HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 17 Desember 2008

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan

Rabu, 17 Desember 2008




Peristiwa itu masih terbayang di benaknya. Suatu siang yang tak begitu cerah, 25 Desember 1965 yang lalu, saat itu dia masih menjadi siswa kelas tiga Sekolah Teknik Negeri (STN) Pandeglang, berencana pulang kampung karena sekolah libur panjang.

Setelah pakaian, buku dimasukan ke dalam tas, sebelum mencegat kendaraan laki-laki yang saat itu masih malu-malu bertemu dengan lawan jenis itu pun bergegas terlebih dahulu ke kantor Komando Distrik Militer (Kodim) Pandeglang, untuk minta izin pulang.

Dia memang harus lapor karena sejak peristiwa 30 September meletus di Jakarta, dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang harus wajib lapor dengan perkara, laki-laki yang baru menginjak umur 16 tahun itu, tercatat sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

Apa yang terjadi, ternyata di kantor Kodim, bukannya surat izin didapat, dia ditangkap, tanpa proses pengadilan, langsung dijebloskan ke dalam penjara, selama 14 tahun, dari tahun 1965-1979.

Anggota IPPI dituduh bagian dari PKI memang berdasar pada keputusan Letnan Jenderal Soeharto "atasnama Presiden" yang menganggap IPPI masuk ke dalam 26 organisasi bersama PKI karena dianggap "seasas/berlindung/bernaung di bawah PKI" yang berarti ikut terlibat G-30-S/PKI istilah Orba. Walau pernyataan itu banyak dibantah oleh mantan aktivis IPPI. (Lihat Renungan Mantan Pelajar Terpidana Oleh HD. Haryo Sasongko; www.Apa kabar.ws)

Suatu hari, di bulan Desember 2009, saya bertemu dengan laki-laki yang kini dikenal sebagai seniman lukis itu, di sebuah café di Pandeglang, Banten. Kulitnya, tampak mulai keriput, tapi sorot mata, nada suara, dan gerak tangan ketika menjelaskan, tampak sangat menggebu-gebu.

Laki-laki kelahiran Pandeglang tahun 1949 itu, berencana akan berpameran dengan tema Rakyat Tak Berkata, bersama dengan Wiro Kadirah, dan Ki Suhardi, Maret mendatang di Jakarta, sebuah pameran yang penuh dengan nuansa kritik setidaknya menurut pengakuannya, tentang gambaran pemimpin termasuk wakil rakyat yang banyak berkata-kata, janji-janji tapi seringkali kurang ada artinya, sementara rakyat tanpa banyak kata-kata terus bekerja. Momentum yang teras pas menjelang pemilu.

Bukan hanya bercerita perihal rencana pemeran kami juga banyak berbincang tentang perjalanan hidup sampai kisah cintanya, berjam-jam, sampai hujan yang turun ditengah-tengah pembicaraan kami pun berhenti.

Saat berbincang, ketika saya ajak kembali berbicara masa lalunya tentang proses penangkapan dan pemenjaraan dirinya, Sasmita yang sekarang namanya lebih dikenal dengan Gebar Sasmita dan sering dipanggil Gebar itu, mengaku menjadi anggota IPPI hanya ikut-ikutan, sebagai ajang pergaulan semata sebagai pelajar, dan dia pun mengatakan tidak mempunyai jabatan apa-apa dalam organisasi itu, kecuali sebagai anggota.

"Hanya sebagai anggota biasa," kata dia.

Gebar mengaku mengetahui tentang PKI setelah dirinya banyak berbicara dengan tokoh, anggota atau orang yang senasib dengan dirinya dituduh PKI saat dipenjara.

"Saya baru tahu, karena di penjara saya bertemu dengan sejumlah tokoh PKI dan orang yang dituduh PKI seperti saya," kata dia.

Tapi, gara-gara di-PKI-kan oleh rezim Soeharto, Gebar harus mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Pandeglang, dari tahun 65-66, sempat dua bulan di Rutan Serang sebelum dipindah ke rutan Kebonwaru, Bandung dari tahun 1963-1973. Kemudian mendekam di Nusakambangan, sampai tahun 1979.

Di Penjara Gebar bukan hanya merasakan siksaan kurungan yang merampas kebebasannya begitu panjang, tapi juga tamparan dan tendangan dia terima. Sempat juga tidak diberi makan selama dua tahun 1967-1967.

Selama tidak diberi makan, Gebar mengaku, makan apa saja untuk bertahan hidup, bonggol pisang, daun-daunan, tikus, sampai tanah pun dijadikan bubur.

"Tanah itu kami buat bubur," kata dia.

Gebar dibebaskan tahun 1979, seiring dengan pembebasan yang juga diterima para tahanan politik lain, tidak bisa dilepaskan dari tekanan internasional pada pemerintah Indonesia terutama amnesti internasional, untuk membebaskan para tahanan politik.

"Kalau tidak ada desakan dari luar, saya tidak tahu kapan saya keluar," kata dia.

Amnesti internasional didirikan tahun 1961 oleh seorang pengacara Inggris bernama Peter Benenson, giat mengkampanyekan prisoner of conscience, untuk memastikan keadilan dan mengadakan persidangan untuk tawanan politik.

Waktu mau keluar, Gebar mengaku sempat ditanya oleh salah seorang petugas penjara, bagaimana perasaannya menjalani 'kurungan' selama 14 tahun, Gebar pun merasa mendapat kesempatan untuk mengeluarkan perasaannya, dan dia mengatakan, merasa hidupnya disia-siakan oleh pemerintah, yang seharusnya melindungi dan memberi kebebasan pada warga negaranya dengan adil.

