HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 19 Mei 2008

Tempo Edisi Khusus: Negara tanpa Rakyat?

oleh: Parakitri T. Simbolon | Senin, 19 Mei 2008

TIDAK SULIT membicarakan pergerakan kebangsaan kita menurut kajian sarjana asing. Pilihan sangat banyak, baik dalam bentuk, cakupan kurun waktu, maupun sudut pandang. Yang sulit adalah menemukan satu-dua perkara yang terus mengusik rasa ingin tahu setelah selesai membaca sejumlah kajian, sendiri-sendiri ataupun serangkaian, ibarat seutas benang merah yang menjelujuri permasalahan gerakan kebangsaan kita selama ini. Ini sulit, karena benang merah menuntut kesinambungan sejumlah kajian, padahal satu kajian lebih sering menolak atau mengubah kajian lain.

***

Itulah yang terjadi dengan kajian-kajian sarjana asing tentang pergerakan kebangsaan kita, yang dimulai dengan trilogi J.Th. Petrus Blumberger. Ketiga kajian Blumberger itu: De Communistische Beweging in Nederlandsch-India (1928), De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-India (1931), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-India (1939).

Seperti tampak pada ketiga judul itu, Blumberger memahami pergerakan kebangsaan kita terdiri atas berbagai aliran (stroomingen) dan pergerakan nasional dianggapnya hanya salah satu aliran yang terdiri atas beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Indonesia, studieclub, Partai Nasional Indonesia, dan Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Aliran lain terdiri atas pergerakan ras dan etnis, agama, ekonomi, serta kepentingan umum lain (moderne geestesstromingen), yang mencakup Budi Utomo, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, organisasi komunis, gerakan kepanduan, dan lain-lain.

Blumberger mengambil bahan-bahan kajiannya dari sumber-sumber resmi pemerintah Hindia Belanda. Itulah ikhtisar-ikhtisar politik dalam maklumat-maklumat pemerintah, seperti Laporan Kolonial (Koloniale Verslagen), ikhtisar pers dari Balai Pustaka, dan risalah-risalah parlemen Belanda (Kamer) serta Hindia Belanda (Volksraad). Maklum, ia bekas asisten residen.

Trilogi Blumberger pada dasarnya hanya mengolah secara sistematis sumber-sumber sejarah resmi yang ada waktu itu mengenai proses evolusi sosial Hindia Belanda. Ia memaparkan timbul dan berkembangnya cara-cara baru menghadapi pemerintah, yakni organisasi-organisasi perhimpunan dan partai serta sikap pemerintah jajahan menghadapi semua itu. Namun, terkesan juga rasa yakin Blumberger bahwa cara-cara baru itu bermaksud menimbulkan kesulitan besar (groote problemen) bagi pemerintah jajahan untuk menentukan politik masa depan.

Pada 1946 sampai 1952 terbit sedikitnya empat buku, dua di antaranya tetap mengandalkan sumber-sumber yang sedikit-banyak sama dengan yang digunakan oleh Blumberger, yang dalam semangat dan pandangan bertentangan dengan Blumberger. Keempat buku itu: J.H. Francois, 37 Jaar Indonesische Vrijheidsbeweging (1946); Alexandre von Arx, l'Evolution Politique en Indonesie (1949); D.M.G. Koch, Om de Vrijheid. De Nationalistische Beweging in Indonesia (1951); dan George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).

Dengan caranya masing-masing, keempat kajian mengemukakan bahwa pergerakan kebangsaan kita sesuai dengan semangat zaman bahkan kewajiban moral. Itulah hak setiap bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Malah Von Arx menganggap negara-negara penjajah memikul tanggung jawab moral untuk membantu dan mendorong pergerakan kebangsaan mencapai kemerdekaan. Hanya dengan memenuhi kewajiban moral itu, perdamaian dunia bisa ditegakkan. Yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajah melanggar kewajiban moral tersebut.

Kahin berpendirian bahwa sebagai kewajiban moral, mencapai kemerdekaan bisa dilakukan dengan revolusi bila perlu. Ini berarti, bukannya organisasi pergerakan yang menimbulkan kesulitan bagi pemerintah jajahan, sebagaimana menurut Blumberger, melainkan sebaliknya.

Pada 1953 terbitlah kajian J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesia in de Jaren 1930 tot 1942. Kajian ini sebagian besar merupakan hasil pemeriksaan silang antara bahan-bahan Ikhtisar Pers Pribumi dan Cina-Melayu terbitan Balai Pustaka (Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers) di satu pihak dan siaran rahasia bagi kalangan terbatas mengenai politik keamanan (Politiek-Politioneele Overzichten) oleh Kejaksaan Agung Hindia Belanda.

Dengan demikian, Pluvier berhasil antara lain mengubah anggapan keliru mengenai pergerakan kebangsaan kita pada 1930-1942 sebagai masa lesu, tidak berdaya, terhadap kekuasaan penjajahan yang sedang jaya-jayanya. Dengan argumen yang ketat, Pluvier mengukuhkan bahwa pergerakan 1930-1942 sama jayanya dengan pergerakan kemerdekaan 1908-1929. Dua-duanya sama-sama merupakan ungkapan Kebangkitan Timur, "het Oosters Reveil", hasil persentuhan Timur dan Barat selama 400 tahun.

