Selasa, 26 April 2016

GM adalah Taufik Ismail yang tertunda

Febriana Firdaus

Yunantyo Adi langsung beranjak dari tempat duduknya, ketika panitia Simposium 65 mengumumkan akan ada kejutan dari panitia, pembacaan puisi oleh Taufik Ismail.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan meninggalkan saya yang duduk di sampingnya. Saya terheran-heran mengapa dia meninggalkan ruangan ini tanpa sepatah kata pun.

“Lho mas mau ke mana, seh?” kata saya.
“Taufik Ismail mau berpuisi, aku males,” katanya sembari berlalu.

Dia meninggalkan sebuah buku berjudul Musso, dari seri kumpulan buku Tempo yang diterbitkan Gramedia. Yang di dalamnya dijelaskan mengenai tragedi tewasnya sejumlah kyai di Madiun pada 1948 yang kasusnya sudah diselesaikan oleh negara.

Sampai hari ini gw masih belum beli nih buku, mungkin besok gw hunting di Gramedia
Saya menatap kepergiannya dengan heran.
Memangnya kenapa kalau Taufik Ismail berpuisi? (Bingung)
Lalu setelah itu, muncullah si penyair yang sudah sangat uzur itu, Taufik Ismail. Dia menarik kertas yang ia pegang mendekati mikrofon. Taufik mulai membacakan sajaknya.

Dua orang cucuku, bertanya tentang angka-angka
Datuk-datuk, aku mau bertanya tentang angka-angka
Kata Aidan, cucuku laki-laki
Aku juga, aku juga, kata Rania cucuku yang perempuan
Aku juga mau bertanya tentang angka-angka
Dari sini saya masih tenang, lumayan ada hiburan.
Lalu beranjaklah ke paragrap kedua.
Rupanya mereka pernah membaca bukuku tentang angka-angka dan ini agak mengherankan
Karena mestinya mereka bertanya tentang puisi
Tetapi baiklah,
Rupanya mereka di sekolahnya di SMA ada tugas menulis makalah
Mengenai puisi, dia sudah banyak bertanya ini itu, sering berdiskusi
Sekarang Aidan dan Rania datang dengan ide mereka menulis makalah tentang angka-angka
Begini datuk,
Katanya ada partai di dunia itu membantai 120 juta orang…

DHUAR. Kepala saya pun mau pecah. Ternyata ujung-ujungnya, puisi itu tentang pembantaian yang dilakukan partai komunis di negara lain. Pantes dia kabur duluan.

Saya lalu mendengar hadirin mulau bersorak, “Huuuuuu”
Sesekali Taufik yang meski uzur itu ikut menimpali, “Huuuuuuu”
Tak ada yang mengalah, hadirin berteriak ‘Huuuuuu’ disambut Taufik yang juga berteriak ‘Huuuuuuuuu’

Suasanya semakin memanas, canggung, dan kikuk. Tapi Taufik melanjutkan puisinya dengan cuek.

Kemudian cucuku bertanya
Datuk-datuk, kok ada orang begitu ganas..?

Dan Taufik tetap membaca puisi itu sampai habis di tengah paduan suara ‘Huuuu’ peserta Simposium 65 yang sebagian adalah penyintas.

Sebabnya adalah mereka membantai bangsanya sendiri,
Mereka membantai bangsanya sendiri
Di Indonesia
Pertama kali dibawa oleh Musso, dibawa Musso.
Di Madiun mereka mendengarkan pembantaian

Mungkin Taufik Ismail belum baca buku yang dibawa Yunantyo ini, kitab suci maksud gw

Lalu dari samping saya, pria setengah baya yang sudah tak asing lagi berdiri tegak sambil mengacungkan tangannya pada sosok Taufik. Dia adalah Ilham Aidit, putra tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Provokator! Berhenti! Pemerintah kenapa diam saja!” tegur Ilham pada panitia. Alih-alih menghentikan puisi, seorang pembawa acara malah mengatakan, “Tolong jangan ada yang protes, tolong diterima apa adanya.” Kira-kira begitu.

Kuping saya sampai geli mendengar suara si pembawa acara, yang sesekali melempar senyum itu.

Usai acara saya menghampiri Aidit, maksud saya Ilham. (Tapi tetap saja dalam wawancara live FB saya memanggilnya Aidit)
Mudah ditebak, Ilham geram dengan aksi Taufik Ismail. Ia mencap Taufik sebagai provokator murahan.

“Suasana ini sudah cair tapi rusak karena….” (Teruskan sendiri).

Saya memahami perasaaan Ilham. Karena kira-kira 2 jam sebelum insiden sajak provokatif itu, saya memotret Ilham dan Agus Widjojo, ketua panitia pengarah Simposium 65 yang juga anak Jenderal Sutoyo, 1 dari 7 jenderal yang gugur dalam peristiwa 1965 itu, sedang bertatap muka di lobi Hotel Aryaduta, tempat acara diselenggarakan.
 
Sebenarnya mereka berantem atau lagi bermesraan, gw gak tahu sih
Meski seakan-akan saling berkacak muka sambil melipat tangannya, keduanya tampak serius saling menatap penuh arti, sedikit kata yang terucap dari mulut Agus dan Ilham, tapi sepertinya mereka sudah mengerti ke mana arah pembicaraan.

Momen langka itu membuat perasaan saya pribadi sebagai keluarga penyintas mencair. Oh inikah generasi masa depan, generasi move on. Ketika keluarga tentara dan keluarga partai komunis mencari jalan terbaik untuk penyelesaian tragedi 1965? (Dengan muka polos).

Apapun agenda Agus atau Ilham, saya sebagai generasi muda melihat harapan di antara keduanya. Saya diam-diam bahagia, sedikit. Semoga yang mereka bicarakan adalah apa yang saya harapkan, pelan tapi pasti, pengungkapan kebenaran.

