HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 30 April 2016

Dosen UGM: Simposium Nasional 1965 Perlu Ditindaklanjuti


Oleh: Adi Subandrio (MAP Corner-klub MKP UGM)

 
Simposium Nasional 1965 merupakan salah satu forum yang membedah tragedi 1965. Menurut Letjen (Purn) Agus Widjojo (Ketua Panitia Simposium 65) bahwa tujuan utama penyelenggaraan simposium ini adalah bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar dalam tragedi 1965, melainkan untuk mencari keadilan dengan menganalisa latar belakang situasi nasional ketika peristiwa 1965 terjadi dan dalam rangka untuk menarik pelajaran agar tragedi kejahatan kemanusiaan tersebut tidak terulang lagi (Kompas, 2016). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan simposium ini adalah pendekatan sejarah, karena menurut Widjojo pendekatan ini paling objektif dalam mencari pemahaman secara komprehensif.

Simposium 65 ini merupakan forum yang pertama dalam sejarah indonesia yang penyelenggaraannya disokong dan didukung langsung oleh pemerintah dalam membahas upaya penyelesaian salah satu dari sekian pelanggaran HAM masa lalu. Ahli, pelaku, saksi, korban, dan pengamat dihadirkan dalam acara tersebut untuk berdialog dan berdiskusi mencari titik temu penyelesaian tragedi 1965. Dukungan tersebut membuat penyelenggaran simposium nasional 1965 yang diadakan pada tanggal 18-19 April 2016 di Jakarta berhasil dilaksanakan. 
Meskipun didukung oleh pemerintah namun dalam proses penyelenggaraannya banyak pihak menuntut simposium itu ditutup atau dibubarkan karena adanya kekhawatiran akan melahirkan PKI kembali atau sebagai wujud komunisme gaya baru. Disisi lain pihak-pihak yang pro terhadap simposium tersebut menganggap bahwa simposium ini merupakan langkah maju untuk menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu. Oleh karena itu, muncul pertanyaan: Apakah simposium 1965 akan efektif menyelesaikan permasalahan HAM berat? Dan bagaimana tanggapan penyintas 1965 terkait dengan simposium tersebut?

Sepenggal Kisah Korban 1965

Bu Christina Sumarmiyati atau akrab disapa Bu Mami merupakan salah satu korban 1965 yang hadir sebagai pemantik diskusi MAP Corner-klub MKP UGM pada 26 April 2016. Wanita paruh baya itu mengawali diskusi dengan menceritakan pengalamannya sebagai korban tragedi 1965. Saat ditangkap atau diculik oleh militer, beliau baru berumur 21 tahun dan merupakan seorang mahasiswa tingkat 2 (semester 2) di Universitas Gadjah Mada (UGM). Penculikan tersebut terjadi saat beliau pulang dari kampus, dan tiba-tiba ada mobil yang berhenti persis didepannya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil tanpa memberi alasan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1965 dan Bu Mami ditahan tanpa proses peradilan, kemudian beliau baru dibebaskan pada tahun 1978. 
Dari 1965 sampai 1978 ibu Mami dipindah-pindahkan tempat tahanannya, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Plantungan, dan Pulau Buru. Di Plantungan beliau dimasukan dalam tahanan perempuan sampai tahun 1974, baru kemudian dipindahkan ke Pulau Buruh. Di pulau buru beliau ditempatkan dalam tahanan perempuan yang memiliki kondisi tidak layak sampai tahun 1978.

Selama Bu Mami ditahan, beliau tidak tahu apa kesalahan yang dia perbuat. Beliau dipisahkan dengan keluargannya kemudian dihukum tanpa proses peradilan. Dalam diskusi tersebut beliau bertanya “apa salah kami ” terutama apa salah dia. Pasalnya, Bu Mami selain sebagai seorang mahasiswi, beliau juga merupakan seorang guru agama yang mengajarkan pendidikan agama kepada murid-muridnya. Beliau melemparkan pertanyaan sebagai bahan perenungan “apakah salah jika saya mengajarkan agama kepada murid-murid saya?”. Menurutnya agama mengajarkan tentang kepercayaan terhadap Tuhan, sementara PKI sering diidentikan dengan tidak bertuhan. Propaganda pengiblisan terhadap PKI tersebut terus tertanam berpuluh-puluh tahun sampai sekarang.

Dengan demikian maka konflik yang terjadi pada 1965 disebut sebagai tragedi kemanusiaan. Pendapat tersebut dilontarkan oleh Budiawan (Dosen Kajian Budaya Media UGM) dengan berpedoman pada cerita Bu Mami bahwa banyak orang yang ditangkap, ditahan, dan dibunuh tanpa mengetahui kesalahan yang mereka lakukan dan hal tersebut dilakukan tanpa proses hukum, seperti yang terjadi pada Bu Mami.

Penyelenggaraan simposium 1965: Motif Politis vs Panggilan Moral

Dalam penyelenggaraan simposium 1965 menurut Budiawan terdapat tiga pihak yang berbeda pandangan dalam melihat simposium tersebut. Pertama pihak yang menolak simposium yaitu diwakili oleh aparat atau militer dan kelompok kanan; kedua adalah pihak yang pro simposium, yaitu diwakili oleh aktivis; dan ketiga, pihak yang moderat atau penengah, yaitu diwakili oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).

Dari ketiga pihak di atas, muncul pertanyaan jika aparat merupakan pihak yang menolak simposium 1965, mengapa Menkopolhukam, Lahut Binjar Panjaitan berada dalam pihak yang seolah-olah pro simposium 65, padahal dia berasal dari militer? Menurut Budiawan ada motif untuk mengkerdilkan tujuan diselenggarakannya simposium 1965. Hal ini berangkat dari statement Luhut ketika membuka acara symposium 65 tersebut, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak akan pernah meminta maaf dan mempertanyakan data jumlah korban tragedi 1965. Pernyataan tersebut kemudian direspon oleh berbagai pihak, karena kewenangan rekonsiliasi, pengungkapan kebenaran, dan penegakan hukum ada di tangan presiden bukan Menkopolhukam. 
 
Selain bukan kewenangan Menkopolhukam, menurut Budiawan tragedi 1965 adalah konflik vertikal bukan konflik horizontal atau dengan kata lain konflik ini terjadi antara rakyat dan negara. Oleh karena itu, negara dalam hal ini direpresentasi oleh pemerintah harus mengakui perbuatan yang telah dilakukan. Mengingat tragedi 1965 merupakan tragedi kemanusiaan sehingga tidak bisa dilihat secara politis bahwa yang menjadi korban adalah dari pihak PKI saja melainkan menurut Budiawan korban tragedi 1965 adalah rakyat indonesia itu sendiri baik mereka yang pro kepada PKI, simpatisan PKI, rakyat yang tidak terlibat, bahkan rakyat yang anti PKI sekalipun.

Selain itu, sebelum penyelenggaraan simposium ada keganjilan yang terlihat. Budiawan melihat keganjilan tersebut dari perubahan terhadap para pembicara dalam forum simposium sebanyak 5 kali. Kemudian dari segi substansial materi dapat diprediksi, artinya tidak ada yang baru dan mengejutkan dimana pembicara berasal dari Menkopolhukam, penyintas 1965, dan aktivis HAM.

Harapan pada Simposium 1965 dan Pelajaran dari Tragedi 1965

Menurut Budiawan penyelenggaraan simposium untuk membedah tragedi 1965 yang didukung oleh pemerintah harus dilihat secara bijaksana. Artinya bahwa forum ini harus dilihat sebagai langkah maju untuk mengungkapkan dan menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu. Untuk itu, Budiawan mengharapkan forum seperti ini tidak hanya berhenti pada pencarian fakta-fakta belaka, tetapi harus diselenggarakan terus sampai menghasilkan solusi atas permasalahan tersebut sehingga para korban tragedi 1965 dapat hidup dengan tenang tanpa tekanan dan trauma. Selain itu, simposium ini harus menghasilkan pengakuan atas perbuatan yang telah kita lakukan bersama. Senada dengan Budiawan, Bu Mami juga mengharapkan simposium tersebut dapat menghasilkan solusi yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan para korban 1965 dan dapat menguak kebenaran dari tragedi 1965.

Menurut Budiawan tragedi 1965 memberikan satu pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa indonesia, yaitu ketika kekuasaan terpusat atau terpersonalisasi pada satu orang maka akan memunculkan bahaya yang amat besar. Dengan demikian maka distribusi kekuasaan merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa karena tidak ada monopoli terhadap kebijakan negara atau dengan kata lain sistem demokrasi menjadi sangat penting.

Kekuasaan terpusat pada konteks sebelum tragedi 65 adalah kekuasaan sentral yang berada ditangan Soekarno. Sedangkan PKI dan Militer (terutama AD) menjadi penyeimbang kekuatan yang berada dibandul kiri (PKI) dan kanan (Militer) (Sesuai dengan ide Nasakom Soekarno). Ditengah ketegangan perang dingin dan berita simpang siur tentang jatuh sakitnya Soekarno, muncul pertanyaan tentang kemana tongkat estafet kepemimpinan akan berganti. Disaat itulah muncul aksi yang dilakukan oleh para perwira dengan membunuh 6 jenderal dan 1 perwira tinggi terkait isu Dewan Jendral. Aksi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh kubu kanan untuk mengkambing hitamkan kubu kiri hingga mencuatkan tragedi 65 yang tidak hanya kejahatan kemanusiaan akan tetapi juga penghancuran kapasitas kelas bawah dalam perjuangan politik.


https://www.facebook.com/302809866428471/photos/a.303787282997396.71140.302809866428471/1080687698640680/?type=3&theater

Pram Layak Disebut Novelis Terbaik Indonesia

, CNN Indonesia

Tetralogi Buru Pramoedya Diselamatkan 'Sakit Minke'

 
CNN Indonesia | Sabtu, 30/04/2016 13:32 WIB

Tumiso. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
JakartaCNN Indonesia -- Lazimnya, umpatan membuat orang tersinggung, bahkan tak jarang menimbulkan pertikaian. Namun tidak demikian halnya umpatan "bangsat" yang kerap dilontarkan Pramoedya Ananta Toer kepada sahabatnya, Tumiso.

Bagi Tumiso, umpatan itu tidak benar-benar berarti negatif. Itu justru bisa dianggap pujian, karena Tumiso rela mengorbankan diri, menjadi objek kekhawatiran kawan-kawannya, hanya untuk menyelamatkan sekarung pupuk urea.

Tapi karung itu pun tidak sembarangan. Ada harta berharga bagi kebesaran sastra Indonesia di dalamnya. Di antara tumpukan pakaian Tumiso yang dibawanya dari Pulau Buru saat dilepaskan pada 1979, ada bundelan naskah-naskah Pram yang ditulisnya semasa di pembuangan.

"Termasuk Arus Balik, Arok Dedes, Mangir dan beberapa lembar Ensiklopedia Citrawi Indonesia," ujar Tumiso menyebutkan.

Tumiso dan Pram sama-sama menjadi gelombang pertama yang diasingkan ke Pulau Buru, sekaligus terakhir yang dikeluarkan dari sana. Tapi mereka tidak langsung dilepas setelah dibebaskan. Masih ada penjara di Magelang yang menanti tahanan politik.

Tahu barang bawaannya akan diperiksa petugas, Tumiso lantas pura-pura sakit. "Saya yakin akan masuk rumah sakit. Kalau begitu, bontotan [barang bawaan] pasti tidak akan diperiksa," cerita Tumiso mengenang, saat bersama CNNIndonesia.com mendatangi kembali pulau pengasingannya di Maluku, pada awal Maret lalu.

Benar saja. Ia langsung ditandu, sama sekali tidak diperiksa. Seorang dokter mendatanginya, Djayus namanya. "Dia dokter asma kaliber dunia yang bergabung dengan rombongan," katanya. Dokter itu ternyata tahu akal bulus Tumiso. Ia ditanya, rencana "sakit" berapa lama. Katanya, di dalam aman.

"Kalau begitu saya mau tetap masuk dengan status sakit, supaya dalam kawalan dokter," ujar Tumiso menjawab.

Tumiso pun ditidurkan di kasur rumah sakit selepas dari tandu. Kawan-kawannya langsung mengerubungi. Tapi Dokter Djayus berkata, "Sudah, sudah. Dia sakit parah, jangan dikerubungi." Pram yang ada di lokasi yang sama menyempatkan bertanya, "Memang kamu sakit apa?"

Jawaban Tumiso sederhana, "Sakit Minke." Tahulah Pram, kawan dekatnya itu hanya pura-pura sakit demi menyelamatkan naskah yang dititipkan padanya. Minke merupakan tokoh dalam Tetralogi Buru, karya Pram yang hingga kini mendunia, dan ditulis di Buru. Sosok Minke diinspirasi dari tokoh nasionalis Tirto Adhi Soerjo.

Seketika itu Pram pun mengumpat, "Kamu ini memang bangsat."

Tapi keberanian Tumiso itulah yang sedikit banyak membuat Pram percaya padanya. Kata Tumiso, penulis asal Blora itu sosok yang pendiam. Sekali bicara, kalau tidak terbata, akan memarahi lawannya karena datang tanpa isi di kepalanya. Karena itu hanya sedikit yang berani bicara padanya.

Tumiso termasuk salah satu dari yang sedikit itu. Berbekal sedikit informasi tentang suatu hal, Tumiso yang sejak awal sudah satu "penjara" bersama Pram di Unit 3 Pulau Buru, pria 70-an tahun itu memberanikan diri mendekati sang penulis. "Misalnya saya bilang, 'Pak Pram kok di film ini perangnya begini sih.' Pak Pram akan menjelaskan kejadian lebih lengkapnya dari buku-buku yang dia baca."

Itu lebih baik ketimbang bertanya terang-terangan tanpa bekal. Pram lebih suka orang yang mengonfirmasi informasi bukan langsung bertanya.

Keakraban Pram dan Tumiso memang tak bisa dicari bukti autentiknya. Tapi memasukkan Tumiso dalam salah satu dari sedikit orang yang dititipi naskah sudah menjadi bukti tak terbantahkan. Pram mengetik naskah-naskahnya rangkap enam. Selain diberikan pada Tumiso, naskah itu juga diserahkan pada pakar hukum Suprapto, seniman Oey Hay Djoen, dua orang lain, dan disimpan Pram sendiri.

Naskah dibuat rangkap enam bukan hanya agar aman dibawa keluar. Pram juga melakukannya agar naskah bisa dikoreksi orang lain. Karya Pram mendapat banyak masukan dari kawan-kawannya di Pulau Buru. Naskah itulah yang kini banyak dinikmati pembaca, bahkan diterjemahkan ke banyak bahasa.

Tumiso bukan hanya berjasa menyelundupkan naskah-naskah itu. Ia juga yang mengantarkannya sampai ke gerbang penerbitan. Setelah dilepas di Surabaya, Tumiso segera ke Jakarta pada awal 1980-an. Naskah yang dititipkan padanya dibawa serta.

Tangan Tumiso langsung yang menyerahkan itu ke penerbit Hasta Mitra. Itu merupakan penerbit yang didirikan Pram bersama dua sahabatnya, Hasjim Rachman dan Joesoef Isak. Penerbit itu yang kemudian menjadikan naskah-naskah Pram sebagai buku, yang sempat dilarang peredarannya.

Naskah hasil karya Pram dari Buru bukan hanya Tetralogi, tetapi juga Mangir, Arus Balik dan Arok Dedes. Pram juga menulis naskah lain yang diinspirasi dari pengalamannya semasa di Buru, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Ia juga menuliskan ungkapan hati kepada anak perempuannya, dalam naskah berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

"Banyak [eks tapol] yang bilang, mereka menyelamatkan naskah Pram. Tapi yang diterbitkan di Hasta Mitra itu dari naskah yang saya pegang. Tanda terimanya ada pada saya. Pernyataan saya ini, sampai sekarang belum ada yang membantah," Tumiso menegaskan.

Berkat sang pahlawan yang pura-pura sakit demi mengamankan karung urea itu, naskah Pram sampai sekarang masih terus diterbitkan ulang dan dipajang di toko-toko buku modern di Indonesia. Naskah itu bahkan abadi, meski penulisnya sendiri telah mengembuskan napas terakhir satu dekade lalu.

http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430131639-241-127707/tetralogi-buru-pramoedya-diselamatkan-sakit-minke/

38 Tahun Menjaga Kertas Semen Titipan Pramoedya

CNN Indonesia
Sabtu, 30/04/2016 12:22 WIB




JakartaCNN Indonesia -- "Hwie, kamu mau enggak saya titipi?"

Sebaris kalimat tanya seorang kawan itu melayang di benakku dua hari menjelang kepulangan dari sebuah tanah buangan, akhir November 1978. Kawan itu tak sembarangan. Bukan sekadar kawan seperjuangan di pulau pengasingan, Buru. Dia seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Toer, namanya.

Pak Pram, begitu aku biasa memanggilnya, menanyakan soalan itu saat aku menemuinya di sebuah komolek tahanan yang kami juluki “Mako” alias Markas Komando, pada suatu ketika berpuluh tahun lalu. Niatku sebenarnya berpamitan. Sebab sejak Desember 1977, kabar pembebasan tahanan politik dari Pulau Buru menjadi kenyataan. Aku sendiri termasuk gelombang ke-dua yang dilepas dari pengasingan.

Jika dihitung, masa tahananku di Buru lebih pendek dari Pak Pram. Aku masuk pada 1970. Setahun lebih lama dari Pak Pram. Pantai Sanleko jadi pendaratan pertamaku di pulau itu.

Bersama ribuan tahanan politik lain, aku dinaikkan kapal Tobelo dari Nusakambangan. "Enak enak, melok o ae [enak, enak, sudah ikut saja]," begitu iming-iming mereka kala itu. Sempat terdengar aku akan dibawa ke Pulau Buru, tapi itu hanya selentingan saja. Aku pun tak tahu ke mana aku akan dibawa. Aku ikut saja.

Dulunya aku seorang wartawan untuk sebuah media bernama Trompet Masjarakat. Aku banyak menulis soal Soekarno. Aku juga tergabung di dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi yang disebut-sebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Aku ditangkap di Malang, tak lama setelah peristiwa 1965. Pertama, aku dibawa ke bekas pabrik makanan di Batu, Kamp Gapsin. Beberapa bulan di sana, aku dipindah ke kamp tentara di Lowokwaru. Selama lima tahun sebelum dibawa ke Nusakambangan, aku terus "diping-pong" Malang-Surabaya.

Nasibku masih beruntung, tak terlalu banyak dipukul. Wartawan dan mahasiswa yang dianggap kalangan intelektual, memang tidak terlalu disiksa. Yang jelas-jelas anggota PKI, siksaannya tiada ampun. Dipukul, bahkan dibunuh.

Naskah Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di atas kertas semen masih disimpan rapi oleh Oei Hiem Hwie di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya. (CNN Indonesia/Rizky Sekar Afrisia)
Aku kenal Pak Pram sejak menjadi wartawan. Ketika akhirnya kembali bertemu di Buru, aku tak langsung bertemu muka dengannya. Kami beda unit. Pak Pram di unit 3, aku di unit 4. Hubunganku dengan Pak Pram mulai dengan surat-menyurat. Kutitip pesan surat kepada tapol lain yang kebetulan akan ke unit 3.

Kami baru saling bertemu saat Pak Pram sudah dipindah ke Markas Komando (Mako) karena dinilai punya keterampilan. Tempatku kerja kebetulan dekat dengan Mako. Pak Pram bahkan pernah berkunjung ke barakku, meski sepulangnya dimarahi karena interaksi antartapol dilarang.

Tapi belakangan, aturan itu melonggar. Tapol boleh berkunjung ke "gubuk" Pak Pram di Mako. Kami bahkan pernah berfoto.

Diberi kepercayaan Pak Pram menyimpan naskahnya, suatu kehormatan bagiku. Naskah itu sudah seperti "anakku" sendiri. Aku ikut merawatnya sejak naskah-naskah itu diproduksi di Mako.

Aku pernah menjadi kurir yang menghubungkan Pak Pram dengan tapol-tapol lain yang diajaknya berdiskusi lewat surat. Misalnya, Profesor Saleh Iskandar di Unit 5. Dari dialah Pak Pram mendapat referensi soal fakta-fakta sejarah. Aku juga pernah menemui Hersri Setiawan, Profesor Puradisastra, Sartono, juga Oey Hai Djoen.

Saran-saran dari mereka biasanya aku tulis. Esoknya saat bertemu Pak Pram, kuserahkan tulisan-tulisan itu. Pak Pram terbuka terhadap masukan mereka, memasukkannya sebagai tambahan dalam naskah-naskahnya. Sampai sekarang pun salinannya masih kusimpan rapi.

Aku juga yang menyediakan kertas untuk Pak Pram saat dia masih menulis dengan tangan. Bekas karung semen aku bersihkan dari debu maupun butir-butir semennya, lalu kupotong seukuran folio. Di atas kertas itu Pak Pram menuliskan Bumi Manusia, salah satu dari tetralogi Pulau Buru yang terkenal itu.

Penanya meminjam penjaga yang berhati baik, atau titip kepada tapol yang ke Namlea.

Naskah itulah yang dipercayakan Pak Pram padaku. Kondisinya masih ditulis tangan di atas kertas kecokelatan. Saat dipanggil satu per satu untuk apel di depan barak lalu digiring ke Mako, naskah itu kumasukkan ke dalam besek. Aku harus berhati-hati agar tak kena geledah barang bawaan sebelum pulang.

Besek berisi naskah Pak Pram kumasukkan lagi ke dalam tas plastik yang isinya perlengkapan makan. Sebelumnya, kututup naskah-naskah itu dengan cor semen. Dahulu, cor semen itu bekas penutup septic tank. Salinan naskah Pak Pram terkadang disembunyikan di bawahnya agar tersamar dan tidak kena geledah penjaga.

Naskah tua Pram, juga surat-surat dan harian nasional disimpan rapi oleh Oei Hiem Hwie, kawan Pram di Surabaya, dalam lemari kaca kedap udara. (CNNIndonesia/Rizky Sekar Afrisia)
Naskah yang Hilang

Pernah pada suatu malam yang apes, septic tank lupa ditutup dengan cor semen. Aku saat itu sedang sakit perut dan tidak membantu tapol lain mengetik naskah untuk digandakan. Biasanya, aku yang mendikte dan Paimin seorang tapol dari Tegal yang mengetiknya.

Tapi malam itu berbeda. Di tengah pengetikan, Wakil Komandan Unit masuk dan merampas naskah yang ada. Termasuk Arus Balik, Mata Pusaran, dan Arok Dedes. Paimin, aku, dan Pak Pram kena damprat. Aku pun dipindah kerja dari ladang di dekat Mako, jadi lebih jauh.

