HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 30 Oktober 2015

Dialita Berjuang Mengais Lagu-Lagu Tapol 65

Agustinus Shindu Alpito • 30 Oktober 2015 16:01

Para tahanan di Bukit Duri sedang beraktivitas di luar kamar. (Foto:Dok Pribadi)

Depok: Nama Dialita memang masih asing di telinga. Bahkan, nyaris tidak terdengar. Dialita merupakan akronim dari ‘di atas lima puluh tahun’, sebuah paduan suara yang terdiri dari para perempuan yang empati terhadap korban peristiwa 1965. Dua anggota Dialita, Utati dan Mudjiati, mengalami langsung peristiwa itu dan sempat dipenjara di Bukit Duri selama lebih dari satu dekade.
 
Para penyintas dari peristiwa 1965 memang punya kisah masing-masing, yang tentu sangat berharga sebagai ‘people history’. Seperti sejarawan Prancis Lucien Febvre menyebutnya 'sejarah yang dilihat dari bawah bukan atas'.
 
Utati, perempuan 71 tahun yang dahulu dijebloskan ke penjara lantaran terlibat dalam aktivitas seni bersama organisasi Pemuda Rakyat menceritakan betapa mirisnya kehidupan mereka saat di kamp konsentrasi. Tapi, ada 'warisan' yang sebenarnya mereka rajut ketika di sana, yaitu karya seni. 


Terbentuknya Dialita tidak lepas dari upaya penyelamatan karya lagu yang lahir di kamp konsentrasi. Lagu yang menceritakan betapa besar cinta para tahanan politik (tapol) terhadap Tanah Airnya.
“Itulah justru dianggapnya (lagu-lagu ciptaan tapol) satire. Dalam keadaan begitu (dipenjara) kenapa memuja Tanah Air? Ya, karena kami mencintai negara ini. Yang memerlakukan kami seperti itu kan bukan semuanya,” urai Utati, saat kami temui di kediamannya di Depok.
Sejak 2005, bersama Dialita, Utati menelusuri kembali lagu-lagu ciptaan tapol. Tujuannya, untuk kembali merawat harapan, sekaligus sejarah tentang apa yang pernah terjadi di negara ini, agar tak terlupakan begitu saja.
 
Menelusuri kembali lagu-lagu ciptaan ‘orang dalam’-- begitu kadang-kadang Utati menyebut tahanan politik-- bukan hal mudah. Para tahanan tidak diperkenankan mempunyai alat tulis. Para tapol tidak memiliki cara untuk mengabadikan lagu ciptaannya, selain menghafal dalam kepala.
 

Koesalah Toer dan Utati. (Foto: MTVN/Agustinus Shindu Alpito)

“Pelan-pelan lagu itu saya tulis kembali. Perlu waktu untuk mengingat. nanti kalau ketemu Ibu Mudjiati, diingat bersama-sama. Kalau nada lagu kami biasanya ingat, tapi lirik itu yang sulit,” kata Utati.
“Kalau pensil itu enggak bakalan (diizinkan untuk dimiliki tapol Bukit Duri). Buku juga enggak boleh masuk kecuali buku agama. Jadi yang dibaca oleh kami itu buku agama. Majalah saja dulu pernah ada yang mau memberikan majalah Kartini saja enggak boleh,” lanjut perempuan yang masih tajam ingatannya itu.
Sebelum Dialita dibentuk, tidak ada upaya untuk mengarsipkan lagu-lagu tersebut, hingga akhirnya perlahan lenyap. Lagu-lagu yang berhasil dikumpulkan Dialita adalah lagu yang berhasil diingat oleh para Utati dan teman-temannya.
 
Saat ini, sekitar 20 lagu berhasil dikumpulkan Dialita. Lagu-lagu itu berasal dari mereka yang pernah mendekam di Penjara Bukit Duri, Plantungan, Salemba, dan Ambarawa. Menurut Utati, masih banyak lagu yang belum bisa ditelusuri hingga kini. Sebabnya antara lain ingatan mereka akan lagu tersebut mulai memudar, dan para eks tapol yang pernah membuat karya lagu kini tersebar entah di mana. 
 
Utati juga menyebut nama seorang temannya, sesama penghuni penjara Bukit Duri, yang sebenarnya punya pengetahuan musik cukup baik dan bisa membantu pengarsipan karya-karya para eks tapol, tetapi temannya itu sudah tidak bisa dihubungi.
“Keluarganya melarang dia berhubungan lagi sama kami (eks tapol). Mungkin ada posisi (pekerjaan) nya bagus takut kena imbasnya. Padahal zaman kan udah berubah ya. Keluarganya itu mungkin tidak tahu informasi baru,” kata Utati seraya tersenyum.
Dialita menyayangkan berbagai karya lagu, terutama yang lahir di Pulau Buru, tidak terarsipkan dengan baik. Hingga kini, menurut Utati hanya Dialita yang fokus terhadap pengarsipan karya cipta lagu para tapol 1965.
“Saya juga menyayangkan (tidak ada kelompok semacam Dialita), padahal banyak lagu dari Pulau Buru. Di sana ada band pimpinanya Pak Martin dan dia dari akademi musik. Di Pulau Buru juga ada Pak Subronto Atmodjo,jagonya musik. Jadi di sana ya bisa jadi membuat segala macam alat musik, membuat gamelan sendiri,” jelas Utati.


Utati bersama seorang cucunya.
 
Nama Subronto Kusumo Atmodjo di dunia musik pada masa 1950 sampai 1960-an memang populer. Dia adalah pencipta lagu Nasakom Bersatu. Subronto dibuang ke Pulau Buru setelah pulang dari studi di Jerman Timur. Dia mendapat predikat cum laude di Sekolah Musik Hanns Eisler.
 
Salah satu lagu yang berhasil diarsipkan Dialita adalah lagu berjudul Awan Putih ciptaan Bachtiar Siagian. Nama Bachtiar saat ini mungkin semakin dilupakan, dia adalah sutradara top di zamannya.
 
