HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 30 September 2008

Mengenang Semsar


Pameran “Mengenang Semsar” adalah perwujudan dari rasa hormat pada seorang seniman sekaligus aktivis yang banyak memberikan warna pada dunia seni rupa di Indonesia. Sejak dekade 1980-an, nama Semsar Siahaan menonjol dalam berbagai kegiatan artistik dan juga dalam medan politik. Sosok yang berani dalam mengemukakan pendapat, pada kekuasaan. Di Seni Rupa ITB, dimana ia pernah bersekolah, legenda Semsar dengan Oleh-oleh dari Desa-nya seperti dongeng yang tak pernah lekang dimakan jaman. Dilapangan aktivisme, Semsar selalu berada didepan barisan dan dikagumi banyak rekannya.
Karya-karya Semsar selalu mengundang tegang, dengan subyek dan tema-tema yang erat kaitan dengan persoalan kelamnya kemanusiaan serta politik bangsa ini. Bahkan bagi yang pernah menyaksikan karya “Penggalian Kembali” di TIM dalam Biennal IX tahun 1994, dengan menyajikan instalasi site-spesific. Karya monumental ini menjadi simbol dari para korban selama terjadinya kekerasan politik di tanah air. Seni bagi Semsar merupakan suatu ekspresi yang membebaskan manusia dari kungkungan dan kekangan kekuasaan. Keistimewaan lain dari sosok Semsar adalah kemampuannya dalam menulis, menggambar dan melukis. Karya-karyanya mengandung unsur – unsur rupa yang digarap dengan teliti dan penuh ketekunan.
Pameran ini diharapkan mengembalikan ingatan kita pada sosok Semsar serta karya-karyanya. Terutama ditujukan pada generasi yang pernah atau belum mengenalnya. Mengambil nilai-nilai yang ada dibalik tiap karya maupun pandangan politiknya. Disana lah tercermin semangat yang tak pernah hilang walaupun Semsar telah meninggalkan kita. Pihak Cemara 6 Galeri merasa terhormat diberi kesempatan untuk memamerkan karya-karya Semsar Siahaan. 
Oleh karena itu kami menghaturkan beribu terima kasih kepada pihak Keluarga Besar Semsar Siahaan: Dyani V. Siahaan, Ashoka Siahaan, Citara Siahaan, Sonny Siahaan. Juga kepada bapak Taufik Kiemas yang telah bersedia membuka pameran, Bapak Helmi. Kepada Efix Mulyadi yang telah menuliskan secara ringkas dan jelas tentang karya-karya serta sosok Semsar. Kepada Dolorosa Sinaga, Asikin Hasan, Suhunan Situmorang. Kepada Yudi Kesturi, Fajrul Rachman,K. Sukardi Rinakid, Herwawan Sulistiyo, Radhar Panca Dahana serta Muslim Abdurachman. Kepada Cecil Maryani, Serrano Sianturi, Endien, Hafni Sri Damayanti atas bantuannya yang berharga. Kepada bapak Daniel Lambert, Emmy Fitri, Anton dan segenap pimpinan dan staff The Jakarta Post. Kepada Jak-TV dan Ikhwansyah Lufiara. Kepada jajaran redaksi Rider Digest Indonesia. Kepada Hengki Abidin dan Wiwi. Bapak Putut dari Gatra, serta para wartawan, aktivis serta para sahabat Semsar Siahaan yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Seniku Seni Pembebasan 










Bagaikan datang dan masuk kedalam sebuah taman yang segalanya teratur/ harus diatur serba indah/mengandung unsure-unsur yang seluruhnya melambung riang bertaburkan warna-warni bernada pastel. Demikian aku singgah didalam taman seni Rupa Kontemporer INDONESIAKU yang penuh tatakrama, manis dan halus.
Aku datang lengkap degala cacat dan membawa luka-luka. Aku tampil mempertunjukkan/menyingkap lebar-lebar derita yang nyata ada di luar pagar taman indah ini. Aku tampil dengan nilai-nilai keindahan yang di dalam mata segelintir manusia-manusia beradab (civilized clowns) mencemoohkannya sebagai keindahan compang-camping yang menyesatkan. Aku tampil disini melanggar, menerjang dan meneriaki tata-krama para MANUBILIS pengagum bentuk dengan warna-warni mediokernya. 