Pak Pram sempat marah padaku. Tapi bukan karena naskahnya dirampas. Dia marah justru karena kealpaanku membahayakan tapol lain.

Nasib naskah yang dirampas itu, entah bagaimana. Arus Balik dan Arok Dedes, tapol lain masih punya salinannya dan bisa diterbitkan. Sekarang pun masih bisa dibaca.

Arok Dedes, dititipkan Pak Pram ke seorang pastor yang punya hak untuk tidak digeledah. Naskah itu berhasil dibawa ke Jakarta dan diterbitkan. Tapi Mata Pusaran, entah dikemanakan oleh penjaga setelah dirampas.

Pernah suatu ketika, seorang Belanda menemukan naskah yang bercerita soal masa-masa menjelang jatuhnya Majapahit itu, di pasar rombeng. Tapi hanya sebagian. Dibelilah naskah itu, dibawa ke Pak Pram. Tapi Pak Pram tak bisa meneruskannya. Alhasil, Mata Pusaran pun tak pernah diterbitkan.

Kembali soal cor semen, balok itu juga berfungsi merekatkan kertas naskah Pak Pram setelah dilem sagu. Sekarang di tanganku, cor itu kembali menyamarkan naskah Pak Pram. Naskah dan cor yang beratnya minta ampun itu kubungkus dengan baju-baju kotorku.

Kertas ada di paling bawah. Atasnya cor semen, atasnya lagi rantang dan wadah gula.

Aku deg-degan saat melewati penjagaan. Untung bawaanku tidak digeledah. Naskah itu pun selamat. Selama dua tahun naskah itu kusimpan rapi setelah aku sampai di Malang, Jawa Timur, kota kelahiran yang sudah 13 tahun kutinggalkan sejak "diciduk" aparat.

Pada 1980, aku bertemu Pak Pram di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta. Pak Pram sendiri dibebaskan dari Pulau Buru pada 1979. Kuserahkan naskah itu padanya. Tapi Pak Pram berkata, "Jangan dibalikin. Kamu foto kopi saja, saya kamu kasih yang foto kopiannya."

Sampai sekarang, sudah 38 tahun naskah itu bersamaku. Masih kujaga di ruang kaca kedap udara bersama surat-menyuratku dengan Pak Pram sejak masih di unit masing-masing. Ada pula naskah asli Pak Pram tentang Ensiklopedi Citrawi Indonesia, tulis tangan dan ketikan.

Etalase kaca berkode Z itu tak pernah kubuka agar kualitas kertas tidak rusak terkena udara. Tahun ke tahun memang warnanya jadi kekuningan, bahkan kecokelatan. Tapi kumasukkan juga pengawet agar tahan lama.

Selain naskah asli itu, aku punya rak khusus untuk Pak Pram di Ruang Koleksi Khusus di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya yang kini kukelola. Tetralogi Buru yang kini sudah dicetak berulang-ulang, masih kusimpan edisi perdananya dengan tanda tangan Pak Pram.

Aku juga masih punya buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, yang berisi catatannya selama di Buru. Buku itu tak banyak beredar lagi sekarang. Naskah Di Atas Lumpur yang tak pernah diterbitkan pun, ada di tanganku.

Pak Pram memang telah meninggal 10 tahun lalu. Tapi karyanya masih abadi, naskahnya masih tersimpan rapi, selama masih ada yang mau mengenang dan mengurusnya. Aku banyak belajar dari naskah-naskah itu.

Seperti Pak Pram pernah berpesan padaku sewaktu di Buru, "Hwie, jangan banyak mikir, nanti kendat [bunuh diri]. Belajar saja."

Oh ya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku: Oei Hiem Hwie. Usiaku 81 tahun. Aku sekarang orang bebas.


http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430000324-241-127675/38-tahun-menjaga-kertas-semen-titipan-pramoedya/

Pesan dalam Sepatu: Kabar Pramoedya untuk Dunia

CNN Indonesia
Sabtu, 30/04/2016 11:35 WIB



BuruCNN Indonesia -- Menulis sudah jadi sumber penghidupan Pramoedya Ananta Toer sejak sebelum 1950. Ia akrab dengan pena, kertas, dan mesin ketik sejak bekerja untuk surat kabar Jepang di Jakarta. Pram mulai menerbitkan buku pada 1946, berjudul: Sepoeloeh Kepala Nica.

Kurun 1950 sampai 1960-an, lelaki yang kemudian menjadi sastrawan besar Indonesia asal Blora, Jawa Tengah, itu sangat produktif. Jika bukan kumpulan cerita pendek, ia menerbitkan novel semi fiksi yang sarat kritik atas kejadian masa itu.

Kedekatan Pram dengan penulis Tiongkok dan komunisme, ditambah kritik-kritik tajam dalam tulisannya, membuat Pram ditangkap pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Tanpa pernah diadili, hanya oleh popor senjata, 14 tahun Pram jadi tahanan politik.

Setelah berpindah-pindah penjara, Pram dibawa bersama tapol-tapol lain yang dicap berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia, ke Pulau Buru. Masuk antah berantah pada 1969, Pram baru mentas pada 1979. Perlakuan terhadapnya disamakan seperti tapol lain: diperintah untuk kerja keras.

"Salah kalau orang bilang Pak Pram enggak pernah kerja badan. Dia juga nebang kayu, bikin jalan," kata Oei Hiem Hwie, salah satu eks tapol yang dekat dengan Pram selama di Buru. Dalam buku memoarnya, Hwie juga menuliskan, Pram membuka lahan pertanian, menjadi tukang besi, sampai kerja di penggergajian hutan.

Tumiso, kawan dekat Pram sesama unit 3 yang bersamaan datangnya pada 1969, pun menuturkan hal serupa. Katanya, Pram bahkan sempat ikut membuat aliran sungai untuk mengairi unit.

"Dia dikasih tugas-tugas itu untuk menyetop pikiran," tutur Tumiso.

Pramoedya Ananta Toer ditangkap tanpa diadili akibat tulisan-tulisannya yang dianggap "kiri." (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)























Pada masa-masa awal di Buru, Pram dilarang menulis. Setelah bukunya dilarang terbit dan dibakar, kini "nyawa" sambungan Pram dalam hidup dicerabut begitu saja. Meski begitu, sembunyi-sembunyi ia masih menulis. Paling mungkin di atas kertas semen. Alat tulis didapat dari belas kasih.

Tumiso menyebut, adalah Rifai Abe, salah satu sosok yang berjasa mendorong Pram menulis. "Dia bilang, 'Pak Pram harus punya peninggalan,'" ujar Tumiso. Menurutnya, insting menulis Pram tak pernah padam. Hanya saja, ia butuh dorongan. Sedang selama di Buru ia kebanyakan kerja.

"Akhirnya dia diyakinkan untuk menulis. Dia sendiri tidak tahu karyanya akan sebesar itu," ujar Tumiso menyampaikan. Karya besar yang dimaksudnya, termasuk tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempatnya dihasilkan dari Buru dan jadi karya "ikonik" Pram.

Pesan dalam Sepatu

Keleluasaan Pram menulis datang sekitar 1970-an, saat Komandan Inrehab Pulau Buru dipegang oleh Kolonel C. Samsi. Pada 1972, Samsi membagi tapol menjadi dua kelompok, pertanian dan nonpertanian. Pram masuk kelompok nonpertanian. Karena berketrampilan, ia "dikarantina" di Markas Komando atau disingkat Mako.

Selain Samsi, yang membawa angin segar bagi kegiatan menulis Pram adalah kedatangan Jaksa Agung Jenderal Sugiharto yang membawa sejumlah wartawan dari dalam dan luar negeri. Sejak itu kedatangan tamu bertambah. Di antaranya dari Palang Merah Internasional.

