) petang, selepas menjadi pembicara dalam sebuah acara diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Ruth menjabarkan dinamika pemaknaan ibu berdasarkan rekam historis Indonesia.

Ditelusuri dari catatan sejarah, peringatan Hari Ibu di Indonesia berawal dari digelarnya Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22 Desember 1928. Saat itu, peringatan Hari Ibu diasosiasikan dengan pergerakan politik sejumlah organisasi perempuan. Namun pada perkembangannya, Hari Ibu cenderung dimaknai sebagai perayaan ungkapan kasih sayang atau apresiasi untuk ibu. Apa yang menyebabkan pergeseran makna Hari Ibu ini?

Pertama, kita harus melihat bagaimana definisi-definisi tentang ibu dibentuk. Pada Kongres Perempuan I, yang hadir adalah kalangan priyayi dan intelektual yang lebih berfokus pada isu hak-hak perempuan dalam perkawinan, tidak menghubungkan dengan anti-imperialisme dan antikolonialisme meskipun kongres itu dibuat untuk konsolidasi perjuangan perempuan dalam konteks nasionalisme. Saya curiga, prasaran yang dibawakan saat itu berkaitan dengan urusan keluarga, wacana yang diangkat adalah urusan ibu dan anak.

Kongres Perempuan Indonesia lantas bertransformasi menjadi Perikatan Perempuan Indonesia, lantas Kowani pada 1946. Sukarno memilih istilah wanita pada saat itu karena dirasa lebih halus. Padahal secara etimologi, istilah itu berasal dari bahasa Sansekerta, vanita, yang artinya yang diingini. Oleh siapa? Subjeknya siapa? Laki-laki. Perempuan jadi objek, kan? Di sini bisa dilihat dinamika makna perempuan atau ibu.

Sampai awal-awal kemerdekaan, konsep perempuan atau ibu itu bermuatan politik, revolusioner, ibu yang juga ikut perang dalam artian membuka dapur-dapur umum saat situasi Indonesia belum stabil dan menjadi kurir politik.

Lalu pada era Sukarno, mulai terlihat perbedaan cara pandang tentang perempuan atau ibu, khususnya terkait perkawinan. Kelompok perempuan yang berafiliasi dengan Islam menentang usulan antipoligini. Sampai sekarang pun urusan poligini masih menimbulkan perdebatan di kelompok-kelompok perempuan. Nah, ibu menurut penganut Islam tertentu adalah ibu yang mau dipoligini. Sementara kalangan nasionalis, walaupun karakter umum laki-lakinya poliginis, kelompok perempuannya beranggapan, menjadi ibu, bukanlah ibu yang dipoligini, melainkan ibu yang punya kemerdekaan.

Kelompok komunis dan sosialis pun menolak menjadi ibu yang dipoligini dan ingin bisa menentukan menikah dengan siapa, soal mengurus anak, dan ikut berpartisipasi politik. [Kelompok ini] Lebih progresif lagi. Kalau pada saat itu kelompok agamis yang menang, bisa jadi konsep ibu yang dipakai sesuai dengan syariat. Karena kelompok itu tidak menang, terbukalah pertarungan definisi konsep ibu.

Selain tiga kelompok ini, menariknya, ada Persit (Persatuan Istri Prajurit) yang diketuai istri A. H. Nasution. Gagasan Persit antara lain, perempuan Angkatan Darat (AD) harus punya gaji setara dengan laki-laki AD, veteran dari kedua gender pun harus mendapat tunjangan yang sama. Di sini sudah ada ide bahwa ibu itu setara dengan laki-laki sebagai warga negara.

Pada masa pemerintahan Soeharto, semangat revolusioner ibu mulai dipudarkan. Gerwani dan unsur kiri dibersihkan dari Kowani setelah kongres luar biasa Kowani digelar pada akhir April 1966. Definisi ibu yang dibuat Suharto dalam pidatonya: ibu adalah ibu bangsa, ibu adalah yang melahirkan anak, dan ibu adalah seorang istri atau pendamping suami. Berikutnya, dalam Panca Dharma Wanita juga disebutkan tentang wanita sebagai pencari nafkah tambahan.

Sejak masa Orde Baru-lah peran ibu didepolitisasi. Yang tercipta sejak saat itu adalah ibu borjuasi yang subordinasi suami, tidak lagi progresif, sehingga ibu dalam kaitan dengan hari ibu tidak lagi berasosiasi dengan pergerakan politik.

Apakah bisa dikatakan pendefinisian ibu pada era Orde Baru didasari oleh tindakan represif?

Tindakan represif yang tidak terasa, represif halus, sifatnya hegemonik. Atas nama menyelamatkan Indonesia dari PKI.   

Selama lebih dari tiga dekade Soeharto memimpin, apakah tidak ada pertarungan definisi ‘ibu’ lagi?

Setelah Konferensi Perempuan pertama sedunia di Meksiko diadakan PBB tahun 1975, gagasan tentang kesetaraan gender mulai masuk ke Indonesia. Maka itu, tahun 1978, Soeharto membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita. Ada juga klausul di GBHN bahwa Indonesia akan mendukung peranan wanita dalam pembangunan.

Terlepas dari kebijakan dan program pemerintah tersebut, kelompok-kelompok perempuan muda di Indonesia terdampak pula dari diadakannya Konferensi Perempuan sedunia ini. Agenda PBB yang terkait dengan gender dimasukkan lewat LSM. Di Indonesia, LSM ini menjadi wadah alternatif ketika pembentukan ormas dibatasi pemerintah Orde Baru. Mereka berfokus pada kemiskinan-kemiskinan yang ada di Indonesia, termasuk melihat bagaimana perempuan menjadi korban pembangunan, contohnya LSM Yasanti di Yogyakarta yang hadir tahun 1980-an. Tahun 1984 ada Kalyanamitra yang aktivisnya adalah mahasiswa, dan isu awalnya memperjuangkan buruh perempuan. Lewat LSM-LSM-lah aktivitas politik bisa dilakukan walaupun masih sembunyi-sembunyi.

Setelah LSM, ada kalangan mahasiswa yang mulai berkenalan dengan wacana baru tentang perempuan yang lebih kritis. Mulanya, karena ada Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan mendepolitisasi mereka, mahasiswa lari ke kelompok-kelompok studi. Justru persis ketika sedang asyik dengan kelompok –kelompok studi inilah, mahasiswa membaca segala macam buku termasuk tentang Marxisme dan buku Pram secara diam-diam. Para mahasiswi lalu berkenalan pula dengan feminisme. Dari situlah mereka bisa menelaah kembali organisasi-organisasi perempuan di bawah Kowani yang sudah "dimandulkan", yang selain ditujukan untuk mendukung suami, juga untuk menyukseskan Keluarga Berencana.

Tahun 1990-an, ada ide penyatuan gerakan di LSM dengan mahasiswa. Setelah lulus, pilihan para mahasiswa untuk berjuang adalah melalui LSM. Akibat penyatuan ini, LSM pada saat itu menjadi semakin progresif, tidak hanya membicarakan soal pembangunan, tetapi juga sudah mulai menyoroti kapitalisme. Maka, secara simbolis dan politis dalam bahasa, gerakan perempuan baru yang lahir pada tahun 1980-an ini mengubah atau menolak istilah wanita dan domestikasi Orde Baru. Gerakan ini mengembalikan istilah perempuan, sesuai dengan aspirasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928.

Jadi kita menggunakan istilah perempuan itu bukan genit-genitan. Itu pernyataan politik. Setelahnya, gerakan perempuan menjadi semakin radikal. Hal-hal yang tidak berani dijamah Kowani dengan alasan terkait isu Gerwani semacam buruh migran dan poligini, menjadi bagian dari aktivitas politik gerakan perempuan tahun 1990-an. Dalam gerakan ini pula diusung ide bahwa perempuan bukan lagi pencari nafkah tambahan. Kata tambahannya dihapus, sama dengan laki-laki.

Maka, definisi ibu menurut gerakan ini adalah sosok yang bekerja, memberi kontribusi nafkah pada keluarga. Ibu juga merupakan sosok yang berpartisipasi dalam politik, sosok yang harus dibebaskan dari kapitalisme dan otoritarianisme. Jika dulu namanya ibu progresif revolusioner, sekarang konsep ibu adalah ibu yang radikal dan otonom.

Lalu di pengujung pemerintahan Suharto juga muncul Suara Ibu Peduli. Apakah penggunaan kata "ibu" di sini juga merupakan cara mendefinisikan konsep ibu pada masa itu?

Pengertian ibu di sana adalah simbolisasi menggeser konsep ibu yang didomestikasi selama Orde Baru, dieksploitasi oleh kapitalisme—lewat industri susu. Memang ada yang mengatakan bahwa penggunaan kata ibu adalah taktik karena lebih cenderung didukung. Selain itu, di mata rezim militer, kata ibu juga dianggap lebih lunak, sehingga pilihan kata tersebut bisa menyamarkan keradikalan gerakannya.

Tapi di kacamata saya, penggunaan kata ibu ini lebih dari sekadar taktik. Lebih jauh lagi, secara politik, Suara Ibu Peduli bertujuan mengangkat konsep ibu yang otonom. Inisiatif ini merupakan muara dari perjuangan LSM-LSM perempuan sebelumnya.

Selain Suara Ibu Peduli, perlu dilihat juga bagaimana ibu-ibu kembali terlibat menyokong mahasiswa-mahasiswa yang berdemonstrasi dengan menyediakan makanan yang mereka masak. Ingat seperti tahun 1945. Kembali, politik ibu.

Setelah reformasi, apakah pemaknaan ibu secara politik masih berlangsung?

Terus menerus, tapi tidak selalu memakai kata ibu setelah Suara Ibu Peduli. Istilah ini [ibu] kan timbul tenggelam. Setelah reformasi, ada dua arus utama gerakan perempuan. 22 Desember 1998 di Yogyakarta, diadakan lagi kongres perempuan di luar Kowani. Agenda pertamanya, mendorong partisipasi politik perempuan lewat affirmative action. Ini dilanjutkan oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Agenda kedua, seiring dengan adanya kekerasan massal Mei 1998, gerakan perempuan mendesak Habibie untuk meminta maaf. Setelah itu, concern Habibie adalah membentuk Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Politik ibu juga terus dipakai, misalnya di Kendeng. Sebenarnya sebelum Kendeng, ada ibu-ibu di Sumatera Utara yang juga melawan saat tanah-tanah mereka mau diambil, ada para ibu pedagang pasar di Ciledug yang berdemo saat pasarnya digusur. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersentuhan dengan LSM perempuan. Secara spontan mereka melawan karena ranah penghidupannya direbut, baik yang terkait produksi maupun reproduksi sosial. Mereka ini tidak pernah ikut “training gender”.

Itu konsep ibu berpolitik sekarang. Sosok yang melawan, bukan yang didorong oleh kelas menengah perempuan. Ibu yang bergerak karena ranah produksi dan reproduksinya terancam. Tapi siapa yang memaknai mereka sebagai ibu berpolitik? Sayangnya, mereka masih dianggap outsider. 

Meski demikian, bukan berarti semua kelompok ibu bergerak politis. Ada kelompok-kelompok yang menganut syariat, yang berusaha mengembalikan domestikasi perempuan; ibu yang dipoligini, ibu yang dikawin muda, dan ibu beranak pinak. Kembali muncul pertarungan antara ibu yang melawan dan ibu domestik. Maka menurut saya, gejala otoritarianisme muncul lagi dari kelompok agama. Pertarungan juga diramaikan oleh kelompok kapitalis seperti produsen bumbu masak yang masih mengamini konsep ibu domestik. Ekonomi politik, tidak sederhana.
   
Sumber: Tirto.Id 

Suka atau Tidak, Takkan Ada Hari Ibu Tanpa PKI

22 December 2017


Perempuan Indonesia (berdikarionline.com)
Pemerintah Bengkulu mengajukan Raperda yang terdengar menjanjikan: Perlindungan Anak dan Ketahanan Keluarga. Sayang, isinya tak terlalu menjanjikan. Meski belum final, menurut Raperda ini, perempuan dapat dikriminalisasi lantaran pakaian yang dikenakannya.
Ketua Komisi IV DPRD Bengkulu yakin betul mengatur pakaian perempuan sangatlah krusial untuk mengatasi angka pemerkosaan di Bengkulu yang mencapai 126 kasus sepanjang 2017.
Padahal, tema peringatan Hari Ibu tahun ini adalah ‘Perempuan Berdaya Indonesia Jaya’, yang salah satunya juga membahas kesetaraan hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara Pemda justru berencana untuk mendiskreditkan pilihan sadar perempuan dalam berbusana, alih-alih menangani pelaku dan mengedukasi laki-laki agar tidak memperkosa. Sudah hampir 2018, masih juga menyalahkan korban.
Pemerintah Bengkulu harus tahu bahwa perempuan bukanlah cuma daging dan tulang yang dibalut pakaian. Sebelum perempuan Amerika berhak nyoblos dalam pemilu, pada 1916, gerakan perempuan di Indonesia telah berani mengirimkan mosi kepada Pemerintah Belanda.
Sayangnya, 101 tahun sejak Putri Mardika mengajukan mosi kepada gubernur jenderal Belanda agar perempuan diperlakukan sama di mata hukum, rupanya tak banyak kemajuan terjadi di Indonesia terkait perlakuan negara terhadap warganya yang perempuan.
Anti-Kapitalisme, Poligami, dan Perkawinan Anak
Gerakan Perempuan di Nusantara semakin maju dan beradab paska mosi dari Putri Mardika. Bahkan, delapan tahun kemudian, Partai Komunis Indonesia (PKI) mencanangkan satu hari khusus untuk membahas peran gerakan perempuan melawan kapitalis dan kolonialis dalam Kongres PKI pada 7-10 Juni 1924.
Hari tersebut menjadi asal mula Kongres Perempuan yang dengan sengaja diubah menjadi Hari Ibu oleh Rezim Soeharto.
Pada Kongres PKI ke-5 tersebut, Raden Soekaesih dan Munapsiah, dua perempuan mantan anggota Sarekat Rakyat mengatakan bahwa perempuan harus berjuang jika tidak ingin disisihkan oleh kapitalisme. Menurut mereka, perempuan telah berjuang sejak zaman Majapahit, dan harus terus berjuang menolak menjadi kaki tangan kapitalisme. Jadi, kalo kamu mengaku laki-laki gerakan tapi masih mendiskreditkan peran perempuan dalam gerakan, coba referensi bacaannya ditambah.
Gerakan perempuan, terutama perempuan komunis, paska kongres di Jakarta ini dikabarkan sangat gigih dan militan. Hingga akhirnya, empat tahun kemudian, Ibu Suwardi (Nyi Hajar Dewantara), Ni Suyantin (Pemimpin Puteri Indonesia dan Pamong Taman Siswa), dan Nyonya Sukonto (guru His, anggota Wanito Utomo) berhasil memprakarsai pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928.
Seperti halnya Kongres Pemuda, Kongres Perempuan Indonesia juga lintas politik, suku, dan agama. Fatayat, Wanita Katolik, dan Putri Mardika hanyalah sebagian dari kelompok yang hadir.
Karena itu, kalau 2017 kamu masih rasis dan menunjuk-nunjuk orang lantaran agamanya, jelas kamu kalah progresif dari ibu-ibu Indonesia 100 tahun lalu.
Kongres pertama ini sudah mulai membahas persoalan-persoalan perempuan yang tak kunjung terpecahkan hingga 2017, antara lain soal pendidikan bagi perempuan, perkawinan anak, kawin paksa, hingga permaduan (poligami).
Tak hanya sekadar ngobrol-ngobrol dan selesai di kongres saja, cuma butuh waktu tiga hari bagi perempuan-perempuan gigih ini untuk memberikan mosi-mosi berbeda bagi Pemerintah Belanda dan Pengadilan Agama.
Kepada Pemerintah Belanda, kongres salah satunya meminta penambahan jumlah sekolah perempuan. Sementara bagi Pengadilan Agama, kongres antara lain menegaskan agar talak (cerai) dibuat dalam bentuk tertulis.
Meski kongres-kongres selanjutnya masih berkutat dalam persoalan yang sama terkait poligami dan perkawinan anak (yang masih menjadi masalah hingga saat ini), kongres perempuan pun tak lepas dari pekik kemerdekaan saat Soekarno ditangkap Belanda di Yogyakarta. Meski kongres digeledah polisi dan hampir dilarang, kongres berhasil ditutup sebelum dibubarkan.
Hari Kebangkitan Perempuan Hari Ibu
Paska kejadian tersebut, Kongres Perempuan terus diadakan setiap beberapa tahun sekali, hingga pada 1938 kongres di Bandung menetapkan tanggal pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember sebagai Hari Kebangkitan Perempuan.
Pada 1959, pemerintah menetapkan Hari Kebangkitan Perempuan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959), sebelum akhirnya Soeharto mengubah Hari Kebangkitan Perempuan menjadi Hari Ibu.
Tanpa hendak mendistorsi peran ibu yang bahkan berlipat-lipat sulitnya lantaran banyak banget yang suka nyinyir soal cara mengurus anak, pengubahan nama tersebut jelas tak mewakili semangat perempuan dalam kongres-kongres dan perjuangan perempuan 100 tahun lalu.
Semangat Hari Ibu yang banyak diasosiasikan dengan Mother’s Day jelas tidak sama dengan semangat bangkitnya perempuan untuk bersatu dan menentukan nasib bangsanya sendiri.
Gerakan perempuan yang berorientasi pada kepentingan proletar dan perempuan sebagai kelompok yang termarjinalkan secara sistemis terdistorsi oleh pemaknaan baru ini.
Gerakan perempuan dalam pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan banyak dikurangi, atau bahkan dihapus dalam penuturan sejarah Indonesia. Kalupun ada, lebih banyak ditegaskan dalam wilayah domestik seperti perawat dan dapur umum.
Meski perawatan dan dapur umum tak kalah penting, narasi ini tentu memberikan bias terhadap perkembangan gerakan politik di Indonesia menjadi semata wacana laki-laki. Hal ini bisa jadi berkontribusi terhadap minimnya jumlah keterwakilan perempuan di politik dan pemerintahan.
Oleh sebab itu, meski saya tak menentang perayaan Hari Ibu, hari ini saya hendak mengucapkan selamat Hari Kebangkitan Perempuan untuk ibu, calon ibu, dan mereka yang tak hendak menjadi ibu.
Sebagai bentuk terima kasih kepada perempuan-perempuan hebat yang dulu berjasa membuat Hari Ibu terlaksana, sudah sepantasnya kita memberikan narasi yang adil bagi intelektual Gerwani dan PKI, tanpa hoax, tanpa narasi rezim otoriter.
Sumber: VoxPop 