"Seandainya, saya tidak dipenjara mungkin lebih banyak yang saya berikan untuk bangsa ini," kata dia.

Bagi Gebar tuduhan bahwa dirinya terlibat PKI bukan hanya harus mendekam di penjara, selepas mengirup udara bebas pun, stigma sebagai 'orang PKI' terus menguntit, bukan hanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tertera cap khusus. Pemikiran masyarakat yang sering kali mencap segala sesuatu yang tidak baik dilakukan oleh PKI pun sering membuat Gebar terbebani.

Sebagai contoh masyarakat sering menuduh segala perbuatan yang tidak baik, dari pencurian, pelecehan seksual adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh PKI. Sementara yang masyarakat ketahui, Gebar adalah orang yang ditahan karena dianggap PKI, dan pemerintah tidak pernah mengeluarkan sebuah ralat, bahwa Gebar bukan PKI.

"Kita yang dituduh terlibat PKI pun seringkali merasa tertuduh, karena masyarakat mengetahui kita dipenjara gara-gara terlibat PKI," kata dia.

Belajar Melukis

Gebar lahir dan besar di Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Banten. Orangtua Gebar bernama Amat-Sapidoh. Amat berasal dari Sukabumi sementara Sapidoh asli Citeureup, orangtuanya menurut Gebar mempunyai toko kelontong sekaligus petani.

"Orangtua saya meninggal, waktu saya di penjara," kata Gebar.

Waktu kecil Gebar yang anak bungsu dari tiba bersaudara itu, bercita-cita menjadi insinyur. Selepas Sekolah Dasar di Citeureup, Gebar pun melanjutkan pendidikan di STN Pandeglang. Jalur pendidikan telah diretas untuk menjadi insinyur.

Sekedar informasi, jarak antara Citeureup dan Pandeglang lebih dari 100 KM, lebih-lebih pada saat itu kendaraan masih jarang, jalanan pun tidak semulus sekarang, Gebar pun indekos di Pandeglang.

"Mungkin kalau tidak ditangkap, saya sudah menjadi insinyur," kata dia.

Sementara itu, terkait dengan dunia lukis, suami Dini Mardini itu mengaku sudah menyukai dunia lukis sejak kecil.

"Waktu itu, lukisannya masih gunung, orang, sungai dan apa yang saya lihat," kata dia.

Penjara tidak membuat hasrat Gebar untuk terus melukis surut, dia terus belajar melukis. Tahun 1969-1973 saat di Kebonwaru, dia berkesempatan belajar pada maestro seni lukis Indonesia , Hendra Gunawan (1918-1983). Hendra dipenjara antara tahun 1965-1978, karena tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra.

"Dia sangat fair, dan menerima saya sebagai murid," kata Sasmita, yang menganggap Hendra adalah gurunya.

Saat di penjara Sasmita mengaku mendapat kiriman bahan-bahan untuk melukis seperti cat dari orangtua dan saudara-saudaranya. Pada saat di PN Nusakambangan, dia harus bisa 'bermain-main' dengan petugas, karena melukis salah satu kegiatan yang dilarang.

"Biasanya, saya melukis di hutan, sembunyi-sembunyi," kata dia.

Saat keluar dari penjara, Gebar memutuskan menetap di Pandeglang. Tahun 1980-1990, laki-laki yang kini telah menjadi ayah satu anak itu, rela pindah dari satu kamar kontrakan ke kamar kontrakan yang lain.

Tahun 1990-an, dari hasil penjualan lukisannya, Sasmita berhasil membeli sebidang tanah, tapi dia tidak punya uang untuk membuat tempat tinggal, dan beruntung diatas sebidang tanah itu, ada bekas kandang ayam, luasnya 3x3 meter.

"Kalau ayamnya sudah ngga ada memang, sementara kotorannya saya bersihkan," kata dia.

Gebar mengaku tinggal di 'kandang Ayam' sampai tahun 1999, banyak suka duka menyertainya, dari tempat tinggalnya runtuh karena dihempaskan angin dan badai beruntung hanya setengahnya dan tidak menimpa dirinya yang sedang tidur, kehujanan, sampai seminggu tidak bisa makan, karena tidak punya uang.

"Ternyata, saya masih hidup walau seminggu tidak makan," kata dia, sambil terkekeh.

Gebar mengaku, kehidupannya mulai membaik setelah tahun 1999, setelah beberapa pameran dia ikuti terutama di Jakarta , beberapa kolektor sering datang meminta karyanya.

"Ya, walau belum mapan, tapi setidaknya saya punya tempat berteduh," kata dia.

Bagi Gebar lukisan bukan sekedar keindahan, tapi ada sebuah makna untuk mengungkap sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat.

"Keindahan yang kita bikin, nyaris tidak berfungsi bila kebohongan, ketidakjujuran, kemelaratan, masih terjadi di sekitar kita," kata dia.

Lukisan-lukisan Gebar, bukan hanya mencerimkan keindahan gambar, tapi juga syarat dengan nilai kritik. Satu contoh lukisan Gebar tentang seorang veteran perang dengan kaki buntung, mimik muka sedih, dibelakangnya, penggusuran tengah terjadi, dengan bendera setengah tiang, lusuh seperti enggan berkibar di masing-masing rumah yang akan digusur. Seakan ingin menunjukan sekali lagi bahwa penggusuran itu adalah ketidakadilan, Gebar pun menuliskan, akan dibangun mall prestisius.