Aku datang dari lingkungan manusia-manusia yang berjuang membebaskan diri dari kematiannya. Dari lingkungan yang berjuang paling tidak agar kepala-kepala kami mampu bertahan diatas permukaan air bah peradaban orde. Dan itupun selalu diiringi dengan irama (bagi para budayawan-budayawan seni pemuja bentukm perhatikan, betapa indah gerak-gerak para kepala itu) timbul….tenggelam….muncul….terbenam. Aku datang dari kenyataan/realita yang sangat luas penderitaannya akibat kebodohan/pembodohan. Aku datang dari kenyataan/realita manusia-manusia terbanyak yang kehilangan harga diri dan haknya.
















Kau takkan menemukan keindahan yang lama mentradisi dan membentuk didalam benakmu itu, keindahan melambung mabuk yang menurut pandanganku merupakan nilai-nilai keindahan yang meracuni sumber keindahannya yaitu manusia itu sendiri, manusia-manusia terluka yang mempertahankan kepala. Dan kalau kau kecewa, apa yang dapat kuperbuat? Tidakkah kau sendiri yang menipu dirimu?, kata seorang temanku,” dikhianati oleh pikirannya sendiri”. 
Dan aku tak mampu lagi bertawar menawar dalam hal nilai-nilai keindahanmu, karena aku sudah kehilangan kepercayaan padanya. Keindahan yang sebenarnya nyata terkapar sekarat, terlentang pasrah habis diperkosa secara beruntun, berganti-ganti, penuh luka-luka berdarah. Dan akupun bagian darinya seperti halnya manusia-manusia terbanyak lainnya. Dari sisi inilah aku berangkat dalam menciptakan karya-karyaku.
Keindahan lahir semenjak lahirnya manusia dimuka bumi tercinta ini. Keindahan telah tersentuh oleh manusia sejak manusia mengenal kegiatan yang sudah menjadi tradisi sejak 30.000 tahun yang lalu (upper Paleolithic) yang kita kini mengenalnya sebagai kegiatan seni rupa. Sejak dan selama kelahirannya itulah kedudukan keindahan selalu mengapung terombang-ambing di hadapan manusia yang selalu juga terombang-ambing nasibnya, dikarenakan segelintir manusia lainnya. 
Selama ada penindasan terhadap kebebasan manusia (terutama terhadap seniman) dam hak-hak asasinya, begitu juga secara bersamaan terjadi pemasungan, perampasan dan penindasan pada nlai keindahan melalui kesenian oleh dan untuk segelintir manusia (termasuk juga, oleh dan untuk segelintir seniman?) demi nilai kesenian penunjang kekuasaan dan pembuat profit semata.
Dan kini aku berdiri disini bersama karya-karyaku di hadapanmu, hai manusia-manusia penghuni taman indah. Aku mengerti sepenuhnya tentang pemandanganmu bahwa kreasi-kreasi baru yang segar dalam dunia seni rupa kontemporer pada khususnya dan kesenian umumnya, akan tercapai hanya apabila seniman mendapatklan kebebasan perorangan (individual freedom) sepenuhnya di dalam usaha menciptakan karya-karyanya. 
Aku setuju! Bahkan iulah modal utamaku didalam berkarya dan mencipta. Tetapi aku ingin bertanya apakah moto itu pantas kau sebutkan di dalam lingkungan tempurung taman indahmu ini yang berparasit ditengah-tengah taman yang begitu sangat luasnya, dimana manusia-manusianya berjuang mempertahankan hisupnya saja sudah empot-empotan, boro-boro dengan harga dirinya dan hak-haknya yang tercabik-cabik. Paling tidak pernahkah terlintas di tempurungmu, bahwa kau adalah bagian (termasuk juga jantung onde-ondemu itu) dari manusia-manusia terkapar yang sangat besar jumlahnya itu? 
Lalu apa yang kau maksud dengan kebebasan? Apa? Kebebasan berkeindahan? Apa maksud dan tujuannya? Dan mane juntrungannye?? 
