Jumat, 02 Oktober 2015

Bertahan di Pulau Buru -bekas tempat tahanan mereka


Sri Lestari Wartawan BBC Indonesia - 2 Oktober 2015

Di Desa Savana Jaya di Pulau Buru tinggal sekitar 20 orang eks tapol

Sekitar 12.000 orang yang dituding sebagai simpatisan dan anggota PKI dibuang ke Pulau Buru, Maluku, oleh pemerintah Orde Baru secara bertahap mulai tahun 1969 sampai 1976, tidak pernah menjalani proses pengadilan. Ratusan orang tahanan meninggal di pulau ini karena kelaparan, sakit ataupun bunuh diri akibat tekanan mental.

Hampir tak ada bekas bangunan yang dapat mengingatkan Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tahanan politik. Barak-barak yang menjadi tempat tidur para tahanan di 22 unit sejak lama dihancurkan. Hanya beberapa rumah yang dibangun oleh para tapol yang masih tersisa.

Beberapa kuburan dengan tulisan di nisan yang sudah mulai memudar terdapat di sejumlah tempat yang dulunya adalah kamp para tahanan politik.

Tujuan utama saya adalah Desa Savana Jaya, Waepo yang dikenal sebagai unit IV, tempat tinggal bagi lebih dari 20 orang eks tahanan politik.

Di kiri kanan sepanjang perjalanan saya adalah sawah dan saluran irigasi. Saya melewati jalan yang dulu dibangun para tahanan politik melalui kerja paksa. Para tahanan membuka hutan di lembah Waepo menjadi lahan pertanian seluas lebih dari 1.700 hektar

Diro Utomo terpaksa menetap di Pulau Buru untuk hindari diskriminasi.

Mereka membuka hutan belantara dengan alat seadanya, jika menolak akan disiksa aparat keamanan.
"Kami pagi-pagi bangun lalu apel, terus mencabut rumput-rumput di sekeliling barak terus juga membuka areal hutan, babat hutan pakai tangan, kemudian pakai kapak atau gergaji," ungkap Diro Utomo, seorang petani asal Boyolali.
"Selama ditahan dan bekerja di Pulau Buru, ya, sering juga dapat siksaan, di pelipis dan kaki," jelas Diro
Diro ditangkap pada 11 November 1968, dan di penjara di beberapa tempat sebelum di pindahnya ke Nusa Kambangan lalu ke Pulau Buru.
 "Istri saya meninggal karena stres setelah saya ditahan, begitu juga anak dalam kandungannya."

Yadiono mengajar seni musik di SMA Negeri 3 Waepo, sejak 10 tahun lalu.

Di Desa Savana Jaya, saya juga bertemu dengan Yadiono, yang masih aktif mengajar seni musik di SMA Negeri 3 Waepo.

Yadiono, 79 tahun, yang asal Blitar Jawa Timur dituduh terlibat G30S karena aktivitasnya dalam serikat buruh Perusahaan Jawatan Kereta Api PJTKA. Dia di tangkap ketika masih berada di kantor, kemudian dibuang ke Pulau Buru pada 1969 bersama kelompok pertama dengan kapal ADRI XV yang berlayar dari Nusa Kambangan.
"Ketika itu kami berlayar cukup lama sampai dua minggu, karena kapal bocor sehingga para tahanan pun harus memperbaiki kapal dan membuang air yang berada di dalam kapal," jelas Yadiono.
Dia tiba di Namlea sebelum ditempatkan di Unit III Wanayasa.
Keluarganya tak mengetahui dia ditahan, karena menyangka dia sudah meninggal.
"Dulu banyak yang dibunuh di Blitar, jadi keluarga saya menganggap saya sudah tewas karena tidak kembali dari kantor. Akhirnya mereka menggelar selamatan untuk mendoakan arwah saya," jelas Yadiono.
Lahan pertanian yang dibangun melalui kerja paksa para tahanan.

Keluarganya baru mengetahui dirinya masih hidup pada 1995 lalu, ketika itu dia kembali ke Blitar untuk mencari keluarganya.
"Ya ketemu anak-anak dan istri, tapi sudah menikah lagi. Anak-anak tak terlalu ingat saya, tapi kemudian mereka memahami saya meninggalkan mereka karena masalah politik, karena ditahan," jelas Yadiono.

Memilih menetap

Atas tekanan dunia internasional pemerintah Suharto 'membebaskan' para tahanan politik, termasuk memulangkan mereka yang 'dipenjara' di Pulau Buru. Tetapi 300 orang eks tapol memilih untuk menetap. Sebagian besar kemudian pulang ke kampung halaman mereka setelah kerusuhan Ambon pada awal tahun 1999 yang merembet ke Pulau Buru.

Tetapi, hidup di kampung halaman tak lagi mudah, diskriminasi dan tuduhan mereka terkait dengan PKI dialami oleh keluarga para tahanan politik dari masyarakat membuat mereka sulit untuk mencari pekerjaan.