Veteran perang itu menurut Gebar bukan menyesali pengorbannya, tapi meratapi mengapa kondisi seperti jaman kolonialisme, masih saja dipraktekan. Penggusuran memang boleh-boleh saja, pembangunan juga harus didukung, tapi penggusuran tanpa solusi dan kehidupan yang lebih baik, adalah sebuah ketidakadilan.

"Penjajah juga membangun, tapi meminggirkan hak-hak pribumi yang lain," kata Gebar.

Gebar kini tinggal di Ciekek, Pandeglang. Mengelola komunitas pelukis bunga rumput, mendirikan sanggar Gebar. Melukis sambil menyebarkan virus, bahwa menjadi pelukis bukan perkara menggores keindahan, tapi ada sebuah sikap pembelaan pada rakyat yang seringkali menerima perlakuan tidak adil.

Sumber: GinanjarHambali 

Minggu, 30 November 2008

Orang-orang Lekra Itu Cendekiawan Organik yang Dihilangkan Paksa dalam Gerakan Intelektual Indonesia

Citayam, 30 November 2008

Wawancara Asep Sambodja dengan penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.

Apa yang melatarbelakangi Muhidin dan Rhoma melakukan penelitian dan kemudian menyusun buku Lekra Tak Membakar Buku?
“Lekra tak Membakar Buku” kami susun setelah melalui riset panjang tentang pers-pers yang hadir di Indonesia dari tahun 1908-2007. Dari riset ini kami temukan banyak hal yang unik dan menarik dari koran-koran Indonesia itu. Salah satunya kami bertemu dengan begitu banyak koran-koran kiri yang tumbuh dan tumbang dari masa ke masa. Salah satu koran yang kemudian cukup akrab dengan kami adalah Harian Rakjat. Koran milik Partai Komunis Indonesia ini cukup menarik dan unik dengan menyuguhkan banyak hal tentang budaya dan sastra, puisi/cerpen setiap terbitannya, film, senirakyat dan kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) difasilitasi dengan sangat mewah oleh Harian Rakyat. Keunikan inilah yang kemudian menarik-narik kami untuk meriset lembar budaya yang dimiliki Harian Rakjat.


Berapa lama Anda melakukan penelitian dan menyusun buku itu?
Ini sebetulnya buku sampingan. Karena secara bersamaan kami mengerjakan banyak sekali program penulisan/riset sejarah secara kolektif. Jadi selama 1 tahun kami melakukan riset Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Tanah Air Bahasa: Seratus Tokoh Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008 (berisi catatan tentang peristiwa hari ke hari yang tebalnya 1,7 meter), Almanak Abad Partai Indonesia, DIA.RI Partai Politik: Seratus Jalan Parlementer, dan Seabad Pers Perempuan 1908-2008. Selingan dari semua riset itu adalah trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, dan Laporan dari Bawah. Kalau dikalkulasi dalam hitungan matematis dari proses pencarian data, penulisan, edit dan cetak kira-kira memakan waktu 3,5 bulan (April-Agustus 2008).


Bisa diceritakan suka dukanya?
Proses penulisannya barangkali cukup unik. Muhidin awalnya sejak 3 tahun lalu berangan-angan ingin menulis tentang pembakaran buku Lekra yang ia ragukan bagaimana Lekra dan terutama sekali Pram yang berpikir sangat didaktik ihwal buku bisa melakukan pembakaran buku secara terbuka dan penuh sorak. Salah satu esainya DIBALIK BUKU Jawa Pos (“Lekra Membakar Buku?”) untuk memperingati 58 Tahun Lekra, ditanggapi dengan serius Taufiq Ismail yang menegaskan bahwa kabar Lekra membakari buku bukan soal remang-remang lagi, tapi terang-benderang, walau tak pernah bisa membuktikan seperti apa posisi Lekra dalam kobaran api itu. Tiga tahun berselang, bertemulah Muhidin dengan Rhoma Aria dalam tim Seabad Pers Indonesia yang memang Rhoma Aria bertugas mereview biografi koran-koran kiri/komunis yang terpilih dalam tabulasi riset. Termasuk Harian Rakjat. Nah dari diskusi yang ndak serius entah siapa yang mengawali keduanya kemudian bersepakat menulis tentang lembar kebudayaan Harian Rakjat dan Pembakaran Buku. Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah dan gampang untuk meriset koran-koran kiri. Kami mesti izin sana sini dan waktu yang diberikan cukup sempit, korannya pun dalam kondisi tak tertata dan dimakan rayap, bahkan dihiasi kotoran tikus yang aduhai baunya. Dalam waktu 3 hari (kira-kira waktu yang diberikan sebelum koran itu diangkut dan dipindah entah ke mana) kami bisa mengakses Harian Rakjat. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Pada hari ke-2 Muhidin tumbang di bawah kutukan cacar air. Karena korannya ndak lengkap kami harus mengumpulkan dari berbagai tempat dan lokasi. Setelah diverikasi barulah kami menulis. Proses inilah yang memakan energi cukup besar kurang lebih 18 jam setiap hari kami harus menulis, maklum karena buku ini ditulis oleh dua otak maka wajarlah ada sedikit-sedikit bumbu beda pendapat. Karena buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya kami lakukan sendiri. Karena anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan sebungkus rokok.

Kenapa Anda tertarik meneliti Harian Rakjat?
Sebetulnya kami tertarik dengan banyak media bukan hanya Harian Rakjat saja. Alasan utama sebetulnya pada posisi Harian Rakjat. Ia adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga sangat getol menyiarkan nyaris seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini hampir saja “dikutuk” menjadi koran budaya. Setelah menyigi dan membandingkan dengan koran Bintang Timur milik Partai Rakjat Nasional, Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.


