Jumat, 09 Oktober 2015

Gestok dan Pendidikan


Oktober 9, 2015 | Wildan Sena

Lima puluh tahun sejak berlalunya peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965 belum ada tanda-tanda kejelasan dilakukannya rekonsiliasi.

Diwawancarai media seusai upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah tidak ada inisiatif meminta maaf atas pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-66. Jokowi mengutarakan bahwa “tidak ada pemikiran mengenai minta maaf, sampai detik ini tidak ada pemikiran ke arah itu”.
Sementara Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, senada dengan presiden, mengatakan “tidak ada pikiran maaf, kita menatap ke depan, jangan melihat ke belakang”.

Bagi sebuah bangsa yang bergerak maju, mempunyai visi jauh ke depan adalah sebuah keharusan. Tapi patut diingat, bahwa bangsa yang bergerak maju ke depan tidak akan pernah bisa menjadi besar apabila kehilangan pijakan masa lalunya. Tidak ada bangsa yang maju tanpa menjadikan sejarah sebagai pelajaran (dilihat sebagai proses, perbandingan dan ukuran) untuk meraih pencapaian-pencapaian di masa depan.

Seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno dalam artikelnya di Kompas (29/09), “kita harus berani menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun lalu kalau hati bangsa ingin dibersihkan dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita”.

Pertama-tama yang mesti dipahami adalah rekonsiliasi bisa dilakukan bila ada upaya keberanian dan kebesaran hati untuk berani bersama-sama membuka fakta sejarah tentang kekerasan massal yang terjadi 50 tahun lalu. Setelah ada pengakuan terhadap kesalahan, baru upaya meminta maaf dan saling memaafkan bisa dilakukan.

Namun, keberanian untuk membuka tabir bagaimana rupa pembantaian massal yang membunuh sekitar 500.000 nyawa tahun 1965-66 masih saja sulit dilakukan. Upaya rekonsiliasi masih terjebak dalam perdebatan siapa benar siapa salah, siapa korban dan siapa pelaku. Lebih parah lagi banyak yang menganggap bahwa usaha untuk mengangkat narasi genosida 1965-66 sebagai usaha “membangkitkan kembali PKI” atau menganggap bahwa PKI ingin direhabilitasi namanya dalam perpolitikan Indonesia.

Kekeliruan fatal ini terjadi karena generasi yang lahir pada era akhir Orde Baru (Orba) dan pasca Orba tidak mempunyai ingatan sejarah tentang peristiwa ini. Banyak dari anak-anak muda ini hanya mengingat bahwa terjadi “pemberontakan PKI” dan dibunuhnya tujuh perwira Angkatan Darat oleh PKI (Sinar Harapan, 01/10). Saya berpendapat kuatnya warisan kolektif yang mengatakan bahwa Gestok berhenti sampai penemuan jasad tujuh perwira AD, namun pembantaian massal setelahnya alpa dideskripsikan, disebabkan oleh masih terselubungnya diskursus yang dijabarkan dalam kurikulum pendidikan sejarah di sekolah.

Pendidikan dan Rekonsiliasi

Setelah Orba runtuh, gelombang baru penulisan sejarah 65 melawan hegemoni wacana sejarah yang dituliskan Orba muncul. Studi-studi yang menceritakan tentang kekerasan yang terjadi pasca 1 Oktober dari perspektif korban mulai mengisi ruang publik yang selama ini dijejali oleh narasi tunggal pemerintah Orba. Yang terbaru adalah karya dari Baskara T. Wardaya (editor), Truth Will Out: Indonesian Accounts of the 1965 Mass Violence (2013) dan Annie Pohlman berjudul Women, Sexual Violence and the Indonesian Killings of 1965-66 (2015). Deretan studi tersebut ditambah dengan kehadiran karya dokumenter terbaru Joshua Oppenheimer berjudul Senyap (2014).

Besarnya minat dunia akademik Barat dan Indonesia yang membludak dalam mengungkap fakta mengenai Gestok dan pembantaian massal setelahnya, tidak diikuti dengan upaya pemerintah untuk memasukkan narasi sejarah kekerasan yang terjadi pada 1965-66 dalam kurikulum sekolah. Dari pembacaan atas buku sejarah untuk siswa SMA kelas 12 terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015 tidak disebutkan narasi mengenai pembantaian massal terhadap anggota PKI, simpatisan PKI dan orang yang tidak bersalah yang terjadi terutama di Jawa dan Bali. Cerita hanya berhenti pada terjadinya G30S dan usaha AD untuk menstabilisasi keamanan setelah itu.

Jadi sebetulnya sejak reformasi bergulir tidak ada upaya serius dalam kurikulum pendidikan SMA untuk merevisi penulisan sejarah yang dilakukan oleh pemerintah Orba. Seharusnya buku ajar saat ini sudah tidak terbelenggu lagi oleh wacana ideologis ataupun ancaman Orba yang justru tidak relevan lagi untuk saat ini.

Buku ajar yang dipakai sekolah sudah sewajarnya mampu menunjukkan secara seimbang narasi korban kekerasan massal yang tidak hanya menimpa lawan-lawan dari PKI sebelum 1965. Tapi juga sangat luar biasa menimpa anggota PKI, simpatisan PKI dan terutama orang-orang yang tidak mengerti apa-apa. Pembunuhan massal terhadap orang yang tidak tahu apa-apa ini penting untuk diangkat. Sebab mereka sesungguhnya adalah orang yang tidak bersalah tapi terjebak dalam kemelut politik, dibunuh karena kesamaan nama dengan anggota PKI ataupun dijadikan kambing hitam agar hartanya dapat dicuri (Pohlman, 2015: 8).

Sudah saatnya kita tidak lari dari kebohongan sejarah. Jangan jadi bangsa yang pengecut tapi mengaku-ngaku besar. Kita harus berani membongkar narasi palsu yang didoktrinkan oleh Orba melalui museum, media dan buku. Pembukaan luka masa lalu dan mengakui fakta-fakta itu, walaupun pahit, adalah bagian dari terapi untuk menyembuhkan dendam sejarah yang tertanam dalam memori kolektif bangsa ini.

Usaha mesti dilakukan dimulai dari hulu, yaitu pendidikan. Pendidikan memegang peran sentral dalam menyebarkan wacana pengetahuan kepada generasi muda dan mewarisi pengetahuan antar generasi. Jika hanya mengandalkan buku-buku akademik yang pembaca dan sirkulasinya terbatas, tanpa ada inisiatif yang baik dari pemerintah melalui jalur pendidikan maka kita sulit untuk berdamai dengan masa lalu.

Luka sejarah sebaiknya jangan disimpan menjadi dendam tapi dibebaskan agar tidak membelenggu bangsa ini ke depan. Sekali lagi, sejarah harus dijadikan pelajaran agar bangsa ini tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Sumber: WildanSena 

0 komentar:

Posting Komentar