Salah satu implikasi kajian Pluvier ini adalah bahwa anggapan Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah Jepang sama sekali tidak berdasar. Implikasi lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rahasia keberdayaan itu. Jika pada masa yang paling mematikan, seperti 1930-1942, pergerakan kebangsaan kita memang betul tidak kurang berdaya daripada masa-masa sebelumnya, akan timbul pertanyaan-pertanyaan sekitar sumber atau letak keberdayaan itu, siapa yang berperan di dalamnya, dan bagaimana keberdayaan itu tetap terpelihara sekalipun dalam masa sulit.

Pengertian dan pertanyaan yang sama rupanya timbul juga pada sarjana lain, di tempat lain, dan dalam waktu yang berdekatan. Contoh, Robert van Niel dari Russell Sage College, Amerika Serikat, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1954/1960). Jawaban Van Niel, keberdayaan itu terletak pada the leader group of Indonesian society, sedangkan the Indonesian society itu hanyalah satu di antara empat kelompok dalam the East Indian society di samping kelompok Eropa (Belanda), Tionghoa, dan Arab. Untuk memahami keberdayaan ini, Van Niel mengupas social change selama 25 tahun pertama abad XX, khusus di kalangan the leader group of Indonesian society.

Hidup di bawah penjajahan, perkembangan Indonesian society dan the leader group-nya juga sangat dipengaruhi oleh colonial policies, practices, and attitudes. Dinamika Indonesian society dan serba perubahan pola kepemimpinannya dalam menghadapi pengaruh itu selama 25 tahun membentuk landasan sosial Indonesia merdeka kemudian.

Jawaban Van Niel ini menjadi kurang meyakinkan dengan terbitnya pada 1976 kajian Susan Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch 1939-1942. Setelah para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi habis ditangkap dan dibuang, tampillah pemimpin yang berhaluan koperasi. Namun, tuntutan mereka yang paling lunak pun, seperti Indonesia berparlemen, sama sekali dianggap sepi oleh Belanda, padahal Belanda sedang berada dalam keadaan perang.

Menyedihkan bahwa para pemimpin yang berhaluan koperasi itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sikap Belanda yang tak masuk akal itu, sampai Jepang masuk. Nasib yang sama lagi-lagi menimpa para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi di bawah kekuasaan Jepang. Jadi semua pemimpin pergerakan tidak berhasil mencapai apa-apa dengan kekuatan sendiri, hanya dapat menyerahkan nasib pada kekuatan luar. Benar-benar bagai one hand clapping, tangan bertepuk sebelah.

Sikap para pemimpin ini sangat bertentangan dengan asas perjuangan Indonesische Vereeniging (kemudian Perhimpunan Indonesia) di Nederland yang dicanangkan pada 3 Maret 1923. Asas perjuangan itu menegaskan bahwa masa depan rakyat Indonesia (het volk van Indonesia) hanya dan semata-mata bergantung pada penyelenggaraan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat itu sendiri (dat volk zelf). Setiap orang Indonesia (Indonesiar) wajib sesuai dengan kemampuan dan bakatnya berjuang mencapai hal ini dengan kekuatan sendiri (eigen kracht en eigen kunnen), tidak bergantung pada bantuan orang lain (onafhankelijk van de "hulp" van vreemden). Asas perjuangan ini dapat dibaca oleh masyarakat luas berkat jasa Harry A. Poeze dan kawan-kawan yang menyusun buku tentang kehidupan orang-orang Indonesia di negeri penjajah, In het Land van de Overheerser I: Indonesiars in Nederland 1600-1950 dan terbit pada 1986.

Lalu muncullah kajian yang lain dari yang lain, karya Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (1990). Kajian ini lain dari yang lain karena dua hal. Pertama, rakyatlah yang lebih penting dan jadi sumber keberdayaan, bukan golongan pemimpin atau elite. Kedua, kenyataan ini baru terlihat setelah Shiraishi menolak cara pandang lama melihat pergerakan kebangsaan kita sebagai orthodox historiography.

Yang ortodoks melihat pergerakan sebagai garis yang bergerak lurus dari suatu bangsa yang belum bernama ke pencarian nama, "Indonesia", dan cita-cita kebangsaannya, "Indonesia merdeka": dari surat-surat Kartini dan Boedi Oetomo ke Perhimpoenan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan "sumpah pemuda". Cara pandang ini merupakan anak kandung perkawinan antara cara pandang dokumen-dokumen resmi Hindia Belanda dan cara pandang pascakemerdekaan yang berpusat pada Indonesia. Dasarnya adalah cara pandang J.Th. Petrus Blumberger dengan dua sistem penggolongannya, yang rasial dan organisasional. Maklum, pemerintah jajahan lebih takut kepada golongan dan organisasi daripada orang per orang.

