Jumat, 08 Desember 2017

Secercah Harapan Bagi Korban Tragedi 65

Desember 8, 2017



Dalam foto yang diambil 16 September 2017 ini, polisi memblokade para korban pembantaian 1960-an yang akan menghadiri sebuah seminar tentang pembantaian tersebut di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta. Para korban masih mencari jawaban atas siapa yang bertanggungjawab atas pembantaian yang menewaskan ratusan ribu orang yang diduga komunis dan simpatisannya. (Foto ucanews.com)


Oktober lalu, Aris Panji Irianto menuju Jakarta untuk bertemu sesama korban tragedi 1965-1966. Ia pun rela meninggalkan rumahnya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, agar bisa belajar lebih banyak tentang dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) setebal 30.000 halaman terkait represi yang terjadi saat itu.

Ia yakin dokumen itu mengkonfirmasi peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam tragedi yang menewaskan lebih dari 500.000 orang dan menjebloskan jutaan lainnya ke penjara.

Ketika pembantaian terjadi pasca-pembunuhan sekelompok jenderal pada 30 September 1965 – yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI), Irianto masih remaja. Ia tidak tahu mengapa anggota keluarganya diseret oleh orang-orang anti-komunis. Untungnya ia bisa menyelamatkan diri.

Namun sampai saat ini ia dijuluki komunis. Akibatnya, ia pun tersingkir dari masyarakat dan tidak bisa mendapat pekerjaan di instansi pemerintah.
Meski demikian, ia bersyukur karena stigma itu tidak melekat pada diri anak-anaknya.


Tonggak Sejarah Baru

Dokumen rahasia AS tersebut menepis penegasan TNI bahwa mereka tidak terlibat dalam pembantaian itu.

Bagi Irianto, kini berusia 66 tahun, dokumen rahasia itu memberi harapan baru bagi para korban karena menyebut pembantaian itu sebagai “propaganda hitam” di bawah rezim mantan Presiden Suharto, 1967-1998.

Sementara itu, Bedjo Untung, juga korban tragedi 1965, menceritakan kepada ucanews.com bahwa ia dan beberapa korban telah bertemu komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada November lalu untuk membahas implikasi dari dokumen rahasia itu.
Dokumen rahasia tersebut dibuka ke publik sebulan sebelumnya oleh agen keamanan AS.

Bedjo meminta pemerintah untuk mengkaji dokumen rahasia itu dan mengambil langkah remedial untuk membantu para korban.
“Kenyataannya, dokumen itu menunjukkan keterlibatan militer,” katanya.
Juga dikatakan bahwa bukti baru mencakup detil dukungan AS terhadap pembantaian itu.

Militer diduga bekerja sama dengan sejumlah organisasi massa Islam dan merekrut serta mempersenjatai milisi anti-komunis di pedesaan.
Bedjo meminta pemerintah dan Komnas HAM untuk mengambil langkah terkait dokumen rahasia itu tanpa merasa takut akan tekanan militer.

Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan dokumen rahasia itu perlu diteliti lebih lanjut sebelum validitasnya bisa diterima.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan bahwa verifikasi diperlukan sebelum menggunakan dokumen rahasia itu untuk proses hukum.
“Kita pasti cek kebenarannya terhadap dokumen tersebut,” katanya kepada wartawan.
Menurut Pastor Fransiskus Xaverius Baskara Tulus Wardaya SJ, dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, TNI dan pemerintah seharusnya membiarkan warga negara mempelajari fakta dari pembantaian 1960-an.
“Kita sebaiknya terbuka terhadap dokumen sejarah meskipun dokumen sejarah ini berasal dari luar Indonesia sehingga kita bisa tahu sejarah kita lebih lengkap dan kontekstual,” katanya.
Imam Yesuit itu mempelajari sejumlah dokumen AS ketika melakukan riset pada pertengahan 2000. Namun syaratnya ia tidak boleh mempublikasikan nama jika mereka masih hidup.

Amnesty International Indonesia juga mendesak pemerintah untuk merilis semua dokumen sejarah yang relevan.

Sampai saat ini, baik Irianto dan Bedjo serta para korban lainnya masih berjuang untuk mendapatkan keadilan.

Sumber: UCA News Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar