Rabu, 01 Okt 2014 13:41 WIB - Antonius Eko
Ketika sejarah menyebut dalangnya PKI dan digunakan sebagai alasan untuk mendiskriminasi orang lain itu yang salah
1 Oktober1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI.
Masyarakat panik, Jakarta mencekam. Koran-koran yang punya hubungan dengan militer menulis tentang kekerasan terhadap para jenderal yang dibawa ke Lubang Buaya di Jakarta Timur. Bukan hanya kekerasan, tapi perbuatan sadis, seperti menyiletan kemaluan dan pencungkilan mata.
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi Muslim sayap kanan, seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sejak itulah muncul stigma bahwa PKI itu jahat. Stigma itu dipupuk terus secara berkala melalui pembuatan buku, film, museum dan monumen yang dilakukan sepanjang Orde Baru.
PNS Itu Dituding Bunuh Para Jenderal
Salah satu korban stigma itu adalah Sudarno, PNS di era Orde Lama. Statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak jelas, sejak dituduh sebagai anggota PKI di tahun 1965. Dipecat tidak pernah menerima surat pemecatan, diskors juga tidak ada surat skors. Gaji juga tidak pernah dibayar.
Waktu itu Sudarno ikut sebagai sukarelawan Ganyang Malaysia pada 1964. Itu pun atas instruksi institusinya, kantor Kecamatan Lebak Barang, Pekalongan, Jawa Tengah. Sudarno ditahan dengan tuduhan ikut membunuh para jenderal.
Sudarno akhirnya ditahan di Pulau Buru. Dia masih ingat siksaan yang dia alami saat di penjara. Di sana, para tahanan bekerja di bawah todongan senjata. Sebelum dipindahkan ke Pulau Buru, Sudarno mendekam di penjara kelas I Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana dia mengalami siksaan yang tidak kalah kejam.
“Kerja di bawah todongan senjata, terus diikuti oleh di sana istilahnya tonwal, peleton pengawal. Tonwal tidak segan-segan menghukum kita,” cerita Sudarno.
“Saya kebetulan ditunjuk sebagai kepala kelompok, memimpin orang lima puluh, pernah seratus untuk ngatur kerja. Lah itu lebih berat lagi tanggung jawabnya, salah-salah bisa dipukuli. Jika anak buah salah kita kepala kelompok tidak tahu, kita tetap dipukuli.”
Sudarno akhirnya bebas pada 1979. Tapi dia sulit untuk bisa kembali membaur dengan masyarakat. Peluang untuk kembali menjadi PNS sudah tertutup. Akhirnya dia menjadi akupuntur.
Hidupnya makin sulit karena stigma PKI. Ayahnya turut ditangkap dengan tuduhan yang sama. Rumah dan tempat usaha orang uanya dibakar pasca penangkapan.
"Kalau ada apa-apa gampangnya itu orang PKI. Kalau ibu saya dulu kalau mau numpang berteduh saja sulit, orang-orang pada takut. Takut kalau rumahnya ikut dibakar. Pernah rumah saudara saya ikut dibakar. Jadi yang ditumpangikan takut."
Hampir 50 tahun Sudarno tidak mendapatkan hak mereka sebagai pegawai negeri sipil, seperti gaji bulanan hingga uang pensiun. Sudarno pasrah dan tidak mempertanyakan lagi status kepegawaiannya.
"Saya tanya ya sia-sia. Sia-sianya masih kekuasaan orde baru itu gak mungkinlah diurusi. Ya lihat saja, sudah bekas PKIm sudah ditahan ya sudahlah. Daripada banyak masalah, anak-anak sekarang yang tidak tahu akhirnya nanti tahu ya sudah biarin saja. Saya bisa bekerja dengan cara ini untuk menghidupi keluarga."
Stigma Masih Ada
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam menyebut, stigma PKI masih ada karena ada orang-orang yang berkepentingan agar stigma ini diteruskan. Terutama orang-orang yang dulu terlibat dalam penangkapan, pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap PKI. Mereka itu adalah tentara, kelompok angkatan 66 dan kalangan elit Islam yang dulu terlibat dalam peristiwa 65.
