Senin, 03 Januari 2011

Heru Atmojo



Lahir: Bondowoso, 03/01/1929

Profesi: Pilot Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) (1953-1965)
Karier: Anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (1945-1948)
Pilot Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) (1953-1965)
Pendidikan: Sekolah Penerbangan Kalijati Subang (1953-1953)
Air and Photo Radar Intelligence School (1961-1961)

Heru Atmojo adalah mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) pada 1965. Sebagai Intelejen AURI, dia adalah penerbang yang ahli pemotretan udara. Ia dipenjarakan oleh pemerintahan Orde Baru karena terlibat Gerakan 30 September 1965 karena namanya tercantum sebagai Wakil Komandan Dewan Revolusi.

Heru meninggal pada 29 Januari 2011 lalu. Ia sempat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata sebagai pemegang Bintang Gerilya, tapi kemudian makamnya dibongkar dan dipindahkan ke Sidoarjo Jawa Timur pada 29 Maret 2011. Tidak jelas alasan pembongkaran dan pemindahan makam Heru tersebut, kemungkinan karena G 30 S.

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), Heru diperintahkan Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau), Omar Dhani untuk mengawasi Supardjo, Panglima Komando Tempur II di Kalimantan Utara yang dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga) kedudukannya di bawah Dhani. Heru sebagai intel AURI lalu terus mengawasi Supardjo pada 3 hari sebelum G30S meletus.

Heru melapor pada Dhani bahwa sore 30 September 1965 ada gerakan di lingkungan AD yang akan menjemput jenderal AD untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Heru mendengar kabar tentang rencana penculikan ini dari Mayor Udara Sujono yang sebelumnya ikut terlibat dalam rapat-rapat dengan kelompok Syam dan Untung sebelum G30S. Hingga kini kesaksian Sujono ini belum terungkap.

Kembali ke Heru, Pada 1 Oktober 1965, ia mendampingi Supardjo mencari Bung Karno di Istana Merdeka yang tengah dikepung tentara-tentara liar. Bung Karno tidak ditempat. Heru kemudian mencari tahu lewat Omar Dhani. Kepada Heru, Dhani mengatakan Bung Karno sedang menuju Halim. Heru dan Suparjo akhirnya ke Halim. Sampai di Halim mereka bertemu dengan Omar Dhani. Dhani kemudian memerintahkan membuat surat harian Mengpangau. Isinya “…diadakan gerakan oleh Gerakan 30 September untuk mengamankan dan menyelamatkan evolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversi CIA."

Sekitar pukul 9.00 rombongan presiden datang. Suparjo langsung menemui Presiden untuk memberitahukan gerakan 30 September dan meminta restu. Namun presiden menolak. Supardjo bingung, Dhani sudah kadung meleuarkan perintah harian. Belakangan inilah yang dijadikan alasan Orde Baru untuk memenjarakan Supardjo dan Omar Dhani.

Peristiwa 30 September itulah yang menyeret Heru ke penjara. Ia di sidang di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1980. Dalam kesaksiannya di buku Gerakan 30 September: Kesaksian Letkol (Pnb.) Heru Atmodjo, Heru menyebut Syam yang memimpin operasi militer G30S. Syam alias Syam Kamaruzaman dalam persidangan Mahmilub menyebur dirinya adalah anggota Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI). Biro ini, menurut Orde Baru, bertanggungjawab kepada Ketua PKI DN Aidit. Namun seperti diketahui DN Aidit ditembak mati sebelum disidangkan.

Dalam bukunya Heru mengakui bahwa DN Aidit juga berada di kawasan Halim. Lebih detail, John Roosa menyebut bahwa Aidit di rumah Suwandi, sementara Sjam dan kawan-kawan di rumah Sujatno, dan Bung Karno di rumah Komodor Susanto, semuanya ada di kawasan Halim Perdanakusuma. Belakangan diketahui Omar Dhani telah menyiapkan pesawat bagi Aidit untuk terbang ke Yogyakarta pada malam 1 Oktober 1965.

Heru dalam pengakuannya, sebagaimana ditulis Salim Said dalam GESTAPU 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto (2015), menganalisa langkah komandannya ini dengan mengatakan, “Pimpinan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) mengambil sikap jalan setengah-setengah. Setengah membiarkan, tidak melarang secara tegas Mayor Suyono ambil peran, walau sudah dilaporkan sebelumnya. Mengapa jalan ini ditempuh? Karena kuatnya loyalitas Laksamana Omar Dhani kepada Bung Karno, yang tanpa reserve, tanpa memikirkan akibat-akibatnya.”

Akibat paling nyata adalah dirinya dituduh bersalah oleh Mahmilub dan divonis hukuman seumur hidup dan dipecat dari AURI. Heru kemudian mendapatkan keringanan hukuman sehingga ia menjalani masa hukuman selama 15 tahun.

Awal karirnya di AURI, Heru sebenarnya tidak di jalur intelijen. Dia adalah penerbang penerbang. Di masa revolusi, Heru adalah anggota Tentara Republik Indoesia Pelajar (TRIP) dalam masa Revolusi. Karenanya ia mendapat Bintang Gerilya.

Pada 1953-1954 Heru kemudian belajar menjadi penerbang di Sekolah Penerbangan (Sekbang) Kalijati, Subang, Jawa Barat. Lulus dari Sekbang Heru dilibatkan dalam operasi penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Saat itu ia menerbangkan pesawat Mustang P-51. Dari PRRI, Heru ditugaskan lagi dalam Operasi Mandala di Papua.

Usai Operasi Mandala, Heru di sekolahkan di Air and Photo-Radar Inteligent School U.S Air Force di Texas. Keahliannya dalam foto intelijen udara ini pernah dimanfaatkan Gubernur DKI Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo. Heru membantu memetakan Jakarta dari udara. Dari hasil pemetaan udara itu muncul gagasan untuk melakukan pengerukan Sungai Grogol dan Sungai Cisadane.

Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar