HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 April 2012

PKI di Atas dan di Bawah Tanah


30 April 2012

Tempo 30 september 1972. Ditemukan sejumlah selebaran gerakan pki bawah tanah di pontianak, kalimantan barat. kebanyakan anggotanya keturunan cina. di jawa tengah gerakan serupa tetap ada, pihak keamanan telah mengetahuinya.

7 TAHUN setelah peristiwa G30S/PKI, kekuatiran bahaya laten dari sisa-sisa pengikut golongan terlarang itu – seperti yang banyak diperingatkan oleh berbagai penguasa militer baik di pusat maupun di daerah agaknya bukan tanpa didukung oleh fakta-fakta. Di luar negeri dengan menggunakan Moskow dan Peking sebagai pangkalan, mereka masih tetap giat menjalankan gerilya politik sampai hari ini.
Di Negeri Belanda, dengan mendapat dukungan partai Komunis serta unsur-unsur kiri di sana, mereka seakan bertanding gencar dengan orang-orang dari kelompok-kelompok yang menamakan dirinya Republik Papua Merdeka pimpinan Kasieppo maupun Republik Maluku Selatan pimpinan Manusama, melakukan kampanye anti Indonesia. Di dalam negeri penangkapan-penangkapan baru terhadap orang-orang yang dicurigai ada hubungan dengan G30S/PKI di luar maupun dalam kalangan pemerintah sipil dan ABRI masih terus berlangsung.
Sementara itu kegiatan-kegiatan nyata dari para sisa dan simpatisan partai terlarang itu tak jaang menampakkan diri dalam bentuk yang kadang-kadang mencengangkan. Dalam hubungan ini tidak heran jika minggu lalu di Pontianak, mayor jenderal Ali Murtopo, berbicara tentang perlunya lembaga Kopkamtib dipertahankan terus.


Tanjungpura kecolongan.

Dan agaknya bukan kebetulan bahwa Aspri Presiden bidang politik dan keamanan itu harus mengatakan hal itu di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. 189 orang korban yang telah gugur dalam rangka menumpas gerombolan komunis PGRS/Paraku di propinsi perbatasan itu, rupanya tidak cukup untuk membangkitkan kewaspadaan penguasa militer Kodam Tanjungpura akan adanya gerakan komunis bawah tanah di daerah yang 75O penduduknya keturunan Cina itu. Ini terbukti dengan peristiwa penyebaran pamflet-pamflet gelap anti pemerintah bulan Mei yang lalu di sana. Seakan untuk merayakan hari ulang-tahun PKI, masyarakat kota Pontianak yang bangun pagi Kamis tanggal 25 Mei itu telah dikejutkan oleh adanya pamilet-pamflet yang bertebaran di jalan-jalan, di tembok-tembok umum, tiang-tiang listerik, pohon-pohon bahkan juga di pagar dan dinding kantor-kantor resmi maupun tempat kediaman para pejabat. Di Pal V Pontianak, bahkan selembar bendera merah dengan lambang palu-arit sempat dikibarkan di sebuah mesjid.

Ternyata kejadian serupa juga dialami oleh kota-kota kecil di luar Pontianak seperti Mempawah, Pemangkat, Tebas Sambas dan terutama di Singkawang. Di kota yang terakhir ini, bendera PKI sempat terlihat dinaikkan di halaman kantor imigrasi dan di tiang bendera lapangan tempat latihan militer di sana. Matinya listerik di kota Pontianak dan turunnya hujan di daerah Singkawang malam itu memang rupanya telah memulaskan orang, penguasa atau bukan, sehingga para penyebar pamflet itu dapat menjalankan aksinya dengan aman. Tentu saja kecolongan ini telah dirasakan sebagai tamparan bagi fihak penguasa militer Tanjungpura dan secara buru-buru mengerahkan petugas-petugasnya untuk menyapu bersih semua pamflet dan corat-coret gelap itu dan dilanjutkan dengan pengusutan dan pengejaran terhadap para pelakunya.
Tapi usaha Laksus Kopkamtibda Tanjungpura untuk menyimpan kejadian itu menjadi rahasia sendiri, tak berhasil. Tak urung harian Seksama di Pontianak 2 hari kemudian terbit dengan cerita lengkap mengenai kejadian tersebut, yang kemudian dihidangkan pula di Jakarta oleh mingguan Khas beberapa minggu kemudian. Tapi sementara mingguan Khas – yang konon membawa suara setengah resmi itu tak mengalami kesulitan apa-apa, harian Seksanla ternyata harus membayar “keberaniannya” itu dengan harga mati yang amat tinggi: izin terbitnya dicabut oleh Laksus Kopkamtibda Tanjungpura! Organisasi tanpa bentuk.

Meskipun bahaya yang dihadapi sama tapi lain Kodam lain kondisi dan laksusnya sehingga lain pula peri lakunya. Jawa Tengah yang berpenduduk padat dengan kemelaratan yang masih merata itu, adalah daerah di mana sisa-sisa G30S/PKI yang juga belum kunjung henti menunjukkan kegiatannya. Tapi sementara fihak Laksus Kopkamtibda Tanjungpura cendrung untuk mengirit berita-berita tentang kegiatan PKI bawah tanall di sana, Kodam Diponegoro di Jawa Tengah justru memperlihatkan kecendrungan sebaliknya. Dari sana baik panglima mayor jenderal Widodo maupun Asisten bidang Intel, Leo Ngali yang belum lama ini naik menjadi kolonel, tak selang lama selalu keluar dengan cerita-cerita terbaru mengenai kegiatan G30S/PKI di daerahnya.

“Bukan karena kami mau menakut-nakuti, bukan untuk menimbulkan angst-psychose”, kata Leo Ngali kepada reporter Yunus Adicondro dari TEMPO awal bulan ini. Diakuinya bahwa kegiatan sisa-sisa G30S/PKI sekarang ini masih terdapat di seluruh Indonesia, “tapi kami di sini yang lebih banyak bisa mendeteksi kegiatan mereka”, katanya tanpa menyembunyikan rasa bangga. Kami bisa bicara karena kami punya bukti.

Dan bicara soal bukti-bukti, perwira intel kelahiran Blitar yang pernah mengikuti pendidikan militer di Breda, Negeri Belanda, itu bisa menunjuk pada penangkapan dan hasil pengusutan terhadap Tjokrowarsito, 4 tahun, seorang kopral purnawirawan AD di Wonogiri (lihat box). Siapa yang memberi konsumsi ide bagi Tjokro, belum diketahui, atau setidak-tidaknya belum bisa dikatakan oleh Leo Ngali. Tapi sebelum itu dari sel-sel PKI yang telah diringkus, berhasil ditangkap pula Hartodjimin, 40 tahun, bekas anggota Biro Khusus PKI ex-karesidenan Surakarta yang telah menjadi pegawai pada koperasi Waris di Solo. Sepuluh hari kemudian, dari pabrik gula Klakah, berhasil pula ditahan Sarmidi, bekas anggota BPH kabupaten Blora fraksi PKI yang telah bekerja sebagai buruh pada pabrik gula tersebut. Tapi jauh sebelum itu dan jauh yang lebih penting bagi fihak satgas intel Kodam VII agaknya adalah penangkapan terhadap Dr. Soegiono, di Kebumen bulan Pebruari tahun 1971 yang lalu. mendapat gelar Doktor Filsafat Marxisme-Leninisme dari Universitas Pyongyang, Korea Utara bekas rektor Akademi Ilmu Sosial Ali Archam serta pernah memimpin Departemen Ilmu & Perguruan Tinggi CC PKI di zaman Aidit, Soegiono adalah seorang otak terpenting dari gerakan PKI di bawah tanah khususnya di Jawa Tengah, setelah peristiwa Blitar Selatan.

Soegiono sendiri mengecam habis-habisan peristiwa tersebut yang dianggapnya akibat dari taktik salah yang dijalankan oleh kawan-kawannya yang melakukan pengelompokan aktifis di sana. Kesalahan itu menurut Soegiono yang menyebabkan tertangkap dan terbunuhnya sejumlah pimpinan dan kader-kader penting oleh Operasi Trisula yang dipimpin Kolonel Witarmin-yang sekarang menjadi Komandan RPKAD dengan pangkat Brigjen. Dalam kondisi sekarang Soegiono berpendapat justru perlu dilakukan apa yang disebutnya “desentralisasi absolut”: memencar dan menghindari berkelompok. Inilah yang dikatakannya sebagai taktik OBT (Organisasi Tanpa Bentuk). Sehingga kepada interogatornya yang menanyakan nasib gerakan bawah tanah PKI setelah ia tertangkap, Dr. Soegiono berkata: “gerakan akan jalan terus”.

Kader & Kondisi Masyarakat.

