Selasa, 18 Januari 2011

Sastra Eksil Indonesia[1]


18/01/2011 | Hersri Setiawan

Situasi dan Kondisi Sastra Eksil Indonesia[1]

kata kunci: Indonesia, kesatuan politik, eksil politik, identitas, perang sejarah

Sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia. Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang saya maksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdulrachman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.

Dengan demikian yang disebut ‘Eksil Indonesia’ dalam kontek tulisan ini adalah ‘eksil politik’. Bukan ‘eksil sosial-ekonomi’, seperti yang pernah dialami orang-orang eksil Indonesia (baca: Jawa dan Madura) pada masa kolonial yang harus bekerja sebagai buruh dan tenaga administarsi di perkebunan-perkebunan besar di berbagai negeri, seperti Afrika Selatan, Sri Langka, Suriname dan Kaledonia Baru. Catatan-catatan narasi para eksil sosial-ekonomi dari Indonesia ini tidak ditulis oleh para eksil, dan belum dieksplorasi para peneliti, tetapi sebagai bagian dari sejarah tutur yang panjang tentang orang-orang yang ‘diselong’ atau ‘dibuang’, pada masa kolonial. Sepatah kata Jawa ‘sélong’, yang berarti ‘buang’ itu sendiri berakar pada kata ‘Ceylon’, pulau tempat pembuangan para penjahat (sebenarnya ‘pemberontak’) dari Pulau Jawa khususnya – pada masa ketika Ceylon menjadi tanah jajahan Belanda.

Perbendaharaan ‘eksil politik’ juga terdapat dalam lakon cerita wayang purwa yang berjudul “Pandhawa Tundhung”, disadur dari salah satu episode dalam kakawin Mahabharata atau Astadasaparwa, yaitu episode Wirataparwa. Isi dan intinya, bahwa setelah Pandawa kalah dalam bermain dadu – bahasa seni untuk ‘perang diplomasi’– dari musuh bebuyutannya, yaitu Kurawa, Pandawa dihukum buang selama 13 tahun, dan identitas mereka harus dihapus selama dalam pembuangan itu. Para Pandawa yang telah membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka, mencari suaka di wilayah Kerajaan Wirata. Pandawa hidup sebagai eksil Politik!

Ada dua contoh lain tentang eksil politik di dalam sejarah Indonesia, dari babakan sejarah yang jauh lebih muda, yaitu tentang masuknya Islam ke Jawa pada sekitar awal abad ke-15. Barangkali M. Prijohutomo benar ketika membantah teori ‘pénétration pacifique’ (dikemukakan antara lain oleh Josseline de Jong), karena menurutnya sebaliknyalah yang terjadi: Islam masuk dengan kekerasan dan pedang.[2] Masyarakat Badui berikut kebudayaan dan tradisinya di Banten Selatan, yang ‘tertutup dari dunia luar’ sampai sekarang, ialah korban kekerasan Islam ketika menundukkan dinasti Tarumanegara dan membangun kerajaan Islam Banten di pantai barat Pulau Jawa. Hal yang serupa terjadi pada masyarakat ‘Wong Using’ di Gunung Tengger Jawa Timur. Mereka, ‘Masyarakat Using’ itu, adalah sebagian dari masyarakat Hindu-Budha penduduk kerajaan Hindu-Budha Majapahit, yang berani berkata ‘Tidak!’ terhadap Islam, dan melarikan diri naik ke kaki pegunungan Bromo dan Tengger.

‘Using’ dari kata ‘sing’ ekuivalen dari kata Indonesia ‘tidak’ (bandingkan dengan kata ‘sèng’ dalam dialek Melayu-Ambon). Dilihat dari sudut ini, maka apa yang sekarang kita kenal sebagai sastra Bali kuno, yang tercatat dalam helai-helai lontar itu, tidak lain adalah buah kebudayaan atau sastra ‘hibrida’ yang berkembang dari sastra Jawa Kuno di dalam pengungsian, selama para pendukungnya mencari asil (asylum) di Pulau Dewata.

