HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 30 Juni 2018

Sejarawan Rusia Pembongkar Genosida Josef Stalin Ditangkap

Reporter: Eka Yudha Saputra | Editor: Maria Rita Hasugian
Sabtu, 30 Juni 2018 17:00 WIB

Yuri Dmitriyev dikawal ke ruang pengadilan di kota Petrozavodsk, barat laut Rusia di Petrozavodsk, Rusia, Kamis, 28 Juni 2018.[Foto AP / Vladimir Larionov]

TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Rusia minggu ini kembali menahan seorang akademisi dan sejarawan yang membongkar pembersihan Stalin, atas tuduhan pelanggaran seksual terhadap putrinya yang berusia di bawah umur. Namun tuduhan ini dianggap kelompok hak asasi manusia lihat sebagai upaya palsu untuk menutup hasil karyanya yang membongkar kejahatan era Uni Soviet.

Namun Yuri Dmitriyev, yang kini berusia 62 tahun, menyangkal melakukan kejahatan seksual yang dituduhkan kepada dirinya. Dmitriyev ditangkap pada Rabu 28 Juni, ketika Rusia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 yang berupaya membersihkan Rusia atas reputasi represifnya.

Putri Dmitriyev yang lebih tua, Ekaterina Klodt, seperti dilaporkan dari Associated Press, 30 Juni 2018, mengatakan dia yakin ayahnya sedang dipersekusi karena penelitiannya dan aktivitas di lembaga hak asasi manusia yang ia pimpin, Memorial.
"Seseorang tidak menyukai pekerjaan yang dia lakukan," kata Klodt.
Penangkapan itu merupakan langkah terakhir dalam kasus hukum yang menimpanya. Dmitriyev menghabiskan setahun lebih di penjara sebelum dibebaskan musim semi ini atas tuduhan pornografi anak.

Sebuah pancang kayu terlihat di kuburan massal di luar Medvezhyegorsk, Rusia, Rabu, 9 Agustus 2006.[Foto AP/Vladimir Larionov]

Dilaporkan oleh The Moscow Times, jika terbukti bersalah, Dmitriyev terancam 12 hingga 20 tahun penjara. Tuduhan terhadap Dmitriyev, berdasarkan pada sembilan foto putri angkat Dmitriyev yang ditemukan di komputer rumahnya. 

Dmitriyev mengatakan dia secara teratur memotret gadis itu untuk mendokumentasikan kesehatannya. Otoritas Rusia menuduh Dmitriyev membuat pornografi anak karena mengambil foto telanjang putri angkatnya.
 Namun selama persidangan pertama Dmitriyev, pengadilan menemukan gambar-gambar non-pornografi dan dia dibebaskan pada April 2018. Tetapi keputusan itu dibatalkan pada bulan Juni setelah jaksa dilaporkan menghadirkan bukti baru.

Uni Eropa mempertanyakan kebenaran tuduhan terhadap Dmitriyev. Kasus ini mengejutkan komunitas hak asasi manusia Rusia, yang melihatnya sebagai upaya untuk mendiskreditkan karyanya untuk mengungkap korban Stalin. Para penulis, sejarawan, dan tokoh publik lainnya di Rusia menuntut pembebasan Dmitriyev. Awal tahun ini, sesaat setelah dibebaskan dari penjara, Dmitriyev mendapat penghargaan hak asasi manusia oleh Moscow Helsinki Group.

Dmitriyev, seorang sejarawan dan etnografer otodidak, menemukan kuburan massal di hutan Karelia yang penuh dengan tengkorak dan kerangka manusia pada tahun 1997. Selama dua dekade, 9.500 lebih korban yang dibunuh atas perintah Josef Stalin pada 1930-an. Melalui penelitian arsip dan ekspedisi di hutan, Dmitriyev mengubah ladang pembunuhan yang tidak diketahui menjadi sebuah tugu peringatan di mana sanak keluarga korban pembersihan Stalin, akhirnya bisa memberi penghormatan. Sebuah monumen batu raksasa menandai tugu peringatan yang dikenal sebagai Sandramokh, dan diukir dengan tulisan "Wahai Manusia, Jangan Saling Membunuh Satu Sama Lain".
“Tidak mungkin seseorang akan menghilang begitu saja tanpa jejak. Jika dia mati kelaparan atau dieksekusi, orang itu harus memiliki kuburan,” kata Dmitriyev dalam wawancara sebelum penangkapannya, "Memori itulah yang membuat kita menjadi manusia."

Sebuah foto batu raksasa menandai situs, Rabu, 9 Agustus 2006, yang dikenal sebagai Sandramokh yang diukir dengan tulisan "Manusia Tidak Membunuh Satu Sama Lain" di sebuah kuburan massal di mana ribuan korban pembantaian oleh Stalin dieksekusi, di luar Medvezhyegorsk, Rusia.[Foto AP/Vladimir Larionov]

Para pendukung Dmitriyev berspekulasi bahwa dia menarik kemarahan pejabat setempat ketika acara peringatan di Sandarmokh mulai menarik perhatian publik luas. Beberapa ahli juga percaya hal ini dikarenakan pemerintah Rusia memiliki banyak staf dan dipengaruhi oleh anggota badan keamanan, yang pernah melakukan pembersihan, dan Dmitriyev seperti duri bagi mereka.

Masalah hukum Dmitriyev dimulai pada 2016, ketika polisi menemukan hampir 200 foto di hard drive komputernya, dan sembilan dianggap pornografi, menurut pengacara Dmitriyev, Viktor Anufriyev.

Dmitriyev sendiri adalah yatim piatu, mengadopsi putrinya ketika berusia 3 tahun setelah dua anak kandungnya tumbuh dewasa. Gadis yang diadopsi memiliki fisik yang lemah dan kesehatannya rentan, ungkap Dmitriyev.

Dmitriyev mulai menyimpan buku harian foto gadis itu yang sehat setelah staf di tempat penitipan anak memperhatikan lebam pada tubuhnya dan mencurigai Dmitriyev memukulnya. Dmitriyev mengatakan tanda-tanda itu adalah bekas tinta koran yang tersisa setelah dia merawat putrinya dengan plester mustard, obat yang banyak digunakan di negara-negara pasca-Soviet untuk pilek dan flu. Foto-foto itu juga merupakan cara bagi Dmitriyev untuk mencatat perkembangan fisik putri adopsinya.

