Sabtu, 30 April 2016

Berdamai dengan Masa Lalu

Sabtu, 30 April 2016 10:57

BEDAH TRAGEDI 1965: Simposium membedah tragedi 1965, di Hotel Arya Duta, Jakarta.

Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” digelar di Jakarta, 19 April, pekan lalu. Tantangan terlontar, bagaimana semua pihak bisa melepaskan masa lalunya. 
REKONSILIASI menjadi dasar untuk dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat tahun 1965. Namun, rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri. Semua pihak harus berdamai dengan masa lalu. Banyak yang mengatakan masa lalu sebaiknya dilupakan, dan masa lalu itu akan berlalu. Tapi ada beberapa beban masa lalu yang akan terus diwariskan. 
“Kita bukan bangsa beradab jika takut menghadapi masa lalu,” kata Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, ketua panitia pengarah simposium.
Tantangannya, kata Agus, adalah bagaimana semua pihak bisa melepaskan masa lalunya. Sudahkan secara individu bisa berdamai dengan diri sendiri? “Kalau masih berkutat menuntut keadilan, kita tanpa sadar akan masuk ke dalam pembuktian pengadilan,” katanya.
Menurut Agus konsep rekonsiliasi yang terpenting bukan penyelesaian antarindividu. Rekonsiliasi harus diletakkan pada bingkai kebangsaan. Dia berharap semua pihak tidak takut rekonsiliasi akan menghilangkan hak-hak pihak tertentu. Semua harus sepakat mitos korban bahwa negara bisa berlaku seenaknya pada warganya harus segera ditinggalkan.
“Semua yang dituntut oleh semua komponen dapat selesai dengan rekonsiliasi. Tidak ada hak yang hilang,” tegasnya. 
Agus optimistis tragedi 1965 tak akan terjadi lagi di negara ini selama Indonesia tetap memakai sistem pemerintahan yang demokratis. 
“Sebelumnya ‘kan kita menganut kultur kekuasaan absolut,” ungkapnya.
Koordinator Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Kemala Candrakirana memaparkan bahwa selama 40 tahun dari 1965 hingga 2005 terkumpul 1.300 kasus kekerasan yang melibatkan 3.150 korban. Data itu didapatkan dengan mendengar kesaksian melibatkan korban dan majelis warga di ruang publik dari Aceh sampai Papua.
Bentuk-bentuk penganiyaan beragam, mulai dari pembasmian, kekerasan dalam merampas aset, penyeragaman dan pengendalian kekerasan antarwarga, serta kekerasan terhadap perempuan. 
“Impunitas terhadap pelanggaran HAM berat 1965-1966 telah memungkinkan terus terjadinya pelanggaran berat selama 40 tahun terakhir di Indonesia,” ujar Kemala.
Sementara itu, Komnas HAM telah mengumpulkan berkas setebal 2000 lembar yang membuktikan terjadinya kejahatan HAM pada 1966-1966 dan dampak sesudahnya terhadap penyintas. 
“Itu adalah holocaust yang dilakukan oleh negara,” kata pegiat HAM, Harry Wibowo.
Kemala menegaskan proses rekonsiliasi akan tercapai sebagai dampak dari proses penyelesaian. Untuk mencapai proses penyelesaian, KKPK telah menyusun enam pilar yang disebut Satya Pilar.
Satya pilar adalah dasar kerja bersama untuk penyelesaian. Sejauh ini, Kemala menilai langkah yang dilakukan masih parsial. Usaha menuju penyelesaian belum dilaksanakan dalam satu kesatuan. “Satya Pilar tidak ada jalan tunggal. Ini adalah penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum,” ujar dia.
Pilar tersebut antara lain pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Upaya ini menurut Kemala telah ada di lingkungan masyarakat. Namun, pilar ini juga dibutuhkan pengakuan dari negara. Kemudian, menurutnya perlu ada upaya khusus lewat pemulihan. Dalam hal ini bukan soal proses hukum. Namun kebijakan sosial, seperti soal kesehatan maupun perlindungan sosial.
“Ada peran baik sektor pemerintahan nasional dan daerah. Kemudian ada dialog publik menuju rekonsiliasi yang selayaknya terjadi di semua ranah karena realitas pengalamannya beda-beda,” kata Kemala.