Bachtiar berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam ajang FFI tahun 1960. Sayangnya, film-film karya Bachtiar kini sudah lenyap. Pita-pita film Bachtiar dibakar dan habis tak tersisa. Padahal, film karya Bachtiar tersohor sampai luar negeri, antara lain Tiongkok dan Vietnam.
 
“Dulu kalau ada kerusakan bangunan di Bukit Duri, yang dipanggil untuk memperbaiki ya teman-teman tapol dari Salemba. Mungkin biar penjara tidak keluar ongkos. Sambil bekerja mereka menyanyikan Awan Putih. Kami tertarik dan curi-curi dengar karena kami tidak boleh berkomunikasi. Besok saat mereka datang lagi, kami minta catatan lagunya secara sembunyi-sembunyi.”


Koesalah Toer dan Utati. (Foto: MTVN/Fitra Iskandar)
 
Beberapa lagu yang berhasil dikumpulkan Dialita antara lain lagu berjudul IbuIndonesia JayaBuruh Wanita (ketiganya ciptaan Utati), Tetap Senyum Menjelang Fajar(Masye Siwi & Zubaidah Nungtjik), Salam Harapan (Dra. Murtiningrum & Zubaidah Nungtjik), Relakan (Sudiyamik & Zubaidah Nungtjik), dan Ujian (Juswati Adjitorop). Lagu itu diciptakan tapol dari Penjara Bukit Duri.
 
Kupandang Langit (Koesalah Soebagyo Toer, dari Penjara Salemba), Awan Putih(Bachtiar Siagian, dari Penjara Salemba), Pucuk Bambu (Putu Oka Sukanta, Penjara Salemba), Lagu Untuk Anakku (Dra. Heryani Busono Wiwoho & Djuwito, Kamp Benteng Ambarawa), dan Dunia Milik Kita (Soedharmoto).
 
Lagu yang ciptakan para tahanan laki-laki umumnya bernafas keroncong. Ada pula dangdut. Sedangkan para tahanan wanita mencipta lagu yang bertipe 'paduan suara' seperti lagu-lagu rohani. Di Penjara Ambarawa ada yang membuat lagu qasidah dengan lirik bahasa Arab.
 
Sejarahnya bermacam-macam. Lagu Relakan diciptakan temannya ketika mengetahui kabar akan dipindahkan dari Bukit Duri.


 “Lagu itu dia buat saat mau dipindahkan ke Kamp Plantungan. Tetapi saat itu kalau ada yang ingin dipindahkan, tidak tahu akan dibawa ke mana. Dipindahkan atau mau diapakan, kami tidak tahu,” katanya.
Sedangkan lagu Tetap Senyum Menjelang Fajar, menjadi lagu yang dipakai para tahanan untuk menghibur teman yang berulang tahun. 
“Pagi-pagi kami datang ke kamar teman yang sedang ulang tahun, kami nyanyikan lagu itu soalnya bosan juga ya menyanyikan Selamat Ulang Tahun. Ya lirik lagu itu berisi harapan kami ya (menyambut masa kebebasan). Kan kami tidak mau terus-terusan di dalam.”

Salah satu catatan lagu karya tapol 65. (Foto:MTVN/Fitra Iskandar)
 
Satu hal yang disayangkan adalah lagu-lagu itu belum terdokumentasikan dengan baik. Namun, Utati dan teman-temannya masih berupaya meski penuh keterbatasan. Semangat mereka untuk merawat sejarah dan menyuarakan nyanyian para penyintas yang sempat dibungkam sangat tinggi.
“Kami belum mampu mendokumentasikan dengan baik, dan belum rekaman. Memang maksudnya ke sana, lagu-lagu itu akan ditulis dengan sejarah singkatnya,” kata Utati.
Dialita masih berharap akan adanya pihak yang ingin membantu mendokumentasikan lagu-lagu itu. 
“Justru kami menunggu kalau ada yang mau membantu rekaman. Karena kami kesulitan biaya, paling tidak buku itu bisa terbit teks lagunya dengan disisipkan sejarah-sejarahnya.” (FIT)
Sumber: Medcom.Id 

Korban Perempuan yang Selamat Bicara Soal Pembunuhan Massal 1965 di Indonesia



Vena Taka. Kakak dan ayahnya ditangkap pada 1966. “Saya tidak tahu bahwa ayah dan adik saya ditahan, atau di mana mereka dibunuh. Bahkan di mana mereka dikuburkan, saya tidak tahu.” Foto dari Asia Justice and Rights.

Asia Justice and Rights melakukan serangkaian wawancara dengan 26 perempuan yang selamat dari pembunuhan massal dan berbagai bentuk kekerasan di Indonesia selama pembersihan anti-komunis yang diperbuat oleh militer pada 1965.

Lima puluh tahun telah berlalu sejak tentara menangkap ratusan ribu komunis dan simpatisan mereka yang dicurigai sebagai bagian dari kampanye untuk menyelamatkan negara dari bencana komunisme. Diperkirakan setengah juta orang tewas selama histeria anti-komunis dan bahkan lebih banyak dari itu orang Indonesia yang menderita “penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan kejahatan kekerasan seksual lainnya, perbudakan, penangkapan sewenang-wenang, dan penahanan, pemindahan paksa, dan kerja paksa” setelah 1965. Tentara mengaku hanya membalas dendam sembari menuduh komunis yang pertama kali menyerang pasukan pemerintah.

Jenderal Suharto bertahta di tampuk kekuasaan sepanjang masa itu dan terus-terusan jadi pemimpin di Indonesia sampai 1998, ketika pemberontakan rakyat memaksanya mengundurkan diri. Selagi berkuasa, Suharto tidak mengizinkan media, akademisi, atau masyarakat mendiskusikan atau menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi pada 1965. Hal itu hanya terjadi setelah kejatuhannya, saat para saksi dan korban muncul untuk berbagi cerita.

Pada 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia menyatakan bahwa tentara melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965.

Agustus silam, Presiden Jokowi mengusulkan pembentukan komisi rekonsiliasi untuk mengatasi masalah yang belum terselesaikan terkait dengan pembantaian 1965. Kepentingan untuk mengabadikan peninggalan Soeharto tampak jelas, kiranya, ketika partai-partai politik terbesar di Indonesia dan pihak militer menolak usul Jokowi.

