HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 27 Januari 2011

Akhir Perjalanan Mia Bustam


27 Januari 2011


Di kampung kandang, pemakaman asri yang entah kenapa menggunakan bunga plastik sebagai aksesori di atas pusara, se­orang perempuan usia 90 tahun dimakamkan, Senin, 3 Januari lalu.
“Ia juru taman yang hebat. Kawan sealumni saya,” ujar seorang perempuan setengah baya berbaju hitam, menunjuk pada peti yang mulai diturunkan.

 Seorang frater muda memanjatkan doa, mengantar jiwa menuju kekekalan. Di sebelahnya, terpancang di atas gundukan tanah yang baru digali, bersandar salib kayu baru dengan gurat cat putih di atasnya: Fransiska Emanuela Sasmiati, Lahir 04-06-1920, Meninggal 02-01-2011. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai Mia Bustam.

Mujiati, perempuan berbaju hitam yang berbisik ke saya, tak bercanda saat menyebut Mia sebagai juru taman. Ia hanya mengungkap kenangan tentang “peran” Mia saat berada di Plantungan, penjara perempuan di Cilacap Jawa Tengah, tempat ratusan perempuan yang dituding sebagai kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia –pasca insiden Gerakan 30 September 1965–ditempatkan belasan tahun, tanpa pernah diadili. Mujiati dan Mia adalah bagian dari mereka, sehingga Mujiati menyebut Mia sebagai kawan satu alumni dari Plantungan.
“Ia dipercaya menata taman (saat di Plantungan). Dan taman yang ia tata selalu tampak terawat dan bagus,” kenang Mujiati.
Mia mencecap dinginnya Penjara Pelantungan, hanya karena keaktifannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi budaya ounderbow PKI.

Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978.

Sasmiyarsi Sasmoyo, istri wartawan senior Aristides Katoppo, berkisah bagaimana anak-anak Mia harus berpindah pengasuhan antarkerabat karena kepergian sang ibu. Anak sulung Mia, Tedja Bayu, ikut jadi pesakitan dan berakhir dengan dibuang ke Pulau Buru akibat aktivitasnya saat itu di Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Sementara itu, tujuh anak lainnya, sempat diasuh oleh ibu Sasmiyarsi.

“Ibu kemudian meminta saya untuk merawat anak nomor tiga dan empat,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Mimis ini.
Mimis adalah saudara tiri Mia. Keduanya sama-sama memiliki darah Raden Ngabehi Sasmojo, namun lahir dari rahim ibu yang berbeda.

Mimis mengenang bagaimana keluarga besar Keraton Mangkunegaran menentang hubungan Mia dengan Sudjojono, pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, yang kelak dikenal sebagai “bapak pelukis modern Indonesia.”

Darah biru keraton sulit menerima Mia berhubungan dengan seorang lelaki yang hidup di lingkungan keluarga bohemian, komunitas kuli kontrak yang sarat dunia keras dan tak peduli lembaga perkawinan.


Terpikat Sudjojono


Tidak direstuinya hubu­ng­an Mia dan Sudjojono oleh pihak keluarga juga di­kisahkan oleh Hersri, aktivis Lekra, yang turut terlibat dalam pengerjaan buku memoar Mia, Sudjojono dan Aku (Pustaka Utan Kayu, 2006).

Namun Mia yang memiliki nama kecil Sasmiya Sasmoyo ini, bukan perempuan yang pantang menyerah. Pertemuannya dengan pelukis berambut gondrong yang pernah terang-terangan memuji kecantikannya di depan sang ayah ini, benar-benar membuatnya jatuh cinta. Di usianya yang ke-23, tak lama setelah perjumpaanya dengan Sudjojono, keduanya pun memutuskan menikah di Solo.

Sudjono sangat dikenal dalam kumpulan aktivis seniman. Ia motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Lekra.

Tahun 1955, Sudjojono duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, ketika duduk sebagai wakil rakyat inilah Sudjojono justru mengkhianati cinta Mia saat menjalin hubungan dengan penyanyi seriosa Rose Pandanwangi. Ia meminta kebesaran hati Mia untuk dimadu. Namun Mia menolak, terlebih saat kampanye pemilunya, Sudjojono menjanjikan perjuangan hak-hak perempuan, termasuk menentang poligami.
Akibat petualangan cintanya, Sudjojono kemudian tak hanya kehilangan cinta Mia, tetapi juga dipecat dari PKI. Tahun 1959, keduanya resmi berpisah.

Pada tahun yang sama, Mia disahkan menjadi anggota Lekra dalam Kongres di Solo. Ia kemudian memutuskan menggunakan nama Mia Bustam, bukan lagi Sasmiya Sasmojo. Bustam adalah moyang dari garis ibunya atau ayah dari pelukis besar Sarief Bustaman (Raden Saleh).

Pada tahun 1964, dalam catatan Hersri Memoar Pulau Buru, Mia pernah memamerkan karyanya bersama perempuan pelukis lainnya, yakni S Ruliyati, Kartika Effendi, dan istri Edy Sunarso.

Namun, menurut FX Rudy Gunawan, penyunting untuk memoar Mia Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan (VHR dan Spasi, 2008); Mia lebih identik sebagai inspirator aktivis perempuan yang tangguh, ketimbang seorang perupa.
 “Sikap politiknya sangat jelas,” ungkap Rudy.
Ketanggguhan Mia memang tiada banding. Ketika pertama kali bertemu lagi de­ngan Tedja Bayu, anak sulungnya, yang baru dibebaskan dari penjara, Mia hanya berujar ringan, “Inilah hidup!”
Pengalaman telah menempanya sedemikian rupa menjadi pribadi yang sangat kuat. Kemarin, saat jasad ibu dari delapan anak, eyang dari 20 cucu, dan eyang buyut dari 11 cicit itu diturunkan ke liang lahat, Tedja Bayu mengucapkan salam perpisahan yang indah. “Selamat Jalan Ibu. Tugas sejarah Ibu sudah selesai. Kami yang akan meneruskannya.”