Kebudayaan eksil, tentu saja juga termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II). Atau, dalam bentuk yang ‘lebih lunak’, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.

Sama seperti halnya Eksil Pandawa, para Eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka. Perbedaan antara eksil Pandawa dengan eksil Indonesia, jika Eksil Pandawa menghilangkan jatidiri sebagai bagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh Kurawa sebagai pemenang. Bagi Eksil Indonesia, penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (Perancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama Perancis! Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.

Tapi apakah bedanya antara (untuk mudahnya sebut saja:) ‘eksil PKI — Partai Komunis Indonesia’ dengan ‘eksil Pandawa’? ‘Eksil PKI’ bersama dengan perkembangan waktu berubah menjadi ‘Eksil Persatuan Kematian Indonesia’, seperti diabadikan Basuki Resobowo dalam lukisannya, yang tidak berprospek kecuali hilang tanpa jejak.[3]. Beda dengan Pandawa. Masa 13 tahun pembuangan, yang hakikatnya pembunuhan, akhirnya tamatlah. Tamat satu episode kisah, sekaligus disusul oleh, dan bersambung dengan, satu episode kisah baru. Raja dan seluruh rakyat kerajaan Wirata dan sekitarnya berdiri di belakang Pandawa untuk menghacurkan keserakahan dan menegakkan keadilan.

Peristiwa pergantian episode ini diabadikan dalam satu bait syair kakawin, dalam bahasa Jawa:

Enjing bidhal gumuruh,
saking nag’ri Wiratha;
kèh ingkang bala-kuswa,
abra busananira,
lir surya wedalira,
saking ing jalanidhi.
Arsa madhangi jagad,
duk mungup-mungup anèng;
nèng puncak ing awukir …

dalam terjemahan saya:
Bangkit gemuruh di pagi hari,
dari negeri Wirata;
bangkit asykar tak terbilang,
merah menyala pakaian mereka,
bagai matahari terbit,
di ujung cakrawala.
Hendak menyinari hitam dunia,
ketika mulai terlihat
di puncak gunung …
Maka perang Bharatayudha pun pecahlah!

Bandingkan kisah ini dengan kisah kaum eksil Polandia sejak negeri mereka dihancurkan Hitler dalam serangan ‘blitzkrieg’ 1939. Mereka segera bangkit dari negeri-negeri tempat pelarian mereka (Perancis, Inggris, dan Uni Soviet), dan berhasil menyusun kekuatan ratusan ribu partisan yang bergerak di bawah tanah.[4]

Tentu saja saya tidak hendak mengajak kawan-kawan saya eksil Indonesia untuk bangkit menyusun kekuatan dan melancarkan perang secara fisik pula, melainkan menyusun kekuatan spiritual dan akal-sehat untuk melancarkan perang-kemanusiaan secara damai. Saya setuju tanpa syarat pada seruan ‘Lawan!’, dari penyair Widji Thukul dalam baris penutup salah satu sajaknya.[5]

 Tapi ketika pada 1987 saya ajak kawan-kawan menyusun antologi bersama, ‘kumpulan suara’ selama 20 tahun lebih terbungkam (1965-1987) hanya dua penyair yang mengirim tidak sampai sepuluh karya puisi mereka, yaitu Sobron Aidit dan Agam Wispi. Lalu ketika sekitar satu tahun kemudian, saya ajak melakukan sensus terhadap sesama kawan eksil, baik yang masih hidup maupun yang sudah dikubur, suara ajakan saya itu ibarat angin tipis bertiup di gurun-pasir. Akhir yang sama terjadi ketika saya mencoba menawarkan inisiatif untuk menyelenggarakan ‘Pekan Pramudya’ di dua kota utama di Belanda, Den Haag dan Amsterdam, pada tahun 1989 – yang membantu saya, di Belanda, hanya W.F. Wertheim, Sampormes (anggota Tweede Kamer dari Groen Links), suami-istri Harsono-Darmini, dan dari Indonesia Joebaar Ajoeb.

