HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 23 Oktober 2014

Pengajuan Berkas Wajib Cantumkan Tersangka


Aulia Bintang Pratama, CNN Indonesia | Kamis, 23/10/2014 19:13 WIB

Pihak Kejaksaan Agung menegaskan pengajuan berkas pemeriksaan Komnas HAM wajib mencantumkan nama tersangka. Padahal, Komnas HAM bukan lembaga penegak hukum. (GettyImages)

Jakarta, CNN Indonesia -- Pengajuan berkas pemeriksaan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu wajib untuk mencantumkan nama tersangka agar bisa diproses lebih lanjut. Hal itu ditegaskan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Tony Spontana, Kamis (23/10). 
"Dalam berkas pemeriksaan nama tersangka atau orang yang diduga terlibat kasus wajib dicantumkan. Tidak bisa nama instansi saja," kata Tony di Kejagung kepada CNN Indonesia. 
Menurut Tony, pencantuman nama tersangka akan mempermudah dan mempercepat penyidikan yang akan dilakukan tim penyidik Kejaksaan Agung. Mengenai persoalan berkas kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini nasibnya terombang-ambing antara Komnas HAM dan Kejagung, Tony meminta pihak Komnas HAM untuk segera melengkapi berkas dengan mencantumkan nama tersangka.
"Silahkan mereka lengkapi berkasnya lalu segera dilimpahkan ke kami," kata Tony. 
Sebelumnya, pihak Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu mengeluhkan adanya tuntutan dari pihak Kejagung untuk mencantumkan nama tersangka dalam penyerahan berkas kasus tujuh pelanggaran HAM. Berkas tersebut di antaranya menyangkut tragedi Trisakti, tragedi 1965, serta tragedi Talang Sari Lampung.

Menurut komisioner Komnas HAM yang juga ketua tim tersebut, Rochiatul Aswidah, tuntutan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 20 ayat 1 UU tersebut menyatakan saat 'terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik'.
"Sesuai UU tersebut, berkas semestinya sudah dinyatakan lengkap saat kami sudah menyimpukan sebuah peristiwa, tidak sampai mencantumkan nama tersangka," dia mengeluhkan.

PELANGGARAN HAM - Perbedaan Tafsir Menghambat Penegakkan Hukum


Utami Diah Kusumawati, CNN Indonesia | Kamis, 23/10/2014 10:33 WIB

Komnas HAM dan Kejaksaan Agung memaknai berbeda UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dampaknya, berkas pelanggaran HAM bolak balik dua lembaga. (detikFoto)

Jakarta, CNN Indonesia -- Adanya perbedaan tafsir Undang-Undang (UU) antara Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebabkan proses penegakkan hukum kasus pelanggaran HAM masa lalu berjalan lambat. Akibatnya, berkas penyelidikan masih bolak-balik antar dua lembaga negara.
"Beberapa kali berkas dikembalikan Kejagung. Kami lengkapi dan dikembalikan lagi. Pasalnya ada kelemahan UU," kata Roichatul Aswidah selaku Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (23/10). 
Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu dibentuk oleh Komnas HAM pada bulan Desember 2012 untuk menuntaskan tujuh kasus diantaranya Talangsari Lampung 1989, Semanggi 1 dan Semanggi 2, Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, Wasior dan Wamena dan Pembunuhan Misterius 'Petrus'.

Undang-undang tersebut, kata Roichatul, merujuk pada UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang digunakan sebagai dasar penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Menurut Pasal 20 ayat 1 dari UU tersebut dinyatakan saat 'terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik'.

Pasal tersebut, menurut perempuan yang juga komisioner Komnas HAM tersebut, dimaknai penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM hanya sebatas menemukan kesimpulan dari sebuah peristiwa atau menetapkan bukti permulaan. Persoalan menetapkan tersangka semestinya kewajiban penyidik dari Kejagung. 

"Namun sayangnya, pihak Kejagung menilai berbeda," kata dia.
Pihak Kejaksaan Agung, lanjutnya, meminta penyelidikan telah lengkap jika pihak penyidik Komnas HAM telah menetapkan nama tersangka dan bukan hanya menetapkan kesimpulan atas peristiwa.

Padahal, seringkali penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM terkendala oleh persoalan surat izin. Roichatul mengatakan pada contoh kasus pembongkaran atau penggalian kuburan korban serta permintaan dokumen, pihak penyidik Komnas HAM mesti meminta surat izin dari pihak Kejaksaan Agung. Hal ini berdampak memperlambat proses penyidikan, dia menambahkan.

Undang- Undang No. 26 tahun 2000, katanya, juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai pembentukan langkah-langkah pengadilan HAM adhoc. Padahal, praktiknya dalam 7 kasus pelanggaran HAM masa lalu dibutuhkan adanya pengadilan HAM adhoc. 

"Terutama kasus-kasus yang berada dibawah tahun 2000," katanya. 
Mekanisme penyelesaian kasus tersebut, kata dia, berkas diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Lalu, Kejagung akan melakukan penyidikan dan mengirimkan laporan ke Presiden. Presiden kemudian menyurati DPR dan DPR akan merapatkansecara  internal untuk kemudian keluarkan rekomendasi Pengadilan HAM ad hoc.

Tak hanya itu, pihak Kejagung juga meminta semua penyidik Komnas HAM untuk disumpah sebelum melakukan pekerjaan mereka. 

"Padahal menurut UU itu tidak perlu," dia menegaskan. 
Roichatul mengatakan saat ini pihaknya sedang mencoba mencari celah untuk bisa beraudiensi langsung dengan Presiden Jokowi. Sebelumnya, Komnas HAM juga sudah melakukan audiensi pada pertengahan Oktober dengan petinggi Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR), yakni Setya Novanto, Agus Hermanto dan Fadli Zon. Pertemuan itu, katanya, membahas tentang peningkatan kapasitas kelembagaan Komnas HAM serta persetujuan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. 
"Sudah kami komunikasikan ke DPR. Tinggal tunggu bahasan dengan Ketua Komisi 3 DPR saja. Ini masih proses pemilihan pimpinan komisi," dia menutup pembicaraan.

Rabu, 22 Oktober 2014

Jokowi Harus Bisa Campuri Penyelesaian Kasus


Rinaldy Sofwan, CNN Indonesia | Rabu, 22/10/2014 13:17 WIB

Pakar HAM menilai Presiden Jokowi bisa intervensi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Hanya saja, dibutuhkan keinginan politik kuat dari Jokowi. (AntaraPhoto/ Prasetyo Utomo)

Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hak asasi manusia (HAM) menilai lambannya penuntasan penegakkan hukum atas tujuh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia disebabkan oleh persoalan politis dan hukum. Presiden  memegang paran penting dalam penyelesaian kasus tersebut. 
"Penanganan kasus pelanggaran HAM berat ini masalah politik. Di Indonesia, tidak ada kemauan politik dari Presiden untuk tegakkan hukum," kata Al A'raf selaku Direktur Program Imparsial saat dihubungi oleh CNN Indonesia, Rabu (22/10).
Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tujuh kasus yang termasuk pelanggaran HAM berat antara lain peristiwa 1965- 1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talang Sari Lampung 1989, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II serta peristiwa Wasior Wamena 2003.