Rabu, 20 Desember 2017

Kisah Si Bung dalam Pelarian

Martin Sitompul | 20 Des 2017, 19:31


Kiri: Amir Sjarifuddin saat menjadi perdana menteri memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan di Kapal Renville, Desember 1947. Kanan: Pimpinan pemberontakan PKI Madiun yang tertangkap. Amir Sjarifuddin (berkacamata) berada di antara Hardjono dan Maruto Darusman. Sumber: Manusia dalam Kemelut Sejarah dan Madiun 1948: PKI Bergerak.

DI tengah pelarian, Amir Sjarifuddin jengkel terhadap kelakuan anak buahnya. Waktu itu mereka –yang sedang kekurangan makanan– menyinggahi sebuah desa yang tak memusuhi kelompok Amir. Menyaksikan hamparan pohon kelapa yang luas ditambah rasa dahaga, pasukan rombongan Amir jadi kalap. Beberapa orang memanjat pohon kelapa dan mengambil buahnya.
“Mengetahui itu, Bung Amir bukan berterimakasih tetapi malah marah. Ia bergegas keluar rumah, lalu pestolnya dimuntahkannya ke atas tiga kali,” kenang Fransisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner. Turun! Turun! Amir berteriak seraya mengancam akan menembak anak buahnya yang memanjat dan memetik kelapa di pekarangan desa itu jika tak mau turun.
Dalam pandangan Fransisca –aktivis Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang ikut long marchrombongan Amir– meski sebagai buronan politik kelas kakap, Amir masih memperlihatkan keluhurannya sebagai seorang negarawan. Di tengah pelarian kelompoknya dari kejaran tentara Republik, Amir menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi.
Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mencatat instruksi Amir, antara lain: desa-desa yang telah diduduki penduduknya harus dihormati; kerusakan di tempat pemondokan harus diganti rugi; sebelum berangkat meninggalkan rumah persinggahan harus dibersihkan terlebih dahulu; semua makan-minum yang didapat harus dibayar kembali.
Menurut Fransisca ketentuan-ketentuan itu dilakukan dengan sadar dan patuh selama dua bulan masa pelarian. Bukan saja oleh anggota pasukan tapi juga oleh seluruh anggota rombongan. Tidak boleh ada satu batang lidi pun yang diambil dari rakyat.
“Itulah sekilas tentang Bung Amir. Kepribadiannya yang demikian luhur itu membuatku segan untuk mendekat. Tidak berani! Bukan takut, tapi segan,” ujar Fransisca.

Kodrat Alam
Banyak yang heran atas pilihan politik Amir; bersekutu dengan Musso dan melawan Republik. Keputusan itu kelak menjerumuskan dirinya dari kedudukan terhormat menuju akhir hidup yang tragis. Sebelum terjun dalam petualangan yang penuh bahaya di Madiun, Amir Sjarifuddin sejatinya adalah figur cemerlang.
Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan mencatat, Amir Sjarifuddin merintis namanya di pentas pergerakan nasional takala menjadi bendahara dalam Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Dalam perhelatan akbar itu, Amir yang bermarga Harahap mewakili organisasi Jong Batak. Kemudian, dia menjadi pengikut Sukarno dalam Partai Indonesia (Partindo) dan akhirnya memimpin Gerakan Rakyat Indoneisa (Gerindo).
“Ia seorang Muslim yang menjadi Kristen,” tulis Gie.
Pada zaman Jepang, Amir dipenjarakan karena ikut gerakan bawah tanah. Di masa perang kemerdekaan, antara 1947–1948, Amir menjabat sebagai Perdana Menteri RI merangkap Menteri Pertahanan. Mundur dari pemerintahan, Amir terlibat dalam gerakan PKI Musso di Madiun. Di struktur partai, dia adalah anggota Politbiro CC PKI.
Presiden Sukarno dalam rapat cabinet yang akan memutuskan tindakan terhadap para “pemberontak” Madiun, sesungguhnya merasa terkejut dengan keterlibatan Amir dalam Insiden Madiun 1948. “Wat wil die Amir toch?” (Amir itu maunya apa?), tanya Sukarno sebagaimana disaksikan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Simatupang sendiri adalah perwira tinggi TNI yang menaruh hormat secara pribadi terhadap Amir yang dinilainya sebagai seorang pemikir yang brilian. Seorang orator yang dalam keulungan berpidato hanya kalah oleh Bung Karno. Seorang pejuang dan pekerja yang tabah dan tidak memikirkan kepentingan diri sendiri.
“Mereka yang pernah mengenalnya dari dekat akan tetap memelihara kenang-kenangan kepada seorang manusia yang baik dan peramah,” tutur Simatupang dalam otobiografinya Laporan dari Banaran.
Hal senada juga dikenangkan Abu Hanifah, rekan Amir di masa muda yang menjadi tokoh Partai Masjumi. Amir dianggapnya sebagai pribadi menyenangkan: kawan yang baik, suami yang setia, dan bapak yang penyayang. Di sisi lain, kelemahan Amir terletak pada emosi dan ambisinya yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan perbuatannya.
“Ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia sekelilingnya,” ungkap Abu Hanifah dalam “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin” termuat di Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Menurut Simatupang, pasca menandatangi Perjanjian Renville, akhir Januari 1948, Amir mengalami kekecewaan besar. Perjanjian itu dianggap merugikan Republik sementara Masjumi, partai yang menyokong kabinet Amir Sjarifuddin, menarik dukungannya. Amir lantas menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri dan menjadi oposisi.
Belakangan ketika Amir sampai di dalam tahanan Yogya, orang tanya padanya, mengapa dia lakukan pemberontakan. Sebagaimana dilansir koresponden khusus Sin Po 5 Februari 1949, Amir cuma jawab: “sudah kodrat alam”.