‘Lawan’ tidak harus dalam gerakan yang berdarah. Tapi ‘lawan’ juga bisa diterjemahkan dalam gerakan ‘non-violence’. Anti-kekerasan bukan sekedar taktik perjuangan politik, tapi adalah asas perjuangan. Namun begitu ajakan demi ajakan gerakan non-violence untuk menyuarakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dan pemberangusan, pada saat itu, tidak pernah mendapat sambutan sebagaimana mestinya. ‘Kawan-kawan masih tiarap! Kata Pramudya Ananta Toer.

Mengapa bisa begitu? Barangkali jawabannya bisa dicari dalam kata-kata terakhir yang diucapkan Oloan Hutapea, Direktur Akademi Sosial CC-PKI ‘Ali Archam’, ketika membekali kawan-kawan yang hendak diberangkatkan bersekolah ke luar negeri saat itu: ‘Belajarlah baik-baik. Jangan pikir ini-itu. Belajar dan hanya belajar. Nanti kalau kawan-kawan pulang kembali, Bendera Merah sudah berkibar di udara Tanahair …’

Eksil Indonesia tidak pernah disiapkan atau mempersiapkan diri menghadapi pergantian suasana dan cuaca. Mereka lupa atau memang tidak pernah mengerti, bahwa sejarah ialah perkara pilihan dan bukan urusan keberuntungan atau kecelakaan. Karena mereka selalu dibelai dan dibuai dengan kepastian tentang kemenangan, yang daripadanya jabatan dan kedudukan tinggi sudah tampak menjanjikan di depan mata-nasib.

Kata ‘Indonesia’ walaupun pada mulanya menunjuk pada fenomena sosio-kultural (‘Indos’ dan ‘nesia’, pulau-pulau [di bawah pengaruh kebudayaan] India), namun dalam perkembangan selanjutnya menunjuk pada sebuah kesatuan politik yang ditopang oleh berbagai kesatuan etnis dan kebudayaannya (1928), dan dimeteraikan pada awal sejarah Republik Indonesia dalam semboyan “bhineka tunggal ika”. Walaupun Eksil Politik Indonesia lahir dari guagarba yang sama, yaitu PKI dan gerakan kiri Indonesia, serta oleh paraji yang sama, yaitu militerisme Suharto-Nasution, namun sebutan ‘politik’ di dalam katagabung ‘eksil politik’ itu mempunyai isi dan sifat yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh karena: (1) PKI sebelum September-65 pun sudah tidak monolit; (2) para eksilnya berasal “dari Sabang sampai Merauke”, dan ditambah lagi (3) Eksil Politik Indonesia berasal dari dua raksasa Blok Timur, Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok dengan satelitnya masing-masing.

Situasi dan posisi Eksil Politik Indonesia menjadi bertambah kompleks karena perkembangan kehidupan mereka sangat ditentukan oleh kekuasaan politik tempat para Eksil Politik Indonesia itu berlindung. Dua kekuatan politik raksasa blok Timur, yaitu Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, sangat memengaruhi pembentukan identitas dan pola pikir para eksil politik Indonesia tersebut. Identitas itu membutuhkan ekspresi, dan untuk ekspresi diperlukan kebebasan, sedangkan untuk kebebasan dituntut keberanian. Tapi di sini, untuk menjadi berani, bagi eksil Indonesia harus berhadapan dengan kendala ‘self-censorship’, karena ada garis imajiner yang tebal antara ‘kawan’ vis-a-vis ‘bukan-kawan’, antara ‘kita’ vis-a-vis ‘mereka’. Malah lebih dari itu, sebagai kelanjutan dari perpecahan antara dua raksasa blok timur USSR vs RRT, masing-masing dengan satelitnya, maka kelompok-kelompok ‘perkawanan’ dan ‘perkitaan’ menjadi semakin banyak, dan bersamaan dengan itu lingkup ‘perkawanan’ dan ‘perkitaan’ pun menjadi makin sempit.

Hal-hal tersebut di atas itu barangkali merupakan alasan utama, mengapa proses kreatif harus terganggu. Harus menunggu datangnya waktu, ketika menggunakan media bahasa Indonesia tidak akan mengundang bahaya, apabila sampai tertangkap oleh ‘telinga musuh’.

Sebagai ilustrasi saya ingin menganalogikan keadaan semacam itu, meskipun dalam lingkup yang lebih sempit, dengan kehidupan tapol di tempat pengasingan mereka Pulau Buru. Di sana selama tahun 1968-1979, tapol-tapol yang berasal dari berbagai suku di Indonesia saling bertutur-sapa tidak dalam bahasa Indonesia, melainkan di dalam bahasa Jawa logat Surabaya dan bahasa Sunda. Sehingga oleh militer penguasa kamp-kamp konsentrasi penggunaan bahasa selain ‘Bahasa Nasional’ itu digolongkan sebagai ‘konsinyes’ (larangan) berat, dan mereka menamakan bahasa-bahasa daerah atau bahasa suku (notabene adalah ‘bahasa ibu’) sebagai ‘basa-basa’ yang ditabukan.[6]
Di atas sudah disebut, bahwa di dalam perjalanan sejarah mereka di luar negeri, sejak 1965 sampai sekitar 1984, konsep ‘eksil politik’ sudah berkembang dan menjadi berbeda, baik dalam isi maupun sifatnya. Sebuah analogi menarik diungkapkan oleh pelukis Basuki Resobowo, seorang pelukis ekpsresionis angkatan pertama Indonesia, yang meninggal pada awal 80-an di Belanda. Di atas kanvasnya Basuki menggambarkan peristiwa dan suasana pemakaman salah seorang eksil Indonesia di Belanda: Di langit di atas kerumunan para pelayat di kuburan, melengkung warna-warni pelangi, bukan warna merahputih Indonesia apalagi merah Komunis, sebagai latar belakang rangkaian huruf-huruf yang berbunyi: Persatuan Kematian Indonesia – dengan tiga huruf ‘P’, ‘K’ dan ‘I’ berwarna merah dan selebihnya berwarna hitam.
Ungkapan itu adalah makna PKI yang ingin dilukiskan oleh Basuki Resobowo. PKI di tengah masyarakat eksil Indonesia sudah bukan lagi PKI di masa pra-Oktober 65! “PKI” versi Basuki hanya mampu mengerahkan ‘massa eksil politik Indonesia’ ketika ada sesama eksil meninggal. Sekedar untuk menyatakan sisa-sisa terakhir dari semangat setiakawan dan kesadaran klas, dan bukan untuk diskusi tentang idealisme dan revolusi!

Menurut fitrah atau sifat asalnya hasil karya eksil politik, seperti diatas sudah dikemukakan, selayaknya bersemangat dan berisi perlawanan. Maka sastra eksil pun selayaknyalah sastra perlawanan. Tapi tidak demikian halnya hasil karya eksil Indonesia. Sebelum mereka berduyun-duyun bereksodus ke Eropa Barat, khususnya Belanda, mereka dibuai dalam mimpi besar dengan slogan-slogan ‘revolusioner’ para pemimpin sendiri dan pemimpin tuan-rumah. Sesudah mereka tiba di Eropa Barat, mulai sekitar awal 80-an, pun tetap menempuh hidup tanpa jatidiri. Baru mulai tahun 1987 satu demi satu mereka mengganti secarik surat bukti ‘stateless’ dari PBB dengan paspor dari negara tempat mereka bermukim. Mulailah muncul tulisan-tulisan kecil, dalam berbagai bentuk, melalui aneka majalah penerbitan mereka. Pada umumnya bisa dikatakan dengan pasti, bahwa baru sesudah gelombang reformasi 1998 melimbur dinding-telinga radio dan layar cakrawala teve di tempat-tempat kediaman mereka, tulisan dan suara mereka membanjiri pers sibernetika dan memantul dari dinding-dinding ruang diskusi.