Historiografi baru ala Shiraishi menganggap orang, rakyat yang lebih penting dan melihat pergerakan sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana serta bahasa modern. Pendeknya, pergerakan adalah gelombang gerak rakyat, yang lintas golongan dan lintas organisasi. Namun, ia menutup kajiannya dengan kehancuran gelombang gerak rakyat itu dalam perlawanan bersenjata 1926.

***

Rakyat. Tapi benarkah ada rakyat Indonesia? Siapakah mereka? Di mana kedudukan mereka dalam pergerakan kebangsaan dan kemudian dalam kebangsaan Indonesia merdeka?

Semua kajian sarjana asing yang kita bicarakan diam membisu tentang rakyat, kecuali kajian Shiraishi. Yang satu ini pun berakhir dengan kehancuran. Jadi inilah benang merah pergerakan kebangsaan kita, bukan karena ramai dibicarakan, tapi karena nyaris dilupakan. Dengan kata lain, rakyat dalam pergerakan kebangsaan kita jadi mencolok karena terlupa. "Being conspicuous by its absence," kata Shakespeare.

Memang, "rakyat" bukanlah kata asli Indonesia, tapi dipinjam dari Arab untuk menggantikan berbagai sebutan penjajah, seperti volk, inheemse bevolking, inlanders, tidak jelas kapan, tapi mungkin pada masa awal pergerakan kebangsaan kita. Di Indonesia pada umumnya sebutan yang agak dekat selalu terkurung dalam kerangka lapisan sosial, seperti wong cilik jika dilihat dari sudut jenjang kekuasaan, caca atau rumah tangga dari sudut lapisan pemilikan tanah.

Sayang, gerakan kebangsaan belum berhasil menggalang "rakyat" hingga senyata peuple menjelang dan sesudah Revolusi Prancis. Maknanya pun belum terumus sejernih peuple dalam rumusan Voltaire atau Mirabeau. Menurut Voltaire, peuple ialah penduduk yang tak punya apa-apa untuk bertahan hidup kecuali tangan. Menurut Mirabeau, mereka yang kekuasaannya tak mungkin dicabut kecuali dengan bayonet.

Ketika kekuasaan penjajah dan modal swasta dengan segala dampaknya sudah sampai ke pelosok Indonesia (Jawa), urusan dipermudah dengan tidak menghitung orang, melainkan desa dengan kepala desa atau "kebekelan" dengan "bekel"-nya. Apa yang kemudian disebut "rakyat" tidak ada kecuali dalam nama saja. Mereka praktis diperlakukan sama dengan barang atau hewan peliharaan belaka.

Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan "rakyat". Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.


Parakitri T. Simbolon Kolumnis, tinggal di Jakarta.
Sumber: Edisi Khusus Tempo 

Minggu, 11 Mei 2008

Wawancara Dengan Ibu Put Mu'inah

May 11, 2008

“tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun.”

Masa Kecil Ibu di mana?

Saya asli Srengat, Kabupaten Blitar. Dilahirkan pada Bulan Nopember 1930 di Srengat. Pendidikan pertama yang saya terima di Sekolah Taman Siswa di Tulung Agung. Akibat pendudukan Jepang, Ayah saya yang seorang tokoh NU Pakis Rejo, Srengat dan tokoh Syarikat Rakyat di tahan oleh tentara Jepang. Karena Bapak ditahan, berikut hasil pertanian di sawah sekaligus persediaan pangan dirumah dirampas oleh Jepang, akhirnya saya disuruh berhenti oleh ibu untuk membantu kegiatan ekonomi keluarga. Saya sempat juga belajar sebentar di taiso untuk mempelajari katakana dan hiragana.

Bagaimana dengan kisah berorganisasi ibu?

Saya katakan kepada Bapak saya, “Pak saya tidak usah sekolah, tetapi ikutkan ke teman Bapak yang paling pandai’. Akhirnya saya diikutkan oleh Bapak kepada Ibu Umi Sarjono. Beliau orang Salatiga, ketika pendudukan Jepang lari ke Blitar serta membuka restoran di Hotel Lestari. Perkenalan Ibu Umi dengan Bapak, ketika keduanya ditahan oleh Jepang di Rumah Tahanan di Blitar. Setelah keluar tahanan beliau berdua dibantu oleh Kyai Mucshin membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang Blitar. Waktu itu saya diperbantukan sebagai juru ketik. Pada tahun 1946 saya gabung di PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia).
Kertika pada tahun 1948 Belanda melakukan agresi ke Indonesia, saya bersama kawan kawan melakukan konfrontasi (push font) dengan Belanda di daerah Pakis Aji, Kabupaten Malang. Pada tahun 1949, ketika Gerwes (Gerakan Wanita Sedar)berdiri, saya bergabung di sana.

Kenapa Ibu gabung di Gerwes? Apa hubungan dengan PESINDO?