Peran presiden, katanya, sangat besar dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat karena presiden bisa memberi perintah langsung. Perintah tersebut, ujarnya, bukan bentuk intervensi.

Al A'raf melanjutkan presiden mesti bertindak sebab peran jaksa agung tidak banyak mengingat secara politis posisinya ebrada di bawah presiden. Menurutnya, sikap Kejaksaan Aagung (Kejagung) dalam menangani kasus ini sangat bergantung pada sikap presiden.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah mengirimkan berkas hasil penyelidikan yang mencakup tujuh pelanggaran berat di masa lalu ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung). Namun, pada Juni lalu, Kejagung mengembalikan berkas tersebut ke Komnas HAM karena dianggap belum lengkap baik secara materil maupun imateril.

Menanggapi pengembalikan berkas itu, Al A'raf menilai alasan tersebut hanya dalih yang dicari-cari Kejagung. Sebenarnya, katanya, berkas yang diberikan oleh Komnas HAM itu sudah sangat lengkap. Keputusan Jaksa Agung untuk mengembalikan berkas karena posisinya secara politik, ujar Al'Araf.

Selain itu, upaya yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat di Indonesia dianggapnya masih belum cukup untuk selesaikan persoalan yang ada. Komnas HAM, katanya, mesti membangun komunikasi baru dengan Kejagung dan Presiden agar menghasilkan langkah progresif. 

"Seharusnya Komnas HAM bisa lebih aktif," dia menegaskan. 
Lebih jauh lagi, jika Presiden Jokowi masih juga lamban merespons maka Komnas HAM bisa menggunakan media massa untuk membangun kesadaran masyarakat secara aktif. "Namun, tak adanya respons dari Jokowi tunjukkan rendahnya keinginan politik Jokowi untuk tuntaskan kasus HAM."

Korban 1965 Menanti Dekrit Jokowi


Aghnia Adzkia, CNN Indonesia | Rabu, 22/10/2014 13:18 WIB

Ilustrasi. Pemerintah baru dijejali tumpukan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya, menuntaskan persoalan hak politik dan hak sipil korban tragedi 1965. (Thinkstockphotos.com)

Jakarta, CNN Indonesia -- Gegap gempita peralihan presiden masih terasa. Di antara keriuhan seleksi menteri untuk kabinet sang presiden baru, ada perasaan berbeda bagi eks tahanan politik peristiwa 1965, Bejo Untung. Pria paruh baya itu melihat secercah cahaya asa untuk menyibak gelapnya fakta peristiwa hampir 50 tahun lalu.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 1965) tersebut mengingat setiap keringat yang dia keluarkan ketika menggerakkan massa. Pesan singkat dia sebar ke ribuan anggota ke seluruh penjuru negeri. Beragam media dia gunakan, mulai dari tatap muka, pesan melalui ponsel, hingga media sosial.
"Jangan memilih calon presiden atau partai politik yang memiliki rekam jejak ingin melanjutkan ide-ide Orba Soeharto. Jangan sampai partai politik itu tampil lagi. Jangan sampai calon presiden yang melanggar HAM tampil sebagai presiden," isi pesan singkat Bejo kala itu.
Ratus ribuan massa yang tersebar di 200 cabang YPKP serentak menuruti instruksinya. "Pada waktu itu, dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, sampai ke Jawa, kami menginstruksikan supaya mencoblos Jokowi," kata Bejo kepada CNN Indonesia.

Kini presiden pilihan Bejo dan seluruh anggotanya telah resmi menjadi pemimpin negeri. Ada bungah luar biasa bagi mantan tapol itu. 

"Kami para korban '65 tidak pernah ikut pencoblosan. Tapi begitu Jokowi yang maju, kami mencoblosnya. Ini bukti kami menaruh harapan besar," ucap mantan pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) tersebut.
Harapan itu kini semakin mendekat di depan mata. Sebuah asa agar kasus yang merenggut hak asasinya sebagai manusia selama puluhan tahun diusut tuntas. "Kami terdiskriminasi dan para tahanan politik hidup tak layak sebagai bangsa Indonesia. Kami disiksa dan dibuang tanpa diadili padahal jumlahnya jutaan," pria yang mendekam hampir sembilan tahun di bui tersebut menuturkan.
Bejo dituduh terlibat dalam kegiatan Partai Komunis Indonesia yang menjadi kambing hitam Gerakan 30 September 1965. Seakan melunasi utang yang belum terbayar, Bejo meminta pemerintah secara tegas meminta maaf kepada dirinya dan jutaan korban lain. "Pemerintahan Jokowi harus mengeluarkan dekrit atau keputusan presiden di mana korban '65 mendapat penyelesaian. Hampir 50 tahun kami tidak pernah disinggung," katanya dengan nada menahan amarah.

Bejo meminta Jokowi menganulir Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 terkait perlakuan diskriminatif kepada mantan tahanan politik tragedi kemanusiaan 1965/1966 sesuai rekomendasi Mahkamah Agung. "Agar kami memiliki kekuatan hukum. Gunanya adalah agar mereka yang menjadi PNS dan pegawai Pemda atau guru mendapatkan hak pensiunnya," katanya.

Medio 2012, Komnas HAM mencatat pelanggaran HAM berat terjadi saat tragedi '65. Pelanggaran tersebut antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi), dan penghilangan orang secara paksa. Selain itu, para korban dan keluarganya mengalami gangguan mental secara turun temurun berupa tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik.


Senin, 20 Oktober 2014

Catatan Pendek Diskusi Film “Saya Rasa Itu Sulit Untuk Dilupakan”


Oleh Dema Justicia FH UGM - Oct 20th, 2014


Kamis sore, 25 September 2014, Dema Justicia FH UGM mengadakan screening dan diskusi film berjudul “Saya Rasa itu Sulit Untuk Dilupakan”. Screening dan diskusi film ini diselengarakan dalam rangka menuju peringatan tragedi kelam yang terjadi 49 tahun silam antara sejak 30 September 1965. Mahendra dari KPO-PRPdan Restu dari SMI menjadi pembicara dalam acara tersebut.
Antusias yang tinggi untuk belajar sejarah mendorong kawan-kawan mahasiswa baik yg berasal dari FH UGM maupun kawan-kawan mahasiswa dari fakultas atau kampus lain untuk berpartisipasi dalam screening film tersebut. Tak kurang dari 50 orang memadati halaman Dema Justicia FH UGM.
Film “Saya Rasa itu Sulit Untuk Dilupakan” memiliki durasi sekitar 30 menit sedikit banyak memberi gambaran tentang apa yang terjadi paskaperistiwa 30 September 1965. Apa yang terjadi 49 tahun silam diterangkan oleh banyak tokoh yang diwawancarai dalam film tersebut. Mereka memberikan gambaran yang jelas tentang tragedi yang terjadi, semisal pembantaian lebih dari 3 juta orang anggota PKI atau yang dianggap sebagai PKI, dipersenjatainya mahasiswa dan pemuda, serta kekejaman yang mengiringi pembantaian yang terjadi.
Kawan-kawan mahasiswa yang hadir pada screening dan diskusi film ini pun seperti mendapatkan hantaman dan bertanya-tanya, karena mereka menemukan fakta sejarah yang lain dari apa yang mereka ketahui selama ini.
Mahendra dari KPO-PRP sebagai pembicara pertama memberikan materi yang memperjelas dan melengkapi apa yang terjadi pada tahun 1965 di samping apa yang sudah digambarkan pada film yang diputar. Mahendra menjelaskan bahw aapa yang terjadi pada tahun 1965 merupakan pertarungan antara dua perspektif pembangunan Indonesia kedepan.
Materi dilanjut dengan penjelasan yang disampaikan oleh Restu sebagai pemateri kedua, Restu memberi penjelasan tentang posisi mahasiswa dan peran yang dimainkanya pada saat tragedi itu terjadi. Setelah sesi diskusi dimulai banyak kawan-kawan mahasiswa yang hadir memberikan pertanyaan atau tanggapan mereka terhadap film yang diputar maupun materi yang sudah disampaikan oleh kedua pemateri.
Selain screening dan diskusi tersebut juga dibuka stand buku yang menjual berbagai macam buku progresif. Ketertarikan perserta diskusi juga terlihat dari paska diskusi banyak peserta diskusi yang berminat pada buku-buku progresif dan yang menjelaskan apa yang terjadi pada tahun 1965.
Diakhir catatan ini ada 3 hal menarik yang perlu ditindaklanjuti. Yang pertama, apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965 adalah pembantaian massal terhadap 3 juta orang tak berdosa. Kedua, masih banyak kawan-kawan mahasiswa yang belum memahami apa yang terjadi. Ini tidak terlepas dari pendidikan formal yang mereka dapatkan. Ketiga, sebagai generasi muda yang berpendidikankita perlu untuk terus mencari tahu baik melalui membaca atau diskusi agar dapat memahami apa yang menjadisejarah bangsa kita dan mengunakanya sebagai acuan dalam membangun bangsa (Danang).

Jumat, 10 Oktober 2014

Selubung Kehidupan Wanita Eks Tapol 65


Jumat, 10 Okt 2014 18:27 WIB - Anto Sidharta


Wanita Eks Tapol 65, Utati
KBR, Jakarta – “Kalau di sini hampir semua (tetangga) tidak tahu (asal-usul) saya. Saya bergaul biasa saja,” kata Utati, perempuan eks tahanan politik (tapol), dengan suara perlahan nan tenang. 
Utati adalah salah satu dari ribuan perempuan eks tapol 1965, yang ditahan setelah terbunuhnya enam jenderal dalam peristiwa G30S. Di kawasan Depok, Jawa Barat, ini kini menjalani kehidupan normal seperti warga lainnya bersama suami, anak dan ketiga cucunya.

Ia merasa cukup beruntung di lokasi tempat tinggalnya kini, yang ia tempati sejak tahun 1993 atau 21 tahun lalu. Sebab, kebanyakan penghuni rumah adalah pedagang yang statusnya sebagai pengontrak. 
“Seandainya ada orang yang bercerita pada saya, saya tidak pernah ‘masuk’. Saya hanya tegaskan kan itu belum tentu benar. Karena mereka gak disidang,” ujar istri Koesalah Ananta Toer itu kepada Portalkbr ketika ditemui awal September lalu di rumahnya. 
Utati mengaku tidak perlu menjelaskan asal-usulnya ke para tetangganya, kecuali untuk kepentingan pendidikan. 
“Gak perlu memberitahu (mereka), kecuali untuk mahasiswa yang hendak melakukan penelitian,” tambah Utati yang kini aktif dalam pengajian ibu-ibu di lingkungan Rukun Tetangga (RT).
Hobi yang Mengantarnya ke Penjara

Jalan hidup Utati terasa seperti kisah dalam film. Ia masuk penjara pun bukan karena aktivitas politiknya yang bertentangan dengan penguasa kala itu, tapi karena hobinya.

Sejak kecil Utati mengaku sudah menyukai berbagai aktivitas seni seperti menyanyi dan menari. Ini membuatnya pada tahun 1963 masuk ke organisasi Pemuda Rakyat setelah diajak oleh ketua RT tempat ia tinggal bersama dengan kakaknya. 
“Saya bisa mencurahkan bakat saya di situ gitu lho. Drum band saya main, tari juga. (Tapi) politiknya saya gak ngerti,” ujar wanita yang bulan September lalu genap berusia 70 tahun itu. 
Kelak organisasi Pemuda Rakyat dicap penguasa saat itu sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tiga tahun bergelut di organisasi itu hingga 1965, pada tahun 1967 ia pun dijebloskan ke Penjara Salemba. Sebelas tahun mendekam di penjara, pada Januari 1978 ia dibebaskan. Satu tahun kemudian tepatnya 11 Maret 1979 ia menikah dengan dengan Koesalah Ananta Toer (79 tahun), adik sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Suaminya, yang juga eks tapol, dibebaskan pada tahun yang sama.

Pengungkapan Jati Diri 

Bukan hal mudah bagi Utati untuk mengungkap riwayat hidupnya pada kedua anaknya, Uliek mandiri (34) dan Uku Permati (33) saat masih remaja. Ia berani mengungkapkan jati diri pada kedua anaknya ketika Era Reformasi 1998, ketika terjadi penangkapan dan pembunuhan mahasiswa. 
“Ibu juga mengalami hal itu,” kenang Utati mengingat kalimat yang ia ucapkan pada kedua buah hatinya saat itu. 
Pada kedua anaknya, kata dia, tidak muncul perasaan takut atau minder. Ia pun menyampaikan pada anaknya bahwa mereka yang ditahan tidak selalu bersalah. Ia mencontohkan Mantan Presiden Afrika Selatan dan tokoh anti-apartheid, Nelson Mandela yang saat itu kerap muncul di layar kaca televisi. 
“Ia memperjuangkan negaranya merdeka. Karena dia kalah dia ditahan, seperti Pakde (Pramoedya Ananta Toer, red.). Kalau di politik kalau kalah ditahan, kalau menang dia berkuasa. Dipenjarakan tidak merugikan orang lain, itu yang saya tanamkan pada anak saya,” ujar Utati.
Menurut Utati, kedua anaknya tidak mengalami luka batin karena mereka lahir ketika ia dan suaminya sudah keluar dari penjara. Hal berbeda, kata Utati, pada anak yang sudah lahir ketika ayah dan ibunya dipenjara. Penderitaan mereka sangat berat.
“Karena dia merasakan bagaimana (derita) ibu bapaknya, apalagi yang lihat ibu dan bapaknya diambil (tentara). (Karena) walau masih kecil mereka harus mel (lapor rutin ke aparat keamanan). Ada yang usia 24 tahun sudah menopause! Tekanan batin kan,” ungkap Utati. 
Pengungkapan jati diri Utati pada kedua anaknya sekitar delapan tahun setelah kedua anaknya tahu riwayat ayahnya, yang ditahan 10 tahun di Penjara Salemba. Kata Utati, anaknya tahu “siapa” bapaknya karena mendengarkan rekaman suara dalam sebuah kaset 
“Bapak ditahan karena Pakde Pram (Nama panggilan Pramoedya Ananta Toer. Red.) yah, Bu?” kata Utati menirukan celoteh Uku Permati, anaknya yang saat itu berusia sekitar delapan tahun. 
Setelah ia tanya sumber informasi itu, anaknya mengaku mendengarnya dari rekaman dari sebuah kaset dari lemari rumahnya. Kaset berisi rekaman suara suaminya terkait soal penangkapannya sebelum dijebloskan ke penjara.

Kini, kedua anaknya sudah dewasa dan berkeluarga. Utati pun menikmati masa tua bersama suami, anak dan ketiga cucunya. Di usianya tuanya kini ia pun masih aktif berlatih paduan suara dengan sesama wanita eks tapol lainnya dalam wadah Paduan Suara Dialita dan Sanggar Winoja Binangkit. 


Jumat, 03 Oktober 2014

Pengakuan Soeharto VS Soebandrio Dalam G 30 S

Kamis, 02 Oktober 2014

Penjaga Fisik dan Nama Baik Sukarno

Kamis 02 Oktober 2014 WIB

Ki-ka: Asvi Warman Adam, Iwan Santosa (moderator), Bonnie Triyana, dan Anhar Gonggong, dalam bedah buku "Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno" di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014. 
Foto
PEKIK merdeka menggema di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014. Maulwi Saelan (88 tahun), mantan wakil komandan pasukan pengawal presiden, Tjakrabirawa, mengumandangkannya sesaat sebelum memberi sambutan acara peluncuran dan diskusi biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno.

Sebagai saksi dan pelaku sejarah, Maulwi merasa terpanggil memberi kesaksian dari sebagian kecil sejarah Indonesia, khususnya mengenai Sukarno. Penodaan terhadap nama baik presiden pertama Indonesia itu begitu besar dan terus berlanjut hingga kini akibat sejarah monoversi yang dipaksakan penguasa Orde Baru. “Saya bersedia dan terpanggil untuk menyatakan hitam dan putihnya sejarah, khususnya yang terkait dengan Sukarno,” ujarnya.

Kedekatannya dengan Sukarno bermula ketika Maulwi menjadi wakil komandan Tjakrabirawa pada 1962. Semenjak itu, kata Maulwi, “saya berada sangat dekat dengan presiden Sukarno, baik pada situasi penting dan genting, juga pada hal-hal yang kecil, remeh-temeh, hingga berkelakar.”

Salah satu informasi terpenting adalah detik-detik di sekitar peristiwa G30S. Kala itu, Maulwi mendampingi dan berada dekat dengan Sukarno. Menurutnya, pernyataan Kolonel KKO Bambang Widjanarko bahwa Sukarno terlibat dan menginstruksikan Letkol Untung untuk menindak para jenderal tidak loyal adalah tidak benar. Pada 4 Agustus 1965 pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Sukarno menderita sakit, sehingga tidak mungkin ada pertemuan dengan Untung. Lagipula, Untung hanyalah komandan batalion. “Tidak mungkin dia bisa begitu saja bertemu presiden,” ujarnya.

Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi perbedaan keterangan dua orang terdekat Sukarno itu. Persoalan yang mesti diingat, menurutnya, adalah tentang rasio dan background ketika keterangan itu diberikan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang harus dipahami ketika keduanya memberi keterangan. “Saya khawatir bahwa Widjanarko berada dalam tekanan, sebab kondisinya tidak memungkinkanya untuk tidak mengatakan itu. Bila dia tidak mengatakan itu (keterangan yang diinginkan rezim Orde Baru –red), boleh jadi dia dipenjara. Faktor itulah yang harus diperhitungkan,” ujar Anhar.

Faktor psikis pula yang menjadi sorotan Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus penulis biografi Maulwi Saelan. Menurut pemimpin redaksi majalah Historiaini, Bambang Widjanarko, Maulwi Saelan, dan Moh. Sabur (komandan Tjakrabirawa) sama-sama diinterogasi Team Pemeriksa Pusat (Teperpu). Perbedaan faktor psikologi di antara ketiganya dan down mental akibat interogasi dan paksaan menghasilkan keterangan yang berbeda. Widjanarko memberikan keterangan yang sesuai keinginan penguasa, yakni menyatakan Sukarno mengetahui dan merestui penculikan para jenderal. Sedangkan Maulwi memberikan keterangan yang jelas tak dikehendaki penguasa sehingga dia dipenjara.

Selepas bebas dari penjara, Maulwi sempat mengajak bertemu Bambang Widjanarko guna mengoreksi cerita keterlibatan Sukarno pada peristiwa G30S. Namun, hingga akhir hayatnya, Bambang tak pernah memenuhi janjinya untuk bertemu Maulwi.

Sejarawan Asvi Warman Adam berpendapat, Maulwi menepis anggapan miring bahkan tuduhan keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S. Selain mengkonfirmasi dan membantah adanya pertemuan pada 4 Agustus 1965, Maulwi juga membantah informasi adanya penyerahan secarik kertas dari Untung kepada Sukarno yang dibawa Sogol, anggota Tjakrabirawa bagian hygiene, di malam 30 September dan dibaca Sukarno di toilet. Bantahan-bantahan itu membuat “Maulwi tak hanya menjaga fisik Bung Karno, tetapi juga menjaga nama baik Sukarno dalam urusan sejarah,” ujar Asvi.

Asvi melanjutkan, peran Maulwi sebagai “penjaga” telah berjalan sejak Indonesia berdiri. Dia seorang penjaga revolusi karena ikut dalam perang kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, hingga Yogyakarta. Saat perhelatan Olimpiade Melbourne 1956, dia tampil sebagai penjaga gawang sekaligus kapten timnas Indonesia saat mengadapi Uni Soviet. Peran penjaga itu berlanjut ketika dia menjaga presiden Sukarno saat bertugas di Resimen Tjakrabirawa. Dan terakhir, dia aktif sebagai penjaga pendidikan dengan mendirikan sekolah al-Azhar Syifa Budi.