Berdasarkan kesaksian awal tim ahli pengadilan Dmitriyev yang pertama, mengatakan menemukan foto-foto mengandung unsur pornografi, namun kemudian hakim menilai tidak ada unsur pornografi. Sebuah lembaga psikiater pemerintah juga memeriksa Dmitriyev dan menyimpulkan bahwa dia tidak memiliki penyimpangan seksual dan bukan seorang pedofil.
"Jika ini adalah pornografi, saya mengatakan kepada hakim bahwa dalam kasus itu besok kita harus menutup semua museum di Rusia dan dunia karena mereka penuh dengan pornografi semacam itu," kata Lev Scheglov, dokter dan seksolog Rusia.
Sumber: Tempo.Co 

AS Akhiri Kehadiran Militer 70 Tahun di Seoul

Sabtu, 30 Juni 2018 13:58 WITA

Camp Humphreys

RAKYATKU.COM - Amerika Serikat secara resmi mengakhiri tujuh dekade kehadiran militer di ibukota Korea Selatan, pada hari Jumat (29/06/2018). Sebagai gantinya, mereka membuka markas baru yang lebih jauh dari jangkauan artileri Korea Utara, yaitu di ke Camp Humphreys, sekitar 70 kilometer selatan Seoul.

Sebagian besar pasukan telah dipindahkan ke lokasi baru itu, dan AS mengatakan yang tersisa akan pindah pada akhir tahun ini.

Terletak di kota pelabuhan Pyeongtaek barat dan dekat dengan lapangan udara AS, komando baru ini memliki luas 1.420 hektar, ini merupakan pangkalan militer AS terbesar di luar negeri. Pembuatan pangkalan ini menelan biaya $11 miliar. Dikatakan bahwa Korea Selatan membayar sekitar 90 persen dari biaya tersebut.
"Gedung markas besar ini, di dalam kompleks markas besar yang mengelilinginya, mewakili investasi signifikan dalam kehadiran jangka panjang pasukan AS di Korea," kata Jenderal Vincent Brooks, komandan Pasukan AS-Korea, selama upacara pembukaan.
"Pasukan AS Korea akan tetap menjadi bukti nyata komitmen Amerika terhadap aliansi."
Dalam sebuah pesan yang dibacakan pada upacara oleh seorang pembantu, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan bahwa markas besar itu adalah landasan dari aliansi AS-Korea Selatan.
"Dalam membuka era baru markas pasukan AS di Pyeongtaek, saya berharap bahwa aliansi AS-Korea Selatan akan berkembang melampaui aliansi militer dan aliansi komprehensif dan menjadi aliansi yang hebat," kata Moon dalam pernyataan, seperti dikutip Bloomberg.
Meskipun relokasi ini dilakukan di tengah mendinginya hubungan dengan Korea Utara, namun itu sebenarnya sudah direncanakan jauh sebelumnya.

Relokasi itu adalah bagian dari rencana AS yang luas untuk menyetel kembali 28.500 tentaranya dan basis mereka di Korea Selatan menjadi dua pusat utama, satu di Pyeongtaek dan satu lagi di kota Daegu di tenggara. Para pejabat AS mengatakan mereka ingin keluar dari daerah padat penduduk dan meningkatkan efisiensi dan kesiapan militer. 
"Peperangan modern adalah tentang memusatkan dan mengerahkan kekuatan dengan cepat, dan Pyeongtaek dalam hal ini memiliki banyak keuntungan karena itu benar-benar dapat berfungsi sebagai saluran keluar, tidak seperti Yongsan, yang terjebak di tengah pusat populasi," kata Yun Jiwon, seorang petugas keamanan. profesor di Universitas Pyeongtaek.
Militer AS telah bermarkas di daerah Yongsan, Seoul sejak pasukan Amerika pertama kali tiba di sana pada akhir Perang Dunia II.

Daerah Yongsan telah diduduki oleh pasukan asing sejak akhir abad ke-19. Pasukan Tiongkok menggunakan situs ini sebagai markas mereka ketika mereka datang untuk membantu menekan pemberontakan pada tahun 1882. Tentara Kekaisaran Jepang mengambil alihnya selama penjajahan Jepang di semenanjung dari tahun 1910 hingga 1945.


Militer AS tiba untuk melucuti senjata Jepang setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II. Sebagian besar pasukan AS ditarik pada tahun 1949 tapi mereka kembali tahun berikutnya untuk bertarung bersama Korea Selatan dalam Perang Korea melawan Utara. 
Pada tahun 1957, komando militer AS di Korea Selatan secara resmi diluncurkan di Yongsan.

Sumber: NewsRakyatku.Com 

Jumat, 29 Juni 2018

Catatan Soal Pemuda Pancasila Perusak Kantor PN Bantul

Catatan: Made Supriatma

Mengapa organisasi ini masih boleh terus memakai nama Pancasila? Inikah tingkah laku yang dicerminkan oleh nama yang diusungnya itu? Itulah pertanyaan saya demimembaca berita tentang perusakan di gedung pengadilan di Bantul, DIY, hari ini. Majelis hakim memutus Ketua Pemuda Pancasila bersalah.
Organisasi ini pada awalnya diciptakan di Sumatera Utara oleh partai politik dukungan militer, IPKI. Mereka yang menonton film 'Jagal' (The Act of Killing) mesti tahu bagaimana anggota-anggota organisasi ini bertindak (Pancasilais?) dalam melakukan pembantaian tahun 1965.
Pada tahun 1980an, nama organisasi ini dihidupkan kembali. Pertama sebagai bagian dari persaingan dan pertarungan politik di antara pembantu-pembantu Suharto. Sesudah penembakan misterius tahun 1982, yaitu pembantaian mereka yang dianggap kriminal, organisasi ini menjadi nasional.
Pemuda Pancasila bertujuan menghimpun preman-preman yang "sadar." Dia pun menjadi pengawal kepentingan-kepentingan Suharto dan keluarganya.
Sesudah kekuasaan Suharto runtuh, organisasi ini tidak ikut runtuh. Dia tetap berjaya. Dia tetap hidup karena ada yang memerlukannya. Dia tetap bernafas dan bahkan tumbuh membesar karena ada yang memberinya makan dan memeliharanya baik-baik.
Di jaman demokrasi ini, masih banyak yang memerlukannya. Khususnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor yang tidak bisa dilakukan secara legal formal. Di negeri dimana kekuasaan dan premanisme ini berhimpitan tanpa batas yang jelas, organisasi seperti ini akan hidup. Dan, hidup dengan subur!
Penguasa memerlukannya. Oposisi menggunakannya. Kalangan bisnis membutuhkannya. Partai politik dengan gembira mengadopsinya sebagai anak kandungnya.
Yang lebih penting lagi, dia bisa berbuat apa saja tanpa tersentuh oleh hukum. Kalau tersentuh oleh hukum, dia bisa membalas dengan melakukan perusakan.
Apa yang terjadi di Pengadilan Negeri Bantul, DIY, ini memang hanya perusakan benda-benda. Namun, bisakah Anda bayangkan jika Anda yang menjadi hakimnya? Menjadi jaksanya?
Para mafioso ditakuti karena kekejaman dan kebrutalannya dalam membunuh. Karena itulah, mereka jarang membunuh. Mereka hanya perlu memberikan "pernyataan" atau sinyal, itu sudah cukup untuk membuat hati ciut.
Inikah Pancasila? Apa yang menjustifikasi orang-orang ini memakai nama Pancasila untuk organisasinya? Bukankah hal-hal yang seperti ini yang lebih merusak Pancasila?
Namun saya yakin, pertanyaan-pertanyaan ini pun akan mentah. Para elit negeri ini memerlukan mereka. Memang, batas antara penguasa dan preman sangat tipis di negeri ini.
Selanjutnya baca beritanya [Di Sini]

Kamis, 28 Juni 2018

Pemuda Pancasila Rusak Pengadilan Negeri Bantul

Ahmad Mustaqim | Kamis, 28 Jun 2018 20:19 WIB


Kerusakan di Pengadilan Negeri Bantul. Foto: Istimewa
Bantul: Kantor Pengadilan Negeri Bantul, Yogyakarta, dirusak massa Pemuda Pancasila pada Kamis, 28 Juni 2018. Peristiwa terjadi usai pembacaan sidang vonis Ketua Pemuda Pancasila Bantul, Doni Bimo Saptoto alias Doni Abdul Ghani, dalam kasus pembubaran dan perusakan pameran seni di Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia, pada Mei 2017.

Humas Pengadilan Negeri Bantul, Zaenal Arifin, mengatakan perusakan terjadi beberapa saat setelah ketua majelis hakim Subagyo membacakan putusan sidang. Menurut dia, ratusan orang berseragam Pemuda Pancasila berorasi di depan gedung pengadilan tak lama usai sidang putusan. 
"Setelah putusan, massa di luar ruang sidang orasi. Mungkin massa tersulut emosinya," ujar Zaenal saat dihubungi pada Kamis, 28 Juni 2018. 
Akibat peristiwa itu, sejumlah fasilitas di pengadilan tersebut rusak. Beberapa yang rusak parah di antaranya kaca gedung di ruang lobi, meja piket satpam, kursi pengunjung persidangan, layar pengumuman agenda persidangan, hingga sejumlah pot tanaman di luar dan di dalam gedung.
"Saya tidak tahun detail alasan perusakan. Semua pakai seragam (Pemuda Pancasila). Jumlahnya sekitar 100 orang," ujarnya. 
Zaenal bilang, pihak pengadilan sudah berkoordinasi dengan Polres Bantul untuk pengamanan sidang itu. Namun, jumlah aparat hanya puluhan dan kalah dengan massa pengunjung persidangan yang lebih baik hak. 
"Massa terlalu banyak jadi tidak bisa mengendalikan. Jumlah aparat hanya sekitar 30-50 orang," ucapnya. 


Zaenal mengatakan pihaknya belum tahu apakah langkah selanjutnya yang akan diambil menyusul perusakan itu. Ia menyatakan ketua pengadilan masih koordinasi dengan Kapolres Bantul.

Sementara itu, di dalam sidang putusannya yang dibacakan hakim Subagyo, menyatakam Doni terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memaksa orang lain dengan kekerasan, yakni melanggar Pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP. Majelis hakim menjatuhkan vonis 5 bulan pidana dengan masa percobaan sembilan bulan. "Terdakwa tidak perlu menjalani pidana kecuali dikemudian hari terdakwa melakukan kesalahan," kata dia.

Menanggapi putusan hakim, Doni mengatakan, hal itu terlalu tinggi. Menurut dia, dari tuntutan hakim sebelumnya enam bulan pidana, harusnya bisa turun dua pertiga.

Ia juga menilai, perusakan yang dilakukan sebagai bentuk spontanitas yang dilakukan simpatisan Pemuda Pancasila. Doni menyebut anggota pemuda Pancasila yang hadir banyak dari wilayah Jawa Tengah, seperti Pemalang, Semarang, Sukoharjo, Tersebut, dan Wonosobo. 

Soal langkah selanjutnya apakah akan banding atau menerima putusan hakim, iaemgaku masih pikir-pikir. Ia akan berkonsultasi dengan Ketum Pemuda Pancasila pusat. 
"Yang saya lakukan ini menjaga ideologi Pancasila dari komunisme (dengan pembubaran pameran). Ini bukan kekalahan saya, tapi kekalahan negara ini," ujarnya.
(ALB)

Sumber: MetroNews 

Ketua Pemuda Pancasila Bantul Divonis Bui Karena Perusakan, Pengadilan Dirusak

Mukhlison Sri Widodo | 28-06-2018 18:53


Perusakan pengadilan negeri bantul. (GATRA/Arief Koes/RT)

Yogyakarta, Gatra.com - Pendukung organisasi masyarakat Pemuda Pancasila Bantul merusak Kantor Pengadilan Negeri (PN) Bantul, Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Kamis (28/6).