Sinar Harapan, 4 Januari 2011


Selasa, 25 Januari 2011

Spionase Paman Sam


Jumat, 21 Januari 2011

Danrem 101/Ant terima aset milik Asing (Cina)


21 Jan 2011


Bertempat di ruang Yudha Korem 101/Antasari Kakanwil XII Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Banjarmasin Bapak Hadi Purnomo menyerahkan salinan Surat Keputusan Menten Keuangan terkait Aset Bekas Asing/Cina (ABW1/41C) yang dikuasai Korem101/Antasari. dengan cara pemantapan status hukum menjadi Barang Milik Negara, kepada Kementerian Pertahanan/TNI AD Cq. Komandan Korem 101/Antasan.

Dalam sambutannya Danrem 101/Antasari Kolonel Inf M. Herindra, M.A dianataranya menyampaikan ucapan selamat datang kepada Kepala Kanwil DJKN beserta rombongan di Makorem 101/Ant dan ucapan terimakasih atas jerih payah selama ini telah menyelesaikan aset-aset yang bermasalah. Turut hadir dalam acara tersebut Dandim 1007/Banjarmasin, Dandenzibang Banjarmasin, para Kasi Korem 101/Antasari

Sementara Kakanwil DJKN dalam sambutannya mengatakan bahwa ast-aset tersebut adalah aset yang dikuasai Negara yang berasal dan bekas, MIlik Asing yang telah dinasionalisasi berdasar penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1962 dan Nomar 4 tahun 1962. Perkumpulan-perkumpulan Cina yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor PRT/032/PEPERPU/1958 jo Keputusan Penguasa Perartg Pusat Nomor KPTS/PEPERPU/0439/1958 jo Undang-undang Nomor 50 Pip Tahun 1960.

Perkumpulan-perkumpulan yang menjadi sasaran aksi masa/kesatuan-kesatuan aksi tahun 1965/1966 sebagal akibat keterlibatan Republik Rakyat Tjina (RRT) dalam pemberontakan G 30 S/PKI yang diterbitkan dan dikuasai oleh Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah sehingga asetnya dikuasasi negara melalui Instruksi Radiogram kaskogan Nomor T-0403/G-5/5/66.

Adapun ABMA/C yang telah ditetapkan oleh Menten Keuangan untuk dimantapkan statusnya menjadi BMN dan diserahkan kepada KOREM 101/Antasan adalah Nomor 89/KM 6/2011 tanggal 15 Juli 2011 tentang Penyelesaian Status Kepemilikan Aset Bekas Milik Asing/Cina Pepabri luas tanah 2 122 m’ di Jalan Bngjen Katamso Kelurahan Kertak Baru Kecamatan Banjar Barat Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan dengan cara pemantapan status hukum menjadi Barang Miluk Negara, kepada Kemeterian Pertahanan/TNI AD Cq Komandan Korem 101/Antasan, Nomor 90/KM 6/2011 tanggal 15 Juli 2011 tentang Penyelesaian Status Kepemilikan Aset Bekas Milik Asing/Cina

Kantor Minpers luas tanah 3 526 m’ di Jalan Kapten Pierre Tendean Kelurahan Seberang Mesjid Kecamatan Banjar Timur Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan dengan cara pemantapan status hukum menjadi Barang Milik Negara, kepada Kemetenan Pertahanan TNI AD Cq Komandan Korem 101/Antasari. Nomor 91/KM 6/2011 tanggal 15 Juli 2011 tentang Penyelesaian Status Kepemilikan Aset Bekas Milik Asing/Cina Makoramil luas tanah 1 445 m2 di Jalan KS. Tubun Kelurahan Kelayan Barat Kecamatan Bamar Selatan Kota Banjarrnasin Provinsi Kalimantan Selatan.(Penrem 101/Ant)

Kamis, 20 Januari 2011

Clarifying the Understanding of the 1965 Tragedy

KABAR KONFERENSI HARI I
Source: Historia.Id 

Rabu, 19 Januari 2011

Hapuskan Mitos untuk Rekonsiliasi


Pemahaman secara mendalam dan berimbang terhadap peristiwa pada kurun 1959-1969 syarat menuju rekonsiliasi.

Historia

Konferensi internasional sekaligus pameran bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” dibuka sore tadi (18/01). Sebelum acara dibuka, sejumlah pelajar yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Pelajar Islam (PII) berunjuk rasa di halaman gedung Goethe Institute, Jl. Sam Ratulangie, Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar acara dihentikan, bahkan salah seorang orator menuntut dibubarkannya PKI, “bubarkan PKI!” katanya diikuti demonstran lain.

Sebuah kejadian lain pun terjadi. Penulis buku Economists With Gun, Bradley Simpson yang menjadi pembicara dalam peluncuran bukunya di Goethe dimintai keterangan oleh sejumlah polisi terkait dokumen keimigrasiannya. Acara pameran dan konferensi yang akan digelar sampai 21 Januari itu pun diwarnai ketegangan.

Sejumlah tokoh memberikan sambutan dalam pembukaan pameran dan konferensi tersebut. Letjen (Purn) Agus Widjojo yang juga anak dari pahlawan revolusi Mayjen (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo dalam sambutannya mengatakan perlunya mengambil jarak dengan peristiwa 1965 kendati sulit. 
“Tidak mudah memang bagi pihak yang terlibat untuk mengambil jarak dan melihat peristiwa masa lalu dari perspektif saat ini tanpa keterlibatannya,” kata dia.
Menurut Agus, diperlukan pengorbanan dari semua pihak yang terkait agar peristiwa yang sudah lebih dari empat dasawarsa itu bisa didudukkan sesuai dengan porsinya. Agus ingin melihat persoalan itu lebih berimbang dengan menempatkan PKI dan Angkatan Darat pada pusaran utama penyebab peristiwa yang terjadi pada 46 tahun lalu itu.