Historia 

Rabu, 01 Oktober 2014

Salim Said: PKI Tidak Lakukan Pemberontakan 30 September



Penulis: Reporter Satuharapan | 22:56 WIB | Rabu, 01 Oktober 2014

Bondan Kanumoyoso (kiri) staf pengajar Departemen Sejarah FIB UI dan Salim Said (kanan) penulis buku Dari Gestapu ke Reformasi menjelaskan peristiwa Gerakan 30 September, di Ruang Sinema, Perpustakaan UI, Depok Rabu (1/10). (Foto: Ardy Pradana Putra)
DEPOK, SATUHARAPAN.COM - “PKI secara lembaga tidak melakukan pemberontakan pada 30 September 1965,” kata Salim Said, jurnalis senior dan penulis buku Dari Gestapu ke Reformasi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan UI dan Penerbit Mizan di Ruang Sinema, Gedung Perpustakaan Pusat UI, Depok Rabu (1/10) sore.
Diskusi dimoderatori oleh Bondan Kanumoyoso, staf pengajar Departemen Sejarah FIB UI.
“Gerakan 30 September merupakan ambisi pribadi DN Adit (Ketua Umum PKI), banyak anggota PKI yang tidak tahu rencana Gerakan 30 September, Aidit melakukan Gerakan 30 September tanpa sepengetahuan Komite Pusat dan Politbiro PKI,” kata Said.
Menurut Said, penyebutan G 30 S/PKI dan kampanye bahaya laten komunis berlebihan.
Said menjelaskan pembunuhan tujuh jenderal merupakan kecelakaan dan salah koordinasi. Seharusnya tujuh jenderal itu diculik dan diserahkan kepada pimpinan Angkatan Darat (AD), mirip Peristiwa Rengasdengklok. Penculikan itu disebabkan oleh konflik internal AD dan Soekarno yang mencurigai Yani dan kelompoknya berkhianat kepada negara, tapi pasukan penculik yang dipimpin oleh Sjam, anak buah Aidit, membunuh ketujuh jenderal itu.
“Saya sudah membaca dokumen percakapan rahasia Aidit dan Mao Zedong (Pemimpin Tiongkok) di Tiongkok perihal gerakan 30 September,” kata Said.
Ketika ditanya kemungkinan konspirasi CIA dalam peristiwa Gerakan 30 September. Said mengatakan sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukan CIA terlibat Gerakan 30 September.
“Memang ada bantuan dana yang besar dari CIA kepada militer AD, namun itu sesudah terjadi peristiwa gestapu, sampai saat ini belum ada bukti CIA terlibat,” ujar Said.
Ia menambahkan menurut hasil otopsi, ketujuh jenderal itu tidak meninggal akibat disiksa seperti yang digambarkan di film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Isu penyiksaan digunakan untuk kampanye antikomunis yang dilakukan oleh militer, karena pada saat itu komunisme merupakan ancaman besar.
Selain menceritakan kesaksian seputar Gerakan 30 September, Said juga menjelaskan intrik politik menjelang jatuhnya rezim orde baru (orba). “Saya tahu persis konflik antara LB Moerdani (Panglima ABRI saat itu) dan Soeharto,” kata Said.  ia menambahkan “Jika tidak terjadi reformasi, maka yang menggantikan Soeharto adalah anaknya, Tutut, saya mengikuti dinamika politik di MPR”.
Sekilas Salim Said
Salim Said mengawali kariernya sejak kuliah, ia menjadi jurnalis dan menjadi aktivis KAHMI pada 1960-an. Alumnus Fakultas Psikologi UI itu juga aktif di dunia teater dan perfilman di Indonesia. Said meraih gelar Doktor dari Ohio University pada tahun 1985 dan sempat menjadi redaktur majalah Pelopor Baru dan Angkatan Bersenjata. Selain berkarier di bidang jurnalistik dan dunia seni, ia pernah menjabat duta besar RI untuk Republik Ceko.
Kesaksian Said mengalami pergolakan politik 1965 dan reformasi dijelaskan dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/salim-said-pki-tidak-lakukan-pemberontakan-30-september

Sisa PKI dan Keluarga PKI, 49 Tahun Setelah Peristiwa 30 September 1965


OCTOBER 1, 2014

WAKTU bergulir 49 tahun lamanya sejak Peristiwa 30 September 1965. Dalam metafora perlukaan, peristiwa tersebut dan berbagai ikutannya, adalah sebuah luka lama yang sebenarnya sudah kering. Hanya saja, luka kering sekalipun, selalu meninggalkan tanda di kulit dan mungkin kenangan traumatisma. 
Terkait peristiwa yang terjadi tanggal 30 September menuju 1 Oktober 1965 dan kekerasan massiveberupa pembunuhan massal yang terjadi selama beberapa waktu setelahnya, meski luka telah kering namun kenangan traumatisma yang mengiringinya tak mudah padam. 
Paling tidak, sekali dalam setahun pada tanggal yang sama dengan terjadinya peristiwa, rasa sakit itu kembali dibicarakan. Bahkan sekelompok kecil bekas aktivis organisasi-organisasi yang dilarang setelah peristiwa, ikut dalam suatu acara Kamisan ‘korban’ Orde Baru yang selalu dilakukan di depan Istana di Jalan Merdeka Utara.

Bila diasumsikan bahwa kader PKI –sebagai partai yang paling terlibat dalam G30S– termuda kala peristiwa terjadi berusia 17 tahun, maka kini mereka telah berusia 66 tahun. Dan jika digunakan ukuran bahwa seorang kader pantas dianggap matang pada usia 21 tahun, bila kader itu masih hidup, paling tidak ia sudah berusia 70 tahun saat ini. Bisa diperkirakan bahwa kader PKI yang lebih senior, mayoritas telah meninggal dunia. Kalau pun masih hidup, sudah terlalu tua. Dan, semestinya juga telah berproses secara bathiniah menjadi manusia yang semakin arif, sehingga takkan membiarkan dirinya memelihara dendam politik secara berkepanjangan. Tetapi seberapa lama suatu rasa sakit yang traumatis bisa membekas dan seberapa lama suatu dendam politik berlangsung, hanya mereka yang bersangkutan yang lebih mengetahui.

JOKOWI DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTERI. “Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan oarang-orang anti militer.” (foto download)

TERHADAP pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, banyak keluarga korban, begitu juga ribuan bekas tahanan politik, menuntut pemerintah menyampaikan permintaan maaf. Beberapa di antaranya disertai permintaan rehabilitasi PKI, terkait posisi terlarang  yang dikenakan terhadap partai tersebut.

Dalam batas aspek kemanusiaan, banyak pihak dalam masyarakat yang bisa memahami pengajuan tuntutan permintaan maaf maupun rehabilitasi sosial bagi korban peristiwa. Tetapi bilamana tuntutan itu meluas melampaui batas aspek kemanusiaan tersebut, katakanlah sudah menjadi tuntutan politik, akan muncul penolakan. Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut. Misalnya, pernah dirampas tanahnya oleh massa Barisan Tani Indonesia –organisasi sayap PKI– atau dihujat agamanya oleh PKI dan mengalami kekerasan melalui aksi sepihak Pemuda Rakyat. Orientasi utama masyarakat Indonesia selama ini, untuk sebagian besar memang adalah pada aspek keadilan. Karenanya, masyarakat juga cenderung merasa sebagai korban dalam berbagai peristiwa.

Dengan orientasi keadilan seperti itu, dalam kaitan Peristiwa 30 September 1965, semua pihak merasa sah menegakkan keadilan dengan melakukan pembalasan dendam. Terhadap apa yang telah dilakukan PKI sebelum peristiwa, maka para anggotanya –terlibat langsung atau tidak dalam rangkaian peristiwa– harus membayar ‘mahal’ dengan menerima pembalasan yang berpuluh-puluh kali lipat dari apa yang telah dilakukan. Dan mesti dicatat, jangankan mereka yang terdaftar atau nyata adalah anggota PKI dan organisasi sayapnya, terdapat banyak anggota masyarakat yang tak tahu menahu mengenai partai tersebut, ikut menjadi korban ‘pembalasan’ dalam suatu malapetaka sosiologis yang dahsyat. Dan pada gilirannya, akan juga menuntut keadilan.