Pantai Sanleko salah satu tempat pendaratan para tapol yang dibuang ke Pulau Buru.

Stigma terhadap para eks tapol itulah yang menyebabkan Diro terpaksa memilih untuk menetap di Pulau Buru, yang pernah menjadi 'penjaranya'.
"Saya memilih di sini karena istri saya meninggal. Saya berpikir kalau saya yang gabisa merawat anak saya seperti yang saya harapkan saya akan menderita lagi, maka saya memutuskan untuk tinggal disini," jelas Diro.
Dia menikah dengan perempuan asli Pulau Buru dan memiliki empat anak. Anaknya sulungnya dibesarkan oleh orangtua Diro di Jawa Tengah.
Diro menghidupi keluarganya dari warung di rumahnya dan beternak sapi
 "Yang saya pikirkan sekarang hanya bagaimana anak-anak bisa sekolah supaya pintar, agar tidak dibodohi kayak saya ini, tidak salah dianggap bersalah sampai dibuang ke sini," ungkap Diro.
Di Pulau Buru, Diro beternak sapi dan istrinya membuka warung.

Sementara Yadiono, masih aktif bekerja sebagai guru honorer untuk pelajaran seni musik di SMA Negeri 3 Waepo,selama sepuluh tahun terakhir.
 Dia menempuh jarak belasan kilo dari kediamannya untuk mengajar.
"Ya saya senang masih bisa bekerja di sini mengajar musik, karena di sini jarang yang bisa baca not balok," jelas Yadiono.
Dia mengatakan kehidupannya akan berbeda jika memilih pulang ke kampung halamannya, karena sulit mendapatkan pekerjaan.

Pada 1974, pemerintah mengijinkan tahanan politik untuk membawa keluarga mereka pindah ke Pulau Buru. Salah satunya adalah Darsini, yang pindah ke Pulau Buru sejak usia 7 tahun.

Ayahnya Rabimin Siswopranoto seorang guru di Jawa Tengah yang dibuang ke Pulau Buru pada 1969, setelah ditahan di sejumlah tempat yang berbeda.

Darsini dan suaminya di depan rumah mereka, dia pindah ke Pulau Buru sejak 1974, mengikuti ayahnya.
"Bapak saya meminta keluarga pindah ke sini untuk menghindari prasangka dari para tetangga mengenai keluarga kami," ungkap Darsini.
"Ketika sekolah kakak saya dikata-katai 'bapak kamu PKI," dan tidak ada yang mau menemani, dia pun akhirnya berhenti sekolah karena malu," jelas Darsini.
Akhirnya, di Desa Savana Jaya, Darsini dan kakaknya bisa meneruskan sekolah mereka.

Masih dicurigai

Tetapi tetap saja sesekali masih ada diskrimasi yang dialami oleh para eks tapol dan keluarganya.
"Ya kadang keluar juga tuh omongan 'dasar PKI,' tetapi ya itu jarang, meski masih ada," jelas Darsini.
Bangunan gedung kesenian yang dibangun para tapol, dan sudah direnovasi.
Sebelum menemui eks tapol, saya pun bertemu dengan kepala desa untuk menyampaikan niat saya bertemu dan mewawancarai para tapol.

Kekhawatiran tampak jelas di wajah aparat desa yang kemudian beberapa kali meminta agar saya meminta ijin kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik atau Kesbangpol Kabupaten Buru terlebih dahulu sebelum mewawancarai para eks tapol, karena ini menyangkut politik.

Dia menyatakan semua yang menemui para eks tapol harus meminta ijin otoritas lokal, tanpa menjelaskan alasannya.

Ketika di Kesbangpol, seperti yang telah saya jelaskan kepada aparat Desa Savana Jaya, wartawan tidak memerlukan ijin dari lembaga ini untuk menjalankan tugasnya.
Rupanya kecurigaan terhadap aktivitas politik pada eks tapol masih saja ada. "Bukan dari pemerintah, tetapi individu," jelas Diro.
Dia pernah dituding membuat simbol mirip palu-arit di salah satu bangunan yang dibuatnya.
"Dulu saya bikin di bangunan di sekolah, saya pake joglo gitu ada lengkungan kayak rumah Jawa, lalu ada seorang Babinsa yang mengatakan saya membuat logo palu arit, itu pasti orang ga pernah keluar dari sini atau berkunjung ke Pulau Jawa," ungkap Diro kesal.
Dia mengaku saat itu tak bisa tidur semalaman karena memikirkan tudingan tersebut. Dia berharap tak ada lagi kecurigaan terhadap para eks tahanan politik. Lebih-lebih, justru mereka lah yang membangun pertanian, irigasi, dan jalanan di Pulau Buru, yang semula hutan belantara.

Salah satu komplek makam tahanan politik yang meninggal di Pulau Buru, berada di Uni XVII.

0 komentar:

Posting Komentar