Ketua Pemuda Pancasila Bantul Doni Bimo Satono atau Doni Abdul Gani mengatakan aksi itu sebagai bentuk ketidakpuasan atas vonis yang dijatuhkan kepadanya dalam kasus perusakan sebuah pameran.
Sejak Maret lalu, Doni menjalani sidang di PN Bantul sebagai terdakwa utama atas aksi perusakan karya-karya  foto Andreas Iswinarto yang dipamerkan di Kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) pada Mei 2017.
Hakim Ketua Subagyo menjatuhkan vonis hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan 9 bulan kepada Doni sesuai ayat 1 pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
“Aksi yang terjadi hari ini adalah bentuk tidak terima  kami terhadap vonis yang dijatuhkan hakim. Ini aksi spontan dari para pendukung saya,” kata Doni saat ditemui awak media di Kantor PN Bantul.
Doni dan pendukungnya melihat vonis ini sebagai bentuk pengakuan negara dan memberikan kemenangan terhadap orang-orang yang ingin menghidupkan paham komunisme. 
Doni menganggap, vonis atas dirinya ini sebagai kekalahan Pemuda Pancasila seluruh Indonesia.
Pemuda Pancasila menilai keputusan hakim PN Bantul menjadi barometer atas sikap perlawanan pada komunisme. 
Menurut mereka, pihak yang melawan penyebaran paham komunisme di Indonesia justru akan dilaporkan ke kepolisian.
“Ini yang tidak menjadi pertimbangan hakim. Jika dibiarkan, ke depan tidak hanya kami yang menjadi korban, namun organisasi penentang komunis lain juga akan mengalami nasib yang sama,” katanya.
Saat ditanya siapa saja yang merusak PN, Doni menyatakan tidak tahu. 
Sebab, kata dia, mereka yang hadir saat itu tidak hanya dari Pemuda Pancasila, namun juga organisasi masyarakat lain seperti Paksi Katon, Front Jihad Bantul, Laskar Sayidina Ali, Front Jihad Islam, dan Kokam.
Hadirin sidang memang tidak hanya dari DI Yogyakarta, melainkan simpatisan organisasi tersebut dari Jawa Tengah. 
Doni mengatakan, aksi perusakan pameran di Pusham UII sebagai usaha menyelamatkan Indonesia dari komunisme.
“Soal apakah saya akan melakukan banding atau tidak terhadap vonis yang dijatuhkan, sedang dipikirkan,” ujarnya.
Pada Kamis siang, sesaat setelah vonis, seratusan orang pendukung Doni merusak Kantor PN Bantul.
Akibatnya kaca jendela ruang sidang dan lobi, televisi, kursi, juga meja satpam rusak.
“Kerugian kami taksir mencapai Rp 53 juta. Kami sudah melaporkan kasus ini ke Polres Bantul,” kata Ketua PN Bantul Agung Sulistyono.
Kejadian ini mengganggu  operasional PN Bantul karena dua sidang tertunda. 
Namun Agung menyatakan bahwa kantor tetap beroperasi seperti biasa sesuai jam kantor.
Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan menyatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan atas tindak kriminal perusakan ini dan mendapat dukungan dari Polda DI Yogyakarta.
“Kami pastikan selama jalannya persidangan dari aspek keamanan kami sudah maksimal dan berhasil menghalau massa keluar dari PN Bantul,” ujarnya.
Reporter : Arif Koes
Editor : Mukhlison
Sumber: Gatra.Com 

Ketua Pemuda Pancasila Divonis Bersalah, PN Bantul Dirusak Massa

Reza Gunadha | kamis, 28 Juni 2018 | 16:07 WIB

Doni adalah Ketua PP yang mengacaukan pameran seni soal Wiji Thukul di Pusham UII di Banguntapan, Bantul.



Polisi sedang melakukan olah TKP pengrusakan di PN Bantul. [Harian Jogja/Ujang Hasanudin]

Suara.com - Sejumlah orang yang mengenakan seragam Pemuda Pancasila mengamuk dan merusak kantor Pengadilan Negeri Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (28/6/2018) siang.

Perusakan ini terjadi seusai vonis terhadap Doni Bimo Saptoto atas kasus persekusi yang dilakukannya pada Mei 2017 lalu.

Doni merupakan Ketua Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Bantul. Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bantul, Doni divonis bersalah dengan hukuman lima bulan penjara dan masa percobaan selama sembilan bulan jika terpidana melakukan tindakan pidana lagi.

Sidang putusan ini dihadiri sekitar seratusan orang yang mengenakan seragam Pemuda Pancasila.

Humas PN Bantul Zaenal Arifin mengatakan, awalnya sidang berjalan normal seperti biasa hingga akhir sidang. Namun, keributan baru terjadi ketika sejumlah orang pendukung terdakwa melakukan orasi.

Zaenal tidak mengetahui pasti pemicu keributan. Namun, saat orasi itu, sejumlah fasilitas negara di ruang sidang maupun luar ruang dirusak.

Beberapa fasilitas yang di rusak di antaranya adalah televisi yang biasa digunakan untuk menayangkan jadwal sidang, kaca ruang sidang, kaca jendela ruang depan, meja pelayanan, kursi pengunjung, hingga beberapa pot bunga
"Sejauh yang kami ketahui tidak ada kontak fisik. Hanya merusak barang-barang," kata Zaenal. 
Pihaknya belum bisa menjelaskan lebih jauh soal upaya yang akan dilakukan PN Bantul setelah insiden tersebut.

Zaenal menegaskan perkara putusan atas terdakwa Doni Bimo Sapto alias Abdul Ghani murni atas fakta hukum yang terungkap di persidangan. Tidak ada intervensi atau pengaruh dari pihak manapun.

Kasus Doni itu terjadi pada Mei 2017 lalu, saat ada pameran seni soal Wiji Thukul di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) di Banguntapan, Bantul.

Pameran seni karya Andreas Iswinarto tersebut terinspirasi dari puisi Wiji Thukul—penyair et aktivis yang dihilangkan militer Orde Baru. Namun sekelompok orang dari Pemuda Pancaila membubarkan pameran tersebut.

Terkait kasus perusakan ini, belum ada konfirmasi dari MPC Pemuda Pancasila Bantul. Sementara ini Polres Bantul masih melakukan olah tempat kejadian perkara di PN Bantul.