“Tujuan mempertahankan stigma ini agar mereka tak dipersalahkan dalam pembantaian ini. Jadi tindakan yang mereka lakukan itu tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Itulah sebabnya stigma itu terus dihembuskan,” kata Asvi.
Stigma akhirnya dipakai untuk membungkam orang-orang yang kritis pada masa Orde Baru. Stigma juga digunakan untuk mengambil tanah dengan murah. Kalau petani tidak menyerahkan tanahnya maka dengan mudahnya mereka dicap PKI.
Stigma ini akhirnya tercampur dengan diskriminasi. Orang-orang yang dianggap terlibat G30 S dan keluarganya tidak boleh menjadi PNS, tidak diperkenankan menjadi anggota TNI. Stigma dan diskriminasi ini terjadi di sepanjang Orde Baru.
“Stigma juga membuat orang takut dan khawatir. Misalnya, ingin menikahkan anaknya, tapi calon menantunya punya orangtua yang terlibat G30S. Bisa-bisa perkawinan itu akhirnya gagal,” tambah asvi.
Sementara sosilog dan guru besar di Universitas Airlangga Hotman Siahaan menyebut stigma itu masih efektif dipakai menjadi alat untuk menjatuhkan lawan politik. Di masyarakat bawah stigma itu dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang jahat dan harus dilawan. Stigma ini jauh lebih ampuh dibanding sebutan koruptor.
“Kalau Anda koruptor, tidak efektif. Tapi coba sebut PKI, kenangan masa lalu akan kembali muncul. Masyarakat masih trauma dengan kejadian itu, termasuk generasi muda yang sebenarnya tidak mengalami,” ungkap Hotman.
Pelurusan Sejarah
Contoh lain adalah penulisan Gerakan 30 September (G30S) masih ditambah embel-embel PKI, misalnya seperti yang ada di kurikulum 2006 hingga sekarang. Pada Kurikulum 2004 sempat dipebaiki, hanya ada tulisan G30S. Tapi muncul tuntutan dari elit-elit Islam akhirnya kembali menjadi G30S PKI.
Kata Asvi, stigma ini juga dilestarikan dalam peringatan hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya. Padahal menurutnya, peringatan Kesaktian Pancasila itu tidak relevan karena tak hubungannya antara Pancasila dengan yang terjadi pada 30 September.
“Kalau mau diperingati lebih baik dilaksanakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,” kata Asvi.
Asvi menekannya pentingnya pelurusan sejarah. Tugas ini ada di pundak para sejarawan. Sayangnya, masih ada sejumlah sejarawan tua yang sulit diajak berubah. Mereka yang ikut menulis sejarah versi Orde baru mungkin agak sungkan mengubah tulisannya, kata Asvi.
“Dulu mereka mengatakan hanya ada satu pilihan PKI. Ternyata sekarang ada berbagai versi yang lain. Ini tidak mudah bagi orang-orang tua itu. Harusnya mereka merasa bersalah,” tambahnya.
Hotman Siahaan mengusulkan para sejarawan berkumpul dalam suatu simposium yang terbuka yang bisa menjadi awal dari proses pelurusan sejarah.
“Harus ada penyadaran di masyarakat bahwa masalah PKI ini harus diluruskan. Ini juga berkaitan dengan teks sejarah kita. Kita masih gelap betul dengan sejarah PKI itu. Begitu banyak kontroversi yang ditulis orang. Kan harus diluruskan sejarah itu. Di era reformasi seharusnya ada transparansi sejarah.”
Kata Asvi, pelurusan sejarah bukan hanya keilmuan semata. Tapi sejarah telah digunakan sebagai alat untuk menindas. Itu yang harusnya diketahui oleh para sejarawan.
“Sejarah bukan sekadar mengetahui siapa dalang dari peristiwa ini,” papar Asvi.
“Ketika sejarah menyebut dalangnya PKI dan digunakan sebagai alasan untuk mendiskriminasi orang lain itu yang salah,” tegasnya.
0 komentar:
Posting Komentar