Sementara itu Mardiyah Chamin dari Tempo Institute dalam pembukaan pameran mengatakan bahwa salah satu upaya untuk memahami peristiwa yang terjadi pada kurun 1959-1969 adalah satu tahap penting sebelum kita bisa berdamai dan menyembuhkan luka sejarah. 
“Pameran ini, harapan kami, bisa memberi kontribusi dalam membangun pemahaman tentang panggung Indonesia dan dunia, di hari-hari penuh gejolak,” kata dia.
Senada dengan Mardiyah, Agus Widjojo pun berpendapat bahwa salah satu hal terpenting yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi berjalan baik adalah kemampuan untuk melihat peristiwa secara lebih dalam tanpa pemitosan. “Kesiapan untuk memasuki proses rekonsiliasi memerlukan penghancuran mitos seolah korban adalah monopoli satu pihak dan penyebab tindak kekerasan adalah pihak yang lain,” ujarnya.
Turut hadir dalam acara pembukaan pameran dan konferensi internasional itu antara lain Direktur Goethe Institute Jakarta Frans Xavier Agustin, Direktur FES Indonesia Erwin Schweisshelm, wartawan senior Aristides Katoppo, sejumlah sejarawan seperti Asvi Warman Adam, Hilmar Farid dan Baskara T Wardaya.

Sumber: Historia.Id 

Selasa, 18 Januari 2011

Sastra Eksil Indonesia[1]


18/01/2011 | Hersri Setiawan

Situasi dan Kondisi Sastra Eksil Indonesia[1]

kata kunci: Indonesia, kesatuan politik, eksil politik, identitas, perang sejarah

Sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia. Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang saya maksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdulrachman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.

Dengan demikian yang disebut ‘Eksil Indonesia’ dalam kontek tulisan ini adalah ‘eksil politik’. Bukan ‘eksil sosial-ekonomi’, seperti yang pernah dialami orang-orang eksil Indonesia (baca: Jawa dan Madura) pada masa kolonial yang harus bekerja sebagai buruh dan tenaga administarsi di perkebunan-perkebunan besar di berbagai negeri, seperti Afrika Selatan, Sri Langka, Suriname dan Kaledonia Baru. Catatan-catatan narasi para eksil sosial-ekonomi dari Indonesia ini tidak ditulis oleh para eksil, dan belum dieksplorasi para peneliti, tetapi sebagai bagian dari sejarah tutur yang panjang tentang orang-orang yang ‘diselong’ atau ‘dibuang’, pada masa kolonial. Sepatah kata Jawa ‘sélong’, yang berarti ‘buang’ itu sendiri berakar pada kata ‘Ceylon’, pulau tempat pembuangan para penjahat (sebenarnya ‘pemberontak’) dari Pulau Jawa khususnya – pada masa ketika Ceylon menjadi tanah jajahan Belanda.

Perbendaharaan ‘eksil politik’ juga terdapat dalam lakon cerita wayang purwa yang berjudul “Pandhawa Tundhung”, disadur dari salah satu episode dalam kakawin Mahabharata atau Astadasaparwa, yaitu episode Wirataparwa. Isi dan intinya, bahwa setelah Pandawa kalah dalam bermain dadu – bahasa seni untuk ‘perang diplomasi’– dari musuh bebuyutannya, yaitu Kurawa, Pandawa dihukum buang selama 13 tahun, dan identitas mereka harus dihapus selama dalam pembuangan itu. Para Pandawa yang telah membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka, mencari suaka di wilayah Kerajaan Wirata. Pandawa hidup sebagai eksil Politik!

Ada dua contoh lain tentang eksil politik di dalam sejarah Indonesia, dari babakan sejarah yang jauh lebih muda, yaitu tentang masuknya Islam ke Jawa pada sekitar awal abad ke-15. Barangkali M. Prijohutomo benar ketika membantah teori ‘pénétration pacifique’ (dikemukakan antara lain oleh Josseline de Jong), karena menurutnya sebaliknyalah yang terjadi: Islam masuk dengan kekerasan dan pedang.[2] Masyarakat Badui berikut kebudayaan dan tradisinya di Banten Selatan, yang ‘tertutup dari dunia luar’ sampai sekarang, ialah korban kekerasan Islam ketika menundukkan dinasti Tarumanegara dan membangun kerajaan Islam Banten di pantai barat Pulau Jawa. Hal yang serupa terjadi pada masyarakat ‘Wong Using’ di Gunung Tengger Jawa Timur. Mereka, ‘Masyarakat Using’ itu, adalah sebagian dari masyarakat Hindu-Budha penduduk kerajaan Hindu-Budha Majapahit, yang berani berkata ‘Tidak!’ terhadap Islam, dan melarikan diri naik ke kaki pegunungan Bromo dan Tengger.

‘Using’ dari kata ‘sing’ ekuivalen dari kata Indonesia ‘tidak’ (bandingkan dengan kata ‘sèng’ dalam dialek Melayu-Ambon). Dilihat dari sudut ini, maka apa yang sekarang kita kenal sebagai sastra Bali kuno, yang tercatat dalam helai-helai lontar itu, tidak lain adalah buah kebudayaan atau sastra ‘hibrida’ yang berkembang dari sastra Jawa Kuno di dalam pengungsian, selama para pendukungnya mencari asil (asylum) di Pulau Dewata.

Kebudayaan eksil, tentu saja juga termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II). Atau, dalam bentuk yang ‘lebih lunak’, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.

Sama seperti halnya Eksil Pandawa, para Eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka. Perbedaan antara eksil Pandawa dengan eksil Indonesia, jika Eksil Pandawa menghilangkan jatidiri sebagai bagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh Kurawa sebagai pemenang. Bagi Eksil Indonesia, penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (Perancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama Perancis! Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.

Tapi apakah bedanya antara (untuk mudahnya sebut saja:) ‘eksil PKI — Partai Komunis Indonesia’ dengan ‘eksil Pandawa’? ‘Eksil PKI’ bersama dengan perkembangan waktu berubah menjadi ‘Eksil Persatuan Kematian Indonesia’, seperti diabadikan Basuki Resobowo dalam lukisannya, yang tidak berprospek kecuali hilang tanpa jejak.[3]. Beda dengan Pandawa. Masa 13 tahun pembuangan, yang hakikatnya pembunuhan, akhirnya tamatlah. Tamat satu episode kisah, sekaligus disusul oleh, dan bersambung dengan, satu episode kisah baru. Raja dan seluruh rakyat kerajaan Wirata dan sekitarnya berdiri di belakang Pandawa untuk menghacurkan keserakahan dan menegakkan keadilan.