Di antara sekian banyak hasil karya yang tak terbilang itu, ada dua karya eksil politik Indonesia yang kental dan sarat dengan nafas perlawanan. Pertama adalah ‘Sansana Anak Naga’, sebuah antologi puisi karya JJ.Kusni, alias Emil, dengan kata pengantar oleh alm. Prof. W.F. Wertheim, ditulis untuk mencatat peristiwa eksekusi mati atas Ruslan Wijayasastra dan kawan-kawan. Kedua, sebuah kumpulan puisi cukup tebal yang belum pernah diterbitkan, karya alm. Agam Wispi. Semangat perlawanan Agam, tak beda dari Basuki Resobowo, terungkap dalam sarkasme yang sudah segera terbaca pada judul kumpulan puisinya itu: ‘Amsterdam – Amstel – Amsteledam’.[7]

Di luar dari karya kedua penulis tersebut di atas, merupakan karya-karya yang merekam kejadian masalalu di Tanahair, dan/atau kerinduan pada mimpi kejayaan yang tak pernah terwujud. Tentang situasi ini Sitor Situmorang, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, mencoba menerangkan dengan sepatah kalimat: “Kawan-kawan itu kaki mereka sudah di sini, sekarang, tapi kepala mereka masih di sana, Indonesia pra-G30S!”

Di tengah suasana eksil yang demikian itu, sebagai bukan seorang eksil, selama sepuluh tahun pertama dari delapanbelas tahun hidup saya di Belanda, saya mencoba berlawan melalui ‘medan perang’ lain, yaitu ‘medan perang sejarah’. Ini sebuah pilihan politik yang secara sadar saya yakini sebagai jawaban untuk menemukan kembali kisah-kisah perlawanan terhadap penghancuran gerakan rakyat. Melalui metode ‘oral history’ atau ‘sejarah tutur’ (sekaligus ‘tutur sejarah’), saya kumpulkan ‘serbuk-serbuk mesiu’ dan ‘peluru perlawanan’, yang berbentuk kepingan-kepingan memori tentang kehidupan kawan-kawan di Eropa Barat, China, Vietnam, dan Australia.

Impian saya satu: untuk menumbangkan hegemoni dan dominasi sejarah militer di Indonesia, dan membangun sejarah dari bawah: Sejarah Rakyat.

***
[1] Naskah ini disusun untuk lokakarya tentang ‘Indonesian exiles: crossing cultural, political and religious borders’, Maret 2009 di Canberra Australia; teks Inggris dikerjakan oleh David T Hill, yang juga memberikan kata pengantarnya, dalam RIMA, Review of Indonesia and Malaysian Affairs, volume 44, number 1, 2010: 9-20.
[2] Prijohutomo, M., Sedjarah Indonesia, 1953. Ia mengatakan, antara lain, tidak mungkin tangan atau hidung patung Budha di dalam stupa-stupa di Borobudur itu banyak yang patah atau rusak, jika tidak dirusak dengan benda keras, tongkat besi misalnya, melalui lubang-lubang stupa itu.
[3] Basuki Resobowo [ed. Hersri Setiawan], Bercermin di Muka Kaca, 2005.
[4] Jósef Garlinski, Poland in the Second World War, 1939-1945, 1985.
[5] Widji Thukul penyair anti-militerisme yang gigih, lahir 1963, diculik dan ‘hilang’ sejak 1998.
[6] Hersri Setiawan, Kamus Gestok, 2003.
[7] Amstel kota lecil di barat-daya Amsterdam. ‘Amsteledam’ dilihat Wispi sebagai permainan kata, mengingat banyaknya ‘dam’ di Belanda (‘dam’, waduk, bendungan). Dengan ‘Amsterdam’ sebagai pola, ia ubah Amstel menjadi Amstel[e]dam, bukannya Amsteldam; karena: (1) menuruti ucapan orang yang tidak bisa melafalkan bunyi ‘r’. dan (2) menyindir kawan-kawannya eksil Indonesia yang belum fasih dan berlafal buruk jika berbicara dalam bahasa Belanda.

0 komentar:

Posting Komentar