Tidakkah kau sadar bahwa sebelum kau sebutkan kata KEINDAHAN itu, kewajiban moralmu (seperti juga kewajuban moralku) adalah membebaskan dirimu bersamaan dengan manias-manusia terkapar diluar aman indahmu? Terkapar oleh kebodohan dan pembodohan? Terkapar karena kehilangan hak-haknya? 
Bagiku jelas, bagai hitam diatas putih, yang ku anut tentang kebebasan individu adalah usaha bersama membebaskan individu-individu, dimana diriku masuk menyatu kedalamnya bergelut untuk membebaskan diri dari keterkaparan. Kebebasan individuku pengertiannya adalah memberi semangat, usaha untuk merubah keadaan nilai manusia yang menyedihkan akibat ketidak adilan, melalui karya-karya seniku. 
Demikianlah juga yang aku maskud dengan tanggung jawab sosial (social commitment), komponen kesenian yang lama terabaikan. Kebebasan perorangan tersebut melebur menjadi satu kesatuan bersamanya dalam satu perjuangan. Kebebasan individu sendiri memperoleh kebebasannya dalam cara ungkap (gaya) berkarya si seniman, namun dia berdiri teguh diatas pelataran semangat perjuangan membebaskan manusia. Bukan hanya menggambarkan manusia yang terkapar dalam kemiskinan yang romantis. 
Seniman sudah saatnya kembali pada realita menyulut semangat untuk pembaharuan manusia dengan kesenian, juga demi wajah idenititas baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia yang hidup, yang segar dan kuat. Dan aku menyebutnya sebagai “Seni Pembebasan”. Kebebasan perorangan untuk pembebasan manusia terbanyak.
MERDEKA !
Semsar, 1988
MANUBILIS:
Merupakan penyingkatan dari tiga kombinasi kata benda : Manusia – binatang – Iblis, Manubilis menggambarkan tiga sifat yang merupakan satu kesatuan. Manusia sebagai badannya, Binatang sebagai nafsunya, dan Iblis sebagai kelicikan dan kecurangannya. Istilah Manubilis muncul pada tahun 1982 sebagai judul cerpenku.

Essay :
Semangat Kemanusiaan Semsar Siahaan 
Oleh: Efix Mulyadi
Anda mengenal manubilis? Jangan cari di kamus karena tidak akan ketemu. Istilah ini muncul dari Semsar Siahaan (1952-2005) di dalam pamerannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tahun 1988. Ia memakainya untuk judul lukisan sejak “Manubilis Menyantap Hutan” sampai “Manubilis Berfoya-foya”. Rupanya manubilis adalah gabungan dari kata “manusia” , “ binatang” dan “iblis”, mahluk-mahluk penuh angkara murka dengan hasrat dunia yang tak pernah terpuaskan. Mereka sering muncul sebagai sosok terhormat, berbusana anggun namun berlidah racun, tampak berkelas namun culas. Korbannya adalah rakyat jelata yang tergencet, buruh yang dibelenggu, para penganggur yang sia-sia mencari kerja, kaum yang tergusur, dan seterusnya. Itulah kesan yang tertangkap dari 250 lukisan hitam putih dengan tinta di atas kertas dan belasan karya berwarna di dalam pamerannya: kekejaman, keserakahan, dan ketidakadilan yang melanda masyarakat.
Lukisan hitam putihnya pada umumnya kuat justru karena lebih mampu menonjolkan watak goresan dan arsiran dibanding yang menggunakan banyak warna. Tarikan garisnya tampak tidak diniatkan untuk sekadar membangun sosok tapi langsung ke fungsi terkait dengan relasi antar-tokoh maupun lanskap pendukung di dalam narasi. 
Konsekuensinya, rincian gampang terabaikan. Lewat sebuah pameran yang berlangsung 20 tahun lalu ini kita bisa mendapat gambaran tentang Semsar: seorang seniman yang jatuh cinta pada manusia-korban, mereka yang dirampas hak-haknya, diintimidasi, dimanipulasi, ditindas, dihisap, diabaikan, dipinggirkan, didiskriminasi, dan tidak punya akses ke manapun. Keseniannya diabdikan untuk menyatakan empatinya, dan mengajak kita untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu, yang tak jarang berjalan seiring dengan keterlibatannya di dalam LSM. 