Bulan ini, sebuah festival sastra yang bermaksud menggelar sesi berbagi cerita mengenai apa yang terjadi pada 1965 dibatalkan karena tekanan dari pemerintah.

Tapi biarpun pemerintah ragu-ragu untuk melihat kembali dan merenungkan pelajaran dari pembantaian 1965, banyak orang dan beragam kelompok di Indonesia siap untuk menggali lebih dalam ke masa lalu dan mencari keadilan atas nama korban kekerasan dan kejahatan lainnya terhadap kemanusiaan.
Sebuah Pengadilan Kemanusiaan Internasional akan dihelat di Den Haag bulan depan untuk menyelidiki tanggung jawab pemerintah Indonesia dalam kekerasan 1965.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Asia Justice and Rights mengusik kepedihan untuk belajar tentang bagaimana orang-orang biasa yang puluhan tahun mengalami kekerasan dan diskriminasi selama rezim Suharto. Banyak di antara korban perempuan yang selamat merupakan istri atau anak perempuan dari para tahanan politik dan mereka yang diduga simpatisan komunis. Kisah-kisah mereka mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran dan keadilan terus menjadi tuntutan politik penting yang belum terpenuhi di Indonesia.


Frangkina Boboy. Ayahnya diduga terlibat dengan Partai Komunis, dan ditangkap dan ditahan pada 1965. "Ayah saya memiliki tanah di Lasiana -sebuah rumah dan sawah - tetapi karena dia dituduh sebagai komunis, keluarganya mengambil itu semua. Kami tidak memiliki apa-apa lagi, dan harus tunduk di atas tanah yang sebenarnya dimiliki oleh orang tua saya." Foto dari Asia Justice and Rights.
Frangkina Boboy. Ayahnya diduga terlibat dengan Partai Komunis, dan ditangkap dan ditahan pada 1965. “Ayah saya memiliki tanah di Lasiana -sebuah rumah dan sawah – tetapi karena dia dituduh sebagai komunis, keluarganya mengambil itu semua. Kami tidak memiliki apa-apa lagi, dan harus tunduk di atas tanah yang sebenarnya dimiliki oleh orang tua saya.” Foto dari Asia Justice and Rights.

Migelina A. Markus, ditahan pada 1965 bersama dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya. "Tragedi '65 membuat kami kehilangan orang tua kami, kakak saya, dan ada banyak penghilangan tanpa pengadilan atau bukti [yang menunjukkan] mereka telah mengkhianati negara atau bangsa ini. Saya ingin bersaksi sehingga orang tahu kebenaran tentang peristiwa yang kami alami." Foto dari Asia Justice and Rights.
Migelina A. Markus, ditahan pada 1965 bersama dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya. “Tragedi '65 membuat kami kehilangan orang tua kami, kakak saya, dan ada banyak penghilangan tanpa pengadilan atau bukti [yang menunjukkan] mereka telah mengkhianati negara atau bangsa ini. Saya ingin bersaksi sehingga orang tahu kebenaran tentang peristiwa yang kami alami.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Suami Lasinem ditangkap dan disiksa pada 1969, dan akhirnya dikirim ke Pulau Buru. "[Suami saya] dijemput oleh tentara, teman-temannya sendiri, dan dibawa ke kantor desa (Kelurahan). Ia dipukuli, duduk terikat di kursi dan dipukuli. Punggungnya diinjak-injak sampai ia terluka parah. Awalnya saya bingung dan ciut, ketakutan, dan saya menyadari bahwa saya telah kehilangan pelindung saya, dan sumber nafkah saya. Bagaimana dengan anak-anak saya? Mereka perlu makan! ... Saya masih terluka karena saya ingat hal-hal yang terjadi di masa lalu ... Masih ada luka di hati saya." Foto dari Asia Justice and Rights.
Suami Lasinem ditangkap dan disiksa pada 1969, dan akhirnya dikirim ke Pulau Buru. “[Suami saya] dijemput oleh tentara, teman-temannya sendiri, dan dibawa ke kantor desa (Kelurahan). Ia dipukuli, duduk terikat di kursi dan dipukuli. Punggungnya diinjak-injak sampai ia terluka parah. Awalnya saya bingung dan ciut, ketakutan, dan saya menyadari bahwa saya telah kehilangan pelindung saya, dan sumber nafkah saya. Bagaimana dengan anak-anak saya? Mereka perlu makan! … Saya masih terluka karena saya ingat hal-hal yang terjadi di masa lalu … Masih ada luka di hati saya.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Kadmiyati sedang belajar di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta pada 1965 ketika ia ditangkap. "Kapan akan ada keadilan? Siapa yang sadis dan kejam? Komunis? Atau pelaku pembunuhan? [Kita harus] menemukan kebenaran." Foto dari Asia Justice and Rights.
Kadmiyati sedang belajar di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta pada 1965 ketika ia ditangkap. “Kapan akan ada keadilan? Siapa yang sadis dan kejam? Komunis? Atau pelaku pembunuhan? [Kita harus] menemukan kebenaran.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Hartiti. Ditangkap pada 1966, salah satu anaknya meninggal karena penyakit tatkala dia ditahan. "Anak pertama saya sudah cukup dewasa untuk mengerti penderitaan ibunya. Dia berpikir tentang hal itu sampai dia meninggal. Dia juga sering mendengar berita tentang saya. Dia meninggal karena dia mendengar orang-orang mengatakan hal-hal yang menyakitinya." Foto dari Asia Justice and Rights.
Hartiti. Ditangkap pada 1966, salah satu anaknya meninggal karena penyakit tatkala dia ditahan. “Anak pertama saya sudah cukup dewasa untuk mengerti penderitaan ibunya. Dia berpikir tentang hal itu sampai dia meninggal. Dia juga sering mendengar berita tentang saya. Dia meninggal karena dia mendengar orang-orang mengatakan hal-hal yang menyakitinya.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Oni Ponirah. Dia baru 17 tahun ketika ditangkap pada 1965. "Saya diberitahu saya hanya dibawa untuk ditanyai. Ternyata saya ditahan selama 14 tahun. Dari tahun 1965 sampai akhir Desember 1979 ... Kami tidak pernah mendapat keadilan. Saya berharap pemerintah akan meminta maaf kepada para korban." Foto dari Asia Justice and Rights.
Oni Ponirah. Dia baru 17 tahun ketika ditangkap pada 1965. “Saya diberitahu saya hanya dibawa untuk ditanyai. Ternyata saya ditahan selama 14 tahun. Dari tahun 1965 sampai akhir Desember 1979 … Kami tidak pernah mendapat keadilan. Saya berharap pemerintah akan meminta maaf kepada para korban.” Foto dari Asia Justice and Rights.