Bagaimana dengan surat kabar atau majalah yang berafiliasi dengan PKI lainnya?
Banyak kok SK yang berbau kiri Selompret Masjarakat, Bintang Timur, Nyala, Mowo dsb. Bintang Timur sendiri, misalnya, sewaktu Kongres Lekra I, tak banyak tuh berita Lekra. Baru intensif kemudian pada Oktober 1962 sewaktu Pram masuk dalam barisan dan memunculkan lembar budaya Lentera.

Kenapa Anda memberi judul buku Lekra Tak Membakar Buku?
Mungkin ini soal minat. Kami berdua aktif di Indonesia Buku yang ideologinya adalah memang buku. Hahahaahahaha. Lagipula bab Pembakaran Buku inilah yang ditulis pertama kali. Bagian ini semacam lokomotif yang menarik bab-bab lainnya yang berturut-turut ditulis: seni musik, film, seni rupa, sastra, seni pertunjukan, mukadimah, seni tari, dan khotimah. Kalau bukan karena bab ini, barangkali tak ada buku ini. Jadi untuk memberi “penghormatan”, maka majulah bab ini menjadi judul buku yang diikuti judul kecilnya: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat.

Apakah itu tidak terlalu provokatif?
Masalah judul buku yang dipikirkan waktu itu adalah buat semenarik mungkin, dan buat orang ingin tahu isinya. Ndak ada niatan provokasi sama sekali.

Kenapa tidak menggunakan judul lain? Misalnya, Lekra dan Warga Sastra Dunia yang kesannya lebih netral?
Subbab “Warga Sastra Dunia” pun ditulis paling belakangan sebagai tambahan ketika melihat peran serta Lekra dalam Konferensi Sastrwan Asia-Afrika dalam dua kali event. Dan kali ketiga sebagai tamu pertemuan eksekutif KSAA di Bali. Dan soal netral, Lekra tak mengenal kata netral. Yang dia kenal adalah Politik adalah Panglima.

Apa reaksi Anda setelah mengetahui Gramedia tidak bersedia mendistribusikan atau menjual buku Anda?
Kaget saja sih. Tapi sudah terlatih ditolak (buku Muhidin M Dahlan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur selama 2 tahun ditolak oleh Gramedia setelah muncul reaksi negatif dari sebagian kalangan organ Muslim. Tapi setelah reda mereka baru terima lagi). Ya, anggap saja, Gramedia kan juragan buku. Di mana-mana saudagar buku tak mau usahanya digropyok oleh masayarakat lantaran benturan ideologi. Dari dulu.

Alasan apa yang membuat Gramedia melakukan hal itu?
Menurut distributor kami, Gramedia menolak karena ada “logo palu arit” dan alasan kedua SARA seperti yang tertera dalam surat perjanjian baku Gramedia dan suplier. Di mana ada unsur SARA-nya kami juga nggak tahu.


Kenapa Anda tidak bersedia mengganti gambar palu arit?
Kami sudah menutupi “palu-arit”nya dengan kertas yang dilakban. Jadi inilah edisi “Palu Arit yang Diperban”. Jelek sekali cover itu sekarang. Tapi paling tidak sebagai dokumentasi sejarah (buku), bahwa ada sebuah buku yang sampulnya babak-belur dipukuli saudagar buku….. hahahahah.


Pelajaran apa yang Anda dapati dari peristiwa ini?
Di mana-mana bahwa saudagar tetaplah saudagar. Walau pun itu saudagar buku. Jangan harap ada pemihakan ideologis. Ia akan membela sebuah kaum jika kaum itu bisa membikinnya kaya raya. Jika tidak, ya memang begitu watak saudagar.

Apa yang bisa dibanggakan dari sastrawan-sastrawan Lekra?
Orang-orang Lekra ini mewariskan kepada kita bagaimana harus berorganisasi yang kukuh. Semuanya dijalankan dengan mesin organisasi. Acuannya tentu saja bahwa dengan bersekutu dalam organisasi kita lebih kuat. Apalagi ancaman untuk situasi masa itu memang terang-benderang. Amerika menginvasi di mana-mana, termasuk Vietnam. Beberapa petinggi negara Asia-Afrika terbunuh di depan mata PBB seperti yang dialami Patricia Lumumba (Konggo). Hal lain adalah, jalan yang ditempuh oleh Lekra bukan jalan para pemabuk, orang-orang salon yang berjalan dan berkeliaran dalam masyarakat dengan langkah gontai nggak keruan. Garis kerja mereka ketat dan diputuskan lewat sebuah aturan main yang juga sangat ketat: konggres, konferensi nasional, pleno. Seluruh perkembangan kerja kolektif dievaluasi dalam pertemuan-pertemuan itu. Garis strategi ideologi kebudayaannya pun dirumuskan dengan jelas yang kemudian terangkum dalam kode: 1-5-1. Termasuk metode kerja seluruh bidang budaya yang digeluti yang kemudian menginsipirasi banyak insitusi sesudahnya untuk menirunya: Turba (turun ke bawah). Ada program Kuliah Kerja Njata, ABRI Masuk Desa…. Dan sebagainya. Bahkan di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) ada istilah Turba untuk menggambarkan pengurus besarnya mengunjungi pengurus-pengurus wilayah.

Barangkali orang-orang Lekra inilah potret nyata cendekiawan organik yang dihilangkan paksa dalam raut gerakan intelektual Indonesia.

