Senin, 11 Desember 2017

Aktivis dan Penyintas Ragukan Keseriusan Jokowi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM

Senin, 11 Des 2017 14:58 WIB | Bambang Hari, Ria Apriyani

"Ketika orang yang dicintai hak hidupnya dirampas, otomatis akan sangat berpengaruh kepada situasi dan kondisi, baik fisik maupun psikis bagi orangtua masing-masing."
 Ilustrasi: Salah satu korban kasus pelanggaran HAM masa lalu tengah melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Negara. (Foto: ANTARA)

"Kami keluarga korban merupakan masyarakat yang ditindas oleh negara. Kenapa ditindas? Karena hak hidup anak kami dirampas. Ketika orang yang dicintai hak hidupnya dirampas, otomatis akan sangat berpengaruh kepada situasi dan kondisi, baik fisik maupun psikis bagi orangtua masing-masing."

Ungkapan kekecewaan datang dari orangtua korban Tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih sesaat mendengar pernyataan Presiden Joko Widodo pada pidato peringatan Hari HAM sedunia. Pada perayaan yang digelar di Solo 10 Desember kemarin, Jokowi mengakui masih menanggung banyak pekerjaan rumah terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Meski demikian, penegakkan hukum kasus HAM masa lalu belum menjadi prioritas pemerintah. Yang terpenting, menurut Jokowi, adalah memastikan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat di antaranya hak atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

"Apa bedanya dengan masyarakat yang lain? Justru kami sebagai keluarga korban pelanggaran HAM berat, yang harus dikedepankan," ungkap Sumarsih kepada KBR ketika ditanya mengenai pidato Jokowi, Minggu (10/12) malam.
Ibunda Wawan--korban Semanggi I, menantikan Jokowi memenuhi janji kampanye pada 2014 silam. Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu masuk dalam Nawacita Jokowi-JK.

Ia menambahkan, tahun lalu dirinya sempat diterima oleh salah satu staf Kepresidenan, Teten Masduki. Dalam perbincangan dengan Teten, menurut Sumarsih, penanganan perkara pelanggaran HAM masa lalu akan dituntaskan. Teten juga berjanji akan menyerahkan surat-surat dari keluarga korban kepada Presiden Jokowi.
"Tapi sampai sekarang, kami selaku kelurga korban sama sekali belum melihat perkembangannya setelah pertemuan tersebut," tutur Sumarsih.


    Kontras: Kesulitan Diciptakan Jokowi Sendiri

    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)--salah satu lembaga pendamping korban pelanggaran HAM, meragukan keseriusan Presiden Jokowi menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

    Ini karena menurut Koordinator Kontras Yati Andriyani, selama tiga tahun menjabat, Presiden Joko Widodo justru menyandera dirinya sendiri dalam proses penuntasan. Sejumlah keputusan Jokowi menurutnya, malah menghambat penyelesaian kasus.

    "Ini kesulitan yang diciptakan sendiri oleh Jokowi. Dia menyandera dirinya sendiri dengan tindakan kontraproduktif untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat," tukas Yati ketika dihubungi KBR.
    "Dia gagal menggunakan otoritasnya untuk mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM untuk kasus masa lalu. Dia gagal membentuk tim pencari fakta untuk korban penghilangan paksa, dan secara terbuka dia menolak mengumumkan dokumen TPF Munir," lanjutnya.
    LSM Kontras juga menilai, mestinya pemenuhan hak dasar dan penuntasan kasus pelanggaran HAM bisa dijalankan beriringan tanpa harus menepikan salah satu.

    Sejak menjabat pada 2014, menurut Yati, Jokowi bergeming menyikapi bolak-balik berkas sejumlah kasus HAM masa lalu. Selain itu, sejumlah orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat justru dibawa masuk ke pemerintahan, di antaranya Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto.

    Alih-alih menuntaskan utang kasus pelanggaran HAM, pemerintahan Jokowi justru dianggap turut jadi pelaku. Catatan Kontras, jumlah kasus pelanggaran HAM periode 2016-2017 meningkat dibanding 2010. Sebagai contoh, meningkatnya kasus penyiksaan yang melibatkan aparat keamanan dari 28 kasus menjadi 163 kasus. Di sisi lain, impunitas terhadap pelakunya pun masih dipelihara.



    Komnas HAM akan Pertanyakan Maksud Jokowi

    Sementara itu, Komnas HAM akan terlebih dulu mengonfirmasi pernyataan Presiden Joko Widodo. Tapi bagaimanapun pernyataan presiden, menurut anggota Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, hal tersebut takkan berpengaruh terhadap kerja lembaganya.

    Terlebih menurutnya, kepengurusan baru telah menentukan bahwa penanganan perkara pelanggaran HAM masa lalu menjadi prioritas.

    "Setiap lembaga negara memiliki cara untuk berkomunikasi. Dan tentunya cara itu juga akan kami lakukan. Kami akan berkomunikasi dengan presiden. Kami konfirmasi, apa maksud dari pernyataannya seperti itu? Ini kan (anggota) Komnas HAM (yang baru) baru bekerja sekitar tiga minggu," ujar anggota Komnas HAM Amiruddin Al Rahab melalui sambungan telepon kepada KBR.
    Amiruddin berharap bisa bertemu dengan Presiden Jokowi bulan ini. Selain untuk mempertanyakan pernyataan Jokowi tersebut, Komnas HAM juga hendak menyampaikan sejumlah sikap.
    "Sekaligus kami juga ingin menyampaikan sikap kami dan pandangan-pandangan kami, tentang bagaimana agar kehidupan bernegara bisa lebih baik ke depannya."
    Pada peringatan ke-69 hari HAM sedunia, Presiden Joko Widodo menyatakan akan terlebih dulu memastikan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Di antaranya hak atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dia menyadari kasus pelanggaran HAM masih jadi PR, namun penyelesaiannya belum menjadi prioritas.

    Pemerintah tengah fokus mengupayakan lapangan pekerjaan dan penghasilan layak bagi masyarakat. Upaya itu dilakukan di antaranya dengan memberikan hak pengelolaan lahan.

    Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat selain tertuang dalam Nawacita, juga dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Melalui pidatonya 2015 lalu, Presiden Jokowi menginginkan penyelesaian yang berkeadilan. Jokowi bahkan menginstruksikan agar Jaksa Agung dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan memastikan jalur penyelesaian yang tepat bagi masing-masing perkara.

    Ada tujuh kasus prioritas antara lain tragedi pembantaian massal 1965/1966, peristiwa Trisakti dan Semanggi I 1998 serta II 1999, kerusuhan Mei 1998, penghilangan orang secara paksa periode 1997/1998, peristiwa Talangsari Lampung, penembakan misterius 1982-1985, serta peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003.


    Editor: Nurika Manan

    Sumber: KBR.ID 

    0 komentar:

    Posting Komentar