HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 31 Desember 2016

Bambang Tri Sesumbar Didukung TNI, Tuduh Polisi Belajar Komunis

Sabtu, 31 Desember 2016 | 21:27

Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover. (Istimewa)
Jakarta - Bambang Tri Mulyono, penulis buku bernuansa fitnah "Jokowi Undercover" yang telah ditangkap polisi, mengaku mendapat dukungan penuh dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam rangkaian statusnya di Facebook.
Selain itu, pria yang tinggal di Blora, Jawa Tengah itu juga menuduh ada personel polisi yang dikirim ke Tiongkok untuk belajar komunisme.
Hari Sabtu (31/12), Markas Besar Polri membenarkan bahwa Bambang telah ditangkap karena tulisan yang menyebarkan kebencian dan permusuhan, dan karena melancarkan tuduhan-tuduhan kepada orang lain semata-mata berdasarkan persepsi pribadi tanpa bukti otentik.
Bambang dalam bukunya menuduh Presiden Joko Widodo (Jokowi) keturunan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), namun jangan berharap ada analisis ilmiah atau bukti-bukti otentik yang mendukung pernyataannya itu.
Dia hanya menampilkan sejumlah foto editan, dan editannya pun sangat amatir, hanya menempelkan lingkaran atau tanda highlight lainnya, tak ada bedanya dengan unggahan-unggahan fitnah yang banyak beredar di media sosial belakangan ini.
Dengan foto-foto itu dia menganalisis jempol yang bengkok atau lurus, bentuk hidung, dan sebagainya. Namun begitu, dia lalu dengan berani menyimpulkan bahwa orangtua Jokowi yang sebenarnya adalah pengikut PKI.
Bukan itu saja, dalam status di Facebook yang diunggah 24 Desember lalu, Bambang Tri berani menuduh ada elemen Polri yang belajar komunisme.
"Polda Jateng kasih bocoran ... Polisi ada yang dikirim ke China belajar Komunisme," tulisnya.
Setelah itu, pada hari yang sama, dia sesumbar didukung TNI dan sebagian anggota Polri.
"Polisi terbelah ... dukung BT atau Joki ... TNI kompak BT!" tulisnya. Tak jelas apakah Joki yang dia maksud adalah Presiden Jokowi.
Selain keberaniannya mengumbar tulisan bernada fitnah ini, Bambang Tri juga berani mengungkap identitas dirinya.
Dia mengunggah video dirinya sendiri yang mengatakan: "Saya Bambang Tri Mulyono penulis buku Jokowi Undercover. Saya menganggap bahwa kegiatan saya menulis ini adalah kegiatan bela negara karena saya tidak rela lembaga kepresidenan dilecehkan oleh seorang yang bernama Jokowi, yang sangat patut diduga kuat telah memalsukan riwayat hidupnya di dokumen resmi KPU ketika dia mencalonkan diri menjadi presiden."
Buku itu memang sudah cukup lama diterbitkan, pada masa pemilihan presiden 2014 lalu, namun baru mengemuka setelah adanya laporan dari seseorang bernama Michael Bimo yang namanya disebut dalam buku Bambang.
Selain itu Polri belakangan ini juga makin gencar memerangi penyebaran berita-berita fitnah baik cetak maupun kewat media digital.
Heru Andriyanto/HA | BeritaSatu.com
http://www.beritasatu.com/nasional/407288-bambang-tri-sesumbar-didukung-tni-tuduh-polisi-belajar-komunis.html