Begitu saja dulu. Terimakasih.
Citayam, 30 November 2008

Kamis, 27 November 2008

Adam Malik dan Buku CIA

27 Nov 2008, 00:22 WIB

Jakarta: Meski hanya enam halaman, apa yang ditulis Tim Weiner dalam bukunya berjudul Membongkar Kegagalan CIA menggegerkan. Dalam buku tersebut wartawan senior The New York Times ini menyebut mantan Wakil Presiden Indonesia Adam Malik sebagai agen intelijen Amerika Serikat, CIA.
"Stasiun CIA di Jakarta memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam Malik, mantan Marxis berusia 48 tahun". 

"Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik. Ia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut". 
Demikian pernyataan perwira CIA Clyde Mc Avoy dalam wawancara dengan Weiner pada 2005 yang ditulis di buku itu. Weiner juga mengutip dokumen CIA yang menyebut Adam Malik pernah menerima uang senilai US$ 100 atau sekitar Rp 50 juta pada saat itu guna memberantas Gerakan September 30 atau Gestapu.

Tudingan itu membuat keluarga Adam Malik terkejut. 

"Itu suatu hal yang tidak mungkin, mustahil. Itu suat kebohongan yang amat luar biasa," kata Otto Malik, putra sulung almarhum Adam Malik. 
Kendati demikian, keluarga Adam Malik menyerahkan masalah ini ke pemerintah. 

"Tapi kalau pemerintahnya tak peduli, banyak sekali dari keluarga, teman-teman, maupun pengacara siap tampil," ucap Otto.
Menurut Asvi Warman Adham, sejarawan LIPI, dari segi pembuktian sejarah, kesaksian tunggal dan tak adanya bukti dokumen tertulis belum bisa menyatakan Adam Malik adalah agen CIA. 

"Hanya pengakuan seorang saja...dan orang itu sudah meninggal," kata Asvi. "Kecuali kalau Weiner punya dokumen yang lain...dokumen CIA atau Departemen Luar Negeri AS yang menunjukkan indikasi ada percakapan telepon atau surat penugasan, misalnya".
Benarkan Adam Malik adalah agen CIA? Cosmas Batubara, aktivis mahasiswa angkatan 66, Penyair Angkatan 66 Taufik Ismail, dan mantan menteri era 19-60 Mohamad Achadi ikut angkat bicara dalam dialog Adam Malik dan Buku CIA. Saksikan selengkapnya dalam tayangan video Barometer edisi 26 November 2008. Selamat menyaksikan.(BOG)

Sumber: Liputan6 

Rabu, 26 November 2008

Baik-Buruk Wajah Lekra


Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965), tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika).
Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi karena hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an.
Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya. Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional : Lekra vs Manikebu.
Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?. Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu bukupun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.
Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!
Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya. Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI. Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat , namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi. Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut. Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.
Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa: “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61).
“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi..(hal 63)
Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR . “..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak “pemerahan total“ Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)
Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.
Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku. Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat. Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal (wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.
Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuhkembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner. Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.
Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan. Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra). Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.
Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan. Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan. Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.
Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung. Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku” (hal 476)
Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.
Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya. Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.
Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, . “Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).
Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia. Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan. Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca. Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.
Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.
Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.
Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya. Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.
Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang. “Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra.”, demikian imbuhnya.
Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca. Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.
Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia. Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik. Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.
Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan. Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.
Cover yang Dipermasalahkan
Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI. Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.
Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh. Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.
Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.
Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi. Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