Soegiono juga berpegang pada strategi Tri Panji Partai pembangunan kembali partai, perjuangan bersenjata (perjuta) dan menciptakan front persatuan serta KoK (Kritik oto-Kritik). Tapi berbeda dengan kamerad-kameradnya, Soegiono rupanya menilai bahwa kondisi objektif bagi PKI pada tingkat sekarang sudah kembali mundur jauh pada keadaan semacam masa pra-revolusi sehingga titik berat gerakan haruslah panji ke 3 sebagai mantel: menciptakan front persatuan. Untuk itu 2 sasaran yang harus digarap: kaum tani di desa dan kaum buruh di kota.
Dalam pengembaraannya sejak tahun 1968 sambil menyamar sebagai tukang loak sampai ia tertangkap, Soegiono mendapat kesimpulan bahwa Jawa Tengah bagian Selatan merupakan daerah yang menguntungkan secara taktis untuk tempat membangun kembali basis-basis PKI.
Sebagai saluran-komunikasi antar tempat, Soegiono memilih jalur PNKA. Apa sebab? “Dengan sifatnya yang khas, sangat sulit mendeteksi kontak-kontak PKI liwat jaringan kereta-api”.

Dengan memindahkan titik berat dari perjuangan bersenjata ke penciptaan front persatuan, itu tidak berarti ditinggalkannya taktik-taktik kekerasan. Meskipun untuk itu, seperti diungkapkan oleh Machtub lladi, seorang kader Dr Soegiono yang telah tertangkap lebih dahulu, “PKI biasanya memanfaatkan recidivisten sebagai pelaksana-pelaksana praktis untuk mengadakan pengacauan pengacauan”. Dan pelaksana-pelaksana praktis itu, seperti dikatakan pula oleh Leo Ngali, umumnya mereka yang tidak terlalu banyak tahu tentang politik bahkan sengaja tidak dididik dalam ideologi komunisme. Di Kalimantan Barat, para pelaku penyebar pamflet tanggal 25 Mei itu umumnya terdiri dari orang-orang keturunan Cina yang lemah ekonominya. Berdasarkan pengakuan dari 240 orang yang telah tertangkap sampai tanggal 29 Agustus kemarin, masing-masing penyebar pamflet itu “mendapat upah antara 500 sampai 3.000 rupiah”, seperti dikatakan kata panglima Kodam Tanjungpura, Brigjen Sumadi. Memberikan penjelasan kepada para pemuka masyarakat sipil maupun ABRI serta para undangan yang terutama orang-orang keturunan Cina di Pontianak bulan lalu, Sumadi berkata bahwa di daerah itu gerakan di bawah tanah PKI memang digerakkan oleh orang-orang keturunan Cina. Sumber-sumber logistiknya juga adalah orangorang keturunan Cina yang bergerak di semua sektor usaha: perusahaan kayu agen rokok, bandar judi. Di Sambas penyokong logistik ini ternyata adalah A Bong, pemilik perusahaan angkutan bus Asia Baru, sementara di Pemangkat adalah A Djun, pemilik sebuah toko obat di sana.

Di tempat tahanannya di Semarang, Dr Sugiono memberikan penjelasan bahwa pasang surutnya gerakan bawah tanah ditentukan oleh 2 faktor: kader dan kondisi masyarakat. Dan di Kalimantan Barat kedua faktor itu lebih khas sifatnya. Kenyataan bahwa mayoritas penduduk terdiri dari keturunan Cina yang menguasai pula berbagaibagai sektor bidang usaha di satu fihak telah memudahkan sisa-sisa G30S/PKI membina kekuatan kembali sementara di lain fihak menghadapkan fihak penguasa bisa-bisa dituduh rasialis jika tidak hati-hati. Karena itu dalam pertemuan tersebut, Brigjen Sumadi berkata tentang perlunya “menyelamatkan Cina-Cina yang lain agar tidak turut dan terpengaruh masuk gerakan bawah tanah komunis”, di samping usaha-usaha membuat mereka “lebih lndonesia”.

Dalam hubungan yang terakhir ini agaknya, beberapa waktu sebelumnya Laksus Kopkamtibda di sana memerintahkan agar “kelenteng-kelenteng bertuliskan huruf Cina di rubah dengan huruf Latin”, mengingat bahwa kelenteng selama ini ternyata telah digunakan sebagai salah satu simbol memelihara perasaan rasial di samping juga untuk tempat kontak-kontak kader.

Harga Sebuah Kepala

Di Kalimantan Barat, organisasi gerakan bawah tanah PKI baru mulai sejak tahun 1970 yang lalu. Dan seperti juga di Jawa Tengah, di Kalimantan Barat mereka juga bergerak dengan taktik “Organisasi Tanpa Bentuk”, kata Letkol Romli, Wakil Asisten intel Kodam Tanjungpura kepada pers di Pontianak tanggal 19 Agustus yang lalu. Meskipun menggunakan taktik OBT, ternyata gerakan gelap PKI di sana bukannya tak mempunyai organisasi yang berbentuk. Dari hasil interogasi para pelaku penyebaran pamflet tanggal 25 Mei iu dapat di ketahui struktur organisasi CDB dengan eselon-eselon di bawahnya serta nama-nama yang duduk di sana. Siapa yang duduk sebagai pimpinan CDB rupanya belum di ketahui sampai sekarang. Fihak satgas intel kodam Tanjungpura menduga setidak-tidaknya yang mengendalikan dari belakang masih tetap S.A.Sofjan – bekas ketua CDB lama yang sekarang masih jadi buronan. Dan di mana orang ini sekarang? “Sampai saat ini masih berada di daerah Kalbar dan selalu berpindah-pindah”, kata Brigjen Sumadi di hadapan sidang pleno DPRD Propinsi Kalbar akhir Agustus kemarin. Dan saking sulit rupanya menangkap orang ini, maka fihak Laksus Kopkamtibda Tanjungpura telah mengumumkan kepada masyarakat agar membantu menangkap Sofjan hidup atau mati dengan disediakan hadiah uang kepada yang berhasil. Tapi tarif kepala S.A.Sofjan makin lama mpanya makin naik, sebab hadiah yang semula disediakan Rp 1 juta, kemudian dinaikkan menjadi Rp 2 juta dan terakhir sudah dinaikkan lagi menjadi Rp 3 juta. Namun Sofjan masih tak jelas di mana rimbanya.

CDB menurut struktur organisasi itu membawahi CDP (Comi Daerah Pantai) dan CDK (Comite Daerah Sungai Kapuas) yang pertama di pimpin oleh A Pin dan Tan Bun Hiap, sedang yang kedua dipimpin oleh The Bun Kiat. Selanjutnya CDP membawahi P (Comite Partai) yang kemudian membawahi pula Comite Desa. Sementara CDK membawahi CK (Comite Kapuas) yang kemudian membawa pula baik Comite Desa maupun Comite Kapuas tingkat desa lainnya (lihat skema). Dalam operasinya, gerakan komunis itu memang lebih terlihat di daerah sepanjang pantai Kalbar dan sepanjang Sungai Kapuas, oleh karena di kedua alur daerah ini justru terdapat penduduk yang cukup di samping mudah melakukan kontak-kontak dengan dunia luar dan berbicara tentang kontak dengan luar, kolonel Wahab Uzir, kepala staf Kodam XII itu tidak bisa menyembunyikan dugaannya bahwa “gerakan komunis di Kalbar digerakkan juga oleh komunis di luar negeri”. dan dengan luar negeri, ia menunjuk pada UNi Soviet, “tapi yang lebih besar adalah RRT”, katanya.

Adanya kemungkinan Uni Soviet dan RRT turut menggerakkan kegiatan sisa-sisa G30S/PKI di Indonesia, memang bukan hal yang mustahil dan sudah amat sering pula dikatakan orang. Kolonel Leo Ngali Di Jawa Tengah agaknya bisa berbicara banyak mengenai hal itu di daerahnya. Tapi yang tak kalah penting agaknya adalah kemungkinan dipakainya jalur-jalur resmi maupun tidak resmi yang ada di dalam negeri sendiri. Pengalaman dengan peristiwa penyebaran pamflet di Kalbar tanggal 25 Mei itu misalnya bukan tidak menimbulkan dugaan yang bukan-bukan terhadap aparat intel di sana.

Pamflet-pamflet itu tidak sedikit jumlahnya, tercetak rapi dengan menggunakan kertas yang baik, disebarkan pula secara aman dan serentak di berbagai kota seakan-akan komandonya berada “di dalam”. Adakah penahanan kolonel Soegijono dari intel Kowilhan III Kalimantan kemarin ada hubungannya dengan peristiwa ini, tidak jelas. Yang jelas, Wapangkopkamtib Jenderal Soemitro beberapa waktu yang lalu pernah menegaskan bahwa penangkapan dan penahanan beberapa perwira ABRI beberapa waktu yang lalu memang dalam hubungan dengan G30S/PKI.

Himawan di Pasemah.