Peristiwa pergantian episode ini diabadikan dalam satu bait syair kakawin, dalam bahasa Jawa:

Enjing bidhal gumuruh,
saking nag’ri Wiratha;
kèh ingkang bala-kuswa,
abra busananira,
lir surya wedalira,
saking ing jalanidhi.
Arsa madhangi jagad,
duk mungup-mungup anèng;
nèng puncak ing awukir …

dalam terjemahan saya:
Bangkit gemuruh di pagi hari,
dari negeri Wirata;
bangkit asykar tak terbilang,
merah menyala pakaian mereka,
bagai matahari terbit,
di ujung cakrawala.
Hendak menyinari hitam dunia,
ketika mulai terlihat
di puncak gunung …
Maka perang Bharatayudha pun pecahlah!

Bandingkan kisah ini dengan kisah kaum eksil Polandia sejak negeri mereka dihancurkan Hitler dalam serangan ‘blitzkrieg’ 1939. Mereka segera bangkit dari negeri-negeri tempat pelarian mereka (Perancis, Inggris, dan Uni Soviet), dan berhasil menyusun kekuatan ratusan ribu partisan yang bergerak di bawah tanah.[4]

Tentu saja saya tidak hendak mengajak kawan-kawan saya eksil Indonesia untuk bangkit menyusun kekuatan dan melancarkan perang secara fisik pula, melainkan menyusun kekuatan spiritual dan akal-sehat untuk melancarkan perang-kemanusiaan secara damai. Saya setuju tanpa syarat pada seruan ‘Lawan!’, dari penyair Widji Thukul dalam baris penutup salah satu sajaknya.[5]

 Tapi ketika pada 1987 saya ajak kawan-kawan menyusun antologi bersama, ‘kumpulan suara’ selama 20 tahun lebih terbungkam (1965-1987) hanya dua penyair yang mengirim tidak sampai sepuluh karya puisi mereka, yaitu Sobron Aidit dan Agam Wispi. Lalu ketika sekitar satu tahun kemudian, saya ajak melakukan sensus terhadap sesama kawan eksil, baik yang masih hidup maupun yang sudah dikubur, suara ajakan saya itu ibarat angin tipis bertiup di gurun-pasir. Akhir yang sama terjadi ketika saya mencoba menawarkan inisiatif untuk menyelenggarakan ‘Pekan Pramudya’ di dua kota utama di Belanda, Den Haag dan Amsterdam, pada tahun 1989 – yang membantu saya, di Belanda, hanya W.F. Wertheim, Sampormes (anggota Tweede Kamer dari Groen Links), suami-istri Harsono-Darmini, dan dari Indonesia Joebaar Ajoeb.

‘Lawan’ tidak harus dalam gerakan yang berdarah. Tapi ‘lawan’ juga bisa diterjemahkan dalam gerakan ‘non-violence’. Anti-kekerasan bukan sekedar taktik perjuangan politik, tapi adalah asas perjuangan. Namun begitu ajakan demi ajakan gerakan non-violence untuk menyuarakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dan pemberangusan, pada saat itu, tidak pernah mendapat sambutan sebagaimana mestinya. ‘Kawan-kawan masih tiarap! Kata Pramudya Ananta Toer.

Mengapa bisa begitu? Barangkali jawabannya bisa dicari dalam kata-kata terakhir yang diucapkan Oloan Hutapea, Direktur Akademi Sosial CC-PKI ‘Ali Archam’, ketika membekali kawan-kawan yang hendak diberangkatkan bersekolah ke luar negeri saat itu: ‘Belajarlah baik-baik. Jangan pikir ini-itu. Belajar dan hanya belajar. Nanti kalau kawan-kawan pulang kembali, Bendera Merah sudah berkibar di udara Tanahair …’

Eksil Indonesia tidak pernah disiapkan atau mempersiapkan diri menghadapi pergantian suasana dan cuaca. Mereka lupa atau memang tidak pernah mengerti, bahwa sejarah ialah perkara pilihan dan bukan urusan keberuntungan atau kecelakaan. Karena mereka selalu dibelai dan dibuai dengan kepastian tentang kemenangan, yang daripadanya jabatan dan kedudukan tinggi sudah tampak menjanjikan di depan mata-nasib.

Kata ‘Indonesia’ walaupun pada mulanya menunjuk pada fenomena sosio-kultural (‘Indos’ dan ‘nesia’, pulau-pulau [di bawah pengaruh kebudayaan] India), namun dalam perkembangan selanjutnya menunjuk pada sebuah kesatuan politik yang ditopang oleh berbagai kesatuan etnis dan kebudayaannya (1928), dan dimeteraikan pada awal sejarah Republik Indonesia dalam semboyan “bhineka tunggal ika”. Walaupun Eksil Politik Indonesia lahir dari guagarba yang sama, yaitu PKI dan gerakan kiri Indonesia, serta oleh paraji yang sama, yaitu militerisme Suharto-Nasution, namun sebutan ‘politik’ di dalam katagabung ‘eksil politik’ itu mempunyai isi dan sifat yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh karena: (1) PKI sebelum September-65 pun sudah tidak monolit; (2) para eksilnya berasal “dari Sabang sampai Merauke”, dan ditambah lagi (3) Eksil Politik Indonesia berasal dari dua raksasa Blok Timur, Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok dengan satelitnya masing-masing.

Situasi dan posisi Eksil Politik Indonesia menjadi bertambah kompleks karena perkembangan kehidupan mereka sangat ditentukan oleh kekuasaan politik tempat para Eksil Politik Indonesia itu berlindung. Dua kekuatan politik raksasa blok Timur, yaitu Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, sangat memengaruhi pembentukan identitas dan pola pikir para eksil politik Indonesia tersebut. Identitas itu membutuhkan ekspresi, dan untuk ekspresi diperlukan kebebasan, sedangkan untuk kebebasan dituntut keberanian. Tapi di sini, untuk menjadi berani, bagi eksil Indonesia harus berhadapan dengan kendala ‘self-censorship’, karena ada garis imajiner yang tebal antara ‘kawan’ vis-a-vis ‘bukan-kawan’, antara ‘kita’ vis-a-vis ‘mereka’. Malah lebih dari itu, sebagai kelanjutan dari perpecahan antara dua raksasa blok timur USSR vs RRT, masing-masing dengan satelitnya, maka kelompok-kelompok ‘perkawanan’ dan ‘perkitaan’ menjadi semakin banyak, dan bersamaan dengan itu lingkup ‘perkawanan’ dan ‘perkitaan’ pun menjadi makin sempit.