Kita kutip suatu penggalan pengantar dalam buku Simtom Politik Tahun 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (Editor OC Kaligis dan Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2007). Dengan orientasi utama kepada aspek keadilan, yang menimbulkan rasa dirinya juga adalah korban, “bagi masyarakat umum, yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 september 1965 terjadi.” 

Lalu, “pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga negara.” Ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan pengertiannya yang paling lunak.

Dalam realita, relatif keadaan tersebut yang terjadi di masyarakat. Banyak ex PKI dan atau keluarganya dalam beberapa tahun ini, khususnya pasca Soeharto, hidup berdampingan secara layak dalam masyarakat.

UNJUK RASA 2014 TOLAK KOMUNISME DAN PKI. “Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut.” (foto download)

BERIKUT ini sedikit catatan ringan.

Dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati, yang di tahun 1965 baru berusia 7 tahun, menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” di tahun 2002. Tak ada akibat berarti yang menimpa dirinya. Dalam suatu wawancara televisi, Lativi (yang kini telah pindah kepemilikan dan berganti nama) ia mengaku memang orangtuanya adalah anggota PKI dan cukup mengalami banyak penderitaan hidup yang berat karena stigmatisasi. Tapi kini ia bebas bergerak di masyarakat dan selama beberapa tahun menjadi anggota DPR dari PDIP.

Ikrar Nusa Bakti pengamat LIPI, juga putera anggota organisasi terlarang. Dibesarkan oleh pamannya seorang perwira tinggi militer. Praktis tak pernah terkena gangguan stigmatisasi. Ia pun menjalani hidupnya sebagai seorang akademisi yang bebas berpendapat. Pandangannya umumnya jernih dan argumentatif. Tidak kiri. Hanya dalam masa-masa pemilihan presiden yang baru lalu Ikrar cukup berpihak, yakni kepada pasangan Jokowi-JK. Tapi itu tidak mencederai intelektualitasnya, dibanding beberapa akademisi dan kaum cendekiawan lainnya yang tak segan terjun dalam kancah prostitusi intelektual saat itu.

 Sejarawan Asvi Warman Adam, malahan lebih kiri orientasinya dibanding Ikrar. Asvi banyak meluncurkan tulisan dan pendapat untuk mematahkan versi militer Indonesia di bawah Jenderal Soeharto, tentang Peristiwa 30 September 1965 serta kejahatan kemanusiaan yang menjadi ikutannya. Akan tetapi, versi dan penafsiran sejarah yang dipaparkannya seringkali terasa tak kalah manipulatifnya dengan yang menjadi versi militer Orde Baru masa Soeharto. Agaknya ia tidak merasa harus cermat menggali berbagai sisi untuk mencari kebenaran sejarah.

Ilham Aidit, putera pemimpin PKI Dipa Nusantara Aidit, diam-diam bisa menyelesaikan pendidikan tingginya sebagai seorang arsitek di Universitas Parahyangan Bandung. Pasca Soeharto ia sudah bebas tampil di berbagai forum menyampaikan pendapat berbeda dan berbagai kecaman, termasuk mengenai masalah PKI dan Peristiwa 30 September 1965.  

Dan berikut ini, sebuah catatan yang sedikit lebih ‘berat’.

Dalam masa-masa menjelang Pemilihan Presiden yang baru lalu, Joko Widodo digempur dengan isu bahwa orang tuanya terindikasi PKI. Isu ini meluncur dari Obor Rakyat dan dikutip oleh berbagai media. Kubu pesaing menyangkal sebagai sumber isu. Kalau isu ini betul diluncurkan kubu pesaing, pasti ini suatu kebodohan. Tapi yang lebih mungkin, isu ini adalah hasil kerja orang-orang dengan pengalaman intelejen dan nantinya akan diketahui juga siapa dan apa tujuan sebenarnya.

Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” 

Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan orang-orang anti militer. Maka di bulan Juni, massa PDIP menyeruduk kantor tvOne di Yogyakarta dan di Pulogadung Jakarta.

Reaksi Jokowi dan PDIP ini sedikit mengherankan juga. Apakah memang Jokowi dan para petinggi PDIP masih melihat PKI sesuai sudut pandang di masa Orde Baru bahwa PKI adalah  stigma yang harus dihindari? Bukankah PDIP selama ini memang membuka diri bagi mereka para penderita stigmatisasi terkait PKI? 

Ada Ribka Tjiptaning di sana, ada juga eks tokoh PRD Budiman Sudyatmiko yang diberi label PKI muda oleh kalangan tentara. Dan harus diakui sepanjang yang bisa diamati, mereka yang di masa lampau adalah pengikut atau simpatisan PKI, sejak awal memang berkecenderungan menjadikan PDI dan atau PDIP sebagai pilihan untuk bernaung. Dari pemilu ke pemilu secara empiris diketahui bahwa sebagian suara untuk PDIP berasal dari simpatisan eks PKI.
 Mayoritas simpatisan eks PKI memang menempatkan PDIP sebagai pilihan pertama, dan hanya beberapa lainnya yang memilih partai lain, seperti misalnya Golkar. Dalam perkembangan terbaru, bekas anggota PKI dan keluarganya kini legal sejajar dengan warga negara yang lain, dan sudah sama memiliki hak politik. Lalu kenapa PDIP harus merasa terhina? Bukankah dengan demikian, mungkin ke depan massa eks simpatisan PKI dan keturunan mereka akan mencatat bahwa PDIP –seperti halnya dengan partai yang lain– ternyata  telah menggunakan standar ganda kepada diri mereka?

Kegamangan PDIP kembali terlihat dalam pokok masalah larangan ajaran komunisme. Salah seorang anggota tim sukses Jokowi-JK, yakni Dr Musda Mulia menjelang pemilihan presiden mengungkapkan bahwa bila menang, Jokowi-JK akan mengupayakan penghapusan Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang pelarangan paham komunisme di Indonesia. 
Dengan cepat hal itu dibantah oleh Jusuf Kalla –seorang aktivis gerakan tahun 1966– dan Jokowi sendiri. Tetapi belakangan lagi, bulan Agustus lalu, bekas aktivis anti Soeharto yang menjadi anggota DPR-RI antar waktu menggantikan Taufiq Kiemas di Fraksi PDIP, Bambang Beathor Suryadi, menegaskan akan memperjuangkan penghapusan Tap MPRS pelarangan ajaran komunisme itu. Dan untuk itu ia akan mengajak kader-kader PDIP yang lain untuk bersama memperjuangkannya.