Secara struktural tak ada hubungannya, Gerwes adalah organisasi yang terpisah dengan PESINDO. Saya gabung di Gerwes karena prihatin melihat posisi perempuan kala itu. Perempuan sangat menyedihkan, seakan tak ada harganya, bahkan dijadikan obyek. Kita lahir sebagai wanita kan bukan kehendak kita sendiri, tapi itu kan ketentuan dari Alloh. Namun kenapa harus ada pendeskreminasian terhadap kaum wanita. Kita lihat konflik rumah tangga kerapkali kesalahan ditumpakan kepada wanita. Melalui Gerwes saya berharap dapat mengangkat derajat kaum wanita untuk membela kebenaran dan menuntut hak haknya.
Perkembangan selanjutnya tahun 1950 Gerwes, bersama sama dengan 51 organisasi kewanitaan lainnya melakukan kongres dan membentuk organisasi besar yang bernama Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun yang sama pula, saya bersama kawan kawan di Kotapraja Blitar mendirikan Gerwani Cabang Blitar, dan saya diangkat melalui konferensi Cabang Gerwani sebagai Ketua, yang tadinya aktif di kabupaten Blitar. Karena berasal dari Kabupaten Blitar, maka keanggotaan saya di DPRD juga di Kabupaten Blitar. Saya menjadi anggota DPRD Peralihan sejak tahun 1955, yang akhirnya terus berubah menjadi DPRD Sementara, berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Saya duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili dari Gerwani.

Berapa komposisi perolehan kursi di DPRD Kabupaten dan Kotapraja Blitar saat itu?

Seingat saya, dari 45 kursi DPRD di Kabupaten Blitar melalui pemilu tahun 1955, PKI memperoleh kursi 23. Sisanya dibagi NU dan PNI, sedangkan Masyumi, Murba, dan Perti kalau tak salah hanya mendapat 1 atau 3 suara. Untuk di wilayah Kotapraja Blitar, dari 15 kursi di DPRD, PKI mendapatkan kursi 10, sedangkan 5 kursi sisanya dibagi NU dan PNI. Karena kursi yang diperoleh mayoritas, maka Walikota Blitar saat itu Bapak Kusnadi juga simpatisan kiri. Sementara di Kabupaten, Bupatinya Bapak Darmaji memang terpilih sejak jaman Belanda.

Kapan Ibu menjadi anggota DPRD terakhir kalinya?

Ya sejak peristiwa 1965 terjadi

Bagaimana dengan situasi sosial politik di Blitar sebelum meledaknya persitiwa 1965? Apa ada ketegangan ketegangan antar kelompok masyarakat?

Di Blitar kala itu situasinya sangat kondusif, tak ada ketegangan ketegangan antara kelompok masyarakat. Daerah kami sangat damai, bahkan saya sering kerja bareng dengan Bapak Kayubi dari Fraksi NU, beliau orang ansor. Jadi Agama-Nasionalis-Komunis, tetap kompak.

Terus, Ibu memaknai peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta itu bagaimana?

Kita waktu itu tidk mengerti apa apa tentang kejadian di Jakarta. Biasanya kalau PKI itu punya gawe (hajat) sudah pasti kita yang didaerah daerah mengetahuinya. Kira kira bulan Oktober 1965 rumah saya tiba tiba dijaga oleh tentara. Dan ketika saya melihat orang orang ansor bersama pasukan loreng loreng merusaki rumah rumah (baca: aset PKI) lantas saya pergi mengungsi.

Bagaimana dengan visualisasi tentang perilaku PKI yang ada di Film G 30 S/PKI yang dulu ditayangkan setiap tanggal 30 September?

Uuuuhhh, itu omong kosong. Sama sekali tak benar dan itu menunjukkan kebohongan. Kalau Gerwani digambarkan menyileti Jenderal Jenderal semacam itu, justru bertentangan dengan ideologi komunis. Kok gagah betul gerwani menyileti Jenderal Jenderal. Tapi yang melihat kok percaya juga yaa. Pokoknya semua itu bertolak belakang dengan cara perjuangan PKI. Saya menyimpulkan bahwa yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (baca: Mantan Presdien Soeharto) untuk ditanam disini sebagai agennya. Tugasnya adalah untuk menjatuhkan Soekarno. Tahun 1963 Bung Karno kan pernah punya konsep Trisakti, yaitu; Berpolitik bebas, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berbudaya bangsa yang luhur. Nah, yang paling ditakuti oleh Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami oleh IMF. Bung Karno merencanakan dengan kekuatan bangsa sendiri kita pasti akan dapat hidup.

Kalau memang harto benci Karno kenapa, Kenapa PKI dilibatkan?

Sebab pendukung setia Bung Karno itu PKI. Karena Bung Karno itu satunya kata dan perbuatan dipihak rakyat tertindas, anti kapitalis, pemerasan dan penindasan. Jadi tak logis kalaui PKI berontak, wong PKI pendukung Bung Karno. Maka Soeharto menggunakan siasat para pendukung Bung Karno dulu yang dihancurkan. Karena kalau waktu itu ia “nembak” langsung ke Soekarno pasti akan mengalami kesulitan. Setelah peristiwa 1965 meledak katanya Bung Karno diamankan, setelah diamankan Bung Karno dikatakan sebagai PKI, Supersemar dihilangkan dan sebagainya. Saat pembunuhan terhadap tujuh jenderal itu, Harto kan menggunakan Letkol Oentung.