Hal-hal tersebut di atas itu barangkali merupakan alasan utama, mengapa proses kreatif harus terganggu. Harus menunggu datangnya waktu, ketika menggunakan media bahasa Indonesia tidak akan mengundang bahaya, apabila sampai tertangkap oleh ‘telinga musuh’.

Sebagai ilustrasi saya ingin menganalogikan keadaan semacam itu, meskipun dalam lingkup yang lebih sempit, dengan kehidupan tapol di tempat pengasingan mereka Pulau Buru. Di sana selama tahun 1968-1979, tapol-tapol yang berasal dari berbagai suku di Indonesia saling bertutur-sapa tidak dalam bahasa Indonesia, melainkan di dalam bahasa Jawa logat Surabaya dan bahasa Sunda. Sehingga oleh militer penguasa kamp-kamp konsentrasi penggunaan bahasa selain ‘Bahasa Nasional’ itu digolongkan sebagai ‘konsinyes’ (larangan) berat, dan mereka menamakan bahasa-bahasa daerah atau bahasa suku (notabene adalah ‘bahasa ibu’) sebagai ‘basa-basa’ yang ditabukan.[6]
Di atas sudah disebut, bahwa di dalam perjalanan sejarah mereka di luar negeri, sejak 1965 sampai sekitar 1984, konsep ‘eksil politik’ sudah berkembang dan menjadi berbeda, baik dalam isi maupun sifatnya. Sebuah analogi menarik diungkapkan oleh pelukis Basuki Resobowo, seorang pelukis ekpsresionis angkatan pertama Indonesia, yang meninggal pada awal 80-an di Belanda. Di atas kanvasnya Basuki menggambarkan peristiwa dan suasana pemakaman salah seorang eksil Indonesia di Belanda: Di langit di atas kerumunan para pelayat di kuburan, melengkung warna-warni pelangi, bukan warna merahputih Indonesia apalagi merah Komunis, sebagai latar belakang rangkaian huruf-huruf yang berbunyi: Persatuan Kematian Indonesia – dengan tiga huruf ‘P’, ‘K’ dan ‘I’ berwarna merah dan selebihnya berwarna hitam.
Ungkapan itu adalah makna PKI yang ingin dilukiskan oleh Basuki Resobowo. PKI di tengah masyarakat eksil Indonesia sudah bukan lagi PKI di masa pra-Oktober 65! “PKI” versi Basuki hanya mampu mengerahkan ‘massa eksil politik Indonesia’ ketika ada sesama eksil meninggal. Sekedar untuk menyatakan sisa-sisa terakhir dari semangat setiakawan dan kesadaran klas, dan bukan untuk diskusi tentang idealisme dan revolusi!

Menurut fitrah atau sifat asalnya hasil karya eksil politik, seperti diatas sudah dikemukakan, selayaknya bersemangat dan berisi perlawanan. Maka sastra eksil pun selayaknyalah sastra perlawanan. Tapi tidak demikian halnya hasil karya eksil Indonesia. Sebelum mereka berduyun-duyun bereksodus ke Eropa Barat, khususnya Belanda, mereka dibuai dalam mimpi besar dengan slogan-slogan ‘revolusioner’ para pemimpin sendiri dan pemimpin tuan-rumah. Sesudah mereka tiba di Eropa Barat, mulai sekitar awal 80-an, pun tetap menempuh hidup tanpa jatidiri. Baru mulai tahun 1987 satu demi satu mereka mengganti secarik surat bukti ‘stateless’ dari PBB dengan paspor dari negara tempat mereka bermukim. Mulailah muncul tulisan-tulisan kecil, dalam berbagai bentuk, melalui aneka majalah penerbitan mereka. Pada umumnya bisa dikatakan dengan pasti, bahwa baru sesudah gelombang reformasi 1998 melimbur dinding-telinga radio dan layar cakrawala teve di tempat-tempat kediaman mereka, tulisan dan suara mereka membanjiri pers sibernetika dan memantul dari dinding-dinding ruang diskusi.

Di antara sekian banyak hasil karya yang tak terbilang itu, ada dua karya eksil politik Indonesia yang kental dan sarat dengan nafas perlawanan. Pertama adalah ‘Sansana Anak Naga’, sebuah antologi puisi karya JJ.Kusni, alias Emil, dengan kata pengantar oleh alm. Prof. W.F. Wertheim, ditulis untuk mencatat peristiwa eksekusi mati atas Ruslan Wijayasastra dan kawan-kawan. Kedua, sebuah kumpulan puisi cukup tebal yang belum pernah diterbitkan, karya alm. Agam Wispi. Semangat perlawanan Agam, tak beda dari Basuki Resobowo, terungkap dalam sarkasme yang sudah segera terbaca pada judul kumpulan puisinya itu: ‘Amsterdam – Amstel – Amsteledam’.[7]

Di luar dari karya kedua penulis tersebut di atas, merupakan karya-karya yang merekam kejadian masalalu di Tanahair, dan/atau kerinduan pada mimpi kejayaan yang tak pernah terwujud. Tentang situasi ini Sitor Situmorang, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, mencoba menerangkan dengan sepatah kalimat: “Kawan-kawan itu kaki mereka sudah di sini, sekarang, tapi kepala mereka masih di sana, Indonesia pra-G30S!”

Di tengah suasana eksil yang demikian itu, sebagai bukan seorang eksil, selama sepuluh tahun pertama dari delapanbelas tahun hidup saya di Belanda, saya mencoba berlawan melalui ‘medan perang’ lain, yaitu ‘medan perang sejarah’. Ini sebuah pilihan politik yang secara sadar saya yakini sebagai jawaban untuk menemukan kembali kisah-kisah perlawanan terhadap penghancuran gerakan rakyat. Melalui metode ‘oral history’ atau ‘sejarah tutur’ (sekaligus ‘tutur sejarah’), saya kumpulkan ‘serbuk-serbuk mesiu’ dan ‘peluru perlawanan’, yang berbentuk kepingan-kepingan memori tentang kehidupan kawan-kawan di Eropa Barat, China, Vietnam, dan Australia.