SEKALI lagi, luka dari Peristiwa 30 September 1965, adalah sebuah luka yang telah kering. Teori bahwa waktu akan menghapus segala luka politik dan luka sosiologis, seakan-akan hampir menjadi benar. Hanya saja, ketika ia selalu diangkat kembali sebagai isu dan senjata politik seperti yang terjadi dalam ajang Pemilihan Presiden 2014 yang baru lalu, luka itu seakan-akan basah kembali. Artinya, alternatif pengampunan dan pelupaan dengan meninggalkan perspektif pembalasan, yang biasanya mengikuti hasil ‘politik’ keadilan di masyarakat, tidak menyelesaikan banyak konflik sejarah.

Bekas Jaksa Agung RI yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis masalah HAM, Marzuki Darusman, sejak beberapa tahun lalu menyarankan untuk memilih politik kebenaran. Satu-satunya penyelesaian yang tepat dilakukan dalam kerangka politik kebenaran, menurut Marzuki, tak lain adalah menggali kebenaran sejarah melalui penulisan sejarah secara baik dan benar. 

“Kegunaannya tidak untuk masa lampau melainkan untuk menciptakan babak baru ke masa depan di mana kita semua yang masih hidup mampu menarik pelajaran, agar masa lampau tidak lagi menjadi beban yang menghambat totalitas kita sebagai bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan yang secara eskalatif menjadi makin berat.” 

Selain itu, ia juga pernah ikut menggagas pembentukan semacam Komisi Kebenaran mengenai berbagai konflik horizontal yang pernah dihadapi bangsa ini. Komisi ini akan bisa menyelidiki dan mencatatkan temuannya sebagai suatu dokumentasi tentang kebenaran suatu peristiwa. Berguna untuk menangkal manipulasi sejarah. 

Sebenarnya, bukannya upaya semacam ini tak pernah dilakukan. Beberapa tahun lalu ada upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tapi, Mahkamah Konstitusi mematahkannya.

Pembentukan suatu Komisi Kebenaran perlu dipikirkan kembali. Bukan hanya untuk Peristiwa 30 September 1965, tapi untuk berbagai masalah bangsa lainnya, lama atau baru. Tak terkecuali mencari kebenaran tentang berbagai kecurangan laten yang senantiasa mengiringi setiap pemilihan umum dan pemilihan presiden di Indonesia….. (rum aly/socio-politica.com)

Kisah Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno, Menguak Misteri 30 September '65

Rabu 01 Oct 2014, 19:01 WIB | - detikNews


Jakarta - Pengamanan presiden ternyata sudah menjadi persoalan sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 silam. Setelah sempat hanya dikawal dengan Pasukan Pengawal Presiden, adanya percobaan pembunuhan Presiden pada 1957 maka dibentuklah Tjakrabirawa pada tahun 1962.

Dibentuknya Tjakrabirawa ini membuat Letnan Maulwi Saelan yang saat itu bertugas di Makassar lalu ditunjuk sebagai. Kepala Staff dan Wakil Komandan Tjakrabirawa. Posisi ini yang membuat Maulwi berada di ring 1 Bung Karno di saat paling kritis dalam masa peralihan kekuasaan yakni 1965-1966.

"Melalui dia kami melihat Soekarno yang sebenarnya," kata Bonnie Triyana, salah satu penulis buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno dalam peluncuran buku di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakpus, Rabu (‎1/10/2014).

Acara peluncuran buku ini juga dihadiri oleh Maulwi yang datang dengan menggunakan kursi roda. Usia yang sudah lanjut membuat seluru‎ rambutnya memutih. Ia duduk di baris paling depan bersama para veteran RI lainnya.

Penulis buku lainnya, Asvi Warman Adam yang menilai Maulwi Saelaan tak hanya seorang penjaga fisik Soekarno namun juga seorang Penjaga moral Soekarno.

"Karena Maulwi membenarkan banyak sejarah yang beredar di sekitar kita," Asvi.

Ia mencontohkan bahwa Maulwi ada mendampingi Bung Karno pada 4 Agustus 1965 saat Bung Karno mengalami stroke ringan. Sehingga, tidak benar jika ada sejarah yang menulis Bung Karno memanggil Kolonel Untung untuk menangkap beberapa orang jenderal.

"Maulwi juga menjadi saksi tidak ada surat yang dikirim Letkol Untung kepada Bung Karno yang dibaca di toilet pada 30 September saat terjadinya G30S," sambungnya.

Ditulis Asvi jika peristiwa 18 Maret 1966 menjadi peristiwa Maulwi menunjukkan keberaniannya dan ketenangannya pada Bung Karno. Saat itu Bung Karno berangkat dari Istanan Merdeka menuju Istana Bogor . Ajudan presiden, Bambang Wijanarko melaporkan kondisi sudah aman.

Namun, di air mancur Medan Merdeka Barat, rombongan presiden terhenti karena jalan terhalang truk militer milik RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Diceritakan dalam air mancur ada sebuah mobil lapis baja yang dilengkapi senapan mesin dan terarah pada mobil presiden. Saat itu diceritakan Presiden Soekarno marah karena Bambang Wijanarko melaporkan jalanan sudah steril untuk dilewati.

Para pengawal yang menumpangi jip terbuka loncat dari mobil dan berdiri mengelilingi mobil presiden. Pasukan RPKAD juga sudah mengulang senjatanya dan bersiap memuntahkan timah panas ke mobil yang ditumpangi presiden.

Saat itu, Maulwi Saelan turun dari mobil dan berteriak meminta agar Pasuka RPKAD t‎ak menembak. Ia meminta bertemu Komandan Pasukan RPKAD. Setelah bertemu, komandan Pasukan, truk truk RPKAD menepi dan rombongan presiden meneruskan perjalanan ke Istana Bogor.

"Itu membuktikan Maulwi Saelan tak hanya Penjaga fisik presiden tapi juga penjaga presiden agar terluput dari fitnah sejarah yang dilontarkan terzin penguasa orde baru," pungkas Asvi. ‎

(bil/ndr) 
http://news.detik.com/berita/2707011/kisah-maulwi-saelan-penjaga-terakhir-soekarno-menguak-misteri-30-september-65/2

Maulwi Saelan: Sukarno Tak Terlibat G30S


Presiden Sukarno dituduh mengetahui dan merestui aksi penculikan jenderal. Maulwi Saelan, mantan pengawalnya membantah keterangan itu.

MAULWI Saelan masih ingat kejadian pada malam 30 September 1965. Saat itu dia sempat menegur Letkol Untung di Istora Senayan yang lalai menjaga salah satu pintu masuk Istora Senayan. Padahal Presiden Sukarno sedang berpidato di hadapan para insinyur di acara Munastek (Musyawarah Nasional Teknik). Maulwi pegang tanggungjawab pengamanan presiden karena Sabur, komandannya, sedang pergi ke Bandung.

Selesai acara, ditemani Kolonel Bambang Widjanarko, Maulwi kembali ke Istana mengantar presiden. Sekira pukul 24.00 dia pulang ke rumahnya di Jalan Birah II, Kebayoran Baru.

Telepon di rumahnya berdering sekitar pukul 05.10, selepas Maulwi sholat Subuh. Dari seberang, ajudan presiden Kombes Sumirat mengabarkan tentang terjadinya penembakan di rumah Waperdam Leimena dan Menko Hankam/KASAB Jenderal Nasution. Maulwi mengeceknya kemudian.

