Rabu, 01 Oktober 2014 | 06:20 WIB
Naskah genjer-genjer. TEMPO/Ika Ningtyas
TEMPO.CO, Banyuwangi--Kesedihan menyergap Sinar Syamsi setiap tanggal 30 September. Memori kelam 49 tahun lalu masih membekas di ingatannya. "Seharian ini saya hanya nonton televisi di kamar," katanya dengan wajah tertunduk, Selasa, 30 September 2014.
Syamsi masih ingat, beberapa hari setelah tujuh jenderal dibunuh di Jakarta pada 30 September 1965, rumahnya di Kelurahan Temenggungan, Kabupaten Banyuwangi dikepung ratusan orang. Rumah itu diobrak-abrik. Ayahnya, Muhammad Arif, digelandang karena dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.
Syamsi, yang saat itu kelas 4 sekolah dasar, hanya bisa memandangi ayahnya yang dibawa pergi. Ia dalam dekapan ibunya, Sayekti. Di antara ribuan buku yang berkalang di tanah, dia mengambil tiga buku. Syamsi tahu persis di buku itulah Muhammad Arif sering menulis syair beserta notasinya. Lagu berjudul Genjer-genjer berada di lembar kesebelas di satu buku itu.
Selama 49 tahun, ketiga buku itu disimpan ala kadarnya, hanya dibungkus koran bekas dan tas plastik. Warnanya telah memudar kecoklatan, tapi tulisan tangan di dalamnya masih terbaca jelas.
Setelah Muhammad Arif tak pernah kembali, Syamsi dan ibunya pindah rumah di tanah seluas 420 meter persegi milik neneknya di Jalan Boediono No 26. Syamsi membawa tiga buku itu beserta sebuah kursi dan meja kayu milik ayahnya. "Rumah lama kami dijual orang," kata lelaki berusia 61 tahun ini.
Muhammad Arief adalah seorang petani di Banyuwangi. Dia juga seniman angklung yang pandai mencipta lagu. Setelah Indonesia merdeka, Arief bergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), organisasi yang didirikan Amir Sjarifuddin yang kemudian menjadi Pemuda Rakyat. Tahun 1950-an, dia masuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), dan menjabat Ketua Bidang Kesenian. Setelah Pemilu pertama tahun 1955, Arief diangkat sebagai anggota DPRD setempat sebagai wakil seniman.
Setelah bergabung dengan Lekra, kata Syamsi, Arief mendirikan grup angklung bernama Srimuda, kependekan dari Seni Rakyat Indonesia Muda. Anggotanya 30 orang, mulai pemain angklung, sinden dan penari.
Angklung Srimuda ini cukup terkenal. Mereka sering menggelar pertunjukan seni dan mengisi acara-acara politik PKI. Bahkan Srimuda sering diundang ke Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Setiap kali tampil, kata Syamsi, Genjer-genjer menjadi lagu wajib karena menyuarakan penderitaan rakyat. Itulah sebabnya mengapa lagu Genjer-genjer menjadi populer. Di bawah label Irama Record, Lilis Suryani dan Bing Slamet merekam lagu ini pada 1965 dalam bentuk album kompilasi Mari Bersuka Ria.
Menurut Syamsi, syair Genjer-genjer sebenarnya bercerita tentang penderitaan rakyat Banyuwangi akibat kekejaman Jepang. Meluasnya kelaparan, membuat penduduk Banyuwangi terpaksa memakan genjer, gulma di sawah yang sebenarnya makanan itik.
Tak hanya menulis lagu berbahasa Using, Arief banyak menciptakan sejumlah mars paduan suara. Seperti Ganefo, Lekra, Aksi Tani dan Harian Rakjat. Lirik mars ini juga tertulis dalam tiga buku yang disimpan Syamsi. Mars akhirnya dipakai secara nasional dan beberapa di antaranya juga direkam. Namun Kesenian angklung termasuk Genjer-genjer tiarap seiring dengan pelarangan PKI. Banyak senimannya dibunuh, termasuk Arief.
Beban masa lalu itulah yang akhirnya membuat jalan hidup Syamsi ikut terjal. Sejak bersekolah di SD hingga SMA, olok-olokan sebagai anak PKI seperti menjadi santapan sehari-hari. "Saat itu rasanya saya ingin pergi jauh," kata ayah beranak tiga ini.
Lulus SMA, Syamsi harus meneguk kecewa karena cita-citanya menjadi menjadi anggota TNI Angkatan Laut kandas lantaran dicap anak PKI. Dia kemudian mencoba peruntungan dengan bergabung ke salah satu grup musik dangdut. Saat manggung di Magelang pada 1981, akhirnya dia bertemu dengan Titik Puji Rahayu yang kemudian menjadi isterinya. "Kami cocok karena sama-sama dituduh sebagai anak PKI," katanya.
Syamsi pun menjalani kehidupannya dengan bekerja serabutan. Terakhir dia membuka usaha catering. Walaupun peristiwa G 30 S sudah hampir setengah abad berlalu, namun teror pada keluarga Syamsi belum reda. Rumahnya sering menjadi sasaran lemparan batu segenggaman tangan. "Teror masih terus terjadi," kata Syamsi.
Syamsi menduga tiga buku ayahnya yang dia simpan sebagai pemicu teror. Pernah suatu kali dia berniat membakar buku-buku itu. Bahkan saat ini dia berharap ada orang yang membeli buku itu seharga Rp 100 juta. "Katanya ada orang dari Denmark ingin beli buku ini, tapi belum ada tindak lanjut," keluh dia.
Bila buku itu laku, Syamsi, ingin segera meninggalkan Banyuwangi untuk menyusul istri dan ketiga anaknya di Tangerang. "Di sini saya hidup sendiri, menunggui rumah barangkali ada yang mau beli juga," kata dia lirih.
IKA NINGTYAS
https://m.tempo.co/read/news/2014/10/01/114611009/duka-pewaris-naskah-genjer-genjer
0 komentar:
Posting Komentar