Menarik pula untuk dicatat kejadian-kejadian terhadap jaringan kereta-api di Jawa Tengah yang dikwalifikasikan oleh fihak intel Kodam VII sebagai usaha sabotase, dengan menghubung-hubungkan pernah besarnya pengaruh komunis di perusahaan pengangkutan itu. Senin malam akhir Juli yang lalu misalnya, seorang petugas PNKA di emplasemen stasiun Tugu Yogya ketika hendak memberikan tanda aman bagi kereta-api yang masuk dari jurusan barat, telah menemukan kawat sinyal terklem dengan plat logam dan diskrup.
Pers di Yogya menilai kejadian ini hanyalah perbuatan kriminil biasa karena ketika kereta-api terpaksa berhenti menunggu sinyal1 dibuka, banyak tukang-tukang copet berloncatan menyerbu ke dalam gerbong. Tapi pengusutan yang dilakukan fihak satgas intel Diponegoro berhasil menangkap seorang wanita serta beberapa orang lelaki yang dicurigai yang semuanya ternyata adalah bekas tapol C yang telah dibebaskan.
Tapi kejadian serupa itu bukan baru pertama kalinya terjadi di tempat yang sama. Sebelumnya telah terjadi pula pemacetan sinyal untuk jurusan timur, yang mengakibatkan tertabraknya beberapa wagon yang sedang nongkrong di stasiun oleh kereta-api yang baru masuk. Masih di bulan Juli itu juga, di seluruh Jawa Tengah, seperti pernah dijelaskan Direktur Operasi PNKA Ir. Soenarto kepada pers, telah 7 kali terjadi gangguan-gangguan terhadap jaringan perkereta-apian: 2 kali di Wates dengan melepas baut-baut dan mur sambungan rel, 3 kali pembongkaran bantalan-bantalan rel antara stasiun Maos dan Cilacap, 2 kali terjadi pengganjelan dengan besi sambungan rel dekat stasiun Kapuan, Cepu.

Bagaimanapun makin sulitnya menarik kesimpulan yang pasti bahwa gangguan-gangguan seperti itu punya latar belakang politik, tapi dari satu segi pola kejadian-kejadian itu memang tidak berbeda dengan pencurian-pencurian kabel telepon di sana dan penggarongan-penggarongan di kawasan Merapi-Merbabu yang masih juga sering terjadi sampai hari ini. Jika di belakang peristiwa-peristiwa tersebut memang bergerak tangan-tangan PKI, keuntungan yang diharapkannya agaknya bukanlah pada hasil langsung dari perbuatan yang nampaknya dari luar hanya kriminil biasa, melainkan-suasana kekacauan dan rasa tidak aman yang ditimbulkannya di tengah masyarakat. Agaknya dari segi ini Pangdam IV Sriwijaya Brigjen Sutanto Himawan tak urung menilai bahwa kecelakaan yang nyaris terjadi pada keretaapi di Sumatera Selatan yang sedaln ditumpanginya beberapa waktu yang lalu, sebagai ulah dari sisa-sisa G30S/PKI juga. Waktu itu Panglima dan nyonya menumpang kereta-api dari Palembang ke jurusan Lubuk Linggau dalam perjalanan ke Bengkulu untuk menyambut kedatangan Presiden yang akan berkunjung ke kota itu. Pada suatu tanjakan tekat Tebing Tinggi, tiba-tiba gerbong yang ditumpangi Panglima lepas dari loknya dan meluncur turun sendiri.
Menceritakan kembali kejadian tersebut kepada Bastari Asnin dari TEMPO Yang berkunjung ke Palembang bulan lalu Sutanto Himawan berkata bahwa di hutan-hutan daerah Pasemah Lintah memang masih terdapat gerombolan sisa-sisa G30S/PKI, meskipun kekuata intinya tinggal sekitar 8 sampai 10 orang saja.

Pembinaan di Kampsing.

Wal akhir memang masih bisa dimengerti jika sampai hari ini, masalah penanggulangan bahaya G30S/PKI masih berada di nomor teratas dalam daftar masalah keamanan yang dihadapi pemerintah. Sebab “pengalaman di Jakarta” kata Pangdam V Jaya, mayor jenderal Poniman kepada reporter Syahrir Wahab minggu lalu, “setiap situasi terbuk kemungkinan untuk ditunggangi PKI Poniman menunjukkan contoh kecil pada peristiwa perkelahian antara karyawan bus Arion dengan tukang-tukan becak beberapa waktu berselang. “Betul itu ditunggangi PKI. Orangnya sekarang masih dalam tahanan”, kata Poniman.

Malangnya penahanan tidak dengan sendirinya akan mengurangi jumlah mereka. Bahkan mungkin justru sebaliknya Tahanan-tahanan politik yang dititipkan ke penjara-penjara biasa, bukan tidak mungkin justru bisa menyebarkan benih-benih komunisme kepada para narapidana di sekitarnya. Berbagai Kodam sampai hari ini masih banyak terdapat tapol C yang belum dibebaskan meskipun waktu pembebasan yang dijanjikan telah liwat, dan mereka ini umumnya dititipkan seperti itu. Sistim pencampur adukan antara tapol dan narapidana seperti yang terdapat sekarang, agaknya justru akan bisa merobah tempat tahanan menjadi semacam sekolah pembibitan kader. Tidak terkecuali juga di Kampsing-kampsing (kamp pengasingan) yang khusus peruntukkan bagi para tapol juga mempakan tempat yang subur bagi pembinaan sel-sel bagi PKI, jika tidak selalu diadakan pemindahan-pemindahan dari satu Kampsing ke Kampsing lain–seperti yang antaranya dilakukan oleh Kodam Diponegoro.
Pedukunan Cokro

Cokrowarsito, pensiunan kopral yang pernah praktek perdukunan di bandung tertangkap. ternyata ia simpatisan pki sejak 1957. pengikutnya banyak. ia tertangkap ketika punya hajat besar di wonogiri.
KISAHNYA bermula di desa Ngadirejo-Wonogiri, dekat kota Solo.

Pertengahan bulan Juli yang lalu seorang pensiunan kopral bernama Tjokrowarsito, 48 tahun kelahiran Surabaya dan sejak 1966 menetap dan membuka praktek pedukunan di daerah sekitar Bandung. Tetapi sejak 1970 dia berada di Ngadirejo dan suatu hari berhajat mengkhitankan anak laki-lakinya. Tidak jelas apa karena cintanya yang berkobar-kobar pada sang anak atau memang ada sebab-sebab lain, tapi upacara khitanan itu sedianya akan diadakan secara besar-besaran. 7 hari 7 malam akan ia gunakan untuk memeriahkan peralatan itu dengan mengadakan berbagai perlombaan seperti balapan becak, memanjat tiang bambu dengan bermacam barang hadiah di puncak tiang disamping pertunjukan wayang berlakon “Bharata Yuda”. Serta yang paling menarik perhatian, terutama bagi petugas-petugas setempat, adalah rencana pemutaran film untuk umum Entah didorong oleh macam naluri apa, tapi atas instruksi atasan Satgas Intel telah bertindak menyita film-film itu sebelum sempat dipertunjukkan. Dan setelah diadakan pemeriksaan, berhasil juga diketahui bahwa disamping film-film yang dipinjam dari Kedutaan Jerman Barat kedapatan juga film-film yang berasal dari Kedutaan Rusia.
“Semua film-film Rusia yang masih ada dalam sitaan kami itu bertujuan memuji-muji keunggulan ideologi Komunis”, kata Kolonel Leo Ngali, Assisten Intel Pangdam VII Diponegoro kepada TEMPO.

Putera Hamengkubuwono.

Tanggal 27 bulan itu juga, Tjok rowarsito bersarna isterinya ditahan dan langsung dibawa ke Semarang untuk interogasi. Dan menurut pngakuannya sendiri di rumah tahanan Satgas Intel jalan Dr. Cipto Semarang dimana dia ditahan sekarang, dia sudah menjadi simpatisan PKI sejak tahun 1957, semasa ia bertugas di Salatiga dan Kudus. Dua tahun kemudian setelah lulus ujian partai dia disumpah. Dan sebelum pemberontakan G-30-S meletus, sebagai anggota Kodim Wonogiri, di aktif melatih sukarelawan yang akan dikirim ke Malaysia. Sedang gerakan sukarelawan itu kemudian jelas-jelas diketahui hanya merupakan sebuah tameng untuk bisa mempersenjatai dan melatih sebanyak mungkin anggota Pemuda Rakyat. Setelah PKI gagal mengadakan kudeta, dan udara di sekitar makin terasa berbahava juga dirasakan oleh diri kopral pensiunan itu, segera saja ia menyingkir dan menghilang ke Bandung pada awal tahun 1966 Di situlah Tjokro yang dalam pengakuannya sama sekali tak memiliki kesaktian atau keistimewaan apa-apa, mulai membuka praktek pedukunan dan mengadakan pertemuan-pertemuan yang dinamakannya “pengajian” setiap hari Jum’at dan Selasa Kliwon.
Praktek itu sendiri, yang juga diakuinya sebagai isapan jempol, tidak bisa lain dari suatu siasat untuk mencari pengalaman. Untuk ini Tjokro bukannya tidak berhasil. Banyak juga ia dapatkan pengikut-pengikut baik dari kalangan tinggi maupun rendah, tidak peduli apakah ia ABRI atau sipil. Belum lagi terhitung pengikut-pengikut setia yang datang dari rakyat kebanyakan.

Termasuk diantaranya Kari, yang sudah disiapkan Tjokro untuk menjadi lurah desa Singodutan tetapi keburu ditangkap bersama-sama si guru. Bahkan Achmad Kasmuri bin Achmad Kastowi yang mmengaku bernama Pangeran Hadikusumo dengan usia 27 tahun, sebagai putera Hamengku Buwono IX dari selir nomor 4 hanya karena menyimpan gambar sultan itu
Ketika akhirnya ditangkap diketahuilah bahwa ia pernah ditahan selama 3 tahun di Semarang dengan status tahanan politik golongan C Menarik juga pengakuannya, ketika dengan lancarnya dia menyebut sejumlah nama tokoh-tokoh penting sebagai muridnya.

Leo Ngali: Hands-off.

Sudah barang tentu berjenis-jenis cara ia lakukan untuk bisa mendapatkan lebih banyak pengikut. Sebagai contoh, pernah seorang penjual kubis yang berniat menjual hasil buminya ke Bandung. Tjokro yang kebetulan mengetahui hal ini langsung mengutus orang-orangnya untuk mengintimidasi penjual yang sederhana itu, hingga takutlah sang penjual. Dan setelah meminta restu dan petunjuk dari dukun sakti kopral pensiunan itu selamatlah si penjual tadi dari marabahaya yang sebenarnya tak pernah ada. Dalam menjalankan praktek-prakteknya dukun Tjokro selalu dibantu oleh isterinya yang menurut dia konon masih punya hubungan dengan Nyai Roro Kidul.

Barangkali karena merasa pengaruhnya sudah cukup besar serta marabahaya dirasa sudah semakin jauh dari dirinya, maka pada tahun 1970 orang ini setelah sebelumnya sering mondar-mandir Wonogiri-Bandung akhirnya memutuskan untuk menetap kembali di Wonogiri. Dan di daerah yang banyak terdapat buntut Nalo serta kebanyakan rakyatnya adalah pemakan gaplek ini pulalah dukun Tjokro berniat rnengadakan khitanan anaknya secara besar-besaran. Tidak seorangpun sampai sekarang mengetahui darimana ia punya uang sekitar Rp 2 juta bagi peralatan yang direncanakannya itu, termasuk hadiah-hadiah pelincir hingga ia dapat memperoleh izin.

Rupa-rupanya praktek pedukunan memang merupakan sasaran yang dipandang paling menguntungkan serta paling tidak banyak mendatangkan resiko oleh PKI untuk menyusun serta mengkonsilidir kekuatan mereka kembali. Orang-orang semacam Tjokro secara persis mengetahui bahwa kebanyakan rakyat masih memiliki kepercayaan yang begitu tebal pada hal-hal yang bersifat mistik dan gaib-gaib Dan dimandatkanlah keadaan itu untuk kepentingan mereka. Orang tentu masih ingat kasus “Mbah Suro” di daerah Cepu 5 tahun yang lampau. Dukun ini telah berhasil membuat serentetan kejadian yang sensasionil serta sempat pula menarik-narik beberapa nama yang penting, sebelum akhirnya ditembak mati. Karena itu, wajarlah bila kemudian Leo Ngali menyerukan supaya masyarakat “hands-off” dari praktek-praktek pedukunan semacam ini.

Sumber, Peristiwa Nasional 

Disalin: S-Kisah 

Rabu, 18 April 2012

Douwes Dekker Dan Pergerakan Nasional Indonesia

18 April 2012 | 22:08

 

Nama Douwes Dekker mengacu pada nama dua orang. Yang pertama, Eduard Douwes Dekker, sering menggunakan nama pena “Multatuli”, adalah penulis novel terkenal berjudul “Max Havelelaar”. Sedangkan yang kedua adalah Ernest Douwes Dekker, punya nama Indonesia Danudirja Setiabudhi, adalah pelopor pergerakan nasional Indonesia dan pendiri organisasi politik bernama Indische Partij.

Kita akan bercerita tentang Ernest Douwes Dekker yang kedua. Ki Hajar Dewantara, salah seorang rekan seperjuangannya, menyebut Ernest Douwes Dekker sebagai pencipta Partai Kebangsaan Indonesia—sering disebut Indische Partij.

Tujuan Indische Partij adalah kemerdekaan Hindia. Saat itu, nama “Indonesia” belum dikenal. Nama “Indonesia” sendiri baru diciptakan oleh Perhimpunan Indonesia di Deen Haag, Negeri Belanda, pada tahun 1920-1921. Nama Indonesia resmi diadopsi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922.

Indische Partij didirikan oleh Ernest Douwes Dekker bersama dua tokoh pergerakan Indonesia lainnya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya sering dinamai “Tiga Serangkai”.


Dekat dengan rakyat pribumi

Ernest Douwes Dekker dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker, seorang agen perbankan. Sedangkan ibunya, Louisa Margaretha Neumann, seorang indo campuran Jerman-Jawa.

Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest harus bekerja sebagai pengawas di sebuah perusahaan perkebunan di kaki gunung Semeru. Ia menyaksikan penderitaan rakyat, khususnya buruh-buruh perkebunan kopi, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kopi.

Ernest mundur dari pekerjaan. Konon, kepergiaannya dilepas dengan kesedihan oleh buruh-buruh di tempatnya bekerja. Ia kemudian pindah bekerja di sebuah perusahaan gula di Pasuruan. Di sana, ia juga menyaksikan pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Tindakan itu sangat merugikan rakyat di sekitar perkebunan. Ernest pun meninggalkan pekerjaan.

Ernest begitu terpukul begitu ibunya meninggal tahun 1899. Ia sangat sedih dan frustasi. Di saat itulah ia mendengar berita tentang perang Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang-orang Belanda yang bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan Inggris. Ernest pun memilih untuk menjadi pejuang Boer melawan Inggris.


Jurnalis kritis

Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa. Ernest, yang saat itu berusia 24 tahun, memilih bekerja sebagai wartawan. Ernest kini sudah berubah menjadi seorang yang berfikiran radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat bekerja di surat kabar De Locomotief; dan kemudian bekerja di Surabajaas Handelsblad.

Tulisan-tulisannya sangat pedas mengiritik penguasa. Itu membuatnya terlempar dari surat kabar ke surat kabar. Sampai akhirnya, ia bekerja di surat kabar bernama Bataviaas Nieusblad. Di surat kabar ini, Ernest menempati posisi yang cukup vital: pejabat redaksi.

Ernest menjadikan surat kabar ini sebagai cikal bakal pembangunan gerakan. Di sana, ia merekrut banyak pemuda-pelajar: Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo. Ia juga menjalin hubungan dengan pemuda-pemuda radikal di STOVIA. Rumahnya menjadi pusat pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.

Bataviaas Nieusblad tak bisa lagi dijadikan alat pergerakan. Karenanya, Ernest pun keluar dan membuat surat kabar sendiri: mula-mula membuat majalah bulanan Het Tijdshrift, lalu kemudian mendirikan koran De Express. De Express benar-benar dibuatnya bergaris radikal. Orang-orang menyebutnya “Neo-Multatulian”.


Mendirikan Indische Partij

IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan “Hindia untuk orang Hindia”. Artinya, kemerdekaan Hindia dari Belanda.

Bung Hatta, ketika memberi ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, 22 Mei 1974, berusaha mengurai perbedaan IP dan Sarekat Islam (SI) sebagai berikut: “Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politk dan melarang anggota-anggotanya berpolitik, Indische Partij tegas menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi menuntut diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”

IP resmi berdiri melalui sebuah vergadering di Bandung, 25 Desember 1912. Sedangkan pembentukan IP dan kepengurusanya sudah dilakukan lebih dahulu. Duduk di kepengurusan pusat (Hoofdbestuur): Ernest Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangkukusumo sebagai wakil.

Tekanan propaganda IP adalah kalangan indo. Pada tahun 1913, dari dari 7000-an anggota IP, hanya 500-an orang yang pribumi. Takashi Shiraishi, dalam buku “Zaman Bergerak”, mengatakan, “sekalipun IP sangat didominasi oleh kaum indo, tetapi pengaruhnya di kalangan pribumi tidaklah kecil.”
Kehadiran IP sangat penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk orang Hindia” sangat maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering. HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering IP.

Douwes Dekker mengatakan, berdirinya IP adalah pernyataan perang, yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” terang Takashi Shiraishi.

Pada November 1913, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis, ada keinginan pula membuat perayaan serupa di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah.

IP melawan rencana itu. Soewardi Soerjaningrat menulis karangan berjudul “Als ik een Nederlander was…” (“Kalau saya seorang Belanda…”) Soewardi antara lain menulis: “Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!

Gara-gara tulisan itu, Soewardi dan Tjipto ditangkap. Akhirnya, Douwes Dekker, yang baru pulang dari Belanda, menulis pula karangan berjudul : “Onze helden” (“Pahlawan Kita”). Ia memuji kepahlawanan Soewardi dan Tjipto. Douwes Dekker pun ditangkap.

Tiga serangkai ini kemudian dibuang ke eropa. Pada tahun itu juga IP dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sekembalinya ke Jawa, tiga serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka mereka mendirikan NIP (Nationaal Indische Partij). Organisasi ini pun segera dibubarkan penguasa kolonial.


Pro-Republik sampai akhir

Pada tahun 1940-an, menjelang kedatangan fasisme, terjadi penggeledahan besar-besaran terhadap sejumlah tokoh pergerakan di Indonesia. Douwes Dekker juga ditangkap dan ditahan di Ngawi.

Begitu jepang mendarat di Indonesia, Douwes Dekker diangkut ke Suriname—salah satu jajahan Belanda di Amerika Selatan. Di sanalah ia diasingkan oleh penguasa kolonial. Hampir 5 tahun ia ditahan di sana.

Pada tahun 21 januari 1947, melalui perjuangan yang berat, Douwes Dekker berhasil kembali ke Indonesia. Ia menyelundup dengan nama samara: Radjiman. Ia langsung bertemu dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang memberi nama “Danudirja Setiabudhi”. Danudirja berarti banteng yang kuat. Sedangkan Setiabudhi berarti jiwa kuat yang setia.

Di kabinet Sjahrir, Douwes Dekker sempat menjadi salah seorang menteri pendidikan. Ia juga pernah menjadi penasehat Presiden, sekretaris politik Perdana Menteri, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pengajar di Akademi Ilmu Politik di Jogjakarta. Pada saat agresi militer Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangka, termasuk Douwes Dekker.

Pada tahun 1949, Douwes Dekker kembali dan menempati rumah yang sudah reot di Bandung, Jawa Barat. Pada 28 Agustus 1950, Ernest Douwes Dekker menghembuskan nafas yang terakhir.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

http://www.berdikarionline.com/douwes-dekker-dan-perjuangan-nasional-indonesia/

Selasa, 17 April 2012

Aku Yang Tak Menuliskan Nama

sebuah cerita dokumenter atas peristiwa, Solo, 1998


Senja bukan lagi masalah yang memintaku untuk berpikir lari lagi, mencari tempat untuk berlindung sembari membaringkan tulang belakang ku, di gedung tua ini aku sudah menetap, 30 tahun sudah, menjadi penikmat sisa sisa sejarah yang mulai tak bernilai sejarah termakan oleh kebodohan dan ketidakperdulian mereka, begitu pun juga aku, yang menjamah masuk untuk sekedar mencuri atap dari tatapan langit,.
           
Di Jalan Dr. Radjiman ini aku menetap, mendekam sebagai yang kalah dalam percaturan hidup mereka, menjadi tuna wisma di kota sendiri, di Negara sendiri, dan di bumi sendiri, di ujung timur sendiri kecamatan LAWEYAN aku menikmati ringkukan ku, di bangkai dari bekas RS KADIPIRO, yang dulu ramai pastinya, pikuk menjadi pusat distribusi orang sakit kota SOLO , menjadi ajang pertempuran ilmu etika kedokteran dengan kenyataan dunia bisnis pada jaman nya, hiruk dengan lalu lalang mobil ambulan dan lewatnya para suter suster yang memegangi infuse atau preparat, dan tentunya semerbak bau obat obat analgesik maupun anti infeksi menjadi hidangan reseptor bau dikala itu, dan tetap saja aku masih meringkuk saat aku membayangkannya, menatap atap yang begitu kokoh ,atap bangunan yang dulu menjadi ruang IGD ini, betapa dunia ku begitu lucu, di bekas rumah sakit ini aku meringkuk sebagai pesakitan yang tak merasakan perawatan, seorang diri dengan mesin jahit peninggalan ibu ku yang dulu membuka jasa jahit di depan pasar KADIPIRO, yang hanya sayang sudah kalah tergilas majunya industri industri kain besar, dan semakin maraknya penjahit penjahit baru yang berdatang ke solo ini, akhh,,bukan itu, sebenarnya ibu tak melanjutkan karena di tangkap bersama ayah karena peristiwa G30S PKI, peristiwa yang merengut semua sayang yang seharusnya aku dapat di usia kanak ku, biarlah, aku tak bisa berbuat apa apa soal ini, aku hanya orang kecil,sampai sekarang.
           
Dulu tempat ini tak seramai sekarang, hanya aku, Prasojo dan Senen yang tidur dan menganggap sisa bangunan ini sebagai rumah bersama, walau tanpa pengakuan resmi, dari siapapun,ahhh,,,tapi toh memang tak ada yang mengaku dan merasa memilikinya, baik itu dari pemerintah kota, mereka tidak merawatnya, jadi apa salah kami meninggali?? Kalo yang punya hanya mengaku punya tanpa memperdulikan, membiarkanya tergerus hancur bersama waktu, menganaktirikan dengan datangnya bangunan bangunan yang lebih gemerlap dan lebih modern untuk sekedar di pandang,mengabaikan sejarah yang dulu di ukir dengan derai keringat, kucuran darah dan pekikan pekikan, ahhh….pantaslah kalo sekarang kita tak bisa menghargai manusia pada kebanyakan, karena hati sudah tak lagi bisa belajar menghargai pada terima kasih,
           
Setiap hari aku berjuang hidup sebagai penjahit baju, celana atau apapun yang mereka percayakan padaku untuk aku jahit, tak begitu ramai memang, mereka yang datang padaku pun adalah mereka yang benasib kurang lebih sama dengan ku, menjadi manusia-manusia pelengkap,seperti menjadi bakteri penghancur mungkin untuk istilah biologi, ya, sebagai penerima dan pemakai sisa-sisa dari mereka yang lebih punya, tak apalah setidaknya aku tak terlalu sia sia benar untuk hidup, dan kata kata inilah yang selalu membuatku tersenyum saat pikiran tentang pertanyaan-pertanyaan hidup, keadilan Tuhan , dan kenapa ada kehidupan menyergapku, walau entah ku pikir kenapa pula aku juga bisa berpikir seperti itu, padahal mengenyam sekolah saja aku tak pernah, sudahlah….membahas pertanyaan itu saat ini tak akan membuat perut ku berhenti berkoar minta makan., aku harus menjahit, walau entah apa yang akan aku jahit, saat ini tak ada apa apa , barangkali tak makan lagi aku hari ini,
           
Ya,walau tak sepenuhnya aku menggantungkan hidupku dari menjahit, aku punya pekerjaan lain, mengantarkan mereka-mereka yang datang untuk melihat tempat ini, bangunan yang ku anggap  sebagai rumah ku, mengantarkan mereka yang tertarik pada seni bangunan kuno eropa, pada mereka yang mengenang sejarah kota solo, pada mereka yang datang untuk menikmati dan membingkai sejarah lewat jepretan foto atau guratan kuas, atau pada mereka yang datang dengan penuh gaya untuk meninjau lokasi pembangunan gedung baru yang akan didirikan di atas bangunan ini,walau berarti aku mengantarkan mereka yang kelak akan mengusurku jika terjadi kesepakatan antara pemerintah kota dengan dia, walau aku yakin itu memang tak akan pernah terjadi, kota ini masih punya orang orang yang perduli pada sejarah, mencintainya dan menghargainya, walau hanya segelintir, termasuk aku mungkin yang akan berdiri menentangnya,bukan karena masalah ini tempat aku berteduh, tapi karena aku selalu di ajari bapak ku untuk menghormati perjuangan bangsa ini,Negara ini. Ya pekerjaan sampingan ku untuk mengantarkan tamu tamu yang peduli pada tempat berteduhku, tamu tamu dengan pandangan yang berbeda beda untuk bangkai ini , darinya cukup untuk mengganjal rasa lapar selama seminggu, membeli benang yang berbeda warna dari sedikit warna yang sudah ku punya, atau menganti benang yang sudah mulai habis.