Sumber: Suara.Com 

Kebenaran tentang Ladang Pembantaian


Margaret Scott - 28 JUNI 2018 EDISI

Bettmann / Getty Images
Perdana Menteri Cina Zhou Enlai dan Presiden Indonesia Sukarno naik kapal pesiar di Sungai Nil, Kairo, Juli 1965

Pada suatu sore yang panas di tahun 2010, Jess Melvin, seorang sarjana muda dari Australia, berjalan keluar dari arsip pemerintah di Banda Aceh dengan membawa sebuah kotak kardus. Itu penuh dengan tiga ribu dokumen yang difotokopi dari tentara Indonesia, dan Melvin nyaris tidak bisa percaya keberuntungannya. Dokumen-dokumen ini membuktikan apa yang selalu ditolak secara resmi: tentara Indonesia dengan sengaja merencanakan pembantaian 1965-1966 di mana hingga satu juta orang yang dicurigai Komunis meninggal, salah satu pembunuhan massal terburuk yang paling tidak dikenal pada abad kedua puluh.

Penemuan Melvin yang mencengangkan membentuk inti dari bukunya yang inovatif The Army and the Genocide Indonesia: Mechanics of Mass Murder. Dia menceritakan apa yang terjadi setelah 1 Oktober 1965, ketika enam jenderal militer berpangkat tinggi ditarik keluar dari rumah mereka pada dini hari dan dibunuh oleh perwira junior yang condong ke kiri yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Mereka mengklaim telah mencegah kudeta oleh kelompok jenderal anti-komunis yang didukung CIA. Dalam beberapa jam, perwira junior dikalahkan oleh Mayor Jenderal Suharto, yang melakukan kudeta balasan dan menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas pembunuhan tersebut. Pada akhir hari itu, Suharto mengirimkan perintah untuk "sepenuhnya memusnahkan" Gerakan 30 September "sampai ke akarnya," menurut dokumen militer yang ditemukan Melvin.

Buku Melvin akan selamanya mengubah penuturan tentang apa yang terjadi selanjutnya. Suharto, yang mengandalkan struktur komando militer di luar kendali pemimpin revolusioner dan presiden seumur hidup Sukarno, mengeluarkan perintah untuk melakukan pembunuhan massal. 
Dokumen-dokumen yang digunakan Melvin untuk menjelaskan bagaimana tentara merencanakan dan mengatur pembunuhan menghancurkan narasi resmi yang telah berlaku selama lebih dari lima puluh tahun dan terus diajarkan kepada anak-anak sekolah Indonesia hingga saat ini. Narasi ini menyatakan bahwa orang-orang Indonesia yang takut akan Allah, anti-Komunis, yang diprovokasi selama bertahun-tahun oleh PKI dan marah oleh pembunuhan jenderal Gerakan 30 September terhadap para jenderal, bangkit dalam kegilaan untuk memusnahkan PKI di seluruh kepulauan di 17.000 pulau. 

Menurut Komisi Pencari Fakta 1966 resmi, tentara tidak dapat menahan kekerasan massa. Sejarah resmi Indonesia menggambarkan warga sipil yang ingin membalas dendam, dan tidak disebutkan partisipasi militer dalam pembunuhan tersebut. Faktanya, seperti ditunjukkan oleh buku Melvin dan beasiswa baru lainnya, Suharto melembagakan darurat militer, membuat Sukarno yang otokrat kiri-berubah-otokrat terjebak di istana presiden ketika kekuasaannya yang tak tertandingi menyusut.

Melvin menawarkan kronik menarik dari hari ke hari, berdasarkan pada dokumen-dokumen tentara arsip dan laporan tahunan 1965 dari komandan tentara di provinsi utara Aceh, digali di perpustakaan Belanda. Dokumen-dokumen itu mengungkapkan rencana tentara untuk menyematkan pembunuhan para jenderal pada PKI dan kemudian memusnahkannya. Tentara mengambil kendali atas semua surat kabar dan radio, dan propaganda — termasuk yang palsu dan berulang-ulang...

Selasa, 26 Juni 2018

Langkah realistis untuk menyelesaikan hak asasi manusia


Asvi Warman Adam


Jakarta /   Sel, 26 Juni 2018   / 11:47 pagi

Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang kejahatan terhadap kemanusiaan 1965 di Indonesia diadakan di Nieuwe Kerk di Den Haag, Belanda, pada 10 hingga 13 November 2016. (Sumber dari International People's Tribunal 1965 / -)

Hanya satu tahun tersisa sebelum Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakhiri masa kepresidenannya. Bisakah dia memenuhi janji kampanyenya 2014 untuk menyelesaikan masalah HAM masa lalu? Pada 31 Mei, ia secara langsung mendengar aspirasi para pengunjuk rasa "Kamisan" yang berunjuk rasa setiap hari Kamis di depan Istana Merdeka, menuntut keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan.

Jokowi dikabarkan memiliki rencana untuk bergabung dengan teleconference dengan orang-orang buangan Indonesia di Eropa dalam waktu dekat. Mereka termasuk mantan mahasiswa yang sedang belajar atau mengunjungi negara-negara yang bersahabat dengan pemerintah Presiden Sukarno saat itu, yang menemukan paspor mereka disita setelah kekacauan politik 1965 karena mereka dianggap loyalis Sukarno dan karenanya kiri.

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2012 tentang pelanggaran serius hak asasi manusia pada tahun 1965 belum ditindaklanjuti secara progresif oleh Kejaksaan Agung.

Sementara itu, awal tahun 2018 melihat rilis tiga buku ilmiah tentang genosida komunis yang dirasakan pada tahun 1965 : Musim Pembunuhan Geoffrey Robinson  : Sejarah Pembantaian Indonesia, 1965-66, Angkatan Darat Jess Melvin dan Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal  dan karya lain yang diedit oleh Katherine McGregor et al,  Genosida Indonesia tahun 1965: Penyebab, Dinamika, dan Warisan.

Melawan penelitian sebelumnya, Melvin membantah klaim resmi bahwa pembunuhan massal 1965-1966 adalah kejadian spontan di antara masyarakat dan menggarisbawahi bahwa perintah tertulis untuk membasmi tersangka komunis dan pendukung mereka dikeluarkan oleh militer. Ia mengutip sumber otentik, laporan tahunan 1965 oleh Komando Daerah Militer Aceh. Robinson juga menyatakan bahwa Angkatan Darat bertanggung jawab atas pembunuhan massal.

