Kamis, 21 April 2016

'Ini Kami Masih di Buru'

Suriyanto , CNN Indonesia
Kamis, 21/04/2016 11:01 WIB




Tak semua tahanan politik di Pulau Buru kembali ke daerah asalnya setelah dibebaskan pada 1979. Puluhan tahanan politik memilih melanjutkan hidup di pulau pengasingan mereka itu.

CNNIndonesia.com, awal Maret lalu, menemui beberapa dari mereka yang hidup, mencari makan dan beranak pinak di Buru. Status mereka berubah, dari tahanan politik menjadi transmigran.

Dulu mereka yang menyulap Pulau Buru dari hutan belantara menjadi lahan produktif pertanian. Setelah bebas, mereka yang memilih bertahan juga berperan membangun Buru menjadi daerah maju.

Para tapol kini tak muda lagi, namun semangat masih terpancar di mata mereka saat diminta bercerita kembali kisah mereka dulu.

Gatot dan Surabaya Kedua di Buru

Gatot Parsono tengah mencincang genjer saat ditemui di rumahnya di Desa Savana Jaya, Waeapo, Pulau Buru. Ia segera berganti pakaian untuk menghormati kami yang jauh-jauh datang untuk menemuinya.

"Begini aktivitas saya sehari-hari, sudah tua, mengurus ternak dan melihat sawah," katanya sambil mengancingkan kemejanya. Tanaman genjer yang dicincangnya akan diberikan pada bebek yang diternaknya di pekarangan belakang.

Gatot adalah satu dari puluhan tahanan politik Pulau Buru yang memilih menetap di sana. Surat bebas memang sudah ia kantongi. Namun menetap di pulau di mana ia pernah diasingkan jadi pilihan hidupnya. 

Saya juga ingin melanjutkan rencana lama bersama kawan-kawan menjadikan Buru sebagai Surabaya keduaGatot Parsono (Eks Tapol Pulau Buru)


Gatot ditangkap karena tuduhan terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Padahal ia sehari-hari cuma bekerja di Dinas Pekerjaan Umum di Mojokerto.

Ia termasuk kelompok pertama yang tiba di Buru. Keahlianya sebagai mekanik mesin jadi keuntungan tersendiri baginya. Jika pada tapol lainnya dikirim ke unit-unit yang ada untuk membuka hutan menjadi lahan pertanian, Gatot lebih banyak berada di Markas Komando. Bukan cuma mengurusi mesin mobil atau kapal yang rusak, tentara juga meminta gatot membuat kapal sekoci.

1979, Gatot dinyatakan bebas. Pria asal Surabaya menunjukkan surat keterangan bebas yang diterimanya. Surat tersebut sudah lusuh. Bekas lipatannya bahkan sudah terkoyak di beberapa bagian.

Gatot Parsono menunjukan surat keterangan bebas tapol miliknya. Desa Savana Jaya, Pulau Buru. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Surat "sakti" itu terus disimpannya. "Takut sewaktu-waktu diperlukan," ujarnya.

Namun ia tak lama di Surabaya. Ia memutuskan kembali ke Buru dan melanjutkan hidup di pulau pengasingan itu. Cap PKI diakuinya cukup mengganggu. “Susah hidup di sana (Surabaya), saya kembali ke sini biar tidak mengganggu ketenangan keluarga,” kata Gatot. Selain itu, di Buru Gatot merasa ada banyak kesempatan untuk mencari makan.

"Saya juga ingin melanjutkan rencana lama bersama kawan-kawan menjadikan Buru sebagai Surabaya kedua," katanya.

Kembali ke Buru status Gatot adalah transmigran swakarsa. Sebagai transmigran, ia berhak mendapatkan satu unit rumah dan pekarangan seluas 1/5 hektare, kebun 3/4 hektare, dan sawah 1 hektare.

Selain mengurusi lahan pertanian, Gatot juga mencoba membuka bengkel mesin kapal di Namlea, daerah paling ramai di Buru.

Ia selanjutnya ikut kerja di proyek konstruksi. Sebagai daerah yang tengah berkembang, di Buru memang banyak terdapat proyek konstruksi seperti bangunan dan jembatan. Gatot menunjukkan beberapa proyek konstruksi yang pernah ia ikuti. Salah satu proyek yang ia kerjakan adalah pembangunan komplek Pusat Pemerintahan Kabupaten Buru di Namlea.