Ia optimis bangsa Indonesia bisa mencapai harapan menuju rekonsiliasi. Sebab, berbagai pihak sudah mulai terbuka dengan isu 1965. Ini juga terlihat dari komunitas keagamaan. Beberapa guru pun mulai menggunakan bahan ajar yang independen dan tidak menutup diri pada kisah tragedi 1965.
Harry Wibowo sepakat bahwa rekonsiliasi adalah dampak dari pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Dia mengajukan empat pilar demi meraih tujuan rekonsiliasi, yaitu hak korban untuk mengetahui kebenaran, keadilan, pemulihan, juga jaminan tidak akan berulangnya kejahatan yang sama.
Menurut Harry, dalam proses mencapai rekonsiliasi, perlu dibentuk service crime unit, seperti yang dilakukan dalam pengentasan kasus HAM di Timor Timor. Lembaga yang dimaksud semacam komisi pengungkapan kebenaran yang bisa menyeret pelaku kejahatan ke meja pengadilan.
Hal senada disampaikan Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum dari Universitas Indonesia. Menurutnya diperlukan komisi khusus untuk menangani rekonsiliasi 1965 tanpa mengganggu transformasi politik yang sedang berlangsung. 
“Komisi itu harus independen, tanpa kontrol pemerintah dalam investigasi dan menghasilkan rekomendasi,” katanya.
Ifdhal Kasim, mantan Komisioner Komnas HAM menyatakan pentingnya merawat ingatan mengenai peristiwa 1965. Khususnya, adanya pelanggaran berat HAM memberikan kewajiban pada negara untuk mengingat peristiwa itu. 
“Tidak menghancurkan dokumen atau situs-situs yang bisa membangkitkan ingatan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ifdhal memaparkan tujuan merawat ingatan bukanlah untuk membalas dendam. Justru dengan memori diharapkan bisa mencegah peristiwa yang sama tidak terulang. “Jadi memori ini sebagai upaya pemulihan,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya para penyintas bisa mendapatkan hak-haknya di antaranya restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan memberikan kepuasan pada para korban atau penyintas yang menderita. “Selain empat itu, tentu mencegah peristiwa tidak berulang,” ungkap Ifdhal.
Yang terpenting menurutnya negara harus mengambilalih persoalan ini. Negara tidak seharusnya membiarkan hal ini hanya menjadi upaya yang hanya dilakukan oleh masyarakat. Dia menilai negara sebenarnya sudah dibantu masyarakat untuk mengingat. Pun juga untuk mencegah benturan lebih keras di masyarakat.
Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden merasa tragedi 1965 sebagai beban bahkan utang sejarah yang harus dilunasi oleh generasi sekarang. Jangan diwariskan kepada generasi yang akan datang. 
Sidarto menguraikan, tragedi 1965 telah menyebabkan adanya korban pahlawan revolusi beserta keluarganya. Lebih jauh tragedi ini telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah besar, belasan ribu orang dibuang, dipenjarakan, disiksa, tanpa proses pengadilan atau diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, tetapi langsung mengalami penahanan dalam jangka waktu yang lama yang dikenal dengan istilah tahanan politik.
“Tidak hanya perampasan hak dasar sebagai warga negara yang dialami oleh para tahanan politik dalam bentuk penahanan tanpa pengadilan, tapi perampasan hak dasar terjadi bagi warga negara yang diindikasikan sebagai eks anggota PKI,” ujarnya.
Menurutnya menjadi kewajiban seluruh bangsa untuk untuk menyembuhkan luka bangsa dan mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks kemanusiaan yang beradab.
Sidarto juga menekankan pentingnya perawatan ingatan yang seimbang dan objektif tentang tragedi 1965 demi memelihara kesadaran dan identitas sebagai bangsa Indonesia. (NET/JID)
Sumber: Prokal Weekly 

0 komentar:

Posting Komentar