Kakinya cedera dihajar petugas keamanan di dalam sebuah demonstrasi melawan kesewenang-wenangan penguasa di masa Orde Baru. Semangatnya bergelora ketika membuat lukisan-lukisan dengan cap dirinya di dalam konteks “kesenian”, sama bergairah dengan ketika membuat poster dan spanduk untuk keperluan aksi massa. Salah satu muaranya adalah lukisan yang menggambarkan buruh perempuan di antara pabrik dan penjara yang kemudian menjadi ikon dari pertemuan perempuan sedunia di Beijing.
Senada dengan hasratnya kepada pemuliaan kemanusiaan, perhatiannya juga tumpah pada masalah-masalah lingkungan alam, kelestarian hayati, keutuhan hutan, dan berbagai hal yang bisa melindungi alam: semua itu akan berujung pada kelangsungan kehidupan. Ia pernah secara khusus berpameran tunggal dengan tajuk “The Eco Seeds Action” (Galeri Cemeti Yogyakarta, 1998). Di sini ia menampakkan kesukaan untuk menggunakan pandangan dari atas, yang menjadi salah satu cirinya. Ia menggambar dengan charcoal dan pensil di atas kertas sepanjang 20 meter dengan metode penceritaan “wayang beber”: kisah biji tumbuhan, bertunas, batang pohon yang sudah rimbun, yang selalu terancam, justru oleh manusia pelahap segala termasuk hutan rimba. 
Sebuah lukisannya, “Olympia, Identitas dengan Ibu dan Anak”, mengikuti jejak karya pelukis Perancis, Eduard Manet (1832-1883), yang berjudul “Olympia”. Manet menggambarkan seorang perempuan telanjang berbaring di ranjang. Tokohnya bukan mahluk terhormat yang terkait dengan mitologi Yunani, bahkan disebut sebagai sosok pelacur kelas atas.
Perempuan Semsar mengenakan kacamata gelap. Dalam lukisan Manet, seorang budak berkulit hitam membawa rangkaian bunga berdiri di sisi ranjang. Semsar mengubah budak tersebut menjadi beberapa orang “abdi dalem”. Kita boleh menebak bahwa perempuan pelacur itu menggambarkan sosok penguasa pemburu kenikmatan dunia, dan para abdi itu mungkin pejabat korup atau kroni. Ia melengkapinya dengan fragment serombongan rakyat jelata yang tampak murka. Fragment tambahan ini membuat kanvasnya berformat lebih melebar ke samping, dua kali dari tingginya (150 X 300 cm) dibanding kanvas Manet yang seluas 130 X 190 cm.
Manet dilabrak dengan tuduhan tak bermoral dan vulgar. Semsar, tentu juga lewat sejumlah karyanya yang lain, digosipkan sebagai kiri baru dan anti kemapanan. Dalam hal ini, ia meminjam roh karya Manet untuk mengungkap protesnya atas keadaan sekeliling: kerusakan tengah melanda masyarakat, dan sumber kerusakan itu berasal dari pusat-pusat kekuasaan. Pada tahun-tahun di mana Orde Baru sedang berjaya, kritik yang cenderung sarkastik seperti ini tentu membuat gerah.
“Olympia” dan sebuah karyanya yang juga keras bertajuk “Transfusi” termasuk di antara beberapa lukisan berwarnanya yang berhasil, kuat ekspresinya, dan padu antara gagasan dan perwujudannya. “Transfusi” yang tampil di dalam warna utama kemerahan menjadi lukisan yang mengancam, menakutkan, dan sangat menyedihkan lewat para buruh yang tak berdaya serta bayi yang tersia-sia. Bayi, harapan masa datang bisa saja tumpas seperti halnya kehidupan –dan untuk itulah lukisan seperti ini dibuat, agar kita tergugah, bangkit, dan melakukan perbaikan.
Namun sesungguhnya hampir semua lukisannya memang selalu menyimpan kecemasan semacam itu, yang lebih gampang dijumpai pada karya-karyanya yang cenderung tunggal nada (monochrom). Para ibu yang mengubur anaknya, warga terhormat yang berfoya-foya di atas penderitaan orang lain, pekerja yang dibelenggu, adalah sebagian dari ungkapan yang sering ia gunakan. Salah satu puncak kegundahan itu barangkali tampil di dalam karyanya yang berjudul “Kedatangan”. Tampak di sana serombongan manusia melintas di atas tumpukan mayat –sebuah versi lain dari kisah “ladang pembantaian” yang tidak hanya mungkin terjadi di Kamboja.
Masih terkait dengan hal itu adalah karyanya yang tampil dengan berbagai media di dalam hajatan Biennale Seni Rupa IX di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tahun 1994. Ia menggunakan Ruang Pameran TIM yang akan diruntuhkan, membuat galian, memajang sejumlah poster di dindingnya yang sudah bobrok. Di malam hari dengan nyala obor akan terasakan keutuhan suasana surealistik: judul karyanya “Penggalian Kembali” menyodok kesadaran kita akan suatu peristiwa di masa lampau di mana sekelompok warga Indonesia disakiti oleh sekelompok lain, dibunuh, atau dipreteli hak sipilnya, didiskriminasi, dicopot martabatnya sebagai manusia. Itulah sebuah pelanggaran hak azasi manusia yang juga tiada ara hebatnya.
Sejumlah karyanya di dalam penampilan tunggal terakhir pada tahun 2004 di Galeri Nasional, Jakarta, mengisyaratkan perkembangan yang berarti. Semangat menggelora yang ia tunjukkan sekitar seperempat abad tampil di pelataran seni rupa tampaknya mengalami transformasi bentuk. Warna-warni pilihannya menjadi lebih kalem, menjadi warna pastel. Kemampuannya untuk mengolah metafor terasa lebih jitu. Karyanya yang sangat penting –kalau tidak boleh disebut sebagai paling penting– pada tahun-tahun terakhir hidupnya tersebut tentu adalah “G-8 Pizza”, yang tepat guna dan berhasil guna sejak dari gagasan, pemilihan bahan, penemuan metafor, ketepatan ungkapan, eksekusi termasuk cara pemasangannya di ruang pamer. Karyanya yang berdiameter 4 meter ini menandai masa perenungannya bertahun-tahun di Kanada (ia menjalani residensi dan kemudian tinggal serta berkarya di sana 1999-2004).
Akar persoalan yang dibidik tetaplah perkara kemanusiaan namun di dalam rentang global, ketidakadilan dan ketersingkiran milyaran manusia oleh sekelompok yang lain. Ia menemukan “pizza” sebagai makanan favorit di berbagai negeri sekaligus menunjuk pada kebudayaan asal dan bermuara pada kedelapan negeri industri kaya. Pizza juga menjadi simbol dari “berbagi kue dunia yang dihuni milyaran manusia”. Karyanya berbahan karton bekas (menunjuk pada rakyat/negeri miskin) dan membuat bentukan model bangunan bersegi-8 dengan delapan iris pizza berbentuk segitiga (menunjuk pada negeri G-8 serta mainan globalnya). Dengan pandangan dari atas, pada setiap iris pizza itu tergambar aktivitas negeri industri yang serba maju dan mendikte milyaran manusia lain di pinggiran.Sejumlah karyanya yang lain menunjukkan kepekaannya akan kemanusiaan tetap terjaga, namun dengan “bahan cerita” yang berbeda, yang mungkin sangat dipengaruhi oleh lingkungan ketika dibuat. 
Meski demikian, isi dan sasarannya tetap senada, sebutlah seperti “Genoa Tragedy” tentang kematian seorang aktivis. Yang mungkin terasa “dekat” dengan kita adalah “The Death of an Ancestor”, menggambarkan tiga orang di hadapan sebatang balok kayu di mana tertera seorang Indian memeluk seorang bayi: perusakan hutan selalu menghancurkan alam dan kebudayaan pendukungnya. 
Perjalanan karya Semsar yang terdidik sebagai pematung di Seni Rupa ITB ini membuatnya pantas mengisi tempat terhormat di dalam percaturan seni rupa kita. Ia tidak hanya berjuang melawan penghancuran martabat manusia sebagai seniman dan aktivis, tetapi juga berjuang untuk menerobos batas-batas keseniannya sendiri. 