Dunia internasional ingin tahu bagaimana pemerintah Indonesia memperlakukan tapol. Selama itu, pemerintah sembunyi-sembunyi soal perlakuan semena-mena mereka. Membawa tahanan ke Buru saja, kata Hwie, tidak dilakukan melalui perairan terbuka agar tak ketahuan.

"Perjalanan dari Nusakambangan ke Buru itu seminggu. Karena kapalnya lewat celah-celah perairan kecil. Sebab takut internasional tahu," ujar Hwie yang dibawa ke Buru bersama gelombang ke-dua pada 1970. Selisih setahun dari gelombang satu.

Tumiso menambahkan, soal memperlakukan tapol itu sebenarnya diatur dalam Perjanjian Jenewa dan Deklarasi Hak Asasi Manusia di bawah PBB pada 1965, yang ikut ditandatangani Indonesia. Tapol, lanjutnya, tak boleh disamakan dengan tahanan perang, apalagi kriminal. Jika itu dilanggar pemerintah Indonesia, dunia internasional akan ikut menekan.

"Kalau tapol diperlakukan semena-mena, Indonesia tidak akan dapat bantuan. Jadi ini [melonggarkan siksaan terhadap tahanan] bukan demi kepentingan tapol. Ini demi kepentingan Soeharto," kata Tumiso.

Tumiso, kawan akrab Pramoedya Ananta Toer semasa dibuang ke Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)























Perhatian internasional itu "dimanfaatkan" tapol. Saat PMI datang misalnya, yang jelas butuh tenaga untuk mengangkut barang, tapol akan berebut membantu. Tapi mereka juga punya "misi" khusus.

"Setiap ada tamu datang, kami layani, kami kasih surat di dalam sepatu," kata Tumiso bercerita. Ia sendiri pernah kebagian menyelipkan surat ke dalam sepatu PMI yang datang ke Buru. Memberi surat di dalam sepatu dipilih agar tak ketahuan. Hanya si pemilik sepatu yang merasakan dan menyadarinya.

"Kalau tidak cukup selembar surat, ditaruh di sepatu kiri dan kanan."

Yang ditulis, kata Tumiso, berdasarkan apa yang telah disepakati para tapol sebelumnya. Intinya menggambarkan kondisi mereka selama di Buru. Penulisan menggunakan bahasa Inggris. Setelah beberapa kali, nyatanya berhasil.

Dunia internasional yang tahu kondisi tapol sebenarnya, mulai menekan pemerintah Indonesia. Sugiharto mulai menekan para penjaga di Buru, terutama soal Pram, yang namanya sudah harum sampai ke mancanegara karena buku karyanya.

"Kamu tidak bisa memperlakukan manusia satu ini sama dengan yang lain," kata Tumiso menirukan ucapan Sugiharto. Ia sadar, konsumsi internasional perlu diperhitungkan.

"Sumbangan" Tapol di Naskah Pram

Sejak itulah Pram dibebaskan menulis di Mako. Meskipun, pengawasan terhadapnya masih sangat ketat. Tapi setidaknya ia sampai mendapat keistimewaan berupa kiriman mesin ketik dari penulis Prancis, Jean Paul Sartre. Sayangnya, mesin ketik itu tidak sampai ke tangan Pram.

"Mesin ketik yang itu diambil, Pak Pram malah dapat mesin ketik yang besar dan bobrok," Hwie mengatakan.

Beruntung, para tapol di Buru sangat cekatan. Mereka ahli di bidang masing-masing. Membetulkan mesin ketik yang sudah rusak itu perkara kecil. Begitu pula soal mencari kertas dan tinta, yang tidak termasuk disediakan oleh penjaga. Kalau pun tersedia, ada jatahnya.

Soal tinta pita mesin, kata Hwie, digunakanlah getah nila yang tersedia berlimpah. Soal kertas, Pram titip beli di Namlea. Dasipin, seorang tapol asal Batang berperan dalam hal itu. Saat itu ia termasuk kru perahu Gajah Mada yang bisa bolak-balik unit, Mako, dan Namlea.

"Pram di Mako itu seperti kantor sendiri," kata Dasipin, yang sampai saat ini masih bertahan di Pulau Buru. Setiap ia menyambangi Pram di "kantornya" itu, Dasipin selalu bertanya apa yang ia butuhkan untuk mengetik. Ia membelikan di Namlea.

"Dia jual ayam, minta dibelikan kertas," Dasipin melanjutkan. Saat itu, menitip kertas bisa terang-terangan di depan pejaga. Ia belikan sekaligus dengan karbonnya. Terkadang ia dapat lebih banyak kertas dari yang Pram ekspektasikan.

"Kok dapat segini banyaknya?" tanya Pram heran. Dasipin hanya menjawab sekenanya, "Sudah Pak, saya hanya melaksanakan yang diminta saja."

Tumiso, Hwie, dan Dasipin satu suara, kelebihan kertas dan kebutuhan lain Pram itu "sumbangan" tapol lain. Mereka melakukan apa pun untuk Pram. "Yang [mengurusi] pertanian, bagaimana caranya supaya Pram sehat. Mereka bawakan pisang, pepaya," Tumiso menyebutkan.

Dasipin (kiri) biasa membelikan Pramoedya Ananta Toer kertas di Namlea, ibu kota Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)























Bantuan tapol lainnya, Hwie menambahkan, saat Pram menulis Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer yang berkisah tentang banyaknya jugun ianfu di Pulau Buru. Jugun ianfu merupakan sebutan Pram untuk perempuan Jawa yang dibawa tentara untuk dijadikan pemuas hasrat seksual para tentara Jepang.

"Kawan-kawan, di sela-sela kerja di hutan, berusaha melakukan penyelidikan dengan mendatangi para bekas jugun ianfu yang banyak bergabung dengan penduduk asli pulau Buru," Hwie mengatakan.

Bahkan ada asisten pembina mental dan tentara yang bersimpati padanya. Mulai memberinya pena untuk menulis, sedikit kebebasan kunjungan, sampai mesin ketik untuk menggandakan naskah. Yang membantu menggandakan termasuk Hwie sang pendikte dan Paimin tapol asal Tegal yang mengetik. Ada pula yang berjaga.

Tapol yang intelektual, membantu Pram lewat sumbangan pemikiran. Mereka saling bertukar surat. Hwie yang terkadang menjadi penghubung. Beberapa orang yang pernah ditemuinya Profesor Saleh Iskandar, Hersri Setiawan, Profesor Puradisastra, Sartono, dan Oey Hai Djoen. Mereka memberi masukan pada tulisan-tulisan Pram lewat Hwie.

Tumiso membeberkan lebih lanjut soal bantual intelektual itu. "Menurut cerita awal, Trunodongso yang di pabrik gula tidak seperti itu," kata Tumiso. Trunodongso yang ia maksud adalah petani Jawa, seorang rakyat jelata dalam Tetralogi Pulau Buru.

Tumiso pernah terlibat aksi, sedang Pram tidak. Menurutnya, aksi itu terorganisasi dengan baik. Tumiso lantas memberi masukan agar cerita Pram lebih "nyata." Masukan lain dari tapol yang berbeda lagi, antara lain soal pengadilan putih, revolusi Tiongkok, bahkan Nyai Ontosoroh.

"Di Arok Dedes juga ada. Tingkatan jabatan, yang tahu ya orang Hindu. Mereka memberi masukan," ujar Tumiso lagi. Masukan terkadang disampaikan secara lisan, pernah pula dengan tertulis. Itulah kenapa Pram menyebarkan naskahnya pada tapol.