Di Hadapan Gatot
Ketika tertangkap di desa Klambu, Grobogan, akhir November 1948, Amir dibawa ke Solo. Di Solo, Amir dan beberapa rekannya dihadapkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Di rumah Gubernur Militer, Amir berpakaian piyama compang-camping. Sementara Gatot, berpakaian perwira militer lengkap dan duduk di kursi yang empuk dan serba mewah.
Sembari menyuguhkan kopi, Gatot menginterogasi tawanan-tawanan politik yang dipimpin Amir. Gatot bertanya mengenai berbagai hal terkait gerakan Madiun. Alih-alih memberikan jawaban, Amir memilih bungkam.
“Bung Amir tutup mulut,” ujar Fransisca. “Aku menyaksikan sikap mereka, orang-orang yang kalah, tapi begitu penuh harga diri.”
Sumber: Historia.Id 

Selasa, 19 Desember 2017

Raka Swasta, Seniman Bali yang Dipenjara di Tahun 1965


Seniman adalah manusia bebas. Tapi di era Soekarno mereka harus memilih tempat untuk mengekpresikan karyanya. Ada yang ikut LEKRA  (Lembaga Kebudayaan Rakyat), ada yang ikut LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dan ada pula yang masuk Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia).
Celakanya, begitu negeri ini dilanda prahara politik tahun 1965, banyak seniman anggota dan simpatisan Lekra ditangkap dan dipenjara karena ditudub PKI. Padahal karya-karya mereka begitu bermakna bagi tumbuh suburnya jiwa nasionalisme. Satu diantaranya adalah Raka Suwasta, seniman lukis Bali yang dipenjara karena menjadi anggota Lekra.
Berikut ini penuturannya. 
“Saya masuk Lekra karena ingin mengembangkan diri bersama para senior yang sudah punya nama seperti Jendra, Affandi, Sudjoyono dan beberapa lagi lainnya. Saya juga tidak peduli apakah Lekra itu bagian dari PKI sebab cita-cita total berkesenian,” ujarnya memulai cerita.
Dengan semangat ingin berkembang Raka melukis berbagai penderitaan rakyat dan tuntutan rakyat. Itulah yang coba diungkap lewat karya-karyanya tanpa sedikit pun memiliki rasa permusuhan dengan seniman lain yang tergabung dalam LKB dan Lesbumi.
“Waktu itu kita kumpul sama-sama. Bahkan bikin teater modern dan drama gong bareng. Saya bertugas di bagian dekorasi. Dari sana saya banyak belajar mengenai sastra dan cara main drama,” kata Raka yang sejak tamat SMA (1960) mulai belajar melukis, bikin patung dari tanah liat.
Ketika peristiwa 1965 Raka Swasta ada di Denpasar. Saat tidur lelap masa datang mengobrak-abrik. Sepeda motor miliknya dibakar. Tiga bulan kemudian (Desember) Raka ditangkap dan dipenjara di Trangiya.
“Tadinya saya khawatir dibunuh karena merasa tidak punya musuh. Tiap malam ada saja tapol yang diambil tentara dan diserahkan massa untuk dihajar sampai berdarah-darah. Setelah itu baru dikembalikan ke dalam sel,” ujar Raka di rumahnya Studio 2 Bajar Abian Semal yang teletak  di Ubud.
Tahun 1958 Raka dibebaskan. Ia bekerja sebagai penggambar poster di sebuah bioskop. Karena Film mulai tidak laku ia pindah kerja jadi penggambar ramalah plutu (togel) setelah di tahun 1969 menikah dengan perempuan anggota PNI yang bapaknya penggemar sabung ayam.
Sampai sekarang saya tidak ngerti mengapa seniman seperti saya dan juga teman-teman lain ditangkap dan dipenjara. Padahal, saya hanya ingin mengembangkan bakat seni yang saya miliki demi kokohnya kebudayaan nasional yang kita miliki. Tapi sudahlah. Nasi sudah jadi bubur. Tak perlu disesali karena kita memang harus berdamai dengan diri sendiri lebih dulu sebelum berdamai dengan orang lain,” tutur Raka mengakhiri kisah hidupnya. (Roro}