Jumat, 30 Desember 2016

Apresiasi: Andrenaline ~ Lekra Tak Membakar Buku membungkam Prahara Budaya


“Ayo Moel, segeralah mulai disusun, sayang bila bahan-bahan sepenting ini tidak dimasyarakatkan untuk mahasiswa, guru, dosen sastra, sastrawan dan pembaca umum. Jangan cuma terpendam saja dalam dokumentasi. Nanti kalau suasana berubah, bisa-bisa orang-orang bekas Lekra/PKI itu memutarbalikkan lagi apa yang terjadi tahun 60-an itu” 
(Taufiq Ismail)
“Ditolak oleh toko buku raksasa dengan cabang dimana-mana, nasib buku ini terkatung-katung dan tercecer di toko-toko buku loakan, sebelum disusul oleh keluar surat vonis pelarangan dari Pemerintah No.141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009” 
(Muhidin M Dahlan)
Tak ada yang lebih efektif dari tindakan penyensoran pikiran selain dengan praktik pelarangan buku yang dilakukan oleh aparatus negara. Atas nama demi stabilitas, demikian bunyi kredo keramat yang selalu didengungkan pemerintah yang ditujukan kepada individu atau kelompok yang hendak ‘mengganggu ketertiban umum’ lewat penyebarluasan buku dan bacaan yang sudah dinyatakan dilarang pemerintah. Angin reformasi yang seharusnya menjadi berkah bagi kebebasan warga negara untuk mendapatkan pengetahuan apapun, nyatanya tidak begitu. Masih saja kebebasan hak warga negara atas akses informasi dibelenggu oleh dua staatsblad UU No. 4/PNPS/1963: Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum dan UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.
Pada bulan September 2008 terbit sebuah ‘buku putih’ tandingan yang mengupas tajam hingga jantung yang paling dalam tentang riwayat sebuah organisasi lembaga kebudayaan rakyat yang pernah begitu berjaya dan berpengaruh luas di ranah kebudayaan Indonesia tahun 60-an. Buku itu berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950 – 1965 yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Buku setebal 580 halaman itu adalah hasil olah riset dan pembacaan intensif terhadap ratusan surat kabar di Indonesia yang terbit tahun 60-an, dalam rangka menyambut seabad terbitnya koran Medan Prijaji yang bertepatan jatuh pada tahun 2007.
Ditengah perjalanan proses penelitian dan pembacaan ratusan surat kabar tersebut, dua penulis buku ini menemukan Harian Rakjat, koran resmi PKI, diantara timbunan brosur-brosur komunis, Warta Bakti, Terompet Masjarakat dan Bintang Timur dalam jumlah edisi yang melimpah ruah. Bundelan koran-koran tua itu sudah terkurung selama 30 tahun di dalam sebuah kamar perpustakaan yang digembok rapat-rapat, dengan tulisan yang menciutkan nyali tertempel di muka pintu: Bacaan Terlarang! Sampai ribuan edisi jumlahnya. Dari hari ke hari selama hampir 1,5 tahun dua penulis itu memfokuskan diri menyeleksi, membaca-memilih, membaca-memilah, membaca-menyiangi dan menggunting artikel koran Harian Rakjat beraksen ejaan lama itu untuk kemudian disusun menjadi sebuah buku dengan fokus utamanya adalah membangun sebuah bab tentang “Riwayat Harian Rakjat“.
Buku Lekra Tak Membakar Buku yang disusun dengan menggunakan metode kliping ini adalah sebuah ikhtiar atas langkanya sumber-sumber rujukan tentang sejarah Lekra dalam bentuk buku. Bisa dibilang, tak lebih dari hitungan jari sebelah tangan saja sumber-sumber tulisan yang mengabarkan riwayat Lekra. Sebut saja buku yang berjudul Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia karangan sastrawan Malaysia, Yahaya Ismail, yang terbit di Malaysia tahun 1972; esai panjang berjudul Peristiwa “Manikebu” Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 60-an disusun Goenawan Mohamad tahun 1988 yang merupakan tandingan terhadap buku yang ditulis Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts yang terbit di Australia tahun 1986; dan sebuah skripsi S-1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia berjudul Manifes Kebudayaan: Sebuah Perwujudan Pertentangan Politik 1950-1960 yang disusun Rasti Suryandani tahun 1993. Dan pada tahun 1995 terbitlah sebuah buku yang disusun dengan metode kliping, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto yang diterbitkan oleh penerbit Mizan bekerjasama dengan harian Republika. Lima tahun pasca Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri membidani lahirnya Lekra Tak Membakar Buku, tanggal 30 September – 6 Oktober 2013 terbit majalah Tempo yang menurunkan laporan Edisi Khusus: LEKRA DAN GEGER 1965.
Buku kliping mesti di lawan dengan buku kliping pula
Kliping, menurut arti kamus adalah “guntingan koran”. Mengkliping koran adalah aktifitas menggunting bagian-bagian khusus di kolom-kolom halaman koran. Arsip dan dokumentasi adalah hasil dari proses mengumpulkan, seleksi, dan menulis ulang catatan harian jurnalis yang pernah tercetak di media massa. Sementara para jurnalis-pers bekerja mencatat denyut nadi kehidupan yang kemudian dicetak di kolom-kolom media massa, para dokumentator-arsiparis bekerja dengan menyeleksi, menyimpan, dan memanfaatkannya lewat praktek aktifitas kliping.
Buku Prahara Budaya adalah buku setebal 469 halaman yang ditulis dengan menggunakan metode kliping. Sebagai sebuah pekerjaan politik-kultural, sumber-sumber data tentang peristiwa budaya sebelum dan sesudah G30S meletus didapatnya pada kurun waktu sezaman. Apalagi D.S Moeljanto adalah seorang wartawan. Sebagai seorang pencatat peristiwa, dipastikan ia memiliki data yang melimpah. Dan usaha Taufiq Ismail dalam menyusun buku-kliping ini adalah sebuah usaha meluruskan sejarah yang menurutnya sudah di bengkok-patahkan PKI dan ormas-ormasnya. Di dalam buku ini dengan gamblang nyaris telanjang bentuk rupa seperti apakah Lekra itu. Sebuah buku Prahara Budaya dan ditambah indoktrinasi Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila model Orde Baru semakin menguat dalam penggambaran Lekra yang terus ditanamkan di dalam tempurung kepala masyarakat sebagai organisasi monster haus kekuasaan dengan daya destruktif yang mematikan, gerombolan pengacau tukang bikin onar panggung kebudayaan, iblis urakan pembakar buku, dan sekian label-label yang sepertinya tidak ada sisi baik-baiknya barang secuilpun karya-karya yang pernah dihasilkan seniman-seniman Lekra. Singkatnya, Lekra adalah organisasi kebudayaan penuh lumpur dosa yang tidak layak hidup di bumi Indonesia dan hanya layak dilenyapkan.
Karena buku ini terbit di era Orde Baru yang mengharamkan segala produk yang berbau-bau marxis-leninis, maka praktis buku Prahara Budaya ini nyaris tak punya saingan. Buku ini kemudian menjadi satu-satunya rujukan ihwal sejarah Lekra. Tanpa pembelaan, tanpa pengadilan. Para akademisi dan sejarawan lebih memilih bungkam dan ogah menyusun buku tandingan. Walaupun bersembunyi di balik tendensi ilmiah demi pelurusan sejarah, tetap saja tak ada yang berani melakukannya. Dengan dilapisi kesadaran sejarah yang tak terbantahkan, Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto telah memukul genderang bahwa buku-kliping yang mereka susun tersebut adalah buku yang memiliki kebenaran mutlak yang tak bisa digoyang dan di ganggu gugat. Suara lantang dua penyusun buku-kliping ini dengan tegas menyatakan bahwa hasil-hasil kerja seniman-seniman Lekra selama 15 tahun berkarya itu tidak ikut meneguhkan, menyumbangkan daya kreatif di lapangan kesenian dan memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia, melainkan memakzulkannya lewat pembunuhan-pembunuhan karakter secara terstruktur, sistematis dan massif.
Hingga pada akhirnya…
Karena buku yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto ini menggunakan metode kliping, maka tak ada jalan lain lagi selain memukul balik Prahara Budayadengan menghadirkan buku tandingan dengan metode yang serupa: menyusun kliping! Dengan tidak menyimpan tendensi penghormatan yang berlebihan dan pemujaan membabi-buta terhadap Lekra/PKI, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri berusaha seobjektif mungkin menghadirkan alternatif bacaan, yaitu dengan melakukan usaha penghadiran buku-kliping atas subjek dan peristiwa-peristiwa kebudayaan, sejak embrio Lekra masih berupa janin gagasan yang dimulai sejak Kongres Lekra I di Solo tahun 1959 hingga masa hancur leburnya Lekra akibat peristiwa huru-hara pageblug 30 September 1965.
Buku Lekra Tak Membakar Buku pada 2008 lahir, dalam bahasa Antonio Gramsci sebagai counter-hegemoni melawan dominasi Prahara Budaya. Sebuah buku yang dilandasi sumber-sumber yang juga tak kalah terbantahkannya, yaitu guntingan-guntingan koran dan pers yang pernah terbit di kurun masa ketika Lekra tengah memoles wajah Indonesia dengan kesenian, sastra dan kebudayaan. Koran-koran lapuk yang menguarkan debu-debu dan rayap yang dikubur selama hampir 30 tahun di dalam sebuah perpustakaan itu di bangkitkan dari persemayamannya. Disusun ulang menjadi sebuah buku yang mengabarkan kerja-kerja solid para seniman Lekra. Tak hanya melulu menyoal sastra, para pemundak Lekra juga mengabarkan kekompakan dan kerapihan kerja di ranah musik, filem, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari dan perbukuan.
Sebagai buku yang lahir dari etos pendokumentasian arsip dan kerja kliping, tentu saja Lekra Tak Membakar Buku hadir dengan tidak menangguk sederet konsekuensi dan kontroversi. Jika melihat satu sisi kerja penulisan dan penyusunannya, buku ini hanya menyandarkan pada satu sumber rujukan, yaitu koran Harian Rakjat yang notabene sebagai corong media PKI yang tentunya sangat subjektif dalam mengabarkan laporan peristiwa. Sementara hal yang tidak bisa dibantah atas kehadiran buku-kliping ini adalah usaha Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri telah melakukan sebuah tugas pendokumentasian demi melestarikan ingatan demi generasi mendatang, yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer sebagai tugas nasional. Betapa tidak, sebab tugas dan peristiwa yang di tangguk Lekra sendiri adalah tugas Nasional. Dan dua penyusun buku ini tidak mau menanggung kegetiran seperti yang di tulis Pram, “Sejak dulu, orang-orang Indonesia tidak memiliki tradisi mendokumentasi. Sejak zaman raja-raja. Kalau mereka mendokumentasi itu semata demi raja-raja. Sejarah kita pun menjadi sejarah para raja. Tak heran saya kalau orang asing yang banyak menulis tentang Indonesia. Kita tak punya detail tentang diri kita sendiri. Bayangkan, bangsa besar ini tak kenal dirinya sendiri”.
Dan betapa ghalibnya sang waktu berjalan dan mengitari dirinya sendiri setepat-tepatnya. Setelah tiga bulan terbit ternyata Lekra Tak Membakar Buku menemui persoalan distribusi. Tanggal 22 Desember 2009, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950 – 1965 adalah buku terlarang! Dan setelah melewati proses hukum, pada tanggal 13 Oktober 2010 akhirnya Mahkamah Konstitusi yang saat itu diketuai Mahfud MD menyatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku bebas beredar sebagai bacaan publik. Demikianlah nasib sebuah buku…