Para tapol dengan senang hati membantu karena merasa suara Pram adalah juga aspirasi mereka. "Kalau kita ngomong siapa yang dengar. Kalau Pak Pram bicara, seluruh dunia tahu," ujar Tumiso membandingkan.

Berakhir di Kandang Sapi

Dengan berbagai "bala bantuan" itu Pram menggodok ide di sebuah ruang 2x 2 meter di Mako. "Gubuk" Pram itu terpisah dari barak dan keriuhan lainnya, lebih dekat ke ruangan komandan. Dengan demikian, ia lebih terkontrol dan kerjanya dikhususkan hanya menulis saja.

Kata Hwie, yang pernah menyambangi Pram di Mako bahkan berfoto, di ruangan itu hanya ada satu dipan, kasur, dan meja dengan mesin ketik besar. Pada masa-masa awal Pram di Mako, ada beberapa tapol lain yang mengunjunginya. Namun, mereka takut-takut karena bakal dimarahi.

Pram sendiri pernah kena marah saat ia berkunjung ke tapol di unit lain, padahal dirinya ditempatkan di Mako.

Demikianlah, meski terkesan diistimewakan, Pram tetap ditekan, menurut Hwie. Ia pun tak diberi akses terhadap referensi. Baru belakangan ia akhirnya boleh dikunjungi. Tapol lain dan media asing masuk ke ruangannya, berinteraksi dengan bebas, santai.

"Tapi cuma satu atau dua orang, kalau banyak-banyak tidak boleh," lanjut Dasipin menerangkan.

Terkadang, Pram masih bisa berjalan-jalan ke hutan di sekitar Mako. Sepulang dari situ, kata Dasipin, ia biasanya dapat inspirasi dan dituliskan ke dalam naskah. Tumiso menuturkan, salah satu inspirasi Pram yang nyata dari Buru, selain soal jugun ianfu, adalah kayu nani. Tapol yang menemukan kayu itu.

"Cerita Arus Balik jadi sempurna setelah Pak Pram dapat kabar soal kayu nani," kata Tumiso. Itu sebuah kayu berat dan keras yang bahkan tak mempan ditusuk oleh paku. "Dijadikan papan enggak bisa, dijadikan tonggak pun enggak bisa," tutur Tumiso.

Kayu itu "dijadikan" Pram sebagai lunas atau dasar kapal armada Majapahit saat berkeliling tujuh samudra dalam buku Arus Balik. Kapal itu berangkat dari Majapahit ke Malagasi, Tumasik atau Singapura, sampai ke Bangbang Wetan.

"Nah ini, perahu Majapahit itu dari kayu ini," Tumiso menirukan Pram setelah ia mendengar cerita dari seorang tapol tentang kayu super yang ditemukannya di lautan. Kayu itu hingga kini masih banyak ditemui di Pulau Buru Selatan.


Tempat Pramoedya Ananta Toer biasa menulis di Markas Komando, kini menjadi kandang sapi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

























Berbeda dengan ide-ide tentang Buru yang masih melekat pada karya-karya Pram, jejak langkahnya di pulau itu justru telah memudar. Ruang khusus tempatnya menulis saja, kini sudah hampir tak ketahuan di mana. Beruntung Dasipin masih ingat betul lokasinya.

Tempat Pram menghasilkan karya-karya yang mendunia itu kini tersembunyi di belakang pasar Mako yang hanya buka pada hari-hari tertentu. Tidak ada bangunan mencolok apa pun sebagai penanda. Hanya segaris rumah dengan kamar-kamar petak. Sisanya rerumputan.

Padahal, pasar Mako sendiri cukup ramai saat harinya buka. Mako menjadi pusat "peradaban" di kawasan unit yang jauh dari ibu kota Buru, Namlea. Banyak pertokoan dan warung makan.

Tapi bekas kamar Pram tak ada lagi bangunan. Gantinya adalah rerumputan liar yang tumbuh tinggi. Tanahnya becek, bercampur dengan kotoran sapi yang sering mengunyah makanan di situ. Tepinya ada pagar dan kawat pembatas.

Tempat itu sangat sepi, hampir tak ada orang mengunjungi. Satu-satunya peninggalan hanya cor semen seperti fondasi tiang bendera. Kata Tumiso, dahulu di situ adalah tempat menuliskan nama-nama komandan Mako.

Jangankan kamar Pram. Bangunan Mako saja sudah tak ada sisa. "Semua dibongkar tahun 1979, waktu transmigran mau masuk. Aula 20 x 30 meter tempat pertemuan tamu-tamu termasuk dari asing pun dibongkar. Tempat Pak Pram menulis jadi kandang sapi," kata Dasipin menerangkan.

Untungnya Pram terus menulis, sehingga seperti yang dikatakan Minke tokohnya dalam tetralogi, "Suaranya akan abadi, takkan pernah hilang ditelan angin sampai jauh di kemudian hari." Suara Pram tidak berakhir di kandang sapi seperti ruangan yang dahulu pernah memenjarakan ide-idenya.

Pulau Buru pernah menjadi bagian dari Pramoedya Ananta Toer. Demi mencari jejak-jejak Pram di Pulau Buru, CNNIndonesia.com melakukan lawatan ke tanah yang pernah ditinggali Pram selama 10 tahun itu.

Tulisan ini diterbitkan sebagai salah satu cara mengenang Pram yang tepat hari ini, Sabtu (30/4) telah 10 tahun berpulang. Meski begitu, suara Pram masih abadi selama karya-karyanya masih ada.



http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160430002028-241-127685/pesan-dalam-sepatu-kabar-pramoedya-untuk-dunia/

Berdamai dengan Masa Lalu

Sabtu, 30 April 2016 10:57

BEDAH TRAGEDI 1965: Simposium membedah tragedi 1965, di Hotel Arya Duta, Jakarta.

Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” digelar di Jakarta, 19 April, pekan lalu. Tantangan terlontar, bagaimana semua pihak bisa melepaskan masa lalunya. 
REKONSILIASI menjadi dasar untuk dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat tahun 1965. Namun, rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri. Semua pihak harus berdamai dengan masa lalu. Banyak yang mengatakan masa lalu sebaiknya dilupakan, dan masa lalu itu akan berlalu. Tapi ada beberapa beban masa lalu yang akan terus diwariskan. 
“Kita bukan bangsa beradab jika takut menghadapi masa lalu,” kata Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, ketua panitia pengarah simposium.
Tantangannya, kata Agus, adalah bagaimana semua pihak bisa melepaskan masa lalunya. Sudahkan secara individu bisa berdamai dengan diri sendiri? “Kalau masih berkutat menuntut keadilan, kita tanpa sadar akan masuk ke dalam pembuktian pengadilan,” katanya.
Menurut Agus konsep rekonsiliasi yang terpenting bukan penyelesaian antarindividu. Rekonsiliasi harus diletakkan pada bingkai kebangsaan. Dia berharap semua pihak tidak takut rekonsiliasi akan menghilangkan hak-hak pihak tertentu. Semua harus sepakat mitos korban bahwa negara bisa berlaku seenaknya pada warganya harus segera ditinggalkan.
“Semua yang dituntut oleh semua komponen dapat selesai dengan rekonsiliasi. Tidak ada hak yang hilang,” tegasnya. 
Agus optimistis tragedi 1965 tak akan terjadi lagi di negara ini selama Indonesia tetap memakai sistem pemerintahan yang demokratis. 
“Sebelumnya ‘kan kita menganut kultur kekuasaan absolut,” ungkapnya.
Koordinator Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Kemala Candrakirana memaparkan bahwa selama 40 tahun dari 1965 hingga 2005 terkumpul 1.300 kasus kekerasan yang melibatkan 3.150 korban. Data itu didapatkan dengan mendengar kesaksian melibatkan korban dan majelis warga di ruang publik dari Aceh sampai Papua.
Bentuk-bentuk penganiyaan beragam, mulai dari pembasmian, kekerasan dalam merampas aset, penyeragaman dan pengendalian kekerasan antarwarga, serta kekerasan terhadap perempuan. 
“Impunitas terhadap pelanggaran HAM berat 1965-1966 telah memungkinkan terus terjadinya pelanggaran berat selama 40 tahun terakhir di Indonesia,” ujar Kemala.
Sementara itu, Komnas HAM telah mengumpulkan berkas setebal 2000 lembar yang membuktikan terjadinya kejahatan HAM pada 1966-1966 dan dampak sesudahnya terhadap penyintas. 
“Itu adalah holocaust yang dilakukan oleh negara,” kata pegiat HAM, Harry Wibowo.
Kemala menegaskan proses rekonsiliasi akan tercapai sebagai dampak dari proses penyelesaian. Untuk mencapai proses penyelesaian, KKPK telah menyusun enam pilar yang disebut Satya Pilar.
Satya pilar adalah dasar kerja bersama untuk penyelesaian. Sejauh ini, Kemala menilai langkah yang dilakukan masih parsial. Usaha menuju penyelesaian belum dilaksanakan dalam satu kesatuan. “Satya Pilar tidak ada jalan tunggal. Ini adalah penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum,” ujar dia.
Pilar tersebut antara lain pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Upaya ini menurut Kemala telah ada di lingkungan masyarakat. Namun, pilar ini juga dibutuhkan pengakuan dari negara. Kemudian, menurutnya perlu ada upaya khusus lewat pemulihan. Dalam hal ini bukan soal proses hukum. Namun kebijakan sosial, seperti soal kesehatan maupun perlindungan sosial.
“Ada peran baik sektor pemerintahan nasional dan daerah. Kemudian ada dialog publik menuju rekonsiliasi yang selayaknya terjadi di semua ranah karena realitas pengalamannya beda-beda,” kata Kemala.
Ia optimis bangsa Indonesia bisa mencapai harapan menuju rekonsiliasi. Sebab, berbagai pihak sudah mulai terbuka dengan isu 1965. Ini juga terlihat dari komunitas keagamaan. Beberapa guru pun mulai menggunakan bahan ajar yang independen dan tidak menutup diri pada kisah tragedi 1965.
Harry Wibowo sepakat bahwa rekonsiliasi adalah dampak dari pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Dia mengajukan empat pilar demi meraih tujuan rekonsiliasi, yaitu hak korban untuk mengetahui kebenaran, keadilan, pemulihan, juga jaminan tidak akan berulangnya kejahatan yang sama.
Menurut Harry, dalam proses mencapai rekonsiliasi, perlu dibentuk service crime unit, seperti yang dilakukan dalam pengentasan kasus HAM di Timor Timor. Lembaga yang dimaksud semacam komisi pengungkapan kebenaran yang bisa menyeret pelaku kejahatan ke meja pengadilan.
Hal senada disampaikan Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum dari Universitas Indonesia. Menurutnya diperlukan komisi khusus untuk menangani rekonsiliasi 1965 tanpa mengganggu transformasi politik yang sedang berlangsung. 
“Komisi itu harus independen, tanpa kontrol pemerintah dalam investigasi dan menghasilkan rekomendasi,” katanya.
Ifdhal Kasim, mantan Komisioner Komnas HAM menyatakan pentingnya merawat ingatan mengenai peristiwa 1965. Khususnya, adanya pelanggaran berat HAM memberikan kewajiban pada negara untuk mengingat peristiwa itu. 
“Tidak menghancurkan dokumen atau situs-situs yang bisa membangkitkan ingatan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ifdhal memaparkan tujuan merawat ingatan bukanlah untuk membalas dendam. Justru dengan memori diharapkan bisa mencegah peristiwa yang sama tidak terulang. “Jadi memori ini sebagai upaya pemulihan,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya para penyintas bisa mendapatkan hak-haknya di antaranya restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan memberikan kepuasan pada para korban atau penyintas yang menderita. “Selain empat itu, tentu mencegah peristiwa tidak berulang,” ungkap Ifdhal.
Yang terpenting menurutnya negara harus mengambilalih persoalan ini. Negara tidak seharusnya membiarkan hal ini hanya menjadi upaya yang hanya dilakukan oleh masyarakat. Dia menilai negara sebenarnya sudah dibantu masyarakat untuk mengingat. Pun juga untuk mencegah benturan lebih keras di masyarakat.
Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden merasa tragedi 1965 sebagai beban bahkan utang sejarah yang harus dilunasi oleh generasi sekarang. Jangan diwariskan kepada generasi yang akan datang. 
Sidarto menguraikan, tragedi 1965 telah menyebabkan adanya korban pahlawan revolusi beserta keluarganya. Lebih jauh tragedi ini telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah besar, belasan ribu orang dibuang, dipenjarakan, disiksa, tanpa proses pengadilan atau diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, tetapi langsung mengalami penahanan dalam jangka waktu yang lama yang dikenal dengan istilah tahanan politik.
“Tidak hanya perampasan hak dasar sebagai warga negara yang dialami oleh para tahanan politik dalam bentuk penahanan tanpa pengadilan, tapi perampasan hak dasar terjadi bagi warga negara yang diindikasikan sebagai eks anggota PKI,” ujarnya.
Menurutnya menjadi kewajiban seluruh bangsa untuk untuk menyembuhkan luka bangsa dan mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks kemanusiaan yang beradab.
Sidarto juga menekankan pentingnya perawatan ingatan yang seimbang dan objektif tentang tragedi 1965 demi memelihara kesadaran dan identitas sebagai bangsa Indonesia. (NET/JID)
Sumber: Prokal Weekly 

Jumat, 29 April 2016

Setara : Dukung Ikhtiar Presiden Ungkap Kebenaran 1965

Jumat, 29 April 2016 

Presiden RI, Joko Widodo

JAKARTA- Perintah Presien Joko Widodo kepada Menkopolhukam, Luhut B Panjaitan untuk mencari kuburan massal korban genosida 65, merupakan respons Presiden Joko Widodo atas pernyataan Luhut sebelumnya yang mendahului Joko Widodo dengan menyatakan bahwa negara tidak akan pernah meminta maaf sekaligus menyangkal adanya kuburan massal serta ribuan korban dalam peristiwa 65. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setera Institute, Hendardi kepada Bergelora.com, di Jakarta, Jumat (29/4)

“Perintah Jokowi harus dimaknai sebagai ikhtiar presiden untuk memulai kerja pengungkapan kebenaran atas peristiwa itu sekaligus kritik keras kepada Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Menkopolhukam, yang tidak pernah menyajikan data kepada Presiden Jokowi, padahal data itu tersebar di banyak tempat. Upaya mencari data adalah tugas negara/pemerintah,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah harus segera menyusun langkah sehingga data dari berbagai sumber bisa dihimpun, divalidasi, dan menghasilkan rekomendasi strategis.

“Setelah proses pengungkapan kebenaran dilakukan barulah pemerintah menetapkan langkah pemulihan korban, penyelesaian berkeadilan dan memperkuat kebijakan pencegahan atas peristiwa serupa di masa yang akan datang,” jelasnya.

Ia mengingatkan, proses pengungkapan kebenaran haruslah dilakukan oleh komite/komisi yang independen dan bertanggung jawab kepada presiden serta memastikan adanya mekanisme partisipatif dari berbagai pihak terutama korban dan keluarga korban.