Sementara konflik horizontal memang dilaporkan di antara penduduk setempat, dan sementara Perang Dingin adalah ancaman global, tragedi itu tidak akan terjadi jika tentara tidak melakukan intervensi.

Pemerintah tidak perlu menyangkal temuan itu; lebih baik untuk menemukan apa yang dikatakan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan, jika perlu, menugaskan mereka untuk melakukan penelitian lapangan mereka sendiri.

Jokowi adalah presiden yang tidak memiliki masalah dengan masa lalu. Dia bukan pejabat atau anggota dewan partai politik apa pun selama Orde Baru. Dia tidak pernah melanggar hukum sejauh yang kita tahu. Presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono adalah menantu Sarwo Edhie, komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada tahun 1965, yang memimpin operasi untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini, tentu saja, memberi Yudhoyono kendala pribadi dalam menyelesaikan kasus 1965. Di atas kertas, akan lebih mudah bagi Jokowi untuk menemukan solusi bagi pelanggaran HAM. Dia bukan anggota PKI atau organisasi afiliasinya.

Dalam kampanye presiden 2014, Jokowi menyampaikan program pengembangan sembilan poinnya, Nawa Cita. Penyelesaian yang dijanjikan atas pelanggaran HAM masa lalu tercermin dalam rencana pembangunan jangka menengah pemerintahnya.

Di negara-negara yang sedang menjalani transisi dari rezim otoriter ke demokrasi, pelanggaran HAM berat diselesaikan oleh pengadilan HAM ad hoc dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Indonesia memiliki pengadilan yang dibentuk untuk kasus-kasus Timor Timur. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah ditandatangani, tetapi Mahkamah Konstitusi membatalkannya setelah permintaan peninjauan kembali.

Rekonsiliasi antara korban kudeta 1965 dan anggota Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar yang masa mudanya bergabung dalam perburuan penyihir melawan kaum kiri, telah berlangsung di tingkat akar rumput, diprakarsai oleh kelompok pemuda, Syarikat (Pelajar Islam untuk Komunitas Advokasi) di Yogyakarta - sebuah gerakan yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa.

Forum Anak-Anak Pemimpin Nasional (FSAB) menyatukan para korban dari berbagai sisi konflik kekerasan yang berbeda. Di antara yang lain, Amelia Yani, Ilham Aidit dan Sarjono Kartosuwirjo - masing-masing adalah putri seorang jenderal yang terbunuh pada tahun 1965, putra seorang pemimpin PKI yang dilaporkan tewas ditembak dalam pelarian dan putra dari pemimpin yang dieksekusi dari gerakan Islamis DI / TII. - Membuat komitmen untuk menghentikan konflik dan menghentikannya ke generasi mendatang. Upaya rekonsiliasi semacam itu tidak melibatkan intervensi pemerintah dan harus dilanjutkan.

Pemerintahan Jokowi sungguh-sungguh dalam upayanya untuk menyelesaikan kasus-kasus 1965, seperti yang ditunjukkan dalam organisasi simposium yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Acara mani pada bulan April 2016 di Jakarta dipimpin oleh seorang anggota Dewan Penasihat Presiden, Sidarto Danusubroto, bekerja dengan Letjen (purn.) Agus Widjojo, yang ayahnya juga di antara para perwira yang terbunuh pada tahun 1965. 

Mengatasi para korban 1965 pada pertemuan lain, Agus, gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), mengatakan dia percaya akan perlunya menetapkan kondisi di mana presiden dapat membuat keputusan dengan nyaman, tanpa tentangan dari kedua belah pihak.

Saya menyarankan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan kebijakan negara. Pertama, pencabutan kewarganegaraan pelajar Indonesia yang dikirim ke luar negeri dan anggota kelompok yang berbeda pada tahun 1965 dan 1966. Kebijakan itu tidak hanya merugikan kewarganegaraan mereka tetapi juga secara tiba-tiba memisahkan mereka dari keluarga, yang tidak dapat mereka temui selama beberapa dekade.

Banyak dari orang-orang yang selamat yang berusia lanjut ini adalah warga negara di negara tempat mereka tinggal. Solusi: Presiden mengakui bahwa kebijakan untuk mencabut kewarganegaraan mereka memang dikeluarkan di masa lalu, bahwa ia menyesal dan menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi lagi.

Kedua, kasus tahanan pulau Buru. Lebih dari 11.000 orang dipindahkan secara paksa ke pulau di provinsi Maluku selama 10 tahun, 1969 hingga 1979, tanpa diadili. Fakta-fakta seputar kasus ini sangat jelas sebagaimana dikutip dalam laporan Komnas HAM - tempat, waktu, korban dan individu yang bertanggung jawab - sebagaimana tercermin oleh perintah Komando Operasional untuk Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) kepada administrator pemukiman kembali Pulau Buru , yang juga Kejaksaan Agung, sedangkan komandan Kopkamtib melapor langsung kepada presiden.

Para tahanan dipaksa untuk bekerja dari senja hingga fajar, dan bahkan sampai larut malam untuk menyiapkan tanah pertanian dan melakukan tugas-tugas lain untuk kepala penjaga keamanan, tanpa dibayar. Setiap kali mereka terlihat beristirahat sebelum diperintahkan, komandan akan memukuli mereka. Keputusan presiden harus dikeluarkan untuk mengembalikan nama para tahanan, setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Mahkamah Agung. Hari ini kita tidak tahu berapa banyak yang masih hidup di antara mereka yang selamat, yang kemungkinan berusia 80-an.

Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak bisa diselesaikan dalam satu masa jabatan presiden. Siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden selanjutnya diharapkan akan memiliki perhatian besar terhadap kasus-kasus hak asasi manusia yang belum terselesaikan.