Lho, Oentung kan orang PKI?

Bukan, siapa bilang. Kita tidak punya Jenderal yang PKI. Saya akui bahwa kita kemasukan Sjam yang sebetulnya orang orang Amerika dan orangnya Soeharto.

Tapi apakah di PKI ada Biro Militer yang dipimpin oleh Sjam yang sifatnya rahasia?

Tak ada Biro Militer, yang ada itu Biro Politik

Sjam kok bisa masuk ke PKI bagaimana?

Itulah lihainya tentara, seakan akan dia komunis deles (tulen). PKI itu kelemahannya mudah percaya pada orang dan tak menaruh curiga apa apa, karena menurut agama su’udzhon (berburuk sangka) itu kan tak boleh.

Terus, bagaimana dengan pasukan yang dibawa oleh Oentung untuk operasi militer kala itu?

Itu kan pasukan dari Solo yang belum dikenal oleh Bung Karno ketika mereka menyamar sebagai cakrabirawa dan membawa Bung Karno ke Lubang Buaya. Tapi setelah kejadian itu, Oentung kan ditembak sendiri oleh orang orangnya harto dengan dalih untuk operasi pemulihan keamanan, disamping untuk menutup adanya hubungan rahasia antara Harto dan Oentung.

Tapi apakah benar bahwa para pemuda rakyat dan gerwani saat itu juga di Lubang Buaya?

Begini lho nak, saat itu kita kan lagi konfrontasi dengan Malaysia. Kita menginginkan Malaysia sebagai saudara kita lepas menjadi boneka Inggris. Jadi persiapan kita untuk menggayang Malaysia adalah untuk menyingkirkan Inggris. Karena konfrontasi itu, maka pemuda rakyat dan gerwani sedang menjalani latihan latihan militer dibanyak tempat, dan tak ada yang di lubang buaya waktu tragedi 65. Perlu dicatat sewaktu Bung Karno masih berkuasa, Pak Nas (Jend. Pur. Nasution) tak setuju jika Soeharto diberi posisi yang strategis, bahkan minta harto dipecat saja. Pak Yani (Jendr. Pur. Ahmad Yani) adalah musuhnya Harto waktu itu. Harto itu pernah mengenyam pendidikan intelegen dari Amerika Serikat melalui Jenderal Suwarto yang merupakan gurunya. Pak Yani adalah orang yang tak setuju Harto disekolahkan. Jadi kita lihat waktu Oentung melakukan penculikan, rumah yang paling awal dituju kan rumahnya Pak Yani dan Pak Nas, karena memang keduanya merupakan musuh Harto. Sementara PKI mengkonsentrasikan diri untuk mendukung upaya upaya perjuangan Bung Karno.

Bagaimana dengan pendapat bahwa PKI tak bertuhan?

Itu kan kata mereka, tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan untuk berbuat baik. Karena kalau kita baik, jangankan perintah agama, naluri kemanusiaan saja sudah pasti orang itu tergugah.

Melanjutkan yang tadi Bu, Sewaktu G 30 S/PKI meledak, ibu mengungsi dimana?

Saya ya cari hidup, anak-anak saya pergi sendiri-sendiri, kecuali Si bungsu yang berumur 1 (satu) bulan bersama saya?. Lari pertama saya di adik saya di komplek AURI Abdurahman Saleh Malang, lantas saya lari dan menjadi babu di kebun kentang wilayah lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Selama disana 3(tiga) bulan (1996) dan ketika tentara mau menggerebek saya turun. Ketika turun saya mencari teman saya bernama Letnan Supeno, saya minta surat pengakuan bahwa saya istrinya dia, surat itu saya gunakan untuk surat jalan ke Jakarta tapi sebelum ke Jakarta saya menginap di rumah keponakan yang kuliah di Universitas Gajah Mada (aktivis CGMI). Namun ketika saya di Yogja saya ditangkap oleh orang-orang ansor sebanyak delapan orang dan tentara tujuh orang. Mereka tahu atas informasi dari pemuda demokrat Blitar yang waktu itu ada di Yogja. Saya ditahan 3 (tiga) bulan di Kantor Polisi Militer karena berdasar surat saya yang tak bawa dianggap bahwa saya adalah istri tentara. Pemeriksaan pertama dilakukan Letnan Silitonga. Ditahanan CPM ada limaorang perempuan bersama saya, diantaranya Bu Ridono (tokoh ketoprak siswobudoyo), seorang Tionghoa, Bu Artin (anak UGM). Setelah tiga bulan kami dibawa di Rumah Tahanan di Yogja. Tapi saat itu pukul 12.00 WIB saya dibebaskan dengan syarat saya malam itu juga tak boleh berada di Yogja. Tepat jam 22.00 WIB ada kereta yang menuju ke Jakarta. Saya lantas naik kereta itu menuju Jakarta.

Pertimbangan ibu waktu itu ke Jakarta apa?