@h_tanzil

Pramoedya: Omong Kosong Saja Rekonsiliasi




14 MARET 2000. Di halaman Istana Merdeka pagi itu, saat Gus Dur menyampaikan permintaan maaf kepada orang-orang yang menjadi korban dalam pembantaian massal menyusul peristiwa G30S. Gus Dur juga mengatakan siap membuka kembali kasus itu.
“Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai 
komunis,” kata Gus Dur dalam dialog interaktif bertajuk Secangkir Kopi yang disiarkan TVRI.
***
Saya menemukan wawancara Pramoedya Ananta Toer dengan Majalah Forum Keadilan di bulan Maret 2000 itu dari link ini. Dalam wawancara itu Pram yang pernah mendekam di penjara Orde Baru Soeharto mengomentari pernyataan Gus Dur tersebut. Selamat membaca.
“Omong Kosong Saja Rekonsiliasi”
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Forum Keadilan, 26 Maret 2000
Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang saksi korban peristiwa G30S. Tanpa melalui proses peradilan, pada 1965, ia ditahan dan kemudian dibuang ke Pulau Buru. Laki-laki kelahiran Blora, 75 tahun silam itu, dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), partai yang disebut mendalangi pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat. Praktis, tak kurang dari 14 tahun, Pramoedya tak mengenal kehidupan lain selain Pulau Buru.
Kini, penghasil sejumlah roman masyhur itu–antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan Arus Balik–telah menghirup udara bebas. Pram–demikian ia biasa disapa–ingin menghabiskan sisa umurnya dengan bertani. Ia memang memiliki sebidang tanah pertanian di daerah Bojonggede, Bogor. Kamis pekan lalu, di rumahnya, ia diwawancarai Yus Ariyanto dan Andrianto Soekarnen dari FORUM seputar pengungkapan kembali masalah G30S dan rekonsiliasi yang dilontarkan Gus Dur.
Gus Dur tak berkeberatan masalah G30S dibuka lagi. Secara pribadi ia juga sudah minta maaf kepada korban peristiwa G30S. Apa pendapat Anda?
Memang, masalah itu harus diselesaikan secara hukum. Gus Dur sendiri sowan kepada Soeharto. Itu mengecewakan. Rekonsiliasi bagaimana yang diinginkan? Kok, sepertinya gampang amat. Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa. Omong kosong saja rekonsiliasi. Lihat saja, pelarangan buku-buku saya. Itu saja mereka tidak mampu membatalkan. Belum lagi naskah-naskah yang dirampas dari saya. Kapan dikembalikan? Naskah saya ada delapan yang dibakar Angkatan Darat. Memangnya negara bisa membuat naskah saya? Lantas, menaruh konsep rekonsiliasi dalam bentuk salaman begitu saja. Gampang amat!
Menurut Anda, langkah apa yag harus ditempuh?
Dirikan hukum! Semua mesti lewat hukum. Kita lihat buktinya saja. Soeharto tidak mau bertanggung jawab. Ia senyam-senyum saja. Padahal, orang-orang dibunuhi. Saya sudah bosan mendengar semua itu. Yang ada hanya ngomong.
Bagaimana jika pemerintah memberi ganti rugi kepada korban-korban peristiwa G30S?
Mana mungkin punya uang untuk mengganti? Minyak saja mau ditarik subsidinya. Padahal, minyak itu kan cukup menggali di tanah air sendiri. Lebih baik yang realistis sedikit saja. Mereka tidak akan mampu mengganti satu saja naskah saya yang dihancurkan.
Beberapa waktu lalu Anda bertemu Gus Dur. Apakah masalah itu sempat dibicarakan?
Ya, dibicarakan. Ia bilang tulis saja daftarnya. Berikan kepada protokol. Dalam hati, saya yang tidak percaya. Saya tidak percaya kepada semua elite politik Indonesia. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas kejadian sekarang.
Jadi, terhadap Gus Dur sendiri Anda tidak percaya?
Tidak percaya.
Alasannya?
Mereka ikut bertanggung jawab atas keadaan seperti itu, atas pembunuhan-pembunuhan itu, dan atas berdirinya Orde Baru.
Gus Dur kan sudah minta maaf….
Gampang amat! Seumur hidupnya, orang merasakan penderitaan. Terus, yang sudah mati bagaimana? Ia kemudian malah sowan kepada Soeharto.
Belakangan ini dibentuk berbagai macam KPP HAM. Apakah Anda masih pesimistis melihat perkembangan itu?
Saya tahu itu. Tapi, kalau hanya sejauh ngomong, ya bisa saja. Yang saya inginkan adalah kenyataan, bukan omongan. Bagaimana bisa percaya kalau saya baca koran isinya menteri yang satu saling tuding dengan menteri yang lain soal siapa yang korupsi. Lalu, terdakwa kasus korupsi besar malah lolos. Itu yang saya baca. Bagaimana saya bisa percaya hukum?
Kembali ke soal pembantaian massal pada 1965-1966, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap semua pembantaian itu?
Pertama kali adalah Soeharto. Kenapa Soeharto? Karena ia sama sekali tidak pernah bicara soal itu dan ia bisa menjadi orang nomor satu akibat pembantaian itu. Yang dibantai waktu itu adalah pendukung Soekarno. Dengan pembantaian itu Soekarno kehilangan kekuatan.
Jadi, yang dibantai itu bukan pengikut PKI?
Banyak orang PNI dan NU yang ikut dibunuhi. Yang dibunuhi itu para pendukung Soekarno. Yang lolos ya jadi tahanan.
Ada yang bilang, saat itu banyak pendukung Soekarno atau orang PKI yang membunuhi orang NU. Versi mana yang benar?
Itu omongan mereka saja. Mereka itu bisanya menuduh dulu. Yang dibunuh itu dibilang karena memberontak. Seperti yang saya alami sendiri. Saya dituduh membakar perpustakaan orang. Sebabnya apa? Sebabnya adalah perpustakaan saya yang dibakar. Cara mereka seperti itu: menuduh. Saya tahu itu lantaran pernah mengalami sendiri.