***
Penulis adalah seorang sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Surat perintah pembunuhan: antara Hilter dan harto” oleh Joss Wibisono

2018/06/26

Sampul buku Jess Melvin dan Führerbefehl
Artikel terbaru Jess Melvin dalam situs Indonesia at Melbourne menurunkan salah satu intisari terpenting bukunja The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (Tentara dan genosida Indonesia: mekanisme pembunuhan massal). Berikut dua alinea jang merupakan djantung artikel itu:
It can now be revealed that Soeharto was much more active in consolidating his position and operating independently of Soekarno. New documentary evidence indicates Soeharto sent telegrams to regional military commanders on the morning of 1 October in his assumed position of Armed Forces commander, declaring that a coup – led by the 30 September Movement – had occurred in the capital. This order was then followed by an instruction sent from Sumatra’s Mandala I commander, Mokoginta, who declared that military commanders should “await further orders”. 
These “further orders” would come at midnight that night, when Mokoginta announced over the radio that all orders issued by Soeharto should be “adhered to”, in direct contradiction to Soekarno, who had told Soeharto to step down. Mokoginta then ordered that “all members of the Armed Forces [must] resolutely and completely annihilate… down to the roots” all those alleged to have been involved in the 30 September Movement. This is the earliest known instance of such an instruction.
Terdjemahan was-wes-wosku:
Sekarang dapat diungkap bahwa Soeharto djauh lebih gesit dalam memperkuat posisinja dan bergerak dengan tidak mendjalankan perintah Soekarno. Dokumen2 jang baru terungkap menundjuk bahwa Soeharto mengirim telegram kepada beberapa panglima kodam pagi hari 1 oktober 1965, dalam djabatan baru sebagai panglima tentara, mengumumkan bahwa kudeta —dipimpin oleh Gerakan 30 September— telah terdjadi di Djakarta. Perintah ini kemudian diikuti dengan instruksi kepada Komandan Mandala I Sumatra, letdjen Ahmad Mokoginta, jang isinja harus “menunggu perintah selandjutnja”.
Perintah selandjutnja ini datang tengah malam itu djuga, tatkala melalui radio Mokoginta mengumumkan bahwa semua perintah Soeharto harus “ditaati”, berlawanan langsung dengan presiden Soekarno jang sudah minta mundur Soeharto. Mokoginta kemudian memerintahkan bahwa “semua anggota angkatan bersendjata harus tegas dan sampai ke akar2nja” membasmi semua jang terlibat dalam Gerakan 30 September. Baru sekarang ini instruksi itu terungkap.
Tak pelak lagi, itulah intisari atau djantung hati buku Jess Melvin jang terbit awal tahun ini. Dan inilah penemuan penting buku itu. Selama ini orang tidak tahu bahwa ada perintah seperti itu jang dikeluarkan oleh harto. Perintah itu penting, karena itu adalah bukti adanja instruksi untuk melakukan pembunuhan.
Di bagian lain tulisannja Jess Melvin menarik paralel atau persamaan antara harto orde bau dengan nazinja Hitler. Ia menjebut bahwa dalam mengganjang PKI tentara memang mengerahkan komando militernja di daerah. Walau demikian peran militer di ibukota Djakarta tetap penting, itulah pusat koordinasi pembunuhan orang2 PKI dan simpatisannja.Tjara demikian djuga bukan hal baru, demikian Melvin. Di sini dia terus menundjuk langkah nazi dalam melaksanakan Holocaustnja, melewati rangkaian komando teritorial chusus. Dan itu persis seperti jang dilakukan orde bau.
tampang harto 1965
tampang harto 1965
Upaja Melvin menarik paralel antara harto orde bau dengan nazi pimpinan Hitler ini perlu digarisbawahi. Maklum tidak banjak orang (apalagi orang Barat) jang melakukannja. Banjak Indonesianis jang sangat alergi menarik persamaan harto dengan Hitler. Kelihatannja mereka chawatir sekali ditjap gak ngerti Indonesia kalow belum2 sudah mempersamakannja dengan Djerman di bawah Hitler. Jess Melvin djelas ogah mengikuti langkah para pendahulunja. Dengan tegas dan tegar dia menundjuk bahwa harto bukan orang pertama jang mengganjang kalangan merah dengan korban begitu banjak. Salah satu pendahulunja adalah Hitler dan geng nazinja. Dengan begitu Jess Melvin djuga membawa genosida Indonesia ke dalam rangkaian pembunuhan massal lain jang pernah terdjadi di dunia. Pembunuhan massal 1965-1966-1967 bukanlah chas Indonesia. Genosida seperti itu djuga sudah pernah terdjadi di tempat lain. Apa jang bisa dipeladjari Indonesia?
Dalam kadjian Holocaust dan genosida per-tama2 pembunuhan massal itu harus dibuktikan dengan adanja perintah untuk melakukannja. Perintah itu harus ada, kalow tidak maka itu bukan genosida. Demikian sjarat tegas kadjian ini. Untuk ini kadjian Holocaust (dan genosida) selalu mentjari apa jang disebut Führererlaß atau Führerbefehl jang tidak lain adalah surat perintah melakukan pembunuhan massal. Digunakan kata Djerman Führer karena itu adalah gelar Hitler sebagai penguasa multlak teringgi Djerman di bawah nazi.
Untuk Indonesia harus diakui sedjauh ini susah menemukan perintah harto untuk melakukan genosida. Apalagi tentara selalu menjembunjikan perannja di balik bualan bahwa mereka turun tangan untuk melerai rakjat jang berontak dan membunuhi kalangan komunis. Tentu sadja bukan itu jang terdjadi. Seperti tidak ada bukti bahwa para Pahlawan Revolusi korban G30S dipotongi alat vital serta ditjungkili mata mereka, tidak ada bukti pula rakjat berontak dan membunuhi PKI. Jang terdjadi adalah tentara jang membudjuk dan menghasut rakjat serta mengerahkan milisia untuk melakukan pembunuhan. Bagaimana tentara bisa melakukan pembunuhan massal ini? Adakah perintah jang dikeluarkan harto?
Nah, sekarang Jess Melvin berhasil mengungkap dokumen dalam bentuk telegram jang dikirim harto kepada Mokoginta supaja melakukan pembasmian orang2 kuminis. Itulah nilai tambah buku Jess Melvin di atas.
Walau begitu ada sedikit tjatetan jang pantes dikemukakan di sini. Itu berkenaan dengan perintah jang dikeluarkan Hitler untuk melakukan penangkapan. Jess Melvin menggarisbawahi tjara nazi mengerahkan stuktur komandonja untuk melakukan Holocaust. Itu benar, tapi tampaknja masih terlalu umum. Mengingat korban nazi banjak matjam, tidak sadja orang Jahudi tapi djuga kalangan komunis, homosexual, penganut Saksi Jehova, penjandang tjatjat mental, serta kaum Sinti dan Roma (dulu disebut Gipsi), maka perlu ditjari perintah chusus nazi jang sedikit banjak lebih pas untuk kondisi Indonesia. Di Indonesia harto mengeluarkan perintah pengganjangan PKI dan simpatisannja sampai ke akar2nja. Ini kira2 paralel dengan perintah jang Hitler mana?
Surat perintah pembunuhan dikeluarkan oleh Hitler Sumber https://de.wikipedia.org/wiki/Kommissarbefehl#/media/File:12-10-13-dokument-kongreszhalle-nuernberg-by-RalfR-128.jpg
Surat perintah pembunuhan dikeluarkan oleh Hitler Sumber https://de.wikipedia.org/wiki/Kommissarbefehl#/media/File:12-10-13-dokument-kongreszhalle-nuernberg-by-RalfR-128.jpg
Dari begitu banjak perintah pembunuhan jang dikeluarkan Hitler, tampaknja jang paling pas untuk Indonesia adalah apa jang disebutKommissarbefehl jang dikeluarkannja pada tanggal 6 djuni 1941. Singkatnja dalam perintahnja ini, Hitler menegaskan bahwa sesuai dengan ideologi anti Jahudi dan anti Bolshewik jang dianut nazi, maka semua tahanan Soviet jang tertangkap pasukan Wehrmacht tidak boleh diperlakukan sebagai tawanan perang, melainkan harus langsung ditembak mati. Dan kita tahu kaum Bolshewiki adalah komunis Soviet (Rusia) jang djuga berperang melawan nazi.
Kommissarbefehl inilah jang tampaknja lebih tjotjok untuk dipersamakan dengan perintah jang dikeluwarken harto kepada Mokoginta untuk membasmi kalangan komunis di Sumatra.