Dulu aku, Prasojo dan Senen saja yang tinggal di tempat ini, aku memilih tempat bekas IGD ini sebagai kamar ku, Prasojo orang yang lebih tua dariku memilih ruangan lebih dalam, di bawah sebuah pohon beringin di sebelah utara penampungan air, berdiri bangunan menghadap ke selatan dimana katanya dulu adalah ruang untuk penjaga bangsal, ya disitulah Prasojo tinggal, laki laki yang saat pertama kali ku temui bilang berasal dari kota kecil di daerah Klaten, dia juga mengalami hal sama sepertiku, tiada sanak dan tempat tinggal baginya di sana, suasana di sana terlalu kejam dari pada di solo saat terjadi peristiwa itu tuturnya, entahlah, aku tidak tau benar soal itu,tentang benar apa tidaknya, tapi  mungkin saja dia benar, dia memilih untuk tinggal pada kamar tengah karena trauma pada keramaian jalan, yang akan mengingatkanya pada teriakan teriakan mereka-mereka yang akan menghajar, menghakimi yang entah atas kesalahan apa,pada siapa saja yang berhaluan kiri, atau di cap kiri,dan dari cerita-cerita ngerinyalah aku menyimpulkan alasan kenapa dia tak mau balik atau sekedar melihat tempatnya dulu, ya…..kurang lebih sama sepertiku, hanya saja bukan kebengisan masa yang memisahkan hubunganku dengan keluargaku, tapi aparat, dan tentunya akan membuat sedikit lain pula siapa yang pantas kami taruh kecewa padanya, kenapa tak ku tulis untuk dendam? Aku tak ingin membenci atau mendendam pada apa yang tak ku tahu kebenaranya. Dan Senen, laki laki yang tak ingin memiliki kamar tetap, dia berumur 18 tahun saat aku mengenalnya, begitu muda dan energik, istilah seperti kata kata orang sekarang, dia memilih untuk berjalan jalan keliling kota, menikmati apa yang di suguhkan pada mata saja, karena tak ada yang mampu untuk di beli, laki laki yang ku kenal dengan pikiran pikirannya yang kritis terhadap masalah sosial,yang kadang ku pikir,“dapat dari mana dia pandangan pandangan seperti itu”, hingga belakangan ku tahu, dia ikut menjadi salah satu anggota organisasi serikat buruh di kota solo ini, dan lenyaplah dia dengan segala kegiatannya, pergi berkeliling, dan sesekali datang ke gedung renta ini menemuiku dan Prasojo, bercengkrama dengan cerita cerita yang selalu saja menarik,dari pandangannya yang entah itu tentang budaya Jogjakarta yang sudah mulai luntur oleh banyak nya pendatang sebagai mahasiswa, tentang artis artis ibukota yang begitu seronok dengan mudahnya, menjual harga diri hanya untuk sejumput uang, tentang pemerintahan dan kekuasaan yang korup dan masalah masalah lain yang dari nya membuat kami sedikit mengerti bahwa dunia sedikit demi sedikit mulai berubah, aku dan Prasojo menjadi sedikit tahu banyak tentang permasalahan sosial yang menderanya, hingga terkadang kami terlalu berharap untuk menjadi yang di soroti oleh pemikiran-pemikiran Senen yang mendalam ini, tapi sudahlah tampaknya kami memang harus menerima dan sabar untuk masalah lampau kami sendiri,

“Kita orang jawa terlalu gampang untuk  tunduk, terlalu menerima, dan terlalu cepat putus asa, malas berusaha dan gampang merasa puas, terlalu percaya dan pasrah pada nasib dan payah nya lagi orang jawa terlalu mengandalkan pada kekuatan mistis yang entah ” kata kata Senen yang selalu ku ingat, di mana saat dia berkata ini pertama kali, aku dan Prasojo bertolak belakang dengan pikiran Senen, tapi lambat laun kami mengerti, apa yang ingin di sampaikan Senen pada kami, apa yang diharapkan dan di inginkan pemuda kurus dan kurang tidur itu,.

“  PERUBAHAN  ”
12 Mei 1998, gedung gedung terbakar, menyala merah mengepulkan asap yang bikin ngeri orang yang melihatnya, penjarahan barang-barang ,baik elektronik, sembako, dan barang barang yang terpikir berharga dan bagus sudah pasti di lakukan,barang-barang yang dikata milik para kaum asing,entah warga keturunan maupun barat, masyarakat yang merasa kaya dan takut di jadikan sasaran amukan orang orang kalap berlomba lomba mencoret-coret di tembok sendiri, coretan-coretan bertuliskan “ PRIBUMI, JAWA ASLI, PRO REFORMASI” atau tulisan tulisan yang senada dengan itu menjadi pandangan yang banyak di temui pada waktu itu, entahlah kenapa harus bertuliskan itu dan kenapa mereka yang menurut mereka bukan itu harus di bunuh, di bakar dan di perkosa, aku kecut saat itu, menjadi orang bodoh yang tak tau harus bagaimana, karena mereka yang kalap juga menjarah pintu dan jendela bangunan yang ku diami,

“Bukankah ini milik pribumi, milik pemerintah? Atau sebenarnya tidak milik pemerintah ?? lalu milik siapa ?? kalo tidak milik keduanya pun kenapa mereka berebut dan begitu brutal tanpa ampun saat menghancurkan bangunan sejarah ini?? keberadaanya sebagai sejarah di kemanakan ?? kalo begitu kenapa tidak bakar kraton saja sekalian?!”.

Erangku,. Sayang nya aku tak bisa berbuat apa apa, suaraku tak terdengar, terlalu kecil dan lemah, memang tanpa kedudukan mustahil suara akan di dengar, dan akupun terlalu renta untuk melawan begitu lebat manusia-manusia itu, manusia-manusia yang sedang marah pada kekuasaan yang salah, manusia-manusia yang melepas luapan keinginan yang ku pikir dengan salah pula, bertindak salah untuk meluapkan marah pada yang mereka persalahkan, dan aku hanya bisa menangis, melihat bangsa dengan budaya yang di banggakan dengan ADI LUHUNG, INGGIL TOTO KROMO ,bisa berbuat seperti manusia manusia pedalaman yang tak mengerti pendidikan, etika, sopan santun dan bertindak dengan begitu PURBAnya,.

Berkutat dengan mesin jahit yang tetap hitam mengilat di usianya yang lebih tua dari pada diriku sendiri, menjahitkan pakaian pakaian lusuh yang lebih layak di jadikan kain lap dari pada di kenakan untuk menutup tubuh, menikmati satu gelas teh tawar yang tak lagi hangat sisa tadi pagi, dan akhir-akhir ini tampaknya aku lebih banyak melamun, jahitan ku tak seramai dulu lagi, teman teman ku juga sudah tak lagi bisa mengajak ku bicara, Prasojo meninggal saat tragedi MEI 1998,mungkin karena serangan jantung, teringat kembali akan peristiwa di Klaten yang dulu dulu rupanya, dan Senen, pemuda yang biasa mendongengkan derai sejarah baru tentang negeri ini menghilang, tak lagi muncul, dengar-dengar dia sudah pindah ke Jakarta, mencoba untuk lebih mengerti PERUBAHAN yang selalu dia inginkan, tinggal aku sendiri, di sini, di bangkai sejarah yang tak lagi di perdulikan, dengan mesin jahit yang tak bisa bercerita, dengan tumpukan kain kumel yang berbau pesing, mengenangkan masa lalu, menjadi saksi sejarah baru, sebagai orang kecil yang tak bisa berbuat apa-apa, menjadi penjaga bangunan yang tak jelas mau dikemanakan nasibnya, menjadi pesakitan di diri sendiri,dikota sendiri, di negeri sendiri, “sekarang aku rajin batuk”.

“Aku yang tak menyebutkan namaku di sini, di cerita ini, sebagai orang yang tak di dengar karena tak memiliki apa-apa, aku yang diam di sudut depan bangunan ini, terasing sendirian tanpa kepantasan, mereka tak memperdulikan ku, tak memperdulikan keberadaan ku, di kota kelahiranku sendiri, di Bumi pertiwi ku, hanya menunggu maut yang ku harap bisa berbuat lebih adil dari kehidupan,lebih adil untuk memandangku, lebih adil untuk memperlakukanku, menerimaku ” .

Source: Decungkringo 

Senin, 16 April 2012

Kawan Ketua ke Daerah Basis

Setelah Peristiwa G-30-S Kawan Ketua ke Daerah Basis


Langit masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto, juga lima perwira AU berpangkat mayor.

"Apakah tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?" tanya Komodor Udara Dono Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan. Sosok yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat. 

"Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk mempersiapkan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta," katanya. 

Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.

Lawatan orang nomor satu PKI ini ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada saat seperti itu tentu saja mengundang beragam tafsir. "Kawan ketua mendatangi daerah basis," kata Ngadiyanto, anggota DPRD Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. 

Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. 

"Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu," kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo. 

Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.

Dalam perjalanan ke rumah Sutrisno, dua kali rombongan Aidit kesasar. Awalnya ke rumah Ketua Partai Nahdlatul Ulama, lalu ke rumah Ketua Partai Nasionalis Indonesia. Tak jelas benar apakah ini sengaja atau memang karena ketidaktahuan. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 memang diungkapkan: tak seorang pun dari para pengantar itu tahu rumah Sutrisno. Tapi kedatangan orang pusat yang tak dijemput pejabat daerah memang menjadi tanda tanya sendiri di benak orang-orang Angkatan Udara.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di kota ini Aidit bertemu dengan pimpinan PKI Yogyakarta. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjata untuk mendukung Dewan Revolusi Untung, meski itu tak jadi dilaksanakan karena dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, Aidit bertolak ke Semarang. 

Wakil Ketua I CC PKI M.H. Lukman dan pemimpin PKI Jawa Tengah dikabarkan mengadakan pertemuan darurat di Semarang. Menurut Victor Miroslav Fic, pertemuan ini penting karena menghasilkan sikap politik PKI yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan partai tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi kekuatan untuk menangkal serangan dari lawan-lawan politik partai dan Presiden.