Menkopolhukam Siap Gali

Sebelumnya, Menkopolhukam dalam akun facebooknya menyatakan bahwa dirinya siap untuk pergi menggali kuburan-kuburan massal 1965  jika ada yang sudah siap untuk menunjukkan lokasinya.

“Dengan ini saya menyampaikan kepada publik bahwa saya siap untuk bersama-sama pergi menggali kuburan massal korban peristiwa 1965, jika ada yang dapat menunjukkan di mana lokasinya. Saya ingin menyelesaikan persoalan ini karena sudah berpuluh-puluh tahun diberitakan terdapat ratusan ribu bahkan jutaan korban akibat peristiwa 1965,” tegasnya beberapa waktu lalu.

Ia juga menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo memerintahkan dirinya untuk mencari dan membongkar kuburan-kuburan tersebut sehingga permasalahan dapat dituntaskan.

“Saya melaporkan niat ini kepada Presiden ketika pagi tadi saya dipanggil ke Istana Negara. Beliau memerintahkan saya untuk mencari dan membongkar kuburan tersebut sehingga permasalahan dapat dituntaskan. Jika ada yang bersalah, maka akan diselesaikan secara yudisial,” ujarnya.
Selain itu Luhut Panjaiatan juga melaporkan kepada Presiden beberapa perkembangan terakhir sebelum bertolak ke Tiongkok untuk membicarakan kerja sama keamanan antar dua negara.

“Saya juga melaporkan kepada Presiden mengenai pembentukan crisis center, perkembangan penanganan masalah HAM di Papua, Simposium G30S PKI, South China Sea, dan pemberitaan yang mengaitkan nama saya dengan Panama Papers,” ujarnya. (Enrico N. Abdielli)
 
http://www.bergelora.com/nasional/politik-indonesia/3300-setara-dukung-ikhtiar-presiden-ungkap-kebenaran-1965.html

Penyintas: Sudah Banyak Orang Tahu Kuburan Massal Korban 1965

Jumat, 29 April 2016 | 22:18 WIB

 13 keluarga korban pelanggaran berat HAM masa lalu mendatangi halaman depan gedung Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan RI, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (31/3/2016). Mereka membawa potongan papan berbentuk huruf yang jika digabungkan akan membentuk kalimat #MasihIngat. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap keputusan Pemerintah yang akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu melalui proses rekonsiliasi.  Foto: Kristian Erdianto

JAKARTA, KOMPAS.com — Sastrawan Putu Oka Sukanta mengatakan, masyarakat sudah banyak yang mengetahui adanya kuburan massal peristiwa tragedi 1965. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tidak terlalu sulit mencari kuburan itu.

"Sudah diungkapkan di Wonosobo dan di film Mass Grave. Kalau tanya masyarakat di Bali, masyarakat tahu dan bisa tunjukkan. Di desa di Kupang, orang juga tahu semua," kata Putu saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Jumat (29/4/2016).

Putu menanggapi rencana Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan RI Luhut Binsar Pandjaitan untuk melihat kuburan massal korban tragedi 1965 sebagai bukti menuju rekonsiliasi.

Dia mengapresiasi pemerintahan Joko Widodo dalam upaya membuka jalan terang Tragedi 1965. Dia pun menyambut baik kabar bahwa Presiden Joko Widodo memiliki tim yang ingin mengundang semua pihak yang terlibat.

Walau demikian, Putu, yang juga penyintas tragedi 1965-1966 ini, khawatir terhadap orang yang ditunjuk pemerintah untuk membuktikan kuburan massal tragedi berdarah itu. Dia ragu, orang yang dipercaya itu justru tidak paham soal tragedi itu.

"Kalau yang ditunjuk oleh pemerintah untuk pembuktian kuburan massal adalah orang yang tidak paham seluk-beluk wilayah dan peristiwa yang terjadi waktu itu, tentu akan tidak berhasil," ucap Putu.

Putu menyarankan kepada pemerintah untuk memilih orang yang tahu duduk perkara tragedi 1965, baik dari pelaku maupun penyintas. Selain itu, penelusuran dapat melalui film dan hasil penelitian.

Penulis: Lutfy Mairizal Putra
Editor : Sabrina Asril
 
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/22185061/Penyintas.Sudah.Banyak.Orang.Tahu.Kuburan.Massal.Korban.1965?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Komnas HAM dan Kejagung Dituding Sembunyikan Data Kuburan Massal Korban 1965

Jumat, 29 April 2016 | 22:09 WIB

KOMPAS.com/NABILLA TASHANDRA Kerua Setara Institute Hendardi di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2016)

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.
Menurut Ketua Setara Institute Hendardi, perintah tersebut bisa dimaknai sebagai ikhtiar presiden untuk memulai kerja pengungkapan kebenaran.

Namun, dia juga memandang hal itu sekaligus menjadi kritik keras kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bahwa selama ini dua institusi negara tersebut tidak pernah menyajikan data mengenai kuburan massal korban 1965 kepada Presiden.

"Perintah itu seharusnya juga dilihat sebagai kritik kepada Komnas HAM dan Jaksa Agung. Padahal data itu ada dan tersebar di banyak tempat," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Jumat (29/4/2016).

Lebih lanjut, ia mengatakan, seharusnya pemerintah tidak perlu meminta pihak lain di luar pemerintah untuk menunjukkan data-data mengenai keberadaan kuburan massal.

Menurut Hendardi, upaya mencari dan memastikan adanya kuburan massal merupakan kewajiban pemerintah sekaligus menunjukkan keseriusan mereka dalam proses pengungkapan kebenaran.

Selain itu, Hendardi meminta Pemerintah segera menyusun langkah-langkah konkret sehingga data dari berbagai sumber bisa dihimpun, divalidasi, dan menghasilkan rekomendasi strategis.

Pasalnya, beberapa organisasi masyarakat sipil sudah menyatakan siap untuk menyerahkan data-data valid terkait kuburan massal korban Tragedi 1965.
"Upaya mencari data itu merupakan kewajiban Pemerintah," ungkap dia.

Pada kesempatan berbeda, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar mengungkap rasa herannya atas pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan bahwa pemerintah belum pernah menerima data mengenai lokasi kuburan massal korban Tragedi 1965.
Padahal, menurut Haris, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah pernah melakukan penyelidikan terkait Tragedi 1965.

Dalam hasil penyelidikan itu dinyatakan pada tahun 1965 telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dan meluas serta menimbulkan jumlah korban yang massif.

Oleh karena itu, Haris mendesak Komnas HAM untuk mengungkap fakta atau temuan terkait lokasi kuburan massal dan menyerahkannya ke Pemerintah.

"Kenapa Komnas HAM diam saja soal ini? Seharusnya mereka membuka data-data terkait kuburan massal yang pernah mereka selidiki," ujar Haris saat dihubungi, Selasa (26/4/2016).

Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Roichatul Aswidah mengakui bahwa memang benar telah terjadi pembunuhan massal sekitar tahun 1965-1966 dan menyisakan beberapa titik lokasi kuburan massal di beberapa daerah seluruh Indonesia.

Menurut penuturan Roichatul, data-data mengenai kuburan massal tersebut telah tercantum dalam berkas hasil penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang berat tahun 1965-1966.

Proses penyelidikan telah dirampungkan oleh Komnas HAM pada tahun 2012 dan berkasnya pun sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan Penyidikan.

"Kalau soal kuburan massal kami sudah pernah mencantumkan hal itu dalam berkas penyelidikan. Berkasnya pun sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Prosesnya masih berhenti di sana," ujar Roichatul saat dihubungi Kompas.com, Selasa malam (26/4/2016).
Penulis: Kristian Erdianto
Editor : Sabrina Asril

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/22092271/Komnas.HAM.dan.Kejagung.Dituding.Sembunyikan.Data.Kuburan.Massal.Korban.1965