Ada yang menyebut Banser NU hanya pelaksana. Menurut Anda, mereka juga pantas dikenai tuntutan hukum?
Apa kalau melaksanakan pembunuhan tidak perlu dituntut? Kan, aneh. Perintah dari mana datangnya, itu tidak soal, tapi yang melaksanakan! Siapa yang mau ditahan selama 14 tahun seperti saya. Sewaktu dibebaskan, saya mendapat surat berdasarkan hukum tidak terbukti terlibat G30S. Itu setelah 14 tahun, ketika saya sudah dipukuli dan dirampas segala milik saya. Anak dan istri saya menanggung selama itu. Sewaktu saya ditangkap, anak saya yang termuda berumur dua bulan. Saya pulang dari Pulau Buru, ia sudah lulus SD [Pram tertawa kecut]. Mereka melalui masa itu dengan sangat berat. Mereka dihina, diejek, bahkan diludahi karena anak tapol. Bagaimana mengganti kerugiannya?
Tahun 60-an, katanya, hubungan orang-orang NU, PNI, dan PKI cukup akrab karena tergabung dalam Nasakom…
Indonesia belum bisa mengalami kehidupan yang demokratis. Orang belum bisa bersaing secara terbuka. Itu masalahnya. Kalau kalah bersaing, lalu membunuh.
Apa benar waktu itu orang-orang yang tidak setuju dengan ide revolusi disingkirkan?
Iya. Saya setuju karena kita sedang menghadapi Barat. Soekarno itu lolos dari tujuh kali usaha pembunuhan. Jangan lupa itu. Tahun 1963 saja, Inggris melanggar wilayah kita lebih dari 100 kali.
Disingkirkan itu konkretnya bagaimana?
Ya dibebaskan dari tugas-tugas. Saya membenarkan hal itu karena waktu itu Indonesia menghadapi bahaya dalam perang dingin. Harus diambil aturan-aturan yang tidak normal atau darurat.
Apa dalam penyingkiran itu tidak ada pelanggaran HAM?
Kalaupun pelanggaran HAM itu terjadi, tidak seperti sekarang. Sewaktu Mochtar Lubis ditahan, ada kebebasan bergerak. Ia mendapatkan makanan yang lebih baik dibandingkan di zaman Orde Baru. Sewaktu di Pulau Buru, untuk makan saja saya harus cari sendiri. Saya diharuskan kerja paksa. Kalau sakit, obat-obatan harus beli sendiri. Di masa Orde Lama kalau tahanan sakit, ia dirawat.
Bukankah pada zaman Soekarno banyak terjadi pelanggaran HAM oleh negara?
Bukan oleh negara. Saya sendiri diculik oleh Angkatan Darat pada 1960.
Angkatan Darat tidak bisa digolongkan dalam kelompok negara?
Angkatan Darat itu negara dalam negara. Negara kita negara maritim, tapi diduduki oleh Angkatan Darat. Itu sudah sering saya katakan.
Oh, ya, tadi Anda bilang yang pertama bertanggung jawab soal pembantaian pada 1965-1966 adalah Soeharto. Setelah itu siapa lagi?
Banyak. Seluruh [komponen] Orde Baru. Setidaknya, walaupun tahu, mereka mendiamkan saja apa yang terjadi. Waktu itu, sampai bayi-bayi dibunuh dan kepala-kepala diarak.
Jadi, yang terjadi ketika itu apa? Suasana chaos yang diciptakan Soeharto, atau apa?
Itu konspirasi internasional karena modal asing mau masuk. Soekarno kan menolak modal asing. Karena itu, ia mesti dijatuhkan. Persoalan intinya itu.
Konspirasi itu tidak mempersoalkan jatuhnya korban jutaan nyawa?
Ya. Kan banyak dokumennya, seperti yang dari CIA dan segala macam itu. Itu bisa dipelajari sendiri.
Anda punya datanya?
Ya. Tapi, itu untuk saya sendiri.
Tapi, data itu penting karena sampai sekarang masalah jumlah korban itu simpang-siur….
Saya ngomong korbannya dua juta karena Soedomo mengatakan itu. Ia kan yang berkuasa. Saya tidak ingat lagi di mana saya mendengar itu. Tapi, saya ingat bahwa ia yang mengatakan. Sarwo Edhie mengatakan tiga juta. Ia mengatakan itu kepada Permadi.
Mengapa Anda mengambil versi Sudomo dan bukan Sarwo Edhie?
Waktu itu kan ia Pangkopkamtib. Jadi, ia mestinya punya bahan tertulis. Apakah ia benar atau tidak, saya tidak tahu. Jumlahnya kan sedang diteliti oleh panitia penelitian korban 1965-1966 yang dipimpin Sulami.
Menurut Anda, setelah Soeharto, banyak lagi yang mesti dimintai pertanggungjawaban. Secara teknis, itu kan sangat merepotkan?
Kalau tidak mampu mendirikan hukum ya bubar saja kekuasannya.
Apa bukan institusinya yang mesti dikerjar?
Penerapan hukum atau rasa keadilan mesti tercipta bagi semua. Kalau pemerintahnya enggak mampu ya minggir saja. Sebeanrnya gampang saja kalau mau beres. Yang tidak mampu, minggir.
Anda pribadi akan menuntut?
Saya akan menuntut Angaktan Darat, mulai dari kopral satu sampai kolonel yang pernah menganiaya saya.
Siapa saja mereka itu?
Hanya ingat beberapa saja. Ada Pembantu Letnan Karo-Karo. Ada Koptu Sulaeman yang menghajar saya dengan pistol sampai saya hampi rtuli. Lantas, Kolonel Samsi. Di Pulau Buru, dulu saya bertemu Pangdam Pattimura. Setelah jenderalnya pergi, saya dihajar oleh kolonel itu.
Keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S sampai sekarang masih kontroversial. Bagaimana sebenarnya?
Sampai sekarang, peristiwa itu memang masih menjadi teka-teki karena para pelakunya diam saja. Tidak ada pengadilan soal itu. Tidak ada pengadilan Orde Baru terhadap orang komunis. Semuanya salah dan dihukum mati. Orang-orang yang mestinya bisa menjawab dibunuh tanpa pengadilan. Aidit dan Nyoto dibunuh tanpa proses pengadilan.
Apakah itu bagian dari rekayasa?
Jelas, itu rekayasa. Mereka dibunuh supaya tidak membongkar kebenaran. Yang membunuh Aidit kan diangkat menjadi Gubernur Lampung, yaitu Yasir Hadibroto. Berarti, tindakannya dibenarkan.
Bagaimana sebenarnya kondisi setelah peritiwa G30S itu? Gus Dur mengaku anggota NU juga ikut membantai….
