Jumat, 30 Desember 2016

Apresiasi: Andrenaline ~ Lekra Tak Membakar Buku membungkam Prahara Budaya


“Ayo Moel, segeralah mulai disusun, sayang bila bahan-bahan sepenting ini tidak dimasyarakatkan untuk mahasiswa, guru, dosen sastra, sastrawan dan pembaca umum. Jangan cuma terpendam saja dalam dokumentasi. Nanti kalau suasana berubah, bisa-bisa orang-orang bekas Lekra/PKI itu memutarbalikkan lagi apa yang terjadi tahun 60-an itu” 
(Taufiq Ismail)
“Ditolak oleh toko buku raksasa dengan cabang dimana-mana, nasib buku ini terkatung-katung dan tercecer di toko-toko buku loakan, sebelum disusul oleh keluar surat vonis pelarangan dari Pemerintah No.141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009” 
(Muhidin M Dahlan)
Tak ada yang lebih efektif dari tindakan penyensoran pikiran selain dengan praktik pelarangan buku yang dilakukan oleh aparatus negara. Atas nama demi stabilitas, demikian bunyi kredo keramat yang selalu didengungkan pemerintah yang ditujukan kepada individu atau kelompok yang hendak ‘mengganggu ketertiban umum’ lewat penyebarluasan buku dan bacaan yang sudah dinyatakan dilarang pemerintah. Angin reformasi yang seharusnya menjadi berkah bagi kebebasan warga negara untuk mendapatkan pengetahuan apapun, nyatanya tidak begitu. Masih saja kebebasan hak warga negara atas akses informasi dibelenggu oleh dua staatsblad UU No. 4/PNPS/1963: Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum dan UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.
Pada bulan September 2008 terbit sebuah ‘buku putih’ tandingan yang mengupas tajam hingga jantung yang paling dalam tentang riwayat sebuah organisasi lembaga kebudayaan rakyat yang pernah begitu berjaya dan berpengaruh luas di ranah kebudayaan Indonesia tahun 60-an. Buku itu berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950 – 1965 yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Buku setebal 580 halaman itu adalah hasil olah riset dan pembacaan intensif terhadap ratusan surat kabar di Indonesia yang terbit tahun 60-an, dalam rangka menyambut seabad terbitnya koran Medan Prijaji yang bertepatan jatuh pada tahun 2007.
Ditengah perjalanan proses penelitian dan pembacaan ratusan surat kabar tersebut, dua penulis buku ini menemukan Harian Rakjat, koran resmi PKI, diantara timbunan brosur-brosur komunis, Warta Bakti, Terompet Masjarakat dan Bintang Timur dalam jumlah edisi yang melimpah ruah. Bundelan koran-koran tua itu sudah terkurung selama 30 tahun di dalam sebuah kamar perpustakaan yang digembok rapat-rapat, dengan tulisan yang menciutkan nyali tertempel di muka pintu: Bacaan Terlarang! Sampai ribuan edisi jumlahnya. Dari hari ke hari selama hampir 1,5 tahun dua penulis itu memfokuskan diri menyeleksi, membaca-memilih, membaca-memilah, membaca-menyiangi dan menggunting artikel koran Harian Rakjat beraksen ejaan lama itu untuk kemudian disusun menjadi sebuah buku dengan fokus utamanya adalah membangun sebuah bab tentang “Riwayat Harian Rakjat“.
Buku Lekra Tak Membakar Buku yang disusun dengan menggunakan metode kliping ini adalah sebuah ikhtiar atas langkanya sumber-sumber rujukan tentang sejarah Lekra dalam bentuk buku. Bisa dibilang, tak lebih dari hitungan jari sebelah tangan saja sumber-sumber tulisan yang mengabarkan riwayat Lekra. Sebut saja buku yang berjudul Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia karangan sastrawan Malaysia, Yahaya Ismail, yang terbit di Malaysia tahun 1972; esai panjang berjudul Peristiwa “Manikebu” Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 60-an disusun Goenawan Mohamad tahun 1988 yang merupakan tandingan terhadap buku yang ditulis Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts yang terbit di Australia tahun 1986; dan sebuah skripsi S-1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia berjudul Manifes Kebudayaan: Sebuah Perwujudan Pertentangan Politik 1950-1960 yang disusun Rasti Suryandani tahun 1993. Dan pada tahun 1995 terbitlah sebuah buku yang disusun dengan metode kliping, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto yang diterbitkan oleh penerbit Mizan bekerjasama dengan harian Republika. Lima tahun pasca Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri membidani lahirnya Lekra Tak Membakar Buku, tanggal 30 September – 6 Oktober 2013 terbit majalah Tempo yang menurunkan laporan Edisi Khusus: LEKRA DAN GEGER 1965.
Buku kliping mesti di lawan dengan buku kliping pula
Kliping, menurut arti kamus adalah “guntingan koran”. Mengkliping koran adalah aktifitas menggunting bagian-bagian khusus di kolom-kolom halaman koran. Arsip dan dokumentasi adalah hasil dari proses mengumpulkan, seleksi, dan menulis ulang catatan harian jurnalis yang pernah tercetak di media massa. Sementara para jurnalis-pers bekerja mencatat denyut nadi kehidupan yang kemudian dicetak di kolom-kolom media massa, para dokumentator-arsiparis bekerja dengan menyeleksi, menyimpan, dan memanfaatkannya lewat praktek aktifitas kliping.
Buku Prahara Budaya adalah buku setebal 469 halaman yang ditulis dengan menggunakan metode kliping. Sebagai sebuah pekerjaan politik-kultural, sumber-sumber data tentang peristiwa budaya sebelum dan sesudah G30S meletus didapatnya pada kurun waktu sezaman. Apalagi D.S Moeljanto adalah seorang wartawan. Sebagai seorang pencatat peristiwa, dipastikan ia memiliki data yang melimpah. Dan usaha Taufiq Ismail dalam menyusun buku-kliping ini adalah sebuah usaha meluruskan sejarah yang menurutnya sudah di bengkok-patahkan PKI dan ormas-ormasnya. Di dalam buku ini dengan gamblang nyaris telanjang bentuk rupa seperti apakah Lekra itu. Sebuah buku Prahara Budaya dan ditambah indoktrinasi Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila model Orde Baru semakin menguat dalam penggambaran Lekra yang terus ditanamkan di dalam tempurung kepala masyarakat sebagai organisasi monster haus kekuasaan dengan daya destruktif yang mematikan, gerombolan pengacau tukang bikin onar panggung kebudayaan, iblis urakan pembakar buku, dan sekian label-label yang sepertinya tidak ada sisi baik-baiknya barang secuilpun karya-karya yang pernah dihasilkan seniman-seniman Lekra. Singkatnya, Lekra adalah organisasi kebudayaan penuh lumpur dosa yang tidak layak hidup di bumi Indonesia dan hanya layak dilenyapkan.
Karena buku ini terbit di era Orde Baru yang mengharamkan segala produk yang berbau-bau marxis-leninis, maka praktis buku Prahara Budaya ini nyaris tak punya saingan. Buku ini kemudian menjadi satu-satunya rujukan ihwal sejarah Lekra. Tanpa pembelaan, tanpa pengadilan. Para akademisi dan sejarawan lebih memilih bungkam dan ogah menyusun buku tandingan. Walaupun bersembunyi di balik tendensi ilmiah demi pelurusan sejarah, tetap saja tak ada yang berani melakukannya. Dengan dilapisi kesadaran sejarah yang tak terbantahkan, Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto telah memukul genderang bahwa buku-kliping yang mereka susun tersebut adalah buku yang memiliki kebenaran mutlak yang tak bisa digoyang dan di ganggu gugat. Suara lantang dua penyusun buku-kliping ini dengan tegas menyatakan bahwa hasil-hasil kerja seniman-seniman Lekra selama 15 tahun berkarya itu tidak ikut meneguhkan, menyumbangkan daya kreatif di lapangan kesenian dan memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia, melainkan memakzulkannya lewat pembunuhan-pembunuhan karakter secara terstruktur, sistematis dan massif.
Hingga pada akhirnya…
Karena buku yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto ini menggunakan metode kliping, maka tak ada jalan lain lagi selain memukul balik Prahara Budayadengan menghadirkan buku tandingan dengan metode yang serupa: menyusun kliping! Dengan tidak menyimpan tendensi penghormatan yang berlebihan dan pemujaan membabi-buta terhadap Lekra/PKI, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri berusaha seobjektif mungkin menghadirkan alternatif bacaan, yaitu dengan melakukan usaha penghadiran buku-kliping atas subjek dan peristiwa-peristiwa kebudayaan, sejak embrio Lekra masih berupa janin gagasan yang dimulai sejak Kongres Lekra I di Solo tahun 1959 hingga masa hancur leburnya Lekra akibat peristiwa huru-hara pageblug 30 September 1965.
Buku Lekra Tak Membakar Buku pada 2008 lahir, dalam bahasa Antonio Gramsci sebagai counter-hegemoni melawan dominasi Prahara Budaya. Sebuah buku yang dilandasi sumber-sumber yang juga tak kalah terbantahkannya, yaitu guntingan-guntingan koran dan pers yang pernah terbit di kurun masa ketika Lekra tengah memoles wajah Indonesia dengan kesenian, sastra dan kebudayaan. Koran-koran lapuk yang menguarkan debu-debu dan rayap yang dikubur selama hampir 30 tahun di dalam sebuah perpustakaan itu di bangkitkan dari persemayamannya. Disusun ulang menjadi sebuah buku yang mengabarkan kerja-kerja solid para seniman Lekra. Tak hanya melulu menyoal sastra, para pemundak Lekra juga mengabarkan kekompakan dan kerapihan kerja di ranah musik, filem, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari dan perbukuan.
Sebagai buku yang lahir dari etos pendokumentasian arsip dan kerja kliping, tentu saja Lekra Tak Membakar Buku hadir dengan tidak menangguk sederet konsekuensi dan kontroversi. Jika melihat satu sisi kerja penulisan dan penyusunannya, buku ini hanya menyandarkan pada satu sumber rujukan, yaitu koran Harian Rakjat yang notabene sebagai corong media PKI yang tentunya sangat subjektif dalam mengabarkan laporan peristiwa. Sementara hal yang tidak bisa dibantah atas kehadiran buku-kliping ini adalah usaha Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri telah melakukan sebuah tugas pendokumentasian demi melestarikan ingatan demi generasi mendatang, yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer sebagai tugas nasional. Betapa tidak, sebab tugas dan peristiwa yang di tangguk Lekra sendiri adalah tugas Nasional. Dan dua penyusun buku ini tidak mau menanggung kegetiran seperti yang di tulis Pram, “Sejak dulu, orang-orang Indonesia tidak memiliki tradisi mendokumentasi. Sejak zaman raja-raja. Kalau mereka mendokumentasi itu semata demi raja-raja. Sejarah kita pun menjadi sejarah para raja. Tak heran saya kalau orang asing yang banyak menulis tentang Indonesia. Kita tak punya detail tentang diri kita sendiri. Bayangkan, bangsa besar ini tak kenal dirinya sendiri”.
Dan betapa ghalibnya sang waktu berjalan dan mengitari dirinya sendiri setepat-tepatnya. Setelah tiga bulan terbit ternyata Lekra Tak Membakar Buku menemui persoalan distribusi. Tanggal 22 Desember 2009, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950 – 1965 adalah buku terlarang! Dan setelah melewati proses hukum, pada tanggal 13 Oktober 2010 akhirnya Mahkamah Konstitusi yang saat itu diketuai Mahfud MD menyatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku bebas beredar sebagai bacaan publik. Demikianlah nasib sebuah buku…

Disalin dari: catatansamping

0 komentar:

Posting Komentar