Disalin dari: catatansamping

Penjual Kaos Lambang Palu Arit Ditangkap Mabes Polri

CNN Indonesia

 


Jumat, 30/12/2016 16:52 WIB


Mabes Polri menangkap seorang penjual kaos berlambang palu arit berinisial HS di Bandung. Penjualan kaos ini dianggap sebagai bagian penyebaran ajaran marxisme.(CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
JakartaCNN Indonesia -- Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menangkap penjual kaos bergambar palu arit yang berinisial HS. Pelaku tersebut diduga menjual kaos lambang palu arit, simbol Partai Komunis Indonesia, lewat online.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Agung Setya mengatakan, pelaku dicokok dari kediamannya, di kawasan Cililin, Bandung, Jawa Barat.

Saat menangkap HS, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa 15 kaos berlambang palu arit, alat sablon, printer, desain palu arit, serta sejumlah tablet dan laptop yang diduga digunakan untuk berinteraksi dengan pembeli. 

"HS ditangkap di Bandung dengan sejumlah alat bukti saat ini tersangka sudah diamankan di Mabes Polri," kata Agung di Bareksrim KKP, Jakarta, Jumat (30/12).

Agung menjelaskan, penjualan kaos berlambang palu arit tersebut merupakan salah satu tindakan yang dilarang dan diatur dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang kejahatan keamanan negara. Khususnya dalam pasal 107a tentang penyebaran ajaran marxisme dalam segala bentuk.

"Atas perbuatannya, HS diancam hukuman 12 tahun penjara," kata Agung.

Lebih lanjut, Agung mengatakan selain dituduh melanggar penyebaran ajaran marxisme, HS diduga telah melanggar pasal 11 Undang Undang ITE terkait penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan.

"Karena HS ini juga menjual kaos tersebut melalui aplikasi internet, ini juga ada indikasi pelanggaran UU ITE," kata dia.

HS memperdagangkan kaos berlambang palu arit selama enam bulan lewat penjualan online. Dalam waktu enam bulan, dia berhasil menjual 50 kaos dengan harga Rp115 ribu.

"Jadi sistemnya dia akan sediakan barang apabila ada yang memesan. Misalnya ada yang pesan sepuluh dia akan buat sepuluh, begitu seterusnya," kata Agung.

Menurut Agung, HS diduga memproduksi kaosnya sendiri, mulai dari membuat desain kemudian menyablon kaos polos dengan gambar palu arit buatannya. 

Agung menganggap HS telah mengetahui bahwa berjualan kaos dengan lambang palu arit melanggar hukum. "Tapi karena penjualan kaosnya menguntungkan, maka dia tetap berjualan," kata Agung. (yul)

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161230164832-12-183157/penjual-kaos-lambang-palu-arit-ditangkap-mabes-polri/

LPSK: 2015, Pemohon Perlindungan Saksi dan Korban Terbanyak Kasus HAM

Rabu, 30 Desember 2015 | 14:24 WIB


Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.| KOMPAS.com/SRI LESTARI

JAKARTA, KOMPAS.com
 - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai mengatakan, permohonan perlindungan saksi dan korban terbanyak yang diterima LPSK paling banyak diajukan terkait kasus Hak Asasi Manusia (HAM) berat. 

Dari total 1.590 permohonan yang diterima LPSK sepanjang 2015, 1.187 di antaranya adalah pemohon terkait kasus HAM berat. Sedangkan permohonan kasus HAM berat yang diterima berjumlah 837 pemohon. 

"Kan mereka (korban HAM berat) sudah punya orgabisasi korban. Nah organisasi korban ini lah yang mengorganisir para korban untuk mengajukan permohonan ke LPSK," ujar Semendawai usai memaparkan laporan akhir tahun LPSK di Jakarta, Rabu (30/12/2015). 

Sedangkan untuk sebaran wilayahnya, ia memaparkan, LPSK menerima sebanyak 719 permohonan terkait kasus HAM berat dari Jawa Tengah. Sedangkan wilayah dengan pemohon terbanyak kedua adalah Sumatera Barat dengan 323 pemohon. 

Semendawai menjelaskan, selain karena adanya organisasi khusus yang mengorganisir para korban HAM, jumlah korban HAM di dua daerah tersebut memang lebih banyak dibandingkan daerah-daerah lain. 

"Korban pelanggaran HAM itu kan banyak. Khususnya di dua daerah itu. Sedangkan dari daerah lain tidak terlalu signifikan. Meskipun ada juga," kata Semendawai.
Penulis: Nabilla Tashandra
Editor: Sabrina Asril
http://nasional.kompas.com/read/2015/12/30/14242441/LPSK.2015.Pemohon.Perlindungan.Saksi.dan.Korban.Terbanyak.Kasus.HAM

Sepanjang 2015, LPSK Terima 1.590 Permohonan Perlindungan Saksi dan Korban

Rabu, 30 Desember 2015 | 13:38 WIB

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Haris Semendawai usai pemaparan laporan akhir tahun LPSK di Jakarta, Rabu (30/12/2015) | KOMPAS.com/NABILLA TASHANDRA

JAKARTA, KOMPAS.com
 - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima 1.590 permohonan perlindungan saksi dan korban sepanjang tahun 2015. 

Menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, jumlah permohonan tahun ini meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sejumlah 1.076 permohonan. 

"Pada 2013 ada 1.506 permohonan yg masuk. 2014 ada 1.076," ujar Semendawai saat menyampaikan laporan akhir tahun LPSK di Jakarta, Rabu (30/12/2015).

Semendawai menambahkan, jumlah 1.590 tersebut adalah jumlah permohonan hingga 18 Desember 2015.

Hingga akhir tahun, jumlah permohonan diprediksi berjumlah lebih dari 1.600. Adapun dari jumlah 1.590 permohonan, hanya 1.102 permohonan yang diterima dan terbagi dalam beberapa kasus. 

Permohonan perlindungan saksi dan korban terbanyak adalah terkait kasus HAM yaitu sebanyak 837 orang. 