Seluruh foto buatan Asia Justice and Rights, diposting ulang dengan izin.

Saksi Pembantaian PKI: Mereka Dibariskan dan Dibunuh Pakai Pedang

Dewi Divianta


Liputan6.com, Denpasar - Desa Pakraman Batuagung, Jembrana, Bali, telah membongkar kuburan massal anggota PKI di Jalan Desa Banjar Adat Mesean, Desa Pakraman, tepatnya di depan SDN 3 Batuagung.

Dalam pembongkaran itu, tulang belulang jenazah ditemukan dalam kuburan massal tersebut. Rencananya, tulang belulang itu akan diaben sesuai adat dan kepercayaan Hindu.

Seorang warga Mesean yang merupakan saksi peristiwa G30S PKI yang masih hidup hingga saat ini, Kakiang Kerende (96), menuturkan jenazah di kuburan massal itu dikubur awal tahun 1966.

"Setelah kejadian G30S di Jawa," ujar Kakiang dalam bahasa Bali. Usia yang sudah sepuh membuat pendengaran Kakiang terganggu.


Menurut Kakiang, setelah kasus G30S di Jawa pecah dan para anggota PKI ditumpas, anggota PKI di Jembrana semuanya menyerah. "Termasuk yang di Mesean ini. Para anggota PKI yang memang warga sini tidak ada yang berani melawan. Semuanya menyerah," tutur Kakiang.

Setelah itu di Banjar Mesean, menurut Kakiang Kerende, para anggota PKI semuanya ditangkap dan dikumpulkan. Tidak ada perlawanan, mereka hanya pasrah.

"Mereka lantas digiring ke tempat ini (tempat kuburan masal). Kemudian mereka dibariskan dan dibunuh secara bersamaan. Saya sendiri melihatnya," ucap kakek tersebut.

Kakiang mengatakan, ada 9 warga lokal Mesean yang dibunuh dan dikubur di tempat tersebut dan 2 warga pendatang, seorang dari Tabanan dan seorang lagi dari Lateng, Negara.

"Yang dari Tabanan itu memang tinggal di sini beberapa hari sebelum dibantai. Dia kabur dari Tabanan ke sini karena takut ditangkap. Begitu pula yang dari Leteng," tutur dia.

Namun akhirnya, kata Kakiang Kerende, mereka tertangkap di Mesean dan akhirnya dieksekusi oleh warga PNI dengan menggunakan pedang.

"Mereka memang anggota PKI, tapi setahu saya mereka tidak melakukan pemberontakan. Yang jelas saat itu, memang ada perintah untuk menangkap dan menumpas anggota PKI, seperti daerah-daerah lainnya," kata kakek berjenggot putih ini.

Menurut Kakiang, awalnya di kuburan massal itu terdapat 11 jasad anggota PKI, 9 warga lokal dan 2 warga pendatang. Namun kini tinggal 9, karena 2 jenazah sudah diambil dan diaben pihak keluarganya pada 1984 lalu. (Sun/Sss)*

Kamis, 29 Oktober 2015

Yang Terusir dari Tanah Air




MENGINGAT tanggal 30 September, membawa pikiran saya ke situasi sekitar setengah abad yang lalu ketika paspor kami dinyatakan tidak berlaku lagi oleh penguasa di Jakarta (pada Januari 1966). Pasalnya, kami dituduh sebagai agen G30S di luar negeri serta melakukan subversi.

Foto saya dimuat di koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yuda, dengan huruf-huruf besar di bawahnya: GANTUNG IBRAHIM ISA. Penguasa militer di Jakarta ketika itu amat marah dan geram. Tapi apa alasannya?


Pada Mulanya

Sebelum Gestok, profesi saya adalah wakil Indonesia di Sekretariat Tetap AAPSO (Afro-Asian People’s Solidarity Organization) di Kairo, Mesir sejak tahun 1960. Sekretariat Tetap AAPSO adalah sebuah Badan Pimpinan Harian dari AAPSO. Dalam Sekretariat Tetap ini, terdapat juga wakil-wakil dari Mesir, RRT, Jepang, India, Indonesia, Vietnam Selatan, Tanzania, Aljazair, Guinea dan Kamerun. AAPSO, didirikan pada tahun 1957 sesudah Konferensi Pertama Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia Afrika di Kairo, Mesir.

Sebagai Sekretaris Komite Perdamaian Indonesia, beberapa kali, kami mewakili Indonesia di berbagai konferensi internasional untuk perdamaian. Pada awal musim panas  tahun 1965, sebagai salah satu persiapan Indonesia menyelenggarakan Konferensi Bandung Ke II, saya  ambil bagian dalam Misi Safari Berdikari Pemerintah Republik Indonesia,  mengunjungi 14 negeri-negeri Afrika dan Timur Tengah, dalam kapasitas sebagai Penasihat Menlu RI Subandrio.

Ketika saya berada di Jakarta pada bulan Oktober 1965, saya melihat keadaan jungkir balik di Indonesia. Saat itu, sudah ada undangan untuk menghadiri Konferensi Solidaritas Asia-Afrika-Amerika Latin di Havana. Saya sudah memperhitungkan pasti pemerintah Indonesia tidak akan mengirimkan delegasi yang saya pimpin, sebab ini delegasi rakyat, yang isinya banyak simpatisan kiri dan sudah banyak di antaranya yang ditangkap atau hilang. Kami tidak akan mendapat dukungan sama sekali dari tanah air.

Pada Desember 65, saya menjelaskan kepada panitia organisasi bahwa di Indonesia terjadi pergolakan, sehingga tidak akan mampu mengirim orang ke Havana. Lalu, panitia mengatakan, kalau begitu Bung Isa saja yang mewakili karena Bung mewakili Indonesia di Kairo untuk Gerakan Asia-Afrika. Saya jawab, saya tidak bisa sendiri, mesti bersama-sama dengan yang lain. Kebetulan banyak teman lain yang ada di luar negeri. Saya meminta kepada mereka, akhirnya ada tujuh atau delapan orang membentuk delegasi Indonesia, dan berangkatlah kami ke Havana.


Dua Delegasi

Di Havana, tiba-tiba datang delegasi lain dari Indonesia, diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat. Saya melihat komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, salah satu orang terpenting Letkol, yang lain-lain saya tidak kenal. Saya jelaskan pada panitia. bahwa ini bukan delegasi rakyat, tapi dikontrol militer.

Dilemanya, Latief adalah teman saya. Ia anggota parlemen komisi luar negeri, mewakili PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi masih jenderal. Secara hirarkis, ia di bawah Soeharto. Ketika ketemu Pak Latief, saya bertanya apa yang mau dibicarakannya dalam konferensi. 

Dia bilang: “Saya garis PNI, garis Presiden Sukarno, anti imperialisme, ganyang.” Saya tahu, dia tidak jujur dengan penjelasan ini. Karena itu saya jawab, panitia di Havana tidak mau dengar tentang itu. Mereka tahu ada pergolakan di Jakarta dan mereka ingin tahu bagaimana Presiden Sukarno. Sebab Presiden Sukarno diketahui sebagai tokoh yang mendukung gerakan kemerdekaan. Karena dia bilang tidak bisa menjelaskan hal itu, saya bilang saya yang akan menjelaskan. Tapi dia bilang tidak bisa. Tidak tercapai sepakat, maka diajukanlah ke komite. Komite akhirnya memutuskan untuk menerima perwakilan yang dipimpin oleh saya.

Selanjutnya sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, Havana, saya berpidato di muka kurang lebih 1000 hadirin yang terdiri dari para delegasi organisasi pejuang kemerdekaan anti kolonialisme, neo-kokonialisme dan imperialisme, dan wartawan internasional. Saya mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia. Yaitu naik panggungnya suatu kekuasaan militer di bawah jendral Suharto yang mulai menggerogoti Presiden Sukarno.

Kontan saja, Jakarta marah sekali. Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yuda dan Angkatan Bersenjata. Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang berada di luar negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekkan Indonesia, dan sebagainya. Itulah yang menyebabkan paspor saya dan teman-teman dicabut tanpa proses, tanpa ditanya.

Getir. Karena paspor saya dicabut, dibatalkan. Pada permulaan Januari 1966, di Havana, berlangsung konferensi internasional untuk rakyat bangsa-bangsa Amerika Latin. Konferensi penting yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi termasuk organisasi kami di Kairo, di mana saya duduk sebagai wakil Indonesia. Tapi, saya menerima berita duka.

Namun, kemudian ada penghiburan juga bagi kami, karena tiba-tiba Presiden Fidel Castro memerlukan mengunjungi teman-teman Delegasi Indonesia, di kamar kami di Hotel Habana Libre. Kunjungan ini merupakan suatu pernyataan politik penting Presiden Castro untuk menunjukkan bahwa Kuba berada di pihak rakyat Indonesia. Fidel Castro menawarkan fasilitas dan memberikan kami paspor Kuba, setelah mengetahui bahwa paspor kami dicabut oleh rezim militer Jakarta.

Sekitar setahun kemudian, atas undangan Tiongkok, saya  pindah ke Beijing dan bekerja pada sebuah Lambaga  Riset Asia-Afrika di sana. Selama di RRT kegiatan utama saya adalah mengadakan penerbian mingguan Suara Rakyat Indonesia dan OISRAA Bulletin dalam bahasa Inggris. OISRAA adalah Organisasi Indonesia Untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika. Penerbitan tersebut memberikan informasi mengenai perkembangan politik Indonesia, mengkritik rezim Orde Baru dan mendukung Presiden Sukarno.

Pada akhir 1986, saya pindah ke Belanda dengan mengajukan permintaan suaka politik, yang diterima oleh pemerintah Belanda. Bersama kawan-kawan lainnya, kami mendirikan Yayasan Asia Studies.

Apakah saya menyesal? Tidak. Saya tidak menyesal. Kalau kita berbuat demi cita-cita yang kita anggap benar, adil, dan mulia, itu pasti ada risikonya. Ini saya anggap sebagai risiko yang harus dihadapi.

Ibrahim Isa, telah menulis tiga buku yang diterbitkan di Jakarta (Suara Seorang Eksil, Bui Tanpa Jerajak Besi dan Kabar dari Seberang).

11 Jasad diduga korban PKI ditemukan saat penggalian tahun 1984

Reporter : Gede Nadi Jaya | Kamis, 29 Oktober 2015 18:01

Pembongkaran kuburan massal eks anggota PKI di Banjar Adat Mesean. ©2015 merdeka.com/gede nadi jaya
 
Merdeka.com - Penggalian kuburan massal diduga eks korban PKI di wilayah Batu Agung, Jembrana, Bali ternyata bukan kali pertama. Pada tahun 1984 saat dilakukan penyisiran, di tempat ini terdapat 11 jasad yang berhasil diangkat dan dipindahkan ke ke kuburan oleh pihak keluarga.

Sayangnya saat itu tidak dilanjutkan penggalian atau pencarian. Hingga berjalan puluhan tahun, tokoh masyarakat mendatangi orang pintar terkait seringnya ada kejadian aneh di desanya. Hasilnya, terlihat masih banyak lagi korban eks PKI yang dikubur secara massal di jalan tersebut.

"Untuk saat ini baru sembilan saja yang kita ketahui. Memang tahun 80-an ada pihak keluarga korban mengadakan penggalian, kabarnya ada 11 jasad yang berhasil ditemukan dan sudah dipindahkan," terang Kelihatan Adat Mesean Ida Bagus Ketut Siwa, Kamis (29/10).

Dirinya tidak pasti apakah masih ada lagi jasad korban eks PKI ini selain sembilan jasad yang diketahui.

"Kita Gali yang sudah pasti saja dahulu, tidak perlu berandai-andai. Terpenting kita lakukan upacara pembersihan dan permakluman bilamana ada yang tersisa dan tidak dapat kita temukan," ungkapnya.

Dipastikannya kesembilan jasad ini nantinya akan dikumpulkan dan dilakukan upacara pengabenan (kremasi) secara adat Bali.

"Hingga saat ini kita masih terus lakukan penggalian. Soal kapan akan dilakukan upcara desa, tinggal menunggu hari baik dan waktu yang tepat," pungkasnya.
[cob]
 
http://www.merdeka.com/peristiwa/11-jasad-diduga-korban-pki-ditemukan-saat-penggalian-tahun-1984.html

Makam Dibongkar, Tulang Belulang Anggota PKI di Bali Akan Diaben

Dewi Divianta | 29 Okt 2015, 15:38 WIB

Pembongkaran kuburan massal eks anggota PKI di Jembrana, Bali. (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Jembrana - Pembongkaran kuburan massal eks anggota PKI di Banjar Adat Mesean, Desa Pakraman Batuagung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali, masih berlangsung. Sekitar pukul 12.30 Wita, Kamis (26/10/2015), sudah 3 tulang belulang eks PKI berhasil ditemukan.

Saat ditemukan, tulang belulang itu tidak utuh. Hanya beberapa bagian yang ditemukan seperti tulang lengan dan serpihan tulang tengkorak. Sisanya kebanyakan tulang belulang tersebut sudah hancur dan menyatu dengan tanah.

"Mungkin karena mereka sudah terkubur sejak 50 tahun lebih. Makanya tulang belulangnya sudah hancur," terang Bendesa Pakraman Batu Agung Ida Bagus Mantra di Jembrana.

Namun demikian, pihaknya berharap kesembilan jasad eks anggota PKI yang terkubur di tempat itu bisa ditemukan. Apalagi pembongkaran tersebut dengan menggunakan alat berat.

Menurut Mantra, tulang belulang tersebut ditemukan dengan kedalaman 1,5 meter dari permukaan tanah. Namun letaknya bergeser sekitar satu sampai 1,5 meter ke arah barat dari tanda semula.
"Persisnya kuburan-kuburan tersebut dibawah jalan desa. Jadi terpaksa kami membongkar jalan," ucap Mantra.

Menurut dia, dengan didampingi saksi peristiwa, pihaknya optimistis ke sembilan jasad eks PKI itu seluruhnya bisa ditemukan. Selanjutnya akan dilaksanakan upacara pengabenan masal.

"Pengabenan dan pecaruan akan dilaksanakan oleh pihak Desa Pakraman Batuagung. Pihak keluarga, tidak kami mintai biaya," imbuh Mantra.

Langkah ini diambil, menurut dia, karena faktor kemanusiaan. Dia menilai mereka yang terkubur di tempat tersebut juga adalam manusia yang pantas dan layak mendapat perlakukan manusiawi, termasuk diaben atau diupacarai layaknya ajaran Hindu.

"Kami tidak berpikir bahwa mereka pengkhianat atau apapun itu. Yang jelas itu bukan urusan Desa Pakraman. Apa yang kami lakukan adalah semata-mata karena kemanusiaan," pungkas Mantra. (Ali/Mut)

http://news.liputan6.com/read/2352434/makam-dibongkar-tulang-belulang-anggota-pki-di-bali-akan-diaben

Bebas dan Panas! Menengok Diskusi Seputar Tragedi 1965 di Frankfurt

Kamis, 29 Okt 2015 14:55 WIB  ·   Is Mujiarso




Jakarta - Tepuk tangan panjang membahana usai Leila S Chudori tampil untuk wawancara di ‘Das Blaue Sofa’. Sesi ’sofa biru’ tersebut dianggap sebagai salah satu forum paling bergengsi bagi para penulis yang hadir di Frankfurt Book Fair (FBF). Dan, berkat novelnya yang berjudul ‘Pulang’, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dengan judul sama ditambah sub-judul Heimkehr nach Jakarta, Leila tampil di forum tersebut pada 17 Oktober lalu.

Itulah salah satu kesibukan Leila bersama tim penulis Indonesia lainnya yang ikut serta dalam FBF 2015 pada 14 hingga 10 Oktober. Indonesia tampil sebagai tamu kehormatan, dan salah satu tema yang diusung seputar Tragedi 1965. Ada dua sesi yang membahas isu tersebut, salah satunya berjudul ‘External and Internal Exiles’ dimana Leila tampil sebagai pembicara bersama Laksmi Pamuntjak, penulis novel ‘Amba’ (edisi Jerman berjudul Alle Farben Rot).

Menurut Leila, antusias pengunjung pada diskusi tersebut sangat tinggi. “Diskusi kami di Pavilion Indonesia, area Island of Scenes memang ramai dan penuh, bahkan terbilang panas dan rada heboh,” kisahnya sepulang ke Jakarta, Kamis (29/10). Salah satu kehebohan tersebut, tutur Leila, dipicu oleh pernyataan penyair Tafiq Ismail yang juga hadir di sesi tersebut.

“Intinya kalau diringkas, Taufiq ingin perdamaian total, tanpa perlu melewati tahap rekonsiliasi dan sebagainya,” ujar Leila. “Saya setuju bahwa perdamaian adalah satu tujuan yang diinginkan semua orang. Tapi menurut saya, pada tahap diskusi, korban harus diikutsertakan. Semua proses harus melalui beberapa tahap hingga akhirnya pada tahap perdamaian. Perdamaian itu harus disepakati. Yang juga tak kalah penting, pemerintah atau negara harus mengakui bahwa pembantaian pasca 1965 memang terjadi. Jika tidak maka akan terjadi impunitas,” lanjutnya.

Leila menambahkan, walau riuh dan “panas”, perdebatan itu terjadi dengan beradab. Tak hanya di forum tersebut, dalam tur keliling untuk membicarakan novelnya di sejumlah kota lain di Jerman, Swiss dan Belanda, mau tak mau Leila juga menyinggung isu 1965. “Tentu saja saya bicara dari perspektif saya sebagai generasi yang lahir di tahun 1962 dan tumbuh besar di era rezim Soeharto," katanya.

Penulis yang sebelumnya telah melahirkan kumpulan cerpen ‘Malam Terakhir’ dan ‘Nadira’ itu baru tiba kembali di Jakarta, Rabu (28/10) kemarin. Ia pun telah mendengar tentang adanya pembatalan sesi diskusi terkait isu 1965 di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 yang kini tengah berlangsung. “Saya tetap terkejut bahwa 3 panel dalam UWRF dilarang secara resmi. Polisi hanya bermain kata dengan mengatakan panitia yang membatalkan. Itu cuma soal semantik. Ini sebuah setback, langkah mundur yang memalukan dan menyedihkan,” tuturnya.

Leila berharap, apa yang terjadi tidak menjalar menjadi sebuah kebijakan vertikal dari pemerintah pusat. Waktu di Frankfurt Leila juga mendengar adanya kasus pendeportasian Tom Iljas, seorang eksil yang berziarah ke makam ayahnya di Sumatera, dan kasus pembreidelan majalah kampus UKSW Salatiga, Lentera yang mengangkat laporan utama tentang Tragedi 1965. Bagi Leila, semua itu menunjukkan gejala adanya pukulan balik terhadap kebebasan.

“Kaum konservatif dan beberapa kalangan mencoba memukul balik 17 tahun kebebasan yang kita peroleh. Kita harus melawan. Demokrasi memang sebuah proses panjang dan kita harus siap dengan tubuh babak belur oleh mereka yang diam-diam gentar terhadap kebebasan,” tandasnya.


Sumber: Detik.Com 

Kuburan Massal Anggota PKI di Jembrana Bali Dibongkar

Dewi Divianta | 29 Okt 2015, 13:46 WIB

Pembongkaran kuburan massal eks anggota PKI di Jembrana, Bali. (Liputan6.com/Dewi Divianta)


Liputan6.com, Denpasar - Desa Pakraman Batuagung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali memenuhi janjinya untuk membongkar kuburan massal anggota PKI.‎ Pembongkaran kuburan massal zaman G30S ini berlangsung di Banjar Adat Mesean, Desa Pakraman Batuagung, Jembrana, hari ini.

Pembongkaran menggunakan satu unit alat berat, dan diawali dengan prosesi upacara khusus secara Hindu. Prosesi tersebut diikuti ratusan warga krama adat setempat, keluarga jenazah, pejabat adat, dan desa dinas serta pejabat Pemkab Jembrana. Hadir juga Ketua DPRD Jembrana I Ketut Sugiasa.

Pembongkaran kuburan massal dimulai pukul 08.00 Wita dan berlangsung hingga siang hari. Diperkirakan pembongkaran akan berakhir sore hari atau menjelang petang. 

Pembongkaran ini dilakukan terhadap 9 kuburan eks anggota PKI. Kuburan-kuburan tersebut telah diberi tanda oleh panitia. Kuburan tersebut terletak di pinggir jalan Mesean dekat SDN 3 Batuagung.
Saat pembongkaran, diketahui letak kuburan-kuburan tersebut bergeser sekitar satu setengah meter ke barat dari tanda semula. Atau posisinya di tengah-tengah jalan desa yang beraspal hotmix.
Akibatnya, panitia harus membongkar jalan desa tersebut hingga jalan desa yang menghubungkan Desa Batuagung menuju Pancaseming putus total. Di lokasi pembokaran dipasang garis polisi (police line).

Ditemukan Tulang Belulang

Hingga siang hari, baru tiga kuburan yang berhasil ditemukan dan hanya tinggal tulang belulang. Itu pun sudah tidak utuh, hanya ditemukan tulang lengan dan pecahan tulang tengkorak.  

Tulang belulang yang ditemukan tersebut diambil pihak keluarga masing-masing untuk dikumpulkan di dalam dulang beralaskan kain putih. Rencananya, setelah sembilan kuburan ditemukan akan dilangsungkan prosesi pengabenan secara massal oleh Desa Pakraman.

"Ternyata memang bergeser sekitar satu setengah meter dari tanda semula sehingga terpaksa kita bongkar jalan," terang Bendesa Pakraman Batu Agung Ida Gabus Mantra di lokasi, Kamis (29/10/2015).

Menurut dia, ada sembilan kuburan yang akan dibongkar, tujuh orang merupakan warga lokal, satu orang warga asal Pandak, Tabanan, dan satu orang lagi asal Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana.

"Di lokasi ini dulunya ada 11 jenazah anggota PKI, tapi yang dua jenazah sudah dibongkar tahun 1984 dan diaben pihak keluarga. Dua orang itu merupakan warga Mesean," pungkas Mantra.

Pembongkaran kuburan eks anggota PKI ini mendapat pengawalan dari anggota Polres Jembrana dan aparat TNI serta Pecalang (keamanan desa). (Sun/Yus)

http://news.liputan6.com/read/2352313/kuburan-massal-anggota-pki-di-jembrana-bali-dibongkar

Isu Tragedi '65 di Tahun 2015: Dari Frankfurt ke Ubud Via Salatiga

Kamis, 29 Okt 2015 11:46 WIB  ·   Is Mujiarso




Jakarta - Di tahun 2015, huru-hara politik yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) 1965 memasuki usia yang ke-50 tahun. Meskipun setiap tahun pada tiap bulan Oktober wacana ini selalu kembali menjadi perbincangan, namun ada yang terasa berbeda dengan tahun ini. Didahului dengan munculnya film ‘Senyap’ karya Joshua Oppenheimer yang memicu kontroversi, permbicaraan mengenai isu 1965 berpuncak pada kesertaan Indonesia di Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 yang salah satunya mengusung tema paling tabu sepanjang masa itu.