Gatot mengaku tenang di usia senjanya. Baginya, status tapol adalah masa lalu. Masyarakat sekitar juga sudah tak mempermasalahkannya. "Interaksi biasa saja, tak ada bedanya dengan warga yang bukan tapol," katanya.

Bahkan Gatot merupakan salah satu tokoh di Desa Savana Jaya. Beberapa warga Pulau Buru meski dari desa berbeda, kenal siapa Gatot Parsono.




Rusman Si Penguping Radio Gelap

Rusman Si Penguping Radio Gelap
Tergopoh-gopoh Rusman menyandarkan sepeda ontel yang dikayuhnya dari ladang. Ia mengaku kaget saat melihat beberapa orang berkerumun di depan rumahnya sore itu. Satu orang dikenalnya di antara beberapa orang itu yang tak lain kawan lamanya.

“Bung Tumiso, apa kabar?” segera ia memeluk tamunya itu. Setengah tak percaya, ia tepuk pundak kawan lamanya itu, Lukas Tumiso yang datang dari jauh untuk menemuinya. Keduanya merupakan bekas tahanan politik yang diasingkan di Pulau Buru dan tinggal di satu unit tahanan, Unit III. Keduanya langsung mengenang masa lalu.

Tumiso lalu memperlihatkan foto-foto yang dijepret saat menjadi tapol sambil menyebutkan satu persatu orang yang ada di dalam foto itu. Ada yang sudah mati, namun ada pula yang masih hidup hingga kini.

Tumiso lantas menceritakan bahwa Rusman adalah sosok penting di Unit III dulu. “Dia adalah orang kepercayaan Pak Oey Hay Djoen,” kata Tumiso.

Oey Hay Djoen adalah petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan pernah menjadi anggota DPR perwakilan dari Partai Komunis Indonesia. Di Buru, Oey ditandai tentara dengan nomor tahanan 001.

Salah satu tugas penting yang dipercayakan pada Rusman adalah mendengarkan radio di dalam hutan. Di Buru saat itu, kata Rusman, akses informasi sama sekali dipotong.

Media massa seperti koran, radio, dan televisi jadi barang haram.

“Informasi adalah harapan, kalau tidak punya informasi, kami sama saja tak punya apa-apa,” kata Rusman. Radio diperoleh dengan cara diselundupkan. Radio didapat atas bantuan tapol yang berasal dari Ambon dan wanita pribumi yang kelak menjadi istri Rusman.

Pada malam-malam tertentu, Rusman diminta Oey pergi ke tengah hutan mendengarkan radio itu. Targetnya adalah siaran dari radio Peking dan Australia.

Salah satu informasi penting yang didapat dari Peking adalah pidato Ketua Partai Komunis China saat itu Mau Tse Tung. 

“Ketua Mao saat itu menyebut teori negara tiga dunia,” kata Rusman.

Saat itu Mao sudah menyebut bahwa negara dunia pertama yakni Amerika dan Uni Soviet, negara dunia kedua adalah Inggris, Eropa barat dan Eropa timur serta negara dunia ketiga adalah negara-negara berkembang.

Sementara informasi dari radio Australia menyiarkan kebobrokan rezim Soeharto membuat rakyat benci. Selain itu ada berita soal rencana pembebasan tahanan politik karena tekanan dari luar negeri. 

“IGGI (kelompok negara donor) akan menyetop bantuan kalau tapol tidak dibebaskan,” kata Rusman.

Informasi penting ini yang kemudian disebarkan Rusman dari mulut ke mulut agar keberadaan radio itu tidak diketahui tentara.

Rusmah mengaku tak takut mengemban tugas mendengarkan radio itu meski nyawa harus dipertaruhkan. Pernah suatu hari ia harus hampir saja terpergok tentara yang tengah berburu.

Sambil memegangi radio, ia merayap di antara ilalang sampai bertemu sebuah gubuk di tepi kali dan bersembunyi di sana.

Rusman kini menghabiskan masa tuanya di Buru. Sebelum bebas, ia memang sudah menikahi gadis asli Buru.

“Setelah menikah, saya tak ada keinginan pulang ke Garut,” kata bekas anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesai (CGMI) ini.

Lebih dari 40 tahun mendiami Buru, logat Sunda Rusman kini sudah hilang, berganti dengan logat Maluku. Meski begitu, ia masih fasih berbahasa Sunda dan masih rutin pulang kampung saban tahun.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160420105802-20-125201/ini-kami-masih-di-buru/

0 komentar:

Posting Komentar