Seusai pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan raya Boyolali, justru akhir Oktober 1965. 

Pria 61 tahun ini awalnya dihampiri dua orang yang mengendarai VW Kodok, yang belakangan diketahui adalah Aidit dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Suyatno Atmo. 
"Si Mbah (panggilan untuk Aidit) menanyakan jalan menuju kantor Bupati Boyolali," kata Jungkung. 

Bupati Boyolali saat itu, Suwali, memang kader partai. Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu dan menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk menerima hasil keputusan pertemuan Semarang. Bertolak belakang dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 September beserta tujuan-tujuannya. 

Partai juga harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai. Menurut Victor Miroslav Fic, perbedaan keputusan Semarang dan Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat. 
Yang juga belum jelas dari rangkaian peristiwa ini adalah bagaimana Aidit bisa melakukan rapat di Yogyakarta, Semarang, dan Solo dalam waktu sehari. Dalam keadaan genting ini, Politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur, 5 Oktober 1965. Soal pertemuan ini memang simpang-siur. Bekas anggota CC PKI, Rewang, mengaku tak tahu soal pertemuan itu. 

"Oktober 1965, saya masih di Jakarta," kata Rewang kepada Tempo. Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo tegas menyangkal adanya pertemuan itu. 
"Saat itu semua pengurus elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Secara teknis, tidak mungkin anggota Politbiro berkumpul di Blitar," kata pria 85 tahun itu. 

Menurut Victor Miroslav Fic, memang tak semua elite partai hadir. Selain Aidit, cuma ada M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong. Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno.

Dalam surat tertanggal 6 Oktober yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan versinya soal peristiwa 30 September. Malam itu, ia mengaku dijemput tentara berpakaian Pengawal Presiden Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet. Tapi mobil yang membawanya justru mengarah ke daerah Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bukan Istana Negara. Dari para penahannya, ia mendapat informasi soal rencana menangkap orang yang disebut terlibat Dewan Jenderal. Informasi tambahan lainnya, Presiden dikabarkan memberi restu gerakan ini.

Keesokan harinya, masih menurut surat itu, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Kota ini dianggap tepat untuk markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.

Surat itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut "sehingga tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar". 
Kepada Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden secara politik.

Aidit menyerahkan surat itu kepada Lukman dan menginstruksikan agar dia kembali ke Jakarta. Di Ibu Kota, Lukman diminta menghubungi Njoto dan menyampaikan surat tersebut untuk diserahkan kepada Presiden secara pribadi. Bila kabinet bersidang pada 6 Oktober di Bogor, Njoto diminta hanya membacakan salah satu poin yang berisi usul penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September secara politik. Njoto memang bisa bertemu dengan Presiden. 

Di depan sidang kabinet, Presiden memberi Njoto kesempatan untuk menyampaikan pandangan PKI. Ada cerita sendiri soal gagalnya Aidit datang dalam rapat kabinet di Istana Bogor. Mulanya, datang radiogram kepada komandan Skuadron Pendidikan B Mayor Udara Sugiantoro, 5 Oktober 1965. 
Isinya, ada permintaan agar dikirim sebuah pesawat Mentor ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan, Solo, dan pilotnya menghadap ke komandan pangkalan. Mayor Udara Sugiantoro melaporkan radiogram itu ke Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto. 

Tak lama kemudian, Sugiantoro bersama Kapten Udara Suwandi Sudjono melesat dengan dua pesawat Mentor ke Panasan, Solo. Sesampai di pangkalan, ia menghadap ke komandan pangkalan, Kolonel Udara Sunyoto. 
Ia pun diberi instruksi mengantar seorang pejabat, yang tak ia sebutkan namanya, ke Pangkalan Angkatan Udara Semplak, Bogor. Atas desakan Mayor Sugiantoro yang ingin tahu siapa pejabat "misterius" itu, Kolonel Sunyoto pun buka kartu. Orangnya tak lain adalah Aidit. Tahu perkembangan Gerakan 30 September di Jakarta melalui radio, ia tegas menolak instruksi itu. 

"Ini perintah," bentak Kolonel Sunyoto waktu itu. 
"Saya hanya tunduk pada perintah atasan saya langsung di Akademi Angkatan Udara," kata Mayor Sugiantoro. 
Suasana tegang karena keduanya sama-sama teguh pendirian. Pesawat Mentor itu pun kembali lagi ke Yogyakarta, dan tak ada penerbangan ke Bogor.

Di tengah gencarnya usaha perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. 
Menurut Victor Miroslav Fic, salah satu instruksinya adalah yang dibuat pada 10 November. Dalam surat yang terdiri atas 11 item itu, Aidit menyampaikan "wasiat" setelah melihat perkembangan keadaan. Merujuk pada buku wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, mungkin surat itu ditulis dari tempat persembunyian Aidit di daerah Kerten atau Sambeng, sama-sama di Solo.

Dalam "wasiat terakhirnya" itu, Aidit mengakui kerusakan fatal pada partai akibat Gerakan 30 September, meski semua sudah diperhitungkannya. Surat itu juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Jika itu terjadi, petinggi PKI diminta menjamin kelangsungan partai, mempertahankan daerah basis di Jawa, menghindari perlawanan frontal, serta teror dan sabotase hendaknya dijalankan sistematis untuk perang urat saraf. Surat itu juga mengisyaratkan optimisme bahwa Sosro-yang diyakini sebagai nama samaran untuk Soekarno-belum meninggalkan PKI.

Dalam sidang terakhir Kabinet Dwikora, 6 Oktober, Soekarno bisa meyakinkan kabinet untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi kemudian berujung pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah "surat wasiat" itu, Aidit ditangkap anak buah Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto. Itulah akhir karier dan hidupnya.

Perjalanan Terakhir Aidit

1. Jakarta
Aidit bertolak dari Jakarta pukul 01.30 WIB pada 2 Oktober 1965.
Naik Pesawat Dakota T-443 dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto.

2. Yogyakarta
Tiba di bandara pada 2 Oktober 1965 dini hari.
Aidit pergi ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta Sutrisno.
Bertemu dengan petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.

3. Semarang
Aidit bergabung dengan pemimpin PKI Jawa Tengah yang mengadakan pertemuan darurat, 2 Oktober 1965.
Rapat menghasilkan sikap politik yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan PKI tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu.
Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi.

4. Boyolali
Aidit dilaporkan datang ke kota ini pada 2 Oktober 1965, tapi agendanya tak jelas benar.
Ada yang mengaku melihat Aidit di Boyolali justru akhir Oktober. Waktu itu, Aidit hendak bertemu dengan kader partai yang jadi Bupati Boyolali, Suwali.

5. Solo
Aidit menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo Utomo Ramelan, 2 Oktober 1965.
Rapat justru mendukung operasi Gerakan 30 September dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai.

6. Blitar
Pada 5 Oktober 1965, Politbiro PKI menggelar rapat.
Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit kepada Presiden Soekarno.
Bekas anggota CC PKI, Rewang, tak tahu pertemuan itu.
Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Semaun Utomo menyangkal adanya pertemuan itu.

7. Solo
Pada 10 November, di suatu tempat di Solo, Aidit menulis instruksi ke semua CBD partai.
Pada 22 November 1965, Aidit ditangkap.

Jumat, 13 April 2012

Kaum Tani dan Revolusi Sosialis




Sekali kita berbicara tentang petani dan menghubungkannya dengan revolusi sosialis, saat itu juga kita menyadari betapa kompleksnya persoalan yang kita hadapi. Betapa tidak!  “Klas” yang kita namakan “petani” tidak mempunyai posisi yang sama dalam hubungannya dengan alat-alat produksi. Dalam kaitan dengan sisa-sisa feodalisme, kita menjumpai para tuan tanah di satu pihak dan petani penggarap di pihak lain. Dalam kaitan dengan kapitalisme, kita menjumpai kapitalis pertanian di satu sisi dan buruh tani (istilah Tan Malaka: proletar tanah) di sisi lain. Di samping itu kita juga berjumpa dengan lapisan burjuis kecil di kalangan petani, yakni petani gurem dan petani menengah.