Pertimbangannya bahwa Jakarta adalah kota besar sehingga tempat perlindungan tentunya akan lebih baik, tapi tak tahunya justru lebih menyedihkan. Ketika sampai Jakarta saya teringat pernah memiliki kenalan dari Jember yang tinggal disana. Dulu ia adalah pegawai koperasi di Blitar lalu pindah ke Jakarta, namanya Imam Santoso. Dengan sisa uang Rp. 8.000,- saya naik becak dengan ongkos Rp. 5.000,- menuju ke tempat dia didaerah Bedara Cina. Sesampainya disana, ternyata rumahnya justru dijadikan tempat pelarian kawan kawan dari Jember dan Banyuwangi sehingga penuh sesak. Terlihat orang orang begitu banyak didalam rumahnya, hingga untuk tidurpun harus duduk. Akhirnya terpikir dalam benak saya, “tak mungkin saya disitu”. Pertimbangannya akan mengundang kecurigaan orang, disamping juga tak ada tempat buat anak saya. Lalu saya pergi menuju tempat famili dari kakak saya di daerah Pisangan Baru, namun ketika sampai disanapun saya melihat suasana yang kurang kondusif.

Kenapa?

Ya, di samping rumahnya kecil, takut juga nanti membebani dia dan keluarganya. Saya tak enak sendiri, takutnya nanti kalau ada pertanyaan macam macam dari pihak Rukun Tetangga (RT). Jadi selama dua bulan di Jakarta saya hidup ngere (baca: Gelandangan) hanya berbekal pakaian dan perhiasan yang menempel ditubuh saya (sebagian perhiasan telah saya jual) serta keranjang bodol (baca:usang) yang berisi pakaian lusuh dari anak saya. Perhiasanku satu per satu, saya jual untuk memenuhi kebutuhan perut dan si kecil. Sedangkan tidurnya di tempat seadanya di Jakarta. Terakhir saya jual kalung untuk pergi ke Surabaya. Dengan bantuan famili yang bekerja di tempat penjualan tiket kereta api di Stasiun Jakarta Kota, saya berhasil mendapatkan tiket. Selama perjalanan di dalam kereta, tak terpikir olehku untuk singgah kemana sesampainya di Surabaya nanti. Beruntung didalam gerbong itu saya ditawari oleh seorang tentara berpangkat Kapten bersama isteri dan bayinya untuk bekerja di rumahnya merawat bayi dan isterinya. Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya, sang Kapten ternyata telah dijemput dengan mobil sedan waktu itu. Akhirnya kita semua meluncur menuju rumahya di daerah Kenjeran. Ternyata sang Kapten memiliki pabrik kaos di rumahnya, dan saya tinggal seminggu disana dengan bekerja merawat bayi mereka berdua. Tapi saya tak enak juga dengan keluarga Kapten itu, mengingat hanya bekerja sebagai perawat bayi kebutuhan hidup saya dipenuhi. Apalagi waktu itu operasi operasi di surabaya juga sedemikian ketatnya. Akhirnya saya memutuskan untuk pamit keluar, untuk pindah ke keluarga saya di daerah sekitar Rumah Sakit Karang Menjangan. Ia adalah kakak sepupu dari suami saya, ia juga sorang tentara bernama Letnan satu Nyoto dari kesatuan Sawonggaling. Ketika saya berada di rumah Pak Nyoto, keenam anak saya tiba tiba menyusul. Tak tahu siapa yang memberitahukan waktu itu kalau saya tinggal di rumah Pak Nyoto. Karena kebetulan Pak Nyoto adalah ketua RT, maka kami semua dikasih surat pindah rumah dengan alasan rumah telah kebakaran. Dengan cincin yang sebenarnya tak ingin saya jual, akhirnya saya jual, guna menyambung hidup. Dengan modal jual cincin saya berjualan singkong rebus, dengan mengontrak didaerah Bendul Merisi (belakang Rumah Sakit Angkatan Laut) Surabaya. Di Bendul Merisi seingat saya di awal-awal tahun 1967 dan selama tujuh bulan saya jualan didaerah