Selang setengah jam kemudian, Sumirat kembali menelepon. Rumah Menpangau Laksamana Omar Dhani dan rumah Brigjen DI Panjaitan juga ditembaki, katanya. Namun, kabar itu segera dia ralat bahwa rumah Omar Dhani tak ditembaki, dan di sekitar Istana Merdeka ada banyak pasukan tak dikenal.

Di rumah Maulwi, Kapten Suwarno (Dan Ki I Yon KK) sudah hadir pukul 6 kurang seperempat. “Bapak ada di mana?” tanyanya, yang langsung dijawab Maulwi, “Apakah Bapak tak ada di Istana?”
“Tidak ada,” jawab Suwarno.

Mereka berdua segera bergegas mencari keberadaan presiden. Rumah Haryati di Grogol menjadi tujuan mereka, sesuai kebiasaan presiden apabila tak di Istana berarti ada di Wisma Yaso atau di rumah Haryati. Namun presiden tak ada di Grogol. Maulwi buru-buru bergegas ke Wisma Yaso namun langkahnya terhenti ketika sebuah jip DKP yang dilengkapi radio transmittor & receiver Lorentz tiba.

Dengan alat komunikasi itu Maulwi mencari keberadaan presiden. Akhirnya kontak tersambung dengan para pengawal presiden yang sedang bertugas. Mereka menjawab: iring-iringan presiden sedang menuju Istana Merdeka. Maulwi langsung meminta bicara dengan AKBP Mangil komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi).

Keduanya mendapat laporan dari sumber masing-masing mengenai perkembangan situasi dan keberadaan pasukan tak dikenal di sekitar Lapangan Monas. Berbekal informasi itu, Maulwi langsung memerintahkan Mangil agar membawa rombongan presiden ke rumah Haryati di Grogol. Dia menunggu di sana.

Namun rombongan presiden keburu sampai dekat air mancur Monas di Jalan Merdeka. Upaya pembelokan melalui Jalan Kebon Sirih sudah telat. Mangil langsung memerintahkan rombongan berbelok di Jalan Budi Kemuliaan, menuju Grogol untuk menghindari pasukan tak dikenal tadi. Rombongan tiba di rumah Haryati pukul 07.00.

Laporan yang diterima dari Sumirat segera Maulwi sampaikan kepada presiden. Presiden terhenyak dan berubah air mukanya. “Wah, ik ben overrompeld (wah, saya terguncang, red),” ujar presiden, kaget. Dia gelisah dan mengatakan kepada Maulwi bahwa mereka tak bisa berlama-lama di sana.

Sambil terus mengusahakan kontak dengan panglima ketiga angkatan dan Kodam Jaya, Maulwi berunding dengan Mangil mengenai upaya penyelamatan presiden dan ke mana presiden mesti dibawa. Sementara informasi dari berbagai pihak terus berdatangan. Sempat ada upaya membawa presiden untuk sementara ke rumah Sie Bian Ho, seorang kenalan Mangil di Kebayoran Baru. Tapi presiden sendiri akhirnya yang meminta mereka membawanya ke Lanud Halim Perdanakusuma.

“Sesuai prosedur standar operasi (SOP) Resimen Tjakrabirawa, pesawat Jetstar kepresidenan selalu stand by,” ujar Maulwi sebagaimana dimuat dalam biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno.

Setelah persiapan singkat, rombongan berangkat ke Halim. Di ruang Komando Operasi, Menpangau Laksamana Omar Dhani sudah menunggu. Di sanalah mereka tinggal untuk beberapa saat sambil terus mengamati perkembangan yang ada.

Keterangan Maulwi menggugurkan pendapat Kolonel Bambang Widjanarko, yang mengatakan dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno, bahwa Bung Karno terlibat G 30 S. Menurut Bambang, saat di acara Munastek presiden sempat menerima sepucuk surat dari Letkol Untung yang dititipkan lewat Sogol dan Nitri, keduanya anggota Tjakrabirawa bagian hygiene. Presiden, lanjut Bambang, lalu pergi ke toilet ditemani dirinya, Maulwi, dan Mangil. Di teras Istora, presiden berhenti sesaat untuk membaca surat tadi. Isinya, pemberitahuan Untung mengenai akan dimulainya Gerakan 30 September, yang akan menindak sejumlah perwira tinggi AD yang tak disukai Sukarno.

“Saya yang terus mendampingi Bung Karno, dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar, tidak melihat kedatangan pelayan Sogol yang menitipkan sepucuk surat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno. Pada malam itu, Bung Karno juga tidak pernah meninggalkan tempat duduk untuk pergi ke toilet dan tidak benar berhenti sejenak di teras Istora yang terang lampunya untuk membaca surat,” bantah Maulwi.

Bambang juga menganggap percakapan Kresna dan Arjuna yang dikutip Sukarno dalam pidatonya di Munastek sebagai sinyal kepada Letkol Untung dan komplotannya untuk bergerak. Padahal, Sukarno sendiri menyatakan cuplikan percapakan itu ditujukan untuk memompa semangat para insinyur agar sadar akan peran dan tanggungjawabnya dalam kehidupan berbangsa.

“Maka aku sekarang berkata kepada para teknisi, kepada seluruh rakyat Indonesia, mari kita kerjakan kita punya tugas, tanpa menghitung-hitung apa yang nanti terjadi dengan kita,” ujar Sukarno dalam pidato itu, sebagaimana dimuat dalam buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara yang dieditori Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.

Menurut James Luhulima dalam Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain, keterangan Bambang hampir semua dibuat-buat untuk keamanan dirinya dan menjadikan Sukarno sebagai kambing hitam. Pernyataan Bambang itu disampaikannya di depan Kolonel CPM Soegiarjo dan AKBP Azwir Nawie dari Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) pada 3 Oktober 1970.

Hasil pemeriksaannya itu lalu muncul menjadi buku The Devious Dalang: Soekarno and So Called Untung Putsh, Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko yang ditulis Antonie Dake. Bambang kemudian juga membuat memoar. 
“Uniknya, di dalam bukunya yang berjudul Sewindu Dekat Bung Karno yang terbit pada tahun 1988, atau hampir 18 tahun sesudahnya, Kolonel KKO Bambang Widjanarko sama sekali tidak menyinggung tentang kesaksiannya yang memberatkan Presiden Soekarno yang diberikannya kepada Teperpu,” tulis Luhulima.

Kecuali Bambang, Maulwi, Mangil, dan komandan mereka Brigjen Sabur semua dipenjara tanpa pengadilan ketika Sukarno sudah turun dari kursi presiden. 
Resimen Tjakrabirawa sendiri dibubarkan Soeharto pada 1966. Maulwi sempat menelepon Bambang untuk bertemu guna mendapatkan penjelasan dari informasinya. Bambang menyanggupi. “Tapi sampai dia meninggal, dia nggak pernah mau bertemu saya,” ujar Maulwi kepada Historia.

http://historia.id/modern/maulwi-saelan-sukarno-tak-terlibat-g30s