Impian saya satu: untuk menumbangkan hegemoni dan dominasi sejarah militer di Indonesia, dan membangun sejarah dari bawah: Sejarah Rakyat.

***
[1] Naskah ini disusun untuk lokakarya tentang ‘Indonesian exiles: crossing cultural, political and religious borders’, Maret 2009 di Canberra Australia; teks Inggris dikerjakan oleh David T Hill, yang juga memberikan kata pengantarnya, dalam RIMA, Review of Indonesia and Malaysian Affairs, volume 44, number 1, 2010: 9-20.
[2] Prijohutomo, M., Sedjarah Indonesia, 1953. Ia mengatakan, antara lain, tidak mungkin tangan atau hidung patung Budha di dalam stupa-stupa di Borobudur itu banyak yang patah atau rusak, jika tidak dirusak dengan benda keras, tongkat besi misalnya, melalui lubang-lubang stupa itu.
[3] Basuki Resobowo [ed. Hersri Setiawan], Bercermin di Muka Kaca, 2005.
[4] Jósef Garlinski, Poland in the Second World War, 1939-1945, 1985.
[5] Widji Thukul penyair anti-militerisme yang gigih, lahir 1963, diculik dan ‘hilang’ sejak 1998.
[6] Hersri Setiawan, Kamus Gestok, 2003.
[7] Amstel kota lecil di barat-daya Amsterdam. ‘Amsteledam’ dilihat Wispi sebagai permainan kata, mengingat banyaknya ‘dam’ di Belanda (‘dam’, waduk, bendungan). Dengan ‘Amsterdam’ sebagai pola, ia ubah Amstel menjadi Amstel[e]dam, bukannya Amsteldam; karena: (1) menuruti ucapan orang yang tidak bisa melafalkan bunyi ‘r’. dan (2) menyindir kawan-kawannya eksil Indonesia yang belum fasih dan berlafal buruk jika berbicara dalam bahasa Belanda.

Rabu, 12 Januari 2011

Tritura, Dari Mulut Buaya ke Mulut Harimau (3)


JANUARY 12, 2011

Ambivalensi dan Oppotunisme Politik

Ambivalensi dan sikap opportunistik adalah sikap-sikap yang banyak tercermin dalam perilaku politik pada masa perubahan tahun 1965-1966 hingga tahun 1970. Semula ciri itu dikenali pada kelompok politisi sipil yang berasal dari dunia kepartaian Nasakom, tetapi pada akhirnya juga diperlihatkan oleh kalangan tentara dalam kancah politik kekuasaan.

Tak kurang dari Soeharto sendiri, karena kepentingan taktisnya, kerapkali terkesan bersikap ambivalen, setidaknya di mata kelompok mahasiswa pergerakan 1966. Bahkan pada akhirnya menular hingga ke kalangan mahasiswa sendiri.

GODAAN KURSI PEMILIHAN UMUM. Bukannya sama sekali tidak ikut memikirkan nasib rakyat dan gerakan menghadapi Gestapu (G30S), tetapi kekuatan-kekuatan politik yang berada dalam Front Pancasila bagaimanapun lebih mengutamakan kepentingan masing-masing. Begitu ada godaan janji pemilihan umum yang dilontarkan Presiden Soekarno, iman pun goyah dan konsentrasi lalu alih fokus pada ancang-ancang untuk memperebutkan kursi pemilu yang semula direncanakan berlangsung tahun 1968.

Sikap ambivalen yang membingungkan berkali-kali ditunjukkan Soeharto. Di satu saat ia menekankan penyelesaian konstitusional terhadap Soekarno, sejalan dengan aspirasi yang ditunjukkan kesatuan aksi dan kelompok mahasiswa pada khususnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ia juga melakukan pula perundingan-perundingan untuk berkompromi dengan Soekarno, untuk segera memperoleh penyerahan kekuasaan secara penuh dari Soekarno. Separuh kekuasaan telah diperolehnya melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, kini ia menginginkan seluruh kekuasaan.

APA BEDA ORDE LAMA DAN ORDE BARU? Namanya beda, bungkusnya pun beda. Tetapi isinya kok sama-sama kecap? Bahan baku, sama.

Gerakan-gerakan kesatuan aksi dan mahasiswa yang menentang Soekarno, terutama tuntutan agar Soekarno mundur dan kemudian diajukan ke persidangan Mahmillub untuk diperiksa dan memberi pertanggungjawaban secara hukum mengenai Peristiwa 30 September 1965, menjadi alat penekan yang ampuh dalam menghadapi Soekarno.
Soekarno memang akhirnya, terdorong mundur setapak demi setapak dan pada akhirnya menyerah di bulan Pebruari 1967. Dengan penyerahan kekuasaan oleh Soekarno sebelum Sidang Istimewa MPRS, membuat Soeharto ‘tak terlalu berhutang budi’ kepada MPRS yang pada bulan Maret berikut, mencabut seluruh mandat kekuasaan dari tangan Soekarno.

RAMALAN TENTANG PAHLAWAN KESIANGAN. Sebelum Sidang Istimewa MPRS, mahasiswa terlibat gerakan menjatuhkan Soekarno. Banyak pihak yang maju mundur. Tapi, karikatur yang dibuat Januari 1967 ini, sebelum SI MPRS mencabut mandata dari Soekarno, telah meramalkan suatu proses munculnya pahlawan kesiangan yang tiba-tiba lebih bersemangat daripada mahasiswa, setelah tanda-tanda kejatuhan Soekarno sudah sangat jelas. Terjadi perlombaan melakukan dorongan terakhir…

AKHIR DARI SEORANG PEMIMPIN BESAR. Karikatur yang dibuat bulan Maret 1967 ini, menjelang SI MPRS, menggambarkan ‘nasib akhir’ yang akan menimpa diri Soekarno. Sebuah kursi yang ‘sunyi’ dan benda-benda yang pernah dipakai sebagai atribut kekuasaan, kacamata yang semestinya adalah lambang kecerdasan intelektual seorang pemimpin, pisau berdarah dan buku Manipol (Manifesto Politik), yang semuanya bertebaran di lantai.

BERAKHIR PULA DUALISME. Keputusan Sidang Istimewa MPRS 1967 yang mencabut mandat kekuasaan dari Presiden/Mandataris MPRS Soekarno, lalu menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sekaligus mengakhiri pula dualisme dalam pemerintahan yang dijalankan suatu Presidium hasil ‘kompromi’ dengan Soekarno, beserta segala dilemanya seperti yang digambarkan T. Sutanto dalam karikaturnya dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia di tahun 1966, bulan September.

Selasa, 11 Januari 2011

Tritura, Dari Mulut Buaya ke Mulut Harimau (2)


JANUARY 11, 2011

‘DJAS MERAH SOEKARNO’. Dalam peringatan Proklamasi 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” yang diringkas mahasiswa menjadi ‘Djas Merah’. Warna merah pada masa itu selalu dikonotasikan dengan komunis.

‘OFFENSIF’ KARIKATUR

Selain dengan gerakan ekstra parlementer di jalanan, para mahasiswa juga menggunakan media pers sebagai alat perjuangan mereka. Ini terutama setelah kelahiran Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto. Tetapi setelah itu, terdapat dua matahari dalam kekuasaan. Mahasiswa memilih untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno yang dianggap otoriter dan telah menjadi satu kediktaturan. Akan menjadi apa Soeharto nantinya, tak terlalu terpikirkan, bahkan banyak harapan yang diletakkan kepadanya.

HARUS DIDORONG-DORONG. Sikap maju-mundur MPRS untuk meminta pertanggunganjawab Presiden Soekarno membuat mahasiswa tak sabaran. Pada akhirnya pertanggunganjawab Soekarno itu ‘berani’ juga ditolak oleh MPRS.

Pertengahan tahun 1966, bulan Juni, lahir sejumlah media pers yang dikelola oleh para mahasiswa aktifis. Di Jakarta terbit Harian KAMI yang dipimpin oleh Zulharmans dan Nono Anwar Makarim. Lalu terbit Mingguan Mahasiswa Indonesia dalam dua edisi. Edisi Pusat dipimpin oleh Louis Taolin. Edisi Jawa Barat didirikan oleh sejumlah aktifis mahasiswa Bandung, dipimpin oleh Awan Karmawan Burhan dan A. Rahman Tolleng. Edisi Pusat berusia ringkas, sehingga selanjutnya edisi Jawa Barat lah yang lebih dikenal sebagai Mingguan Mahasiswa Indonesia. Harian KAMI dan Mingguan Mahasiswa Indonesia bisa mencapai tiras peredaran nasional yang memadai yang kerapkali bisa mengalahkan tiras suratkabar umum yang ada.


Mingguan Mahasiswa Indonesia amat terkemuka dalam kampanye menjatuhkan Soekarno dan menjadi media kaum intelektual dalam melahirkan konsep-konsep  awal Orde Baru. Namun adalah tragis bahwa konsep dan penamaan Orde Baru ini dalam perjalanan waktu berubah di tangan Soeharto dan lingkaran jenderalnya yang berkecenderungan otoriter. Sehingga beberapa tahun kemudian selangkah demi selangkah makin tak dikenali lagi, bahkan oleh para pencetus konsepnya sendiri, yakni sejumlah kaum intelektual dan sekelompok kecil jenderal idealis.

MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO? Tuntutan kesatuan-kesatuan aksi berkali-kali berbenturan dengan sikap Soeharto yang menolak keinginan mengadili Soekarno. Apakah karena menjalankan filosofi ‘mikul dhuwur mendhem jero’? Nyatanya di kemudian hari Soekarno memang tak pernah diadili, tetapi ia dibuat lebih menderita sebenarnya dengan pengenaan tahanan rumah dalam keadaan sakit dan tak mendapat pengobatan yang layak. Apa memang dikehendaki ia tak sembuh? Akhirnya ia meninggal dunia sebagai tahanan, pada tahun 1970. Suatu keadaan yang sebenarnya justru tidak adil.

Salah satu kekhasan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah ‘offensif’ karikaturnya. Dalam setiap penerbitannya mingguan ini menyajikan karikaturnya yang tematik sesuai fokus berita dan situasi aktual yang terjadi. Sepanjang penerbitannya hingga diberangus oleh rezim Soeharto Januari 1974, ada sekitar dua ratus karikatur yang telah diterbitkan. Seluruh karikatur dalam esei bergambar ini diangkat dari dokumentasi Mingguan Mahasiswa Indonesia, mulai dari penerbitan tahun 1966, 1967, 1968 hingga 1969. Karikaturis-karikaturis yang berkontribusi antara lain adalah Sanento Juliman (almarhum), T. Sutanto (TS), Harijadi Suadi, Ganjar Sakri (Gas), Dendi Sudiana dan Keulman (Ke) semuanya dari Senirupa ITB. Lalu ada sesekali ‘Napraja’, dan kemudian seorang wartawan karikaturis, mahasiswa dari Yogya Julius Pour.

PARTAI DAN GOLONGAN. Memilih kepentingan golongan sendiri.

Setelah menyorot Soekarno, karikatur-karikatur tersebut sesuai perjalanan waktu dan situasi beralih menyoroti perilaku korupsi, ekses perilaku tentara dalam kekuasaan hingga pada perilaku politisi sipil yang tak kalah buruknya.

Ketidakberanian para anggota MPRS juga menjadi sasaran sorotan para mahasiswa pengeritik, sebagaimana juga sikap ‘kompromistis’ yang ditunjukkan oleh Soeharto sendiri terhadap Soekarno. Dalam hal tuntutan untuk mengajukan Soekarno ke depan Mahmillub, sebuah karikatur menunjukkan adanya kesan bahwa Soeharto tidak menghendakinya dan bahkan tergambarkan bersikap ‘menghalangi’. Semula, banyak pihak memahami sikap Soeharto itu sebagai pencerminan sikap mikul dhuwur mendhem jero yang merupakan filosofi dalam kultur Jawa tentang bagaimana memperlakukan para pemimpin yang pernah berjasa.

BERLOMBA MENGKLAIM DIRI ORDE BARU. Tatkala penamaan Orde Baru muncul dan berada di atas angin, tak beda dengan yang terjadi di masa Soekarno saat semua orang berlomba menyatakan setia kepada revolusi dan berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi, maka orang juga berlomba menklaim diri Orde Baru. Nyatanya, Orde Baru kemudian menjadi milik begitu banyak orang, sebagai milik bersama, untuk kemudia dirusak bersama-sama pula, selama 32 tahun. Sampai, akhirnya datang era reformasi dan kembali terjadi arus besar, berlomba untuk menyebut diri reformist dan memetik hasilnya.