situ. Waktu di surabaya saya tak pernah keluar, jadi yang belanja itu anak saya yang pertama berumur 14 tahun. Anak saya memang tak sekolah semua, karena waktu itu anak PKI tak boleh sekolah. Sampai bulan Agustus 1967 waktu itu saya sedang belanja di Pasar Wonokromo namun berjumpa dengan seorang Polisi dari Blitar, ia tetangga saya, walaupun secara pribadi baik, tapi lebih baik saya antisipasi terhadap apa yang kemungkinan terjadi, terpaksa anak-anak saya (kecuali Bungsu) suruh menyebar meninggalkan tempat itu entah kemana terserah mereka untuk mencari hidup walaupun waktu itu tak bisa memberi uang saku. Malam itu juga saya lari menuju Blitar Selatan bersama Si bungsu. Di Blitar di daerah pegunungan kan banyak teman-teman. Saya diterima baik disana, diberi makan meskipun dengan apa adanya. Pertama saya singgah di Desa Pakisaji, Kecamatan Maron Kabupaten Blitar. Namun tak tak lama tentara masuk ke daerah itu , takut tercium oleh tentara, maka saya pindah di Dukuh Krisik, Desa Ngrejo. Waktu saya di Ngrejo anak-anak saya mengetahuinya dan kita kumpul lagi. Walau hanya makan tiwul (jagung dilembutkan dan ditanak) rasanya bahagia sekali. Tanggal 22 Deseber 1967 tentara melakukan operasi di Krisik, maka seluruh anak-anak saya termasuk bungsu dibawa turun oleh kakak-kakaknya. Saya lantas dengan orang-orang di daerah situ masuk ke hutan, karena pada waktu itu kalau ada laki-laki yang dianggap simpatisan PKI pasti ditembak. Tentara sangat lihai untuk mengidentifikasi orang gunung atau bukan dilihat dari posisi berdiri, kalau orang gunung kan kalau berdiri agak bungkuk kesamping, karena seringnya ngambil air dari jauh. Selama di hutan saya bersembunyi di gua-gua dan berpindah-pindah kalau malam hari. Sedangkan kalau makan ya menu seadanya, seperti pupus-pupus daun, pisang kalau ada, sedang kalau minum memakai kaleng-kaleng bekas minumnya tentara yang kebetulan melewati daerah itu. Dan pada tanggal 11 Agustus 1968 saya tertangkap di dalam gua oleh Batalyon 511, kemudian diikat kedua ibu jari ke belakang dan disambungkan keseluruh badan. Waktu di dalam hutan awal-awalnya banyak orang yang sama sama pelarian tapi lambat laun habis, ada yang tertangkap, pun juga ada yang dibunuh. Waktu itu pula sebelum tertangkap saya sering sembunyi di Bultuk, gua yang menjorok ke bawah (mirip sumur) dengan menyulur menggunakan akar-akar pohon. Gua Bultuk dahulu itu memang bersejarah, yaitu dipakai orang-orang gunung menyimpan cadangan pangan, karena waktu Operasi Trisula di Blitar selatan banyak oknum tentera yang merampas kekayaan penduduk bahkan jika melihat anak gadis atau janda yang cantik tak segan-segan untuk memperkosanya. Seperti kejadian yang terjadi di desa Ngleduk Kecamatan Surowadang, beberapa oknum tentara secara brutal memperkosa beberapa anak gadis dan janda lalu membunuhnya di gunung Kemiri. Ada sembilan lembu diambil oleh oknum oknum itu namun ketika Komandan Batalyon 511 mengetahui prajurit itu disiksa. Kejadian lain yang dialami Pak Loso beserta 12 anggota keluarganya termasuk cucu ditembak, harta bendanya diambil dan rumahnya dibakar. Kalau PKI dikatakan Partai Kampak justru yang merampok adalah oknum-oknum itu. Pernah juga dalam suatu kejadian seluruh warga daerah situ sebanyak lima desa dikumpulkan jadi satu desa dan dikumpulkan di lapangan termasuk wanita dan anak-anak sampai kehujanan dan kepanasan bahkan tak dikasih makan.