Tuan tanah adalah orang yang memiliki tanah berhektar-hektar dan menyewakannya kepada para penggarap.
Kapitalis pertanian adalah orang yang memiliki tanah berhektar-hektar dan menjadikannya lahan-lahan agrobisnis (para kapitalis pertanian).
Petani gurem adalah orang yang hanya memiliki dan menggarap sejengkal tanah untuk mempertahankan hidup.
Petani penggarap adalah orang yang menyewa dan menggarap tanah orang lain, dengan hasil “bersih” yang hanya bisa digunakan untuk menyambung hidup.
Buruh tani adalah orang yang menjual tenaga mereka kepada para kapitalis pertanian dan bekerja di lahan-lahan agrobisnis mereka, demi sepeser upah yang hanya bisa digunakan untuk bertahan hidup.
Petani menengah (farmer) adalah orang yang memiliki lahan yang diandalkan untuk menghasilkan panenan yang bisa “dilempar” ke pasar hasil-hasil pertanian namun sangat bergantung pada kebijakan pemerintah terhadap pasar tersebut.
Nampaknya jelas, secara sosiologis petani memiliki banyak “entitas” atau wujud. Masing-masing entitas tentu memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi-politiknya sendiri. Kenyataan ini memunculkan pertanyaan serius tentang peran petani dalam proyek pembebasan yang kita namakan revolusi sosialis. Entitas manakah dari kalangan petani yang akan melaksanakan peran progresif dalam revolusi sosialis? Lantas peran revolusioner apakah yang bisa dilaksanakannya?
Dari pemetaan di atas kita menemukan setidaknya tiga hal:
Pertama, eksploitasi (penghisapan) secara langsung dan vulgar terjadi di antara tuan tanah dan kapitalis pertanian di satu sisi dan petani penggarap dan proletar tanah di sisi lain. Dengan kata lain, tuan tanah dan kapitalis pertanian adalah kaum penghisap, sedangkan petani penggarap dan buruh tani adalah kaum yang terhisap.
Kedua, petani gurem dan petani menengah tidak mengalami penghisapan secara langsung dan vulgar, tetapi menjadi pihak yang selalu kalah. Petani gurem berusaha bertahan hidup dengan menggulati tanah yang hanya sejengkal, “kemurahan” alam, dan hama, dengan perkakas pertanian yang sederhana serta dibebani harga pupuk, tengkulak, dan rentenir. Kekalahan dalam pergulatan itu akan membuatnya menjadi buruh tani atau pergi mencari pekerjaan di kota dengan kemungkinan menjadi buruh, kuli bangunan, pengayuh becak, atau malah Lumpenproletariat.
Petani menengah berusaha mengembangkan perekonomiannya di hadapan tantangan alam dan hama di satu sisi serta kapitalis pertanian di sisi lain. Sehubungan dengan tantangan alam dan hama, serta harga pupuk, tengkulak, dan rentenir petani menengah relatif lebih kuat daripada petani gurem. Tapi ketika berhadapan dengan kapitalis pertanian, yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap pasar, petani menengah tidak berdaya. Padahal kekalahan dalam pertarungan dengan kapitalis pertanian akan berdampak pada kemampuannya dalam menghadapi “musuh-musuh” yang pertama. Bila cukup beruntung, ia bisa bertahan untuk sejurus waktu lamanya. Bila tidak, ia akan terhempas dan menjadi petani gurem bahkan bangkrut dan menjadi buruh tani. Bila cukup “cerdik”, dan pada saat yang sama si kapitalis pertanian “berbaik hati”, petani menengah akan menginduk pada si kapitalis pertanian, menjadi mitra yunior si kapitalis pertanian, dan menjadi kaum yang dieksploitasi namun hampir pasti menerima tetesan-tetesan berkat dari si kapitalis pertanian.
Ketiga, semua entitas atau wujud dari kalangan petani mempunyai hubungan yang langsung, kendati beragam, dengan tanah. Bagi para tuan tanah, kapitalis pertanian, dan petani menengah, fungsi utama tanah adalah untuk mendatangkan profit (keuntungan). Sedangkan bagi para petani gurem, petani penggarap, dan buruh tani, fungsi utama tanah adalah subsistensi, yakni untuk mempertahankan hidup mereka dan keluarga mereka. Dalam pada itu, sebagai lapisan yang secara umum merupakan lanjutan langsung dari feodalisme, petani memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah. Wujud-wujud atau lapisan-lapisannya memiliki aspirasi dasar yang sama: kepemilikan pribadi atas tanah. Dalam kenyataannya, sejarah memperlihatkan kepada kita, bahwa pemberontakan-pemberontakan kaum tani kecil memiliki ciri yang sama: menuntut kepemilikan pribadi atas tanah. Sejarah juga menunjukkan bahwa dalam tiap-tiap konflik agraria, petani gurem dan petani menengah berusaha mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas tanah, demikian juga para tuan tanah dan kapitalis pertanian.
Dalam kaitannya dengan proyek pembebasan yang kita namakan revolusi sosialis, pengamatan dan analisis di atas mengantar kita pada beberapa hal tentang petani.
Pertama, selaku kaum Sosialis yang bertulangpunggungkan klas buruh atau proletariat, sudah seharusnya kita solider dengan para petani penggarap, buruh tani, dan petani gurem. Petani penggarap dan buruh tani adalah kaum terhisap. Petani gurem adalah kaum tertindas. Dalam artian tertentu, demikian juga para petani menengah. Sebaliknya, kita melawan para tuan tanah dan kapitalis pertanian, yang menghisap para petani penggarap dan buruh tani serta menindas para petani gurem dan petani menengah. Komitmen moral kita selaku kaum Sosialis adalah solidaritas dengan kaum yang terhisap dan tertindas dan menentang kaum yang menghisap dan menindas.
Kedua, karena menyadari bahwa petani penggarap, buruh tani, dan petani gurem merupakan entitas-entitas atau lapisan-lapisan yang terhisap dan tertindas, selaku kaum Sosialis yang bertulangpunggungkan klas buruh kita perlu melakukan kerja-kerja politik di antara mereka. Kita perlu menghubungkan mereka dengan klas buruh. Kita perlu menjadikan mereka bagian dari kekuatan revolusioner yang dahsyat untuk menghadapi kaum penghisap dan penindas serta menggulingkan tatanannya.
Ketiga, karena bahwa kaum tani yang terhisap dan tertindas terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda, kita perlu menyadari bahwa mereka tidak dapat melaksanakan peran yang independen. Tentu saja kita tidak menyangkal bahwa mereka dapat melaksanakan peran revolusioner. Kita sekadar menggarisbawahi bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan dari klas yang lain. Dalam hal ini, setidaknya ada dua klas yang mungkin memimpin kaum tani yang terhisap dan tertindas, yakni klas buruh dan burjuasi nasional. Bila kepemimpinan ada pada burjuasi nasional, dalam konteks kapitalisme dewasa ini kaum tani yang terhisap dan tertindas akan menjadi bagian dari kekuatan yang konservatif dan reaksioner. Tapi bila kepemimpinan ada pada klas buruh, kaum tani yang terhisap dan tertindas akan menjadi bagian dari kekuatan revolusioner.
Keempat, kita juga perlu menyadari bahwa aspirasi dasar petani, termasuk petani penggarap, buruh tani, dan petani gurem tercakup dalam tuntutan dan agenda revolusi demokratik, bukan sosialis: kepemilikan pribadi atas tanah. Kenyataan ini memposisikan mereka dalam kedudukan yang ambivalen: sekutu yang memiliki kemungkinan untuk menjadi seteru klas buruh. Ini menjadi salah satu alasan yang meniscayakan Revolusi Permanen. Untuk itu, klas buruh harus berupaya keras meyakinkan kaum tani yang terhisap dan tertindas bahwa proyek pembebasan tidak bisa berhenti pada tuntutan dan agenda revolusi demokratik. Revolusi demokratik harus segera dibawa pada penyimpulannya. Penyimpulan itu adalah revolusi sosialis: pengambilalihan alat-alat produksi dari tangan kapitalis ke tangan rakyat pekerja (di bawah pimpinan klas buruh), yang mengorganisir diri dalam dewan-dewan buruh dan dewan-dewan komunal. Berhenti pada tuntutan dan agenda revolusi demokratik berarti membuka pintu lebar-lebar bagi kekuatan-kekuatan reaksioner (feodal dan kapitalis) untuk melancarkan dan memenangkan konter-revolusi yang pada gilirannya akan menjerumuskan mereka kembali ke dalam jurang penghisapan dan penindasan.
Selaku kaum Sosialis kita meyakini bahwa klas buruh atau proletariat mengemban tugas historis untuk menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Tapi pada saat yang sama kita menyadari keberadaan kaum yang terhisap dan tertindas lainnya, termasuk para petani penggarap, buruh tani, petani gurem, dan dalam cakupan tertentu petani menengah. Kita ingin melibatkan semua kaum yang terhisap dan tertindas dalam tugas historis yang berhakikatkan pembebasan umat manusia ini. Kita mengakui pentingnya dukungan mereka. Tapi kita menyadari bahwa klas buruh tidak boleh menghindar dari peran kepemimpinan revolusioner. Karena itu persekutuan klas buruh, kaum tani terhisap dan tertindas, kaum miskin kota, serta kaum yang terhisap dan tertindas lainnya, harus dipimpin oleh klas buruh, yang dengan konsekuen akan mentransfromasi revolusi yang semula sekadar berwatak demokratik menjadi revolusi yang berwatak sosialis.
Kepada segenap kaum tani yang terhisap dan tertindas, bergabunglah di bawah panji-panji revolusi sosialis proletariat! Sadarilah, masa depan Saudara-saudari, terletak pada kemenangan revolusi sosialis, dan itu berarti pada dukungan Saudara-saudari terhadap kepemimpinan revolusioner proletariat!
Kebon Jati, 23 Maret 2012
Sumber: Militan Indonesia