Detik-Detik Terakhir Hidup Amir [1]

Selasa 19 Desember 2017 WIB

Petualangan politik menggusur takdir Amir Sjarifuddin dari seorang pejabat tinggi Republik menjadi buronan politik.

Amir Sjarifuddin (berkemeja puith) sedang digiring tentara ketika tertangkap di daerah Babalan, Kudus.) Sumber: Madiun 1948: PKI Bergerak karta Harry Poeze.

Hari masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas di Desa Ngalian, sebelah timur kota Solo. Namun atas perintah tentara, dua puluh orang penduduk desa telah sibuk menggali kuburan. Salah satu liang dipersiapkan untuk mantan Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia: Amir Sjarifuddin.

Sementara menunggu, Amir bertanya kepada seorang perwira TNI berpangkat letnan: apa yang akan terjadi? Amir bersama 10 rekannya didakwa melakukan makar terhadap pemerintah Republik. Dalam ‘Menggugat Peristiwa Madiun’ termuat di Pilihan Tulisan I, D.N. Aidit mencatat detik-detik eksekusi.
“Apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya?” tanya Amir.
Perwira pemimpin regu tembak itu bergeming. “Tidak usah banyak bicara,” katanya. Surat dari Gubernur Militer Gatot Subroto disodorkan. Isinya: perintah eksekusi mati.
“Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih,” tanya Amir lagi. Tanpa tedeng aling-aling, pasukan regu tembak mulai mengisi bedilnya dengan amunisi.
Amin Sjarifuddin bersiap menghadapi ajalnya. Dia minta sedikit waktu agar bersama rekan-rekannya diberi kesempatan menulis surat. Permintan terakhir itu dikabulkan.

Sesudah surat-surat diserahkan mereka menyanyikan lagu Indonesia Rayadan mars komunis Internasionale. Sebelum peluru menghujam tubuhnya, Amir berseru, 
“Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!” Dan kemudian…Dor!
“Mulailah kesebelas orang gagah berani itu ditembak satu persatu, dimulai dengan menembak kawan Amir Sjarifuddin,” tulis Aidit.

Amir meregang nyawa bersama Maruto Darusman, Suripno, Sarjono, Oey Gee Hwat, Harjono, Sukarno, Djokosoejono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku. Semuanya dieksekusi pada pagi buta, 19 Desember 1948; beberapa jam sebelum Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua.


Menjelang Eksekusi

Tiga bulan sebelumnya, Amir bersama Musso mengadakan “pemberontakan” dengan mendirikan sebuah republik bercorak Uni Sovyet di Madiun. Pemerintah tidak menoleransi huru-hara ditengah perjuangan revolusi menghadapi Belanda. Sebagai perdana menteri, Hatta begitu sensitif terhadap tanda bahaya yang bisa memberi celah bagi Belanda menusuk Republik. Begitu mendengar kabar dari Madiun, Hatta berujar, 
Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder (Sekarang adalah soal hidup atau mati. Menang atau kalah),” kutip T.B. Simatupang dalam Laporan dari Banaran. Sidang kabinet memutuskan: pengacau Madiun harus ditindak.
Musso tewas dalam pengejaran pada 31 Oktober 1948. Sementara pasca penarikan mundur dari Madiun, Amir memimpin sejumlah besar loyalis dalam pelariannya. Bersama sekira 3000 pengikutnya yang dipimpin Maladi Yusuf, terdapat pula anak-anak dan perempuan. Mereka merupakan anggota keluarga para “pemberontak” tersebut.

Soe Hok Gie dalam skripsinya “Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun, September 1948” (terbit 1969) menguraikan bahwa kelompok Amir dapat bertahan dari kejaran sampai akhir bulan November. 

Meski melalui medan yang sulit, Amir berusaha untuk memelihara semangat pasukannya dengan meyakinkan kemenangan di pihak mereka. 
Pengembaraan Amir mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu tiba di daerah Pati dan Purwodadi.

Pada 28 November 1948, Kolonel Djokosoedjono, Maruto Darusman, Sajogo, dan kawan-kawannya ditangkap oleh satu seksi TNI yang patroli di Desa Peringan, dekat Purwodadi. Dalam pengakuannya, Djoko Soedjono menyatakan bahwa ia terpisah hanya 200 meter dari Amir Sjarifuddin. Berdasarkan keterangan ini, pihak TNI menyimpulkan rombongan Amir pasti berada di sekitar Purwodadi. Pengejaran dan patroli kian digencarkan.

Keesokan harinya, TNI dapat melacak lokasi persembunyian Amir di Desa Klambu. Pengepungan dilakukan oleh pasukan Komando Pertempuran Panembahan Senopati. Amir mencoba meloloskan diri melewati rawa-rawa dan hutan-hutan namun tertangkap juga. Pasukan yang meringkus Amir adalah Batalyon Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris dari Divisi Siliwangi.
“Amir Sjarifuddin barangkali lebih banyak jasanya daripada siapapun juga dalam membangun angkatan bersenjata negeri itu (Indonesia), tetapi Idris tidak menyinggung sedikit pun mengenai pengalamannya dalam pertemuan yang dramatis ini, yang berakhir dengan kematian Sjarifuddin melalui hukum tembak,” ungkap Gerry van Klinken dalam “’Aku’ yang Berjuang” termuat dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia suntingan Henk Schulte Nordholdt, Bambang Purwanto, dan Ratna Hapsari.
Setelah melakukan perlucutan, Kemal Idris dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi mengakui menjarah persenjataan pasukan Amir yang tertawan. 
“Senjata yang mereka miliki dapat dikategorikan masih baru, sehingga dapat digunakan untuk melengkapi persenjataan pasukan Kala Hitam yang sedang mengadakan operasi pembersihan,” ujar Kemal.
Saat tertangkap, keadaan Amir sudah payah, kurus, dan agak pincang. Dia menderita penyakit disentri. Dalam catatan sejarawan Belanda Harry Poeze, mantan menteri dan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tidak lagi bersepatu. Kacamatanya masih bagus; pipa cangklongnya yang tak terpisahkan sudah hilang seperti halnya anjing gembala Jerman-nya yang bernama Zero (ternyata Zero sudah terlebih dahulu ditangkap dan lantas menjadi peliharaan seorang perwira Divisi Siliwangi). Sedangkan senjata yang ada padanya hanya sepucuk pistol.

Menurut keterangan tentara yang menangkap Amir, “Ia (Amir) menderita penyakit itu (disentri), ialah karena takutnya, hingga ia dalam menahan ketakutan melarikan diri sampai ‘buang-buang air’”, dikutip koresponden khusus Sin Po, 5 Februari 1949.

Amir bersama pimpinan PKI kelas kakap lainnya dibawa ke Kudus kemudian Yogyakarta. Mereka harus menghadapi penghinaan di muka umum. Ketika digiring di antara kerumunan massa, rakyat di sepanjang jalan mencacimaki bahkan hampir jadi korban main hakim sendiri.

Saat sampai di stasiun Yogyakarta, rakyat berjejal-jejal untuk melihat wajah Amir. Ia terlihat tenang dan di kereta api masih sempat menekuni novel romantik karya William Shakespeare, Romeo and Juliet milik Kapten Soeharto, perwira TNI yang mengawalnya. Sedangkan Soeripno, Amir, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng Yogyakarta. Mereka ada dalam kondisi memprihatinkan: hanya memakai kolor dan berbaju lusuh, serta duduk melantai namun masih terlihat santai.
“Ketika Jaksa Agung (Susanto Tirtoprodjo) dan Kolonel Nasution mengunjungi mereka, Amir tetap memelihara sikap kebesarannya,” tulis Gie. Atas pendapat Jaksa Agung, tawanan-tawanan ini dikirim ke Solo untuk diperiksa oleh Gubenur Militer.
Tiba di Solo, Amir dan kawan-kawan dihadapkan kepada Kolonel Gatot Subroto. Gatot Subroto masih sempat menjamu dengan kopi sembari melayangkan kata-kata peringatan. “Gatot Subroto telah memutuskan bahwa sebelas orang tersebut lebih baik dihabiskan saja,” tulis Poeze.

Sumber: Historia