Waktu tertangkap lantas Ibu dibawa ke mana ?

Pertama dibawa ke Bululawang kecamatan Bakung Blitar. Di situ merupakan pos pertama operasi Trisula, di situ saya di ejek dan diolok-olok oleh istri-istri tentara “ dapat roti dari RRT ya”? sambil menetap sinis. Di pos inilah saya pertama merasakan nasi, setelah sembilan bulan dalam hutan. Walaupun campur gabah (padi) dengan sayur buah pepaya yang digarami, rasanya begitu enal sekali.
Lalu dari Bululawang dibawa ke mana lagi?

Saya dipindah ke Surowadang, saya handle oleh Letnan Bonar, di situ merupakan pos kedua Trisula. Waktu diintrogasi oleh Letnan Bonar, nasib baik menyertai saya, pakaian yang saya pakai compang-camping lalu dicarikan ganti oleh Pak Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar, diberi sarung untuk pakaian bawah sedang atasnya dikasih pakaian tentara milik temannya dari Jawa Tengah. Waktu diintrogasi saya bahkan diberi susu, namun orang-orang di sekitar saya yang juga diintrogasi, nasibnya sungguh menyedihkan, disekujur tubuhnya penuh dengan lumuran darah. Di sebelah saya ada yang pantatnya rusak akibat jatuh ke jurang waktu akan ditangkap sehingga tak bisa duduk, orang itu bernama Sukro. Susu yang diberikan ke saya lantas aku bagikan ke teman-teman itu, saya katakan “minumlah susu ini sebelum kita mati nanti”, karena dalam benak saya, saya yakin pasti akan dibunuh. Nasib sial menemui anak-anak yang bersamaku tadi, mereka mati ditembak. Mereka sebanyak 25 orang yang umurnya rata-rata 20 tahun. Sedangkan saya kenal dengan komandan Batalyon 511, yaitu Bapak Muslim Bagyo, akhirnya saya diajak tidur di tempatnya, tepatnya ditempatkan di Letnan Bonar. Dari tempatnya Pak Muslim lalu saya dibawa ke Lodoyo (pusat pos Operasi Trisula). Saya ditempatkan di perumahan yang merupakan tempat Mantri Kehutanan, kebetulan ia keponakan dari suami saya. Bahkan di tempat itu saya diperbantukan di dapur pos tentara di Lodoyo yang dipimpin Kolonel Witarmin. Ditempat ini pula saya baru ketemu dengan teman-teman saya yang Gerwani. Setelah diperbantukan di situ teman-teman sebanyak tujuh orang dimasukkan di LP perempuan di Malang, tapi saya ditempatkan di tahanan kantor Polisi Lodoyo yang waktu itu dipenuhi oleh orang-orang gila. Dari Lodoyo lantas dipindah ke Kodim Blitar, lalu dipindah lagi di Kantor Polisi Militer Blitar, ada beberapa malam dan dipindah lagi di LP Blitar diawal Tahun1969. Waktu di LP Blitar saya dipanggil di Kodim dan diberitahu bahwa suami saya Pak Bandi (Orang nomor satu di Comite Seksi PKI Blitar) telah ditembak, lalu saya menanyakan di mana ? dan kapan ? Pihak Kodim menjawab eksekusinya hari ini, sedangkan tempatnya tak diberitahukan. Saya sendiri berfikir akan ditembak sesaat lagi,jadi tak bisa menangis waktu itu. Dari LP Blitar saya dipindah ke pabrik rokok Kediri, di sana terdapat ratusan pria, sedang wanita hanya beberapa orang. Karena sedikit tahanan wanita, maka dipindah ke PM Kediri dan dipindah lagi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun (saya menduga akan dibuang ke pulau Buru), tapi rupanya dugaan saya keliru. Ternyata saya di bawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, dan dipindah lagi di Sidoarjo lalu dipindah ke Plantungan Kendal. Saya termasuk rombongan pertama ke tempat itu karena wilayahnya masih hutan. Pada tahun 1970 (pertengahan) sampai tahun 1978 saya menetap di Plantungan. Plantungan merupakan edisi terakhir saya dipenjara, walapun begitu debgab adanya keputusan Pangkobkamtib hak-hak saya sebagai warga negara Indonesia hilang dan tak boleh menuntuk hak tersebut.
Sejak keluar dan menghadapi Pemilu 1980-an, apa ibu boleh memilih
Oh ya tak boleh, saya baru boleh memilih sejak Pemilu 1999. Walaupun saya punya hak memilih atau tidak, saya juga tak tahu yang saya pilih, wong saya ikut kumpul-kumpul pengajian saja tak boleh, dicurigai melakukan gerakan politik. Bahkan melawat orang matipun tidak boleh. Mungkin hal ini sifatnya kasuistik yang terjadi di desa saya. Waktu saya dari Plantungan pulang ke rumah, saya disambut bak orang pulang dari haji.

Sejak menikmati hari-hari di rumah, apa ibu juga sering dipanggil yang berwajib ?

Ya saya sering. Wajib lapor, ya di Koramil maupun di Kodim untuk diinterogasi.

Bagi tahanan yang masih hidup apa agendanya Bu ?

Saya tak akan bentuk organisasi, tetapi saya akan mencoba meluruskan sejarah 1965. Saya kan sebagai korban d mana saya merasa tak berbuat apa-apa.

Sampai sekarang Ibu aktif di mana ?

Saya gabung dengan LPKP (Lembaga Penelitian Korban Pergerakan G 30/ S PKI) yang dipimpin dr Ribka Ciptaning Proletariat.

Apa anak Ibu ada yang pegawai negeri?

Ya pasti tak ada, karena pasti tak boleh. Anak anak saya cari makan seadanya. Walapun begitu toh Tuhan masih memberikan rezeki yang cukup kepada mereka, bahkan ada yang menjadi direktur.

Pasca kejadian di tahun 1965 sampai berakhirnya operasi trisula di Blitar Selatan daerah daerah mana saja yang diperkirakan menjadi tempat tempat pembantaian?

Di sekitar sini saja (Srengat) ada beberapa tempat diantaranya di Poluwan, di pertigaan lempung, di Dermojayan, di Kawedusan, dan di Ponggok. Pokoknya kalau di Blitar secara keseluruhan banyak sekali. Ada yang satu tempat saja kurang lebih 100 orang. Menurut informasi yang saya dengar bahwa di Gunug Betet (Lodoyo) itu saja banyak sekali. Di Krisik saja satu desa ada 600 orang korban yang dibantai. Jadi jumlah total di Blitar angkanya mencapai ribuan.

Harapan ibu kepada pemerintah sekarang bagaimana?

Pemerintah supaya memberikan kembali (rehabilitasi) hak hak kita sebagai seorang WNI, termasuk juga keterunannya. Kedua, harus ada upaya upaya pelurusan sejarah menengenai peristiwa G 30 S. Ketiga yang meninggal harus diberi kompensasi kepada keluarganya, terutama secara ekonomi. Kita tak ada rasa dendam, atau benci. Justru kita merasa kasihan kepada orang orang yang terlibat dalam pratek pembantaian dulu, karena mereka hanya diperalat. Terakhir, generasi muda harus diberi informasi apa adanya.

Sumber: Averroes