Utami Diah Kusumawati, CNN
Indonesia | Kamis, 23/10/2014 10:33 WIB
Komnas HAM dan Kejaksaan
Agung memaknai berbeda UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dampaknya,
berkas pelanggaran HAM bolak balik dua lembaga. (detikFoto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Adanya perbedaan tafsir
Undang-Undang (UU) antara Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) menyebabkan proses penegakkan hukum kasus pelanggaran HAM masa
lalu berjalan lambat. Akibatnya, berkas penyelidikan masih bolak-balik antar
dua lembaga negara.
"Beberapa kali berkas dikembalikan Kejagung. Kami lengkapi dan dikembalikan lagi. Pasalnya ada kelemahan UU," kata Roichatul Aswidah selaku Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (23/10).Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu dibentuk oleh Komnas HAM pada bulan Desember 2012 untuk menuntaskan tujuh kasus diantaranya Talangsari Lampung 1989, Semanggi 1 dan Semanggi 2, Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, Wasior dan Wamena dan Pembunuhan Misterius 'Petrus'.
Undang-undang tersebut, kata Roichatul, merujuk pada UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang digunakan sebagai dasar penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Menurut Pasal 20 ayat 1 dari UU tersebut dinyatakan saat 'terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik'.
Pasal tersebut, menurut perempuan yang juga komisioner Komnas HAM tersebut, dimaknai penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM hanya sebatas menemukan kesimpulan dari sebuah peristiwa atau menetapkan bukti permulaan. Persoalan menetapkan tersangka semestinya kewajiban penyidik dari Kejagung.
"Namun sayangnya, pihak Kejagung menilai berbeda," kata dia.Pihak Kejaksaan Agung, lanjutnya, meminta penyelidikan telah lengkap jika pihak penyidik Komnas HAM telah menetapkan nama tersangka dan bukan hanya menetapkan kesimpulan atas peristiwa.
Padahal, seringkali penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM terkendala oleh persoalan surat izin. Roichatul mengatakan pada contoh kasus pembongkaran atau penggalian kuburan korban serta permintaan dokumen, pihak penyidik Komnas HAM mesti meminta surat izin dari pihak Kejaksaan Agung. Hal ini berdampak memperlambat proses penyidikan, dia menambahkan.
Undang- Undang No. 26 tahun 2000, katanya, juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai pembentukan langkah-langkah pengadilan HAM adhoc. Padahal, praktiknya dalam 7 kasus pelanggaran HAM masa lalu dibutuhkan adanya pengadilan HAM adhoc.
"Terutama kasus-kasus yang berada dibawah tahun 2000," katanya.Mekanisme penyelesaian kasus tersebut, kata dia, berkas diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Lalu, Kejagung akan melakukan penyidikan dan mengirimkan laporan ke Presiden. Presiden kemudian menyurati DPR dan DPR akan merapatkansecara internal untuk kemudian keluarkan rekomendasi Pengadilan HAM ad hoc.
Tak hanya itu, pihak Kejagung juga meminta semua penyidik Komnas HAM untuk disumpah sebelum melakukan pekerjaan mereka.
"Padahal menurut UU itu tidak perlu," dia menegaskan.Roichatul mengatakan saat ini pihaknya sedang mencoba mencari celah untuk bisa beraudiensi langsung dengan Presiden Jokowi. Sebelumnya, Komnas HAM juga sudah melakukan audiensi pada pertengahan Oktober dengan petinggi Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR), yakni Setya Novanto, Agus Hermanto dan Fadli Zon. Pertemuan itu, katanya, membahas tentang peningkatan kapasitas kelembagaan Komnas HAM serta persetujuan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
"Sudah kami komunikasikan ke DPR. Tinggal tunggu bahasan dengan Ketua Komisi 3 DPR saja. Ini masih proses pemilihan pimpinan komisi," dia menutup pembicaraan.
0 komentar:
Posting Komentar