***
*Efix Mulyadi adalah wartawan, pengelola Bentara Budaya
SEMSAR SIAHAANLahir di Medan 11 Juni 1952, wafat di Tabanan, Bali Februari 2005
PENGALAMAN PRIBADI
– Belajar melukis sejak usia 9 tahun setelah ibu membawaku pada uji test bakat
– 1965-1968, berada di Beograd – Yugoslavia (ayahku bertugas disana sebagai atase Militer). Pertama kali mendapat bimbingan melukis di sekolah SD Franse Freshern oleh  seorang guru seni lukis di Beograd
– Giat sendiri melukis sampai duduk di kelas tiga SMA PSKD I dan ikut serta dalam pameran senilukis se-Indonesia 1973 untuk menyambut PON dengan panitia pelukis Zaini di galeri lama TIM. Jakarta. Tahun – 1975 belajar seni lukis di San Fransisco Art Institute (SFAI) San Fransisco – USA, dibawah bimbingan pelukis Amerika Bruce Mc Gaw dan Ursula Schneider. Satu angkatan dengan seniman-seniman muda, Jeffeey Foter Mann, Brian Gahagan, Andrew Petit, Delia Miripolsky, George Crampton, Hellen Nichols & Levi Rachael
– Pada tahun 1977 belajar seni patung di Dept. Seni Rupa ITB di bawah bimbinga para pematung, G. Sidharta, Rita Widagdo, Sunaryo dan Surya Pernawa.
– Pada tahun 1979 menggabungkan diri dalam pameran :
– Pameran 4 studio patung di TIM, Jakarta
– Pameran Seniman Muda Indonesia di TIM jakara dengan karya “Oleh-oleh dari Desa I”
– Menampilkan karya Penampilan tunggal (Performance Art) dengan Tema “Eksperimen Patung Hidup”, dengan media Lumpur tanah liat dan tubuh sendiri, pada bulan Juni di halaman tengah Dept. Seni Rupa ITB, Bandung
– Pameran terakhir Seni Rupa Baru Indonesia, atas ajakan saudara Jim Supangkat untuk memamerkan foto-foto dan benda-benda dari “Elsperimen Patung Hidup” dengan alas an akan dipentaskan di “Metaekologi” oleh Sardono WK dengan media yang sama (??)
– Tahun 1981, peragaan tunggal “Happening Art” di Seni Rupa ITB, dengan tema “Oleh-oleh dari Desa II”. Sebuah kritik terhadap Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Kemudian setelah pembentukan aksi bersama yang terkenal dengan “Solidaritas Seni Murni”  turun surat skorsing untukku, yang berlaku selama 2 tahun sejak 1982
– Tahun 1983, setelah mengajukan permohonan untuk pameran tunggal di IKJ – TIM, kemudian menyerahkan foto-foto karya ternyata permohonan ditolak
– 1983, menetap di Amsterdam (Belanda) selama enam bulan, berkenalan dan berkarya dengan seniman muda Belanda
– Sekembalinya di tanah air, pada tahun 1984 menggabungkan diri dalam pameran pelukis Jakarta di TIM, Jakarta
– Tahun 1986, menggabungkan diri pada pameran trienalle Jakarta I – Pameran Kompetisi Seni Patung Kontemporer Indonesia – TIM, Jakarta
– 1994, Biennale Jakarta IX.Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
– 1995, Modernity and Beyond. Singapore Art Museum.
– 1996, Asia Pacific Triennale, Queensland Art Gallery, Brisbane Australia.
– 1997, Glimpse Into The Future: Some Aspects of Contemporary Southeast Asian Art. Tokyo Museum of Contemporary Art and Hiroshima City Museum of Contemporary Art.
– 1998, The Eco Seeds Action. Cemeti galeri, Jogjakarta.
– 1999, Black Orchid. Maltwood Gallery, Victoria – Canada
– 2004, “The Shade of Northern Lights”. Nasional Galeri Indonesia. Jakarta.
Sumber: Cemara6Galeri