Bedanya, bila pemutaran film ‘Senyap’ di berbagai kampus dan komunitas diwarnai dengan masih adanya represi dari aparat dan ormas agama, maka isu 1965 di FBF 2015 melenggang mulus. Maklum, kehadiran Indonesia di ajang pameran buku terbesar dan tertua di dunia itu merupakan hajatan resmi pemerintah yang dalam hal ini dibiayai oleh Kemendikbud. Lebih dari itu, Indonesia kali ini tak hanya tampil sebagai peserta biasa, melainkan Tamu Kehormatan. 

Sebagai salah satu tema utama, isu 1965 diusung ke Frankfurt melalui buku-buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman. Selain itu, digelar pula sesi-sesi diskusi yang membicarakan isu tersebut, yang antara lain menghadirkan pembicara sastrawan Taufiq Ismail. Penyair ‘Tirani dan Benteng’ ini dikenal sebagai bagian dari suara keras anti-komunis yang meyakini bahwa dewasa ini telah muncul komunisme gaya baru di Indonesia. 
Buku bertema seputar tragedi 1965 yang menjadi jagoan Indonesia di FBF 2015 adalah ‘Pulang’ (Heimkehr nach Jakarta) karya Leila S Chudori dan ‘Amba’ (Alle Farben Rot) karya Laksmi Pamuntjak. Kedua novelis ini tampil dalam berbagai forum khusus, dan buku mereka diiklankan besar-besaran di seantero kota, termasuk di trem yang merupakan alat transportasi umum di Jerman.

Apa yang terjadi di Frankfurt memang kontras dengan berbagai kejadian di Tanah Air. Tak hanya menyangkut acara-acara pemutaran film ‘Senyap’, tapi belakangan berbagai bentuk represi aparat atas isu yang berkaitan dengan huru-hara 1965 terus bermunculan. Setidaknya ada 3 kasus yang cukup menyita perhatian khalayak luas.

Pertama, kasus penangkapan dan pemeriksaan yang berakhir dengan pengusiran secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian terhadap Tom Iljas dan rombongannya yang tengah berziarah ke makam leluhurnya di Sumatera Barat. Ini terjadi pada 11 Oktober lalu. Tom dan rombongan yang terdiri 5 orang ditangkap Polres Pesisir Selatan tanpa alasan yang jelas. Akhirnya, setelah 24 jam mereka dilepaskan. Namun, Tom Iljas diserahkan ke Imigrasi Padang untuk pemeriksaan administratif karena Tom adalah WNA Swedia. Setelah melalui proses pemeriksaan panjang dan melelahkan, Tom dideportasi pada 16 Oktober. 

Tom Iljas, 77 tahun, adalah mahasiswa teknik pertanian pada 1960-an yang dikirim oleh Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat untuk melanjutkan studinya ke China. Ia lulus tahun 1965. Namun, seperti banyak kejadian kala itu, kemudian ia terhalang pulang dan menjadi eksil karena dikaitkan dengan tragedi G 30 S. Paspornya ditahan imigrasi. Padahal ia tak tahu-menahu tentang apa yang terjadi di Indonesia. Selama 18 tahun ia menjadi manusia tanpa kewarganegaraan. 

Kedua, kasus pemeriksaan awak redaksi Lembaga Pers Mahasisswa (LPM) FISKOM UKSW, Lentera, yang berakhir dengan pelarangan dan pembakaran edisi majalah yang mengangkat laporan utama dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Sesuai judulnya, terbitan edisi 3/2015 itu mengangkat tema G30S dengan kasus peristiwa yang terjadi di Salatiga. Setelah majalah itu beredar, pada 18 Oktober Polres Salatiga memanggil awak LPM Lentera. Ada tiga orang yang diperiksa, dari pagi hingga menjelang sore hari. Polisi meminta agar majalah Lentera yang sudah diedarkan ditarik lagi untuk diserahkan ke pihak kepolisian. Awalnya, hanya itu “tuntutan” polisi. Namun, cerita selanjutnya sungguh di luar dugaan. Polisi menyita dan membakar majalah itu.

Ketiga, pembatalan 3 program diskusi panel yang mengangkat isu 1965 di ajang Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) 2015. Pembatalan tersebut diumumkan oleh panitia kurang dari seminggu menjelang festival dimulai pada 28 Oktober. Dalam keterangan yang tercantum di situs resmi UWRF 2015, pembatalan dilakukan karena adanya "masukan" dari pihak keamanan dan pemerintah daerah. 

Direktur UWRF 2015 Janet DeNeefe mengatakan pembatalan tersebut merupakan pukulan besar bagi perhelatan akbar tahunan yang telah berlangsung selama 12 tahun itu. "Keputusan ini sangat mengecewakan dan mungkin pemerintah menolak untuk mendiskusikan tragedi nasional ini," katanya seraya menambahkan bahwa komite festival yang disponsori oleh Yayasan Herb Faith itu telah mengupayakan yang terbaik, serta berdiskusi hingga titik akhir. Namun pada akhirnya festival disarankan untuk tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan, dengan pertimbangan keberlangsungan festival ke depannya.

Tak pelak, sebagai festival yang senantiasa mengundang para penulis dari berbagai negara, gema pembatalan sesi 1965 di UWRF 2015 tersebut segera menjadi buah bibir sejumlah media internasional, juga memicu keprihatinan para pengamat Indonesia di luar negeri. Salah satu yang bereaksi adalah Prof. David T Hill, seorang Indonesianis dari Murdoch University, Perth. Menurutnya apa yang terjadi di Ubud tersebut ironis. Tentu saja, mau tak mau ia membandingkannya dengan apa yang terjadi di Frankfurt.

“Ironis betul pengarang Indonesia boleh bicara tentang Tragedi 1965 di Frankfurt Book Fair tapi disensor di Ubud Writers Fest,” ujarnya.



Sumber: Detik.Com