Gerakan pemudanya itu kan hanya pelaksana. Tapi, setidak-tidaknya kan semua ikut menyokong berdirinya Orde Baru. Mereka kan tidak menghalang-halangi.
Gus Dur ketika itu sedang berada di luar negeri….
Justru sebagai intelektual, ia mesti ngomong. Paling tidak, mesti ngomong. Tidak bisa ketidakadilan dibiarkan terjadi. Semua intelektual Orde Baru ikut bertanggung jawab.
Bukankah sebagian elite-elite politik sekarang adalah orang-orang yang ikut menumbangkan Orde Baru?
Yang menumbangkan Orde Baru adalah generasi muda. Para elite itu hanya mengaku-ngaku. Elite sekarang yang ikut berkuasa tidak ada yang mengucapkan terima kasih kepada generasi muda yang menjatuhkan Soeharto.
Ada model rekonsiliasi, yang di dalamnya proses pengadilan dijalani. Tapi, ketika seseorang dinyatakan bersalah, mereka langsung diampuni. Anda setuju dengan model itu?
Itu cara “mengadali” orang saja. Ia mesti menjalani hukuman. Karena itu, setiap orang wajib mendirikan hukum. Setiap orang perlu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap orang, tidak terkecuali. Jangan belajar ke luar negeri untuk bisa lolos dari tanggung jawab.
Rupanya, Anda tidak percaya sedikit pun dengan rekonsiliasi…
Saya tidak percaya. Saya yang ikut menderita, bukan ikut mengatur.
Selama lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, banyak terjadi pelanggaran HAM. Jika semua minta diungkap, apa itu tidak menghabiskan energi kita sebagai bangsa? Padahal, tantangan bangsa ini ke depan masih banyak….
Kalau pikirannya seperti itu, berarti membenarkan pelanggaran atas kemanusiaan. Sikap seperti itu saja sudah membenarkan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Kekuasaan apa pun di Indonesia yang tidak bisa mendirikan hukum, ya tidak akan mendirikan hukum. Rekonsiliasi tidak akan bisa menghilangkan kesakitan. Itu hanya omongan orang berkuasa.
Apakah semua yang terlibat harus masuk penjara?
Ya, terserah bagaimana hukum mengaturnya. Bukan saya yang mengatur.
Untuk kaum intelektual yang waktu itu diam saja, apa bentuk hukumannya?
Ya hukuman intelektual.
Bentuknya apa?
Jangan bertanya kepada saya. Itu urusan angkatan muda. Merekalah yang harus memikirkan. Itu latihan untuk mereka menghadapi hari depan: bagaimana sebaiknya kalau berkuasa. Jangan tagih saya. Satu hari ini saja paling tidak 15 tagihan datang kepada saya.
Bagaimana cara meluruskan sejarah secara lebih jujur?
Persoalannya, manusianya dulu. Kalau manusianya bandit ya apapun yang dipegang, persoalan kebanditan. Indonesia itu bertumpuk masalah sejarah. Dari nama Indonesia saja sudah salah. Indonesia itu artinya Kepulauan India. La, apa hubungannya dengan India? Sampai sekarang persoalan itu tidak ada yang mengoreksi.
Apa jenis penderitaan paling menyakitkan yang Anda alami?
Terutama hancurnya naskah-naskah saya. Kenapa naskah saya bisa menumpuk sampai delapan? Waktu itu saya dituduh komunis. Saya baru pulang dari undangan ke Tiongkok pada 1956. Penerbit-penerbit itu ngeri menerbitkan buku saya. Jadi menumpuk.
Anda tidak pernah menganggap diri Anda sebagai komunis….
Tidak. Mempelajari komunisme saja tidak pernah. Saya mengikuti diri saya sendiri saja. Apa yang dimaui Pram itu yang dijalankan Pram.
Sebagai pribadi, Anda juga merasa gagal?
Ya gagal. Dari kecil, saya dididik bagaimana bagusnya Indonesia di kemudian hari: demokratis dan modern. Apa jadinya sekarang? Saya alami sendiri. Jangankan modern dan demokratis, semakin lama semakin primitif. Jadi, apa yang diajarkan dan menjadi impian kami dulu sekarang kenyataannya begini: menjadi negara pengemis. Apa ini semua? Memang tragis untuk saya. Apalagi, untuk para perintis kemerdekaan. Apabila melihat keadaan seperti ini, mereka akan menangis. Mereka tidak menyaksikan. Zaman Soekarno, orang Indonesia dihormati oleh dunia internasional. Kita negara kedua yang membebaskan diri dari imperialisme Barat setelah Vietnam. Bukan itu saja. Indonesia mendukung perjuangan antikolonial di Asia-Afrika. Soekarno menjadi mercusuar di dunia internasional. Sekarang, apa yang dikatakan? Kita minta dolar. Jauh bedanya.
Melihat kondisi seperti itu, Anda tak percaya di masa depan Indonesia bisa…
Tidak ada apa-apa. Sekarang negara ini sudah menjadi negara pengemis. Semua elite begini ke luar negeri [Pram memperagakan cara pengemis meminta-minta]. Setidaknya, itu yang saya lihat. Selebihnya, saya tidak tahu. Negara ini sudah menjadi negara pengemis. Apa sebabnya Indonesia yang begini besar bisa dijajah Belanda yang begitu kecil? Karena elitenya tidak punya watak. Akibatnya, negeri besar dengan segala kekayaan alamnya ini menjadi pengemis. Itu terjadi dari dulu. Dari zaman kolonial sampai sekarang.
Negara ini sudah terpuruk. Kalau tidak dibantu luar negeri, kan, semakin terpuruk?
Memang harus menjadi pengemis. Maka, terjadilah. Kapan luar negeri membantu Indonesia? Tidak pernah. Mereka justru mengeduk Indonesia. Karena itu, Soekarno menolak modal asing. Ia tahu, elite kita itu tidak punya karakter. Kalau modal asing masuk, elite menjadi herder penjaganya.
Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan banyak persoalan di masa lalu itu? Mungkin ada skema penyelesaian yang sederhana….
Itu kalian [generasi muda] yang harus cuci piring semuanya. Jangan pura-pura bodoh kepada saya.
http://teguhtimur.com/2008/11/25/pramoedya-omong-kosong-saja-rekonsiliasi/