Senin, 10 Januari 2011

Tritura, Dari Mulut Buaya ke Mulut Harimau (1)


JANUARY 10, 2011 

Soekarno, Omar Dhani, Ahmad Yani. Berakhir di Lubang Buaya. Siapa mengorbankan siapa?

TATKALA serangkaian ekses silih berganti terjadi –berupa korupsi para jenderal, penyalahgunaan hukum dan sejumlah tindak kekerasan yang lahir dari kesewenang-wenangan kalangan penguasa– di masa rezim baru setelah kejatuhan Soekarno, pengibaratan ‘lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’ menjadi tepat. Tentu saja pengibaratan dengan khewan-khewan buas buaya dan harimau itu tidak ditujukan kepada Soekarno maupun Soeharto sebagai pribadi, melainkan merujuk pada bentuk dan cara kekuasaan yang mereka jalankan.

Rezim Soekarno adalah suatu kekuasaan otoriter sipil yang untuk sebagian ditopang unsur militer, berakhir dengan titik awal kejatuhan di Lubang Buaya melalui Peristiwa 30 September 1965. Sedangkan penggantinya adalah rezim Soeharto, suatu kekuasaan otoriter militer yang titik awal kekuasaannya melalui pengobaran kemarahan –yang kemudian menjadi dukungan– kaum sipil atas penemuan jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama di Lubang Buaya itu. Tetapi kejatuhan kedua rezim mempunyai persamaan, yakni karena gerakan-gerakan yang melibatkan kekuatan generasi muda, terutama kelompok mahasiswa.

Untuk Jakarta, gerakan pertama mahasiswa dimulai dengan pencetusan Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat 10 Januari 1966. Berbeda dengan mahasiswa Jakarta, mahasiswa Bandung yang sejak 1 Oktober 1965 telah mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap Dewan Revolusi disusul appel serta gerakan anti PKI pada 5 Oktober, sekaligus juga sudah mulai ‘menggugat’ kepemimpinan Soekarno dengan politik Nasakom-nya.

Mahasiswa Jakarta dalam pada itu lebih ‘menyederhanakan’ persoalan dengan tidak menyentuh lebih dulu mengenai Soekarno, dan dengan Tritura 10 Januari membatasi diri pada masalah kenaikan harga, pembubaran PKI dan retoolingkabinet Dwikora.

Letnan Kolonel Untung, Mayor Jenderal Soeharto dan Pangti ABRI Soekarno. Segitiga yang membingungkan dalam hubungan penuh tanda tanya. Siapa memanfaatkan siapa?

Semula, hanya Gerakan 30 September 1965, yang dipimpin Letnan Kolonel Untung –seorang komandan batalion Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa– bersama Sjam Kamaruzzaman yang dikaitkan namanya dengan Lubang Buaya. Tetapi pada saat berikutnya, nama Soekarno dan Laksamana Udara Omar Dhani juga dilibatkan, karena Soekarno datang ke Halim Perdanakusumah menjelang tengah hari 1 Oktober, dan adalah kebetulan bahwa Lubang Buaya di Pondok Gede terletak tak jauh dari pangkalan angkatan udara itu.

Dikaitkannya nama Soekarno dengan tragedi Lubang Buaya, menjadi awal gerakan mematahkan mitos kekuasaan Soekarno yang seakan takkan mungkin tergoyahkan. Bagaikan Teseus yang membersihkan Athena dari kekacauan, setelah mengalahkan mahluk setengah manusia setengah banteng Minotaurus –yang sebenarnya mahluk khayalan belaka yang menjadi sumber mitos bagi kekuasaan raja Minos– di gua labirin Kreta, Soeharto membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September. Lalu tercipta mitos baru, yang menempatkan Soeharto sebagai pahlawan yang berhasil menyelamatkan bangsa dengan kesaktian Pancasila.

Soekarno, karena ke Halim dikaitkan dengan Lubang Buaya

Setelah ‘pembersihan’ di Jakarta, benturan berdarah terjadi di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain, ‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian yang berdarah-darah mencapai angka korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak dalam pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal kemerdekaan, dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya, telah selesai.

Hitam-Putih di Wilayah Abu-abu

Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama, menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misalnya dijalankan oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil.
Maka tak jarang demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang pada akhirnya menuju istana Soekarno, harus berhadapan dengan bayonet tentara yang kerapkali tadinya disangka kawan seiring.

Mahasiswa sebagai korban kekerasan tentara: Berkali-kali mahasiswa menjadi korban kekerasan tentara, baik oleh pasukan pengawal Soekarno maupun kesatuan-kesatuan yang disangka adalah ‘partner’. Dua korban jiwa, dalam dua peristiwa berdarah, ditahun 1966, dengan korban mahasiswa UI Arief Rahman Hakim dan mahasiswa wartawan Harian KAMI Zaenal Zakse.

Mahasiswa sebagai korban kekerasan tentara: Berkali-kali mahasiswa menjadi korban kekerasan tentara, baik oleh pasukan pengawal Soekarno maupun kesatuan-kesatuan yang disangka adalah ‘partner’. Dua korban jiwa, dalam dua peristiwa berdarah, ditahun 1966, dengan korban mahasiswa UI Arief Rahman Hakim dan mahasiswa wartawan Harian KAMI Zaenal Zakse.

Hanya sedikit sebenarnya yang berada di wilayah sikap hitam-putih seperti kelompok mahasiswa di kalangan tentara maupun politisi sipil. Di kalangan tentara, yang bersikap jelas dan menarik garis tegas siapa lawan siapa kawan, bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang sedikit itu adalah kelompok perwira idealis yang juga kerap dikategorikan kelompok perwira intelektual. Kelompok perwira idealis ini dengan cepat memikat simpati kelompok mahasiswa, tetapi dengan cepat pula, hanya dalam bilangan tahun yang ringkas mereka telah disisihkan demi kepentingan kekuasaan.

*Esei bergambar dalam Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.Karikatur oleh Haryadi S dan T. Sutanto.