Karena saya kenal Ilham, dia tidak akan menyerah sampai pada rehabilitasi, setidaknya itulah kesan saya saat mewawancarainya.

Dan saya tahu, Agus tak mungkin hanya membuang waktunya saja untuk membangun ini semua sejak 2003. Untuk apa? Kalau bukan untuk ketenangan hidupnya sendiri dan anak cucunya. (Kembali polos)

Mungkinkah mereka tulus? Tidak tahu. Tapi niat mereka membangun ini semua hingga sampai hari ini, sekecil apapun hasilnya, tentunya saya tidak bisa menuduh mereka serampangan sebagai agen pihak tertentu.

Lalu tiba-tiba datanglah Taufik Ismail, yang menurut saya pribadi, justru makin mempersulit proses diskusi dan pelurusan sejarah yang sedang berlangsung di Simposium 65. Langkah-langkah kecil itu tiba-tiba dirusak oleh selembar puisi dari sang penyair kondang di era orde baru.

Dan, itu baru ‘serangan’ pertama. ‘Serangan’ kedua dari seorang sebut saja seniman yang namanya sangat besar, Goenawan Mohamad lewat catatan pinggirnya di Majalah Tempo pekan ini.

GM, pendiri Tempo, bekas tempat saya bekerja itu, menulis begini di capingnya:

Belum jelas mengapa pemerintah yang sekarang wajib minta maaf, atau mengapa Kepala Negara hari ini, Joko Widodo-laki-laki yang baru berumur lima tahun ketika kekejaman di pertengahan 1960-an itu terjadi-harus minta maaf untuk itu. Benarkah “Negara” yang sekarang identik dengan “Negara” yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama?

Stop sampai di sini, saya menelan ludah. Kaget.
Iya saya tahu siapa dia, selain pendiri kantor berita investigasi ternama di tanah air, dia juga salah satu pendiri Manifes Kebudayaan alias Manikebu. Dalam buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia Untuk Pemula, GM bersama Taufik Ismail, Arief Budiman, HB Jassin, dan segerombol seniman lainnya mendirikan Manikebu.

Dalam buku itu, Manikebu disebut lekat dengan jargon humanisme universal, senin untuk seni, Pancasila sebagai falsafah kebudayaan, yang dianggap menentang ide-ide Manipol/USDEK Soekarno.

Ini siapa yang nggambar coba? Kualat orang tua ckckck
Manipol/USDEK merupakan akronim dari Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang oleh Soekarno dijadikan sebagai haluan negara Republik Indonesia. (Cepetan beli bukunya ama Bilven!)

Stop sampai di situ. Tapi apa sebenarnya kawan maksud dari pernyataan GM ini? Dengan segala hormat sebagai mantan junior, anak bawang, anak pungut, anak siapalah, saya melihat GM hanya sebagai Taufik Ismail yang tertunda.

Sebagai anak kecil, anak bawang, saya ingatkan kepada kakak-kakak senior untuk menyimpan energi, tidak mencurahkan emosi pada seorang bernama GM. (Mungkin dia sedang cek ombak untuk tujuan yang lebih besar, Kak. Tujuan ‘mulia’ pastinya).

Sudah jelas bapak yang satu ini mendirikan Manikebu bersama Taufik Ismail, ini kan hanya masalah waktu dia akan kembali ke asalnya. Apalagi di tengah gegap-gempitanya kebebasan berekspresi anak-anak muda yang mulai tumbuh pemikiran kritisnya, kekiri-kirian lah.

Ingat, kiri itu kritis, jenderal.

Tunas atau kuncup bunga gerakan kritis yang mulai mekar kembali ini membuat barisan so called manikebu kembali bersatu. (Hello, anak bawang, shut up, lo belom lahir)

Setidaknya itu khayalan liar saya. (Biarin)
Biarkanlah dia bilang Jokowi tidak perlu minta maaf. Biar saja dia bilang, Jokowi aja masih balita, kenapa dia harus minta maaf?

Mungkin Pak Jokowi perlu sungkem ama Eyang Sri dulu, biar… ah sudahlah
Sehingga saya juga bisa bilang, saya aja belum lahir waktu kakek saya diculik tentara, kenapa harus protes?

Meskipun saya tahu ketidakhadiran kakek saya di keluarga besar membuat Ibu saya saat itu harus menikah muda di umur 16 tahun, putus sekolah, lalu melahirkan saya. “Enggak ada duit buat sekolah, nduk.”

Beruntun, kemudian bapak saya harus dilitsus (penelitian khusus) karena mertuanya seoran tahanan politik, dan akhirnya dia tak bisa naik pangkat. Seumur hidupnya harus melapor pada Kodim.

Biar saja saya tak perlu protes, karena saya belum lahir saat itu.
Walaupun saya pernah berkhayal, ibu saya bisa menyelesaikan sekolahnya, kalau kakek saya tidak diculik.

Tapi ah, seniman tak akan mengerti ini dunia nyata, mereka hanya memahami indahnya rangkaian kata. (Makin kurang ajar)

Tidurlah yang nyenyak di kasur, kalian para seniman. Mimpi indah. Jangan lupa berdoa, di hari yang tua ini. Sehat selalu buat kalian semua.

Mungkin benar kata Aidit, maksud saya Ilham, “Di dunia ini, masih ada saja orang yang tak suka rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran. Akan selalu ada.”

Jakarta, 26 April 2016
  
https://medium.com/@febrianafirdaus/gm-adalah-taufik-ismail-yang-tertunda-64dcc694ca3d#.crzrjc22d

0 komentar:

Posting Komentar