Sedangkan permohonan lainnya terkait kasus korupsi (43 orang), tindak pidana perdagangan orang (49 orang), terorisme (35 orang), kasus kejahatan seksual terhadap anak (25 orang), dan dari tindak pidana umun lainnya (113 orang).

"Untuk layanan yang dimohonkan dalam kasus pelanggaran HAM berat ini dapat berupa layanan medis, psikologis maupun psikososial," kata Semendawai.

Ia menambahkan, 2015 adalah tahun pertama terkait pemenuhan hak korban terorisme. Hal tersebut merupakan amanat yang ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Lebih lanjut, Semendawai memaparkan, pada 2015, pemenuhan hak kepada korban terorisme telah dibagikan kepada 35 orang yang terdiri dari 28 korban kasus Bom Bali dan 7 orang korban bom JW Marriott. 

"Ini sebagai langkah maju karena pada UU Nomor 13 Tahun 2006 masih sebatas fokus kepada bantuan medis dan psikolpgis bagi korban pelanggaran HAM berat," jelas Semendawai.
Penulis: Nabilla Tashandra
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

http://nasional.kompas.com/read/2015/12/30/13382921/Sepanjang.2015.LPSK.Terima.1.590.Permohonan.Perlindungan.Saksi.dan.Korban.

Kamis, 29 Desember 2016

Permohonan Perlindungan Saksi dan Korban di LPSK Meningkat

Kamis , 29 December 2016, 01:59 WIB |
Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Angga Indrawan


Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai
 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan permohonan perlindungan terhadap saksi dan korban terus meningkat tiap tahunnya. Peningkatan permohonan perlindungan tersebut meningkat hingga 10 persen dalam satu tahun terakhir ini.
“Ya kalau kita perhatikan dari tahun ke tahun memang permohonan itu semakin meningkat, selalu ada peningkatan. Bahkan, di awal-awal LPSK berdiri itu peningkatannya signifikan dua kali lipat, tetapi belakangan memang kenaikannya mungkin sekitar 10 persen, sudah satu tahun terakhir ini sekitar 10 persen,” kata Semendawai di kantor LPSK di Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (28/12).

Berdasarkan data LPSK, pada 2016 jumlah permohonan yang diajukan kepada LPSK tercatat mencapai 1.720 permohonan. Sedangkan pada 2015, jumlah permohanan tercatat sebanyak 1.653. Kendati demikian, tak semua permohonan yang diajukan ke LPSK dapat diterima dan ditindaklanjuti. Semendawai menjelaskan, dari 1.720 permohonan yang masuk ke LPSK pada tahun ini, sebanyak 1.658 permohonan telah dibahas dalam rapat apakah diterima atau ditolak. 

Menurut dia, dari 1.658 permohonan, tercatat terdapat 836 permohonan yang telah diterima dan 797 permohonan lainnya ditolak. Sedangkan, 20 permohonan merupakan rekomendasi, dan lima permohonan lainnya telah dicabut. “Dengan demikian ada penambahan permohonan baru yang kita terima di tahun 2016 bertambah 836. Sedangkan perlindungan yang masih berjalan 1.695. Jumlah seluruh mereka yang dilindungi 2.531 terlindung,” kata dia. 

Menurut Semendawai, LPSK menerima permohonan perlindungan terhadap korban dan saksi berdasarkan sejumlah pertimbangan. Di antaranya yakni pentingnya keterangan saksi dan korban, tingkat ancaman, kondisi psikologis, rekam jejak tindak pidana yang dilakukan oleh saksi korban, serta rekomendasi penegak hukum.
 
http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/12/29/oiwo5k365-permohonan-perlindungan-saksi-dan-korban-di-lpsk-meningkat 

Minggu, 25 Desember 2016

Pesan Natal dari Partai Komunis Indonesia

Kolumnis: Muhidin M Dahlan
25 Desember, 2016

Komunis (di) Indonesia memang ketiban sial dalam sejarah. Sereligius-religiusnya mereka, sedemikian-demikian rupa mereka beramal memajukan kesejahteraan anggota-anggotanya yang beragama samawi, tetap saja dapat lontaran air got busuk dari tentara dan teman-temannya. 

Orang Komunis itu tahu betul, konsekuensi dari Pancasila yang dibelanya habis-habisan di sidang Konstituante adalah mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan, salah satu amalan reguler dari sila itu adalah berlebaran Idul Fitri (Muslim) dan merayakan Natal (Kristiani).

Saat tiba perayaan Natal, misalnya, orang komunis Tentu saja merayakan. Paling tidak, biasanya, dua hari menjelang hari sakral di mana warga setanah air ini libur, secara reguler Comite Central PKI mengumumkan sikap-sikapnya soal Natal, lengkap dengan tuntunan bagaimana sebaiknya mengamalkannya dalam konteks sosio-politik.

Bagi PKI, Natal bukan lagi sebuah kalimat Injil. Natal sudah menjadi “kabinet hati” dari setiap manusia yang masih memiliki kemanusiaannya. Bahkan, arah sejarah dalam banyak hal ditentukan oleh hasrat damai yang memenuhi rongga dada ratusan juta umat manusia itu.

Nah, di sinilah soalnya. Setiap tahun Natal, tapi perdamaian begitu-begitu saja. Bahkan, seorang pengasong kebiadaban dan pengekspor perang dan senjata-senjata pemusnah massal juga mengucapkan "Selamat Hari Natal, Damai di Bumi". 

Dalam konteks kiwari, sponsor-sponsor perang dan pabrik senjata juga mengucapkan Natal dan bahkan menghiasi bibir senjata kontemporer ciptaan mereka dengan simbol-simbol Natal. 

"Paus Jonnes menyatakan amanat damainya, Sukarno menyatakan amanat damainya. Abdul Karim Kusim menyatakan amanat damainya. Nikita Chrusjov juga menyatakan amanat damainya. Eisenhower pun menyatakan menginginkan perdamaian. Dimana lagi letak rintangannya?" demikian catat CC PKI lewat editorial Harian Rakjat, 26 Desember 1958.

PKI "menemukan" soal pesan Natal yang kian jauh dari kenyataan terletak pada bahwa "beberapa pemimpin dari beberapa negara perdamaian itu dianut dalam kata, tetapi bahwa dalam perbuatan. Bagaimana misalnya damai bisa tercipta, jika orang tak mau juga menghentikan percobaan senjata2 atom dan nuklir secara mutlak. Bagaimana bisa tercipta, jika orang masih saja mendirikan pangkalan2 di negeri2 orang lain, sekalipun ditolak oleh Rakyat negeri yang bersangkutan. Bagaimana bisa damai tercipta, jika kolonialisme masih saja disokong, bahkan misalnya oleh WF-AS Nison masih saja dipuji."

Jika kita menginginkan perdamaian, jelas PKI, jalan yang mesti ditempuh ialah dengan memobilisasi pendapat umum sedemikian rupa, sehingga pertentangan antara kata dan perbuatan bisa dihilangkan. 

Merayakan Natal berada dalam garis poros dengan "Etika dan Moral Orang Komunis". Di Salatiga pada November 1962, D.N. Aidit mendakwahkan soal hubungan orang Komunis Indonesia dan agama yang dituangkan dalam konstitusi partai. 

Dalam Qanun Asasi PKI (Anggaran Dasar) tidak mengharuskan seseorang meninggalkan agamanya untuk diterima menjadi anggota PKI. Tetapi kaum Komunis tidak menyetujui dan menentang orang-orang atau golongan yang menggunakan ajaran dan otoritet agama untuk tujuan-tujuan politik reaksioner, untuk menghambat dan menentang kemajuan perkembangan masyarakat.

Menurut kaum Komunis, masalah kepercayaan dan agama adalah hak masing-masing orang untuk menganutnya dan tidak menganutnya.

"Moral ini kami anggap paling tepat dan sesuai dengan penerimaan kami terhadap Pancasila. Menerima Pancasila menurut paham kami berarti menerima ketentuan bahwa tidak boleh mengadakan propaganda anti-agama dan tidak boleh melakukan paksaan beragama," kata Ketua CC PKI D.N. Aidit.

Dengan moral seperti itulah kita bisa memahami konteks mengapa Lebaran dan Natal bagi orang Komunis di Indonesia adalah waktu-waktu sakral yang mesti dirayakan secara syahdu dan dengan penuh kegembiraan. Dengan demikian, beginilah pernyataan resmi CC PKI: 

"Atas nama kaum Komunis Indonesia, Central Comite PKI mengutjapkan SELAMAT HARI NATAL kepada golongan Rakjat Indonesia jang beragama Kristen. Semoga tahun jang akan datang, berkat bantuan umat Kristen Indonesia akan mendjadi tahun jang lebih baik bagi Rakjat Indonesia dan umat manusia didunia, dimana persatuan nasional melawan imperialisme dan persatuan internasional anti-kolonial dan untuk perdamaian abadi mendjadi lebih kuat dan lebih berhasil dalam mentjapai tujuannja." 

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.


https://tirto.id/pesan-natal-dari-partai-komunis-indonesia-cbBB

Jumat, 23 Desember 2016

Setengah Abad G30S, Penyintas Napak Tilas ke Kamp 'Pengasingan' Plantungan

Yudha Satriawan
Jumat, 23 Des 2016 15:00 WIB

“Saya diinterogasi, 'Tahu lubang buaya?' Saya jawab tidak tahu. Saya balik tanya 'Lubang Buaya itu apa?' Tapi saya malah disiksa sampai malam."

Kamp Plantungan yang kini menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pemuda 2B. Foto: Yudha Satriawan/KBR.

Solo - “Nama saya Sumilah dari Prambanan Sleman. Pada 19 November 1965, saya ditangkap dan diperiksa. Yang meriksa saya satu orang. Saya disuruh ngaku ikut Gerwani, saya tidak mau. Terus saya ditampar berkali-kali sampai terjatuh, tahu-tahu bibir saya berdarah. Saya lalu izin ke kamar mandi, membasuh luka karena tamparan itu dengan sapu tangan bapak saya. Habis itu saya diinterogasi lagi sampai ditelanjangi tapi saya tidak mau. Kemudian saya disuruh rentangkan tangan. Katanya ada cap pengikut Gerwani di tubuh saya. Saya bilang cap apa? Tidak ada cap itu. Saya ditampar lagi. Saat mau ambil baju dilarang. Saya telanjang dari pagi sampai sore. Setelah itu saya boleh pakai baju lagi dan dibawa ke LP Wirogunan. Enam bulan saya di sana. Terus dibawa ke LP Bulu Semarang. Pada 1971 saya dibawa ke Kamp Plantungan,” kenang Sumilah.

Tangis Sumilah –bekas tahanan politik peristiwa 1965 pecah, begitu mendengar kata; Plantungan.
Jari-jarinya tak henti mengusap air mata, sembari menceritakan masa mudanya yang kelam. Pasalnya, di usia yang masih bocah, ia dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) –lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Hingga kemudian, dipenjara di Plantungan, Kendal.

Debora Oni, juga tak bisa menahan isak. Kala umurnya masih belasan, ia ditangkap dan ditanyai tentang lubang buaya. Karena menjawab tak tahu, perempuan sepuh ini harus menerima siksaan bertubi. Bahkan, 14 tahun hidupnya, terbuang di empat penjara yang berbeda. 

“Saya diinterogasi, 'Tahu lubang buaya?' Saya jawab tidak tahu. Saya balik tanya 'Lubang  Buaya itu apa?' Tapi saya malah disiksa sampai malam. Yang nanya saya mungkin saking jengkelnya dengan jawaban saya, dia ambil tongkat dan memukuli saya. Saya coba menghindar. Hingga akhirnya saya ditahan di LP Wirogunan selama satu minggu, kemudian dipindah lagi ke LP Ambarawa selama dua setengah tahun, dipindah lagi ke LP Bulu Semarang dua tahun lebih, dan terakhir pindah tahun 1971 ke Kamp Plantungan. Kalau ditotal semuanya sekitar 14 tahun saya ditahan di berbagai tempat,” ucap Debora Oni dengan terisak. 

Sumilah dan Oni, hanya segelintir perempuan yang pernah menjadi tahanan politik karena disangka terlibat dalam peristiwa September 1965.
    
(Sumilah, bekas tahanan politik peristiwa 1965)
Gerwani, kala itu, disebut menyiksa, menyileti tubuh para jenderal Angkaran Darat sebelum akhirnya dihabisi. Rekaan tersebut, bahkan diabadikan dalam film yang wajib tayang oleh Orde Baru.

Padahal, Gerwani menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang mengkampanyekan anti-poligami, kesetaraan hak perempuan dan laki-laki, mendirikan ratusan TK Melati, serta menggelar kursus-kursus demi memberantas buta huruf untuk anak dan perempuan. 

Tapi, oleh Orde Baru –gambaran tentang Gerwani dijungkirbalikkan menjadi perempuan tak bermoral dan sadis. 

Dan, meski sudah 51 tahun berlalu, korban 1965 seperti Sumilah dan Oni belum mendapat rehabilitasi; baik nama maupun status. Sebab selama mendekam di Plantungan, tak ada putusan pengadilan yang menyebut mereka bersalah.

Karena itulah, saya bersama Komnas Perempuan menyambangi lokasi yang menjadi bukti kekejaman itu; Plantungan –dengan harapan bisa membuat memorialisasi.
(Pondasi yang tersisa dari Kamp Plantungan akibat banjir bandang)
Kamp Plantungan berada di perbatasan Kabupaten Batang dan Kendal, Jawa Tengah. Jalan menanjak, berkelok, dan dikeliling jurang dan melewati hutan, mesti dilewati.

Kamp ini dulunya Rumah Sakit untuk penderita kusta. Tapi kini, disulap menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pemuda 2B. Tembok tinggi berkawat mengeliling LP.

Di sini pula, kami bertemu dengan seorang warga setempat yang tengah mencari rumput. Mbah Tunjung, namanya. Laki-laki berusia 70 tahun tersebut, menjadi saksi hidup para tapol perempuan. 
“Tahun 1962 saya sudah rampung Sekolah Rakyat. Ibu-ibu (tapol-red) itu entah darimana. Saya nggak berani deket ke lokasi itu, yang jaga banyak tentara. Tentara itu keliling terus di lokasi ini, sekitar 25 tentara setiap patroli,” ujar Mbah Tunjung.
Jumlah tapol perempuan di Plantungan berdasarkan catatan pemerintah sekitar 500 orang. Di sini pula, ratusan tapol dibagi menjadi lima unit; pertanian sub perikanan, peternakan, penjahitan, kerajinan dan pembatikan, serta pertamanan.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para tapol membuat kerajinan tangan seperti sulaman taplak meja, sprei, hiasan dinding untuk dijual ke warung yang dibuat penjaga kamp. Uang hasil menjual itu, bakal dibelikan gula, telor, terigu. Atau para tapol menerima kiriman dari keluarga. 

Pada saya, Sumilah –yang masuk unit pertanian, bercerita tentang keseharian di Plantungan. 
“Di Plantungan saya masuk unit pertanian. Saya macul karena kalau yang lainnya saya tidak bisa. Saya juga dipekerjakan di mess, tukang bersih-bersih. Petugas selalu bilang kalau saya besok dibebaskan, tapi saya tunggu bertahun-tahun tak kunjung nyata. Saya hanya bisa mencibir kalau petugas bilang saya bebas besok. Saya terus dibohongi. Kemudian baru tanggal 27 April 1979 saya bebas. Kalau saya ceritakan lagi, saya bisa nangis. Teringat terus," tutur Sumilah. 
Sementara Oni –yang sempat pindah-pindah unit, merasa tersiksa. 
“Saya pertama di unit ternak. Saya angon wedhus (menggembala kambing –red). Kemudian saya dipindah ke unit kesehatan, di poliklinik. Kegiatannya mengantar pasien, kadang-kadang ada ibu-ibu mau babaran (melahirkan-red) di dusun. Kalau penyiksaan fisik, di sini tidak ada, hanya seringkali petugas mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, kita seperti hewan diperas tenaganya. Kalau nggak salah, dibilang salah,” katanya. 
Petugas LP Pemuda 2B, Juned mengatakan, bekas kamp penahanan ini kini menjadi aset Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Bersama petugas LP, Sumilah, Oni dan tim dari Komnas Perempuan, kami lalu menyusuri tempat ini. Ada dua bangunan yang dulu dipakai sebagai barak bagi ratusan tapol.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amirudin mengaku agak kesulitan untuk membangun prasasti sejarah pemenjaraan tapol di komplek LP.
“Nangunan sejarah ini bisa dimemorialisasi tapi akan terbatas untuk diakses publik, karena lokasi berada di dalam kompleks LP,” ucap Mariana. 
Tapi, bagi Sumarmiyati –bekas tapol, sangat mengharap ada prasasti di sini. Sebagai pembuktian bahwa terjadi pemenjaraan, penyiksaan, dan perbudakan di Kamp Plantungan oleh penguasa Orde Baru. 
“Ungkap semua, bongkar semua. Biar semua masyarakat tahu sejelas-jelasnya, jangan ada yang ditutupi atau dihilangkan sejarahnya. Saya selalu teringat tragedi itu sebagai pengalaman hidup yang tak tergantikan. Anak-anak sekarang jangan diberikan kebohongan, buka, buka sejelas-jelasnya. Hanya karena berlawanan pandangan politik, ditangkap, disiksa, dibunuh, dihilangkan, tidak pulang, siapa yang tidak sakit hati, istrinya, anaknya,” tutup Sumarmiyati. 

Editor: Quinawaty Pasaribu    
Sumber: KBR.ID 

Setengah Abad G30S, Penyintas Napak Tilas ke Benteng 'Penyiksaan' Vredeburg

Yudha Satriawan
Jumat, 23 Des 2016 14:00 WIB

“Kalau di lantai 2 lokasi orang disiksa. Dulu kalau kita mau antre diperiksa itu duduk dekat lorong ini. Penyiksaan di lantai atas, kalau di bawah ini dipukuli pakai kaki kursi, ditelanjangi."

Benteng Vrederburg, yang menjadi lokasi penyiksaan para tahan politik 1965/1966. Foto: Yudha Satriawan/KBR.

Solo - Di sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup besar di Kota Yogyakarta, belasan lansia ditemani sekelompok anak muda, berkumpul. 

Canda sesekali terlontar, saat saya dan rombongan dari Komnas Perempuan sampai di sana. Kami pun akhirnya saling berkenalan.

Dari situ saya tahu, para lansia tersebut adalah bekas tahanan politik peristiwa 1965/1966. Sementara gerombolan anak muda itu, pendamping.

Di sela-sela pertemuan, para bekas tahanan politik itu kemudian menceritakan pada kami tentang penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan yang dialami. Seperti yang diungkapkan Sutikno. 

Sesekali ia menitikkan air mata. Kala itu, usianya 20 tahun dan menempuh pendidikan di Universitas Republika. Ia ditangkap pada 21 April 1966 karena berdemo dan dituduh mendukung Dewan Jenderal –badan yang dianggap ingin merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno. 

Pria yang kini berusia 45 tahun tersebut mengaku diinterogasi oleh tentara di Gedung Jefferson. Di sanalah, Sutikno dan puluhan orang lainnya disiksa. 

"Saya diinterogasi, dituduh ikut demonstrasi, mendukung Dewan Jenderal, memberi dana, dan sebagainya. Padahal tuduhan itu tidak benar. Lha saya saat itu masih mahasiswa tidak punya uang buat makan, buat bayar sekolah saja susah, apalagi dituduh menyumbang," kenang Sutikno.
“Kalau diperiksa malam, banyak sekali kawan-kawan yang menderita. Digebuki, kemudian sepuluh jari diletakkan di meja dan dijepit sampai luka. Tangan dipukuli. Teman saya lainnya itu, kalau sudah dari Jefferson, pasti pulangnya digotong."
Kisah lain diutarakan Bedjo Sutrisno. Kala 1966, ia masih duduk di bangku SMP tapi dituduh berencana membunuh Presiden Sukarno. 

Bedjo lantas disiksa dan menjadi saksi mata pembunuhan sejumlah tahanan politik lainnya. Sembari bercerita, pria sepuh ini tak berhenti meremas gelas plastik yang sudah habis ia minum. 
“Saya dituduh berencana membunuh Presiden Sukarno. Yang menuduh saat itu RT saya sendiri. Tiga hari kemudian saya dipanggil dan disuruh apel ke kecamatan setelah itu tidak boleh pulang. Saya dipenjara di LP Wirogunan sekitar setengah bulan. Saya diperiksa di Gedung Jefferson di lantai 1. Di lantai dua juga, kemudian di lantai 3 untuk yang berat, saya disiksa. Saya dipukuli sampai pingsan. Setelah saya pingsan, disuruh cap 10 jari tangan," ungkap Bedjo.
"Kemudian saya dibawa ke LP Wirogunan masih dalam kondisi tidak sadar. Saya dan orang-orang yang ditahan itu diberi makan gatot dari ketela. Ternyata sudah dicampur DDT atau obat tikus. Banyak orang yang mati keracunan. Untung saya bisa muntah, jadi keluar racunnya. Saya kemudian di bawa ke kamp Kutoarjo, selama dua minggu. Setelah itu saya diangkut pakai truk menuju Nusakambangan. Kemudian saya dibawa ke Pulau Buru, 10 tahun saya dibuang di situ.”
Begitu pula dengan Sri Murhayati. Ia ditangkap karena ayahnya dituding berencana membunuh sejumlah pejabat negara. 

Sri yang tengah berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) ini aktif Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) --organisasi yang menolak perloncoan. 

Hingga suatu hari, ia ditangkap kemudian diinterogasi di Gedung Jefferson. Setelahnya perempuan sepuh ini dijebloskan di penjara bawah tanah Benteng Vredeburg.
“Saat pertama ditahan, saya diperiksa dua kali di Gedung Jefferson. Dua hari sebelumnya ayah saya dicari militer, rumah saya dikepung tentara, ada satu truk, satu panser, satu mobil tentara, lalu bapak saya ditangkap. Bapak saya sekretaris angkatan 45 veteran. Jadi awalnya yang dicari bapak saya, bukan saya atau ibu saya, tetapi akhirnya dicari-cari saya ditanya ikut apa, saya jawab CGMI," kata Sri Murhayati. 
"Saya kemudian dibawa naik truk dan di Jefferson disuruh apel. Banyak sekali tahanan perempuan. Saya nangis keras sekali. Awal Desember kemudian saya dipindah ke Benteng Vredeburg, itu pertama kali dipakai untuk tahanan. Waktu dipindah ke Benteng, kalau pagi makannya jagung rebus. Per orang hanya 20 butir jagung, paling banyak itu 22 butir kalau bejo (untung-red).” 


(Gedung Jefferson, tempat menginterogasi para tahanan politik 1965/1966)
Gedung Jefferson yang disebut Sutikno, Bedjo Sutrisno, dan Sri Murhayati, itu lokasinya tak jauh dari tugu Golong Gilig yang menjadi ikon Yogyakarta. Maka berangkatlah kami dari rumah tua tersebut menuju tempat bersejarah tragedi 1965 itu. 

Gedung yang terletak di seberang Pasar Kranggan Jalan Diponegoro, tampak tua dan kusam. Kaca jendelanya dipenuhi debu. Bangunan tiga lantai ini, kini dipakai untuk kantor salah satu biro iklan. 

Dari dalam gedung, ruangnya bersekat-sekat. Beberapa kursi dan meja tampak tak beraturan. Sementara di depan gedung dipakai untuk berjualan warga. Mereka juga tak tahu sejarah gedung berdesain kotak-kotak tersebut. 

Sri Murhayati kemudian menunjukkan pada saya ruang interogasi, penyiksaan, dan penahanan. Letaknya ada di lantai 2. 
“Kalau di lantai 2 lokasi orang disiksa. Dulu kalau kita mau antre diperiksa itu duduk dekat lorong ini. Penyiksaan di lantai atas, kalau di bawah ini dipukuli pakai kaki kursi, ditelanjangi. Ada petugas mau pegang saya, langsung saya tampar, tapi saya malah dipukuli. Pistol itu sudah ditaruh di depan mata saya. Saya tidak takut.”
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin bercerita, penelusuran fakta terkait peristiwa 1965 di Yogyakarta, berpusat di Gedung Jefferson. Sehingga, kata dia, perlu adanya pengungkapan kebenaran di lokasi ini.
“Dalam catatan sejarah dan laporan Komnas HAM juga sudah jelas ada penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan massal di lokasi ini. Jadi kami ingin melihat gedung itu sebagai sebuah sejarah yang harus  diakui, diluruskan kebenaran sejarah bangsa ini sehingga lebih terbuka dan jelas, supaya tidak berulang,” ujar Mariana. 
Perjalanan kami bergeser ke Benteng Vredeburg yang persis berada di depan Gedung Agung –Kraton Kesultanan Yogyakarta. Lantaran berada di kawasan perdagangan Malioboro dan Pasar Beringharjo, benteng ini ramai dikunjungi wisatawan. Kami pun masuk dengan membayar tiket seharga Rp2000.

Sri Murhayati bersama tim dari Komnas Perempuan, lalu memasuki ruang diorama 1 dan 2 yang berisi sejarah kemerdekaan Indonesia, termasuk perjuangan di Yogyakarta. Namun, tak ada secuil pun kisah tentang tragedi 1965/1966 –dimana benteng ini pernah menjadi kamp penjara tahanan politik. 

Kami terus berjalan ke bagian belakang benteng. Sri menunjukkan pada saya sebuah pintu masuk ke ruang tahanan bawah tanah, saat dirinya dipenjara. Perempuan sepuh ini juga memberitahu saya tiga lubang kecil. Dan rupanya betul, di situ terdapat ruang gelap. Kata Sri, ketiga celah itu digunakan untuk menyelundupkan makanan. 
“Di lubang ini kadang ada kiriman makanan, memang kalau pakai tangan tidak cukup. Sempit. Tapi ya pakai cara biar makanan bisa masuk ke ruang gelap ini,” tukas Sri.
Perjalanan ini adalah bagian dari rangkaian memorialisasi atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Dengan begitu, pemerintah dan publik takkan lupa serta memberi penghormatan pada para korban.

Sebuah keniscayaan pula, memorialisasi ini bisa mendorong pemenuhan hak korban dan keluarganya, memutus impunitas, dan memastikan peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang. 

Pendamping para bekas tahanan politik dari Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham), Noor Romadhon mengatakan, peristiwa 1965 harus diungkap sebagai sebuah pengungkapan kebenaran. 
“Kami berharap banyak pada memorialisasi ini. Khususnya, di Benteng Vredeburg. Harapan kami pemerintah bisa mengakomodir sejarah tahun 1965 dan berikutnya di lokasi ini. Kalau suatu saat ada yang berkunjung ke lokasi Benteng tidak ada keterangan sejarah lokasi ini, padahal bapak-bapak dan ibu-ibu mantan tahanan politik ini pernah disiksa, dipenjara bawah tanah. Ini fakta sejarah. Jangan dihilangkan,” tutur Noor Romadhon.
Gedung Jefferson dan Benteng Vredeburg menjadi saksi bisu yang dialami para bekas tahanan politik tragedi 1965/1966 di Yogyakarta. Tapi nasib mereka tergambar dalam nyanyian yang dilantunkan berikut.
“Menjaga cucu, dalam perih Gestapu. Tiap hari, lari ke sana kemari. Luputkan diri dari bahaya. Siang malam cucu memanggil manggil Bapakku, Ibuku dimana. Dengan sedih, Nenek menjawabnya, Bapak Ibumu di penjara...” 


Editor: Quinawaty Pasaribu
Sumber: KBR.ID 

18 Tahun Mandek, Komnas Perempuan Napak Tilas ke Pusara TPU Purwoloyo

Yudha Satriawan 
Jumat, 23 Des 2016 13:00 WIB

“Saya inginnya di TPU Purwoloyo yang menjadi makam korban tragedi Mei 98 dibangun prasasti. Itu tanda yang harus diingat bahwa terjadi penghilangan orang-orang secara paksa."

Tim Komnas Perempuan dan pendamping korban tragedi Mei 98 berziarah ke kuburan massal. Foto: Yudha Satriawan/KBR.

Solo - Sebuah makam cukup besar berukuran 2x10 meter berada di tengah komplek pemakaman TPU Purwoloyo, Solo. Ilalang, tanaman liar, dan rumput menutupi seluruh makam tersebut –menunjukkan kalau kuburan ini tak pernah dikunjungi pun dirawat. 

Tak ada pula nisan yang menuliskan nama, tanggal kelahiran dan kematian si empunya. Hanya ada kayu bertuliskan Mister X. 

Maka, disuruhlah penjaga makam mencabuti rumput, ilalang, dan tanaman liar. Salah seorang penjaga makam, Tri Wahyuni, bercerita asal mula kuburan tersebut.  

“Saya menyaksikan pemakaman korban ini. Sekitar pukul 4 sore, mayat ditaruh di karung, ada juga yang dibawa pakai plastik kresek. Terus dimasukkan ke lubang galian ini. Setelah semua mayat dimasukkan ke lubang lalu ditutupi pakai anyaman bambu. Tidak dipeti, hanya dimasukkan karung atau kantong plastik kemudian dikubur. Kondisi mayatnya gosong. Banyak aparat TNI dan polisi yang ikut memakamkan para korban ini,” kenang Tri Wahyuni.
Diperkirakan ada 33 jenazah yang terkubur di makam massal TPU Purwoloyo. Dan mereka adalah korban tragedi Mei 98.

Peristiwa itu tepatnya terjadi pada 14-15 Mei 1998. Dimulai dari aksi demontrasi ribuan mahasiswa berbagai kampus –yang kala itu menuntut mundurnya Presiden Soeharto.

Mahasiswa yang berbaur dengan masyarakat, kemudian mengarah ke Jalan Slamet Riyadi atau pusat kota. Di sana, tampak kepulan asap membumbung tinggi yang berasal dari ban bekas.

Massa lantas melempari gedung perkantoran dan ruko dengan batu hingga akhirnya membakar. Di antara amukan massa itulah, mereka menjarah barang-barang yang ada di mal. 

Sementara itu, polisi bergeming. Sempat ada upaya anggota kepolisian menghentikan aksi itu, tapi gagal. Malah, beberapa orang berpakaian TNI turut berjalan di kerumunan. Mereka tak melarang, justru membiarkan massa merusak bangunan dan pertokoan. 

Selang sehari, kondisi di Solo masih tegang. Jalanan tampak lengang. Tapi jejak kerusuhan masih bergelimpangan di jalan. Dan bau asap, masih tercium. 

Sekira 33 mayat ditemukan dalam kondisi hangus terpanggang –tersebar di sejumlah mal. Sunaryo Haryo Bayu, fotografer media cetak yang berada di lokasi, menyaksikan sendiri proses evakuasi mayat-mayat itu. 
“Saya berada di pusat pertokoan Coyudan Solo saat tragedi Mei 1998. Di situ saya melihat ada sembilan orang terjebak di dalam toko sepatu. Kesembilan jenazahnya ditemukan di dalam satu kamar mandi, sebagian ada yang di dalam bak mandi, lainnya di luar bak mandi. Kondisinya hangus. Saya tidak tahu itu laki-laki atau perempuan, karena kondisinya sudah tidak berwujud. Kemudian dievakuasi polisi dan petugas PMI,” ungkap Sunaryo Haryo Bayu.  

(Warga sekitar TPU Purwoloyo sedang membersihkan kuburan massal korban Mei 98)
Itu hari, saya bersama Komnas Perempuan, mendatangi kuburan massal korban tragedi Mei 98 di TPU Purwoloyo. Hanya saja, dari catatan Komnas, ada sekitar 20-an jenazah yang terkubur di situ.

Komisionernya, Mariana Amiruddin, mengatakan kondisi makam sangat memprihatinkan. Dan hal ini menunjukkan ketidakpedulian pemerintah pada korban pelanggaran HAM.
“Sebetulnya kalau mau dilakukan penyelidikan maupun penyidikan berlanjut, bisa dibongkar makam massal ini dan diidentifikasi. Kondisi makam ini bentuk ketidakpedulian, ya karena sejarahnya tidak diungkap secara utuh. Kalau ini diungkap kan bisa dibikin bagus makamnya dan semua orang akan tahu bahwa ada peristiwa tragedi kemanusiaan," ujar Mariana. 
"Kita perlu meyakinkan pemkot Solo bahwa mayat itu betul-betul ada, masa mau dibilang nggak ada. Sederhana sebenarnya, yang penting diakui dulu bahwa tragedi itu memang ada dan di sini lokasi makam massalnya. Hal-hal kecil seperti ini, membuat makam yang layak, mendoakan, dan memberi penghormatan untuk para korban tragedi Mei 98 di Solo.” 
Tujuan Komnas Perempuan ke TPU Purwoloyo ini adalah bagian dari rangkaian memorialisasi atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Dengan begitu, pemerintah dan publik takkan lupa serta memberi penghormatan pada para korban.

Sebuah keniscayaan pula, memorialisasi ini bisa mendorong pemenuhan hak korban dan keluarganya, memutus impunitas, dan memastikan peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang. 

Karena itulah, Komnas Perempuan menemui Dyah Sujirah –istri Widji Thukul, penyair era Orde Baru yang hilang diduga korban penghilangan paksa pada akhir 1998.

(Dyah Sujirah, istri Widji Thukul ditemui di rumahnya)
Ditemui di rumahnya di salah satu sudut kota Solo, ia berharap dibangun prasasti sebagai penanda dan pengingat. 
“Saya inginnya di TPU Purwoloyo yang menjadi makam korban tragedi Mei 98 dibangun prasasti. Itu tanda yang harus diingat bahwa terjadi penghilangan orang-orang secara paksa. Prasasti sederhana saja. Tidak usah yang mewah,” kata Dyah Sujirah. 
Sepulang dari rumah Dyah Sujirah, Komnas Perempuan berusaha menemui Wali Kota Solo, tapi tak berhasil. 

Pernah, Wali Kota Hadi Rudyatmo mengatakan setuju membangun prarasti atau monumen peringatan Mei 98, tapi tak mudah. Harus ada kajian yang akurat terutama tentang identitas para korban. 
“Kalau mau membangun prasasti atau monumen tragedi Mei 1998 di Solo, ya nggak masalah buat saya. Ini kan tujuannya untuk mengingatkan masyarakat agar tidak terulang kembali,” imbuh Hadi Rudyatmo.
Perjalanan memorialisasi peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, terus berlanjut ke Yogyakarta. Di sana, saya dan Komnas Perempuan mendatangi Gedung Jefferson dan Benteng Van Der Berg.  
Editor: Quinawaty Pasaribu 
Sumber: KBR.ID