Source: Gatholotjo

Senin, 25 Juni 2018

Political Killing in Indonesia

Introduction: Siswa Santoso 
Berikut di bawah adalah laporan Amnesty International yang pertama terkait dengan pembunuhan massal di Indonesia pasca 1 Oktober 1965. 
Laporan ini setahu saya diembargo oleh Amnesty International, namun saya menemukannya lewat arsip Jacques Leclerq di Kitlv [kini ub-Univ. Leiden] di Leiden. 
Izin tertulis saya peroleh untuk mengakses arsip termaksud, dan saya mengetik ulang naskah laporan, karena tidak diperkenankan mengkopi, menscan, atau memfoto naskah asli.
Dengan begitu, segala kesalahan ketik ada pada saya. enarik, penyelidik Amnesty International pada Juni 1966 sudah mengidentifikasi banyak lokasi pembantaian di pelbagai tempat di indonesia terutama Aceh, Sumatra termasuk Medan, Sungai Ular; Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. 
Tentu laporan ini tidak lagi aktual, namun barangkali ada beberapa detail yang berguna...
__________
Nr.1140:
POLITICAL KILLINGS IN INDONESIA
This report was written by a member of Amnesty International, xxxxx xxxxxx, who was in Djakarta at the beginning of June, 1966. Amnesty does not wish, because of the derivation of some of the facts, to have its name directly connected as a source.
The events of the 30th September last year – the GESTAPU – and the 1st october will presumably remain unclarified for some time. The maze of fear and exaggeration, of lies and political necessity has produced an incredible crop of stories, easily enough to fit any political premise.
However deeply the PKI [Indonesian Communist Party] were involved, and whether Peking gave more encouragement than sympathy, Indonesians have been subject since to a considerable amount of newspaper and radio coverage of accounts of proposed PKI outrage, and a large part of the economic failure of the last years have been systematically blamed on the deliberate undermining of the economy by Peking-backed communism.
Apart from scattered violence that followed immediately after the failure of the coup, the main clashes with the PKI appear to have come only after the arrival of the RPKAD [the army's elite corps of para-commandos] in Central Java towards the end of October. There was little communist resistance although it was said that the killing of PKI in Central Java started as areprisal. The even more severe outbreak in East Javacame on a wave of violence from Central Java at the beginning of November. By the end of november the wave spread to Bali, where the backlog of resentment and rivalry, and the tensions since the beginning of October, produced an emotional fever which resulted in large numbers of houses of communists and Chinese being burned.
Estimates of deaths in Bali range from the official figure of the fact-finding committee at 12,000, to those of reliable observers who quote figures of more than 60,000. At Atjeh violence appears to have been injected with the fire of a holy war. There also there was a great deal of anti-Chinese rioting according to one report no Chinese were left alive in the west coast area of the Province. A notable instance of the strength of the anti-Chinese feeling were the riots in Medan in North Sumatra, where staff of the Chinese consulate frightened by a demonstration, fired above the heads of the crowd, and thereby provoked the wreckage of the Chinese district with a loss of approximately 200 lives. In north Sumatra the army seems to have played a more active role in the attempt to eliminate the PKI – the official figures from Antara were 10,500 arrested, and many of these were shot and their bodies thrown into the Sungai Ular. Reliable information, apart from rumours, about the undoubted killings and arrests in other areas is even more difficult to obtain, although there are some Antara figures, such as the arrest of 30,000 [reported on the 20th December] from S. Kalimantan.
Total figures of any accuracy may never be known. Major General Sumarno's fact-finding committee announced on March 1st a total of 78,000 killed. This would appear, however, to be well below the figures more commonly accepted [excepts, perhaps, by the student groups]. Before Dr. Subandrio's overthrow in mid-March there were strong rumours that he wanted to have Nasution and Suharto tried for genocide, and the number of dead was mentioned at a quarter of a million. The Western press usually quote figures between 300,000 and 750,000, although up to two million has been suggested. But as one Australian journalist pointed out, one raft carrying ten bodies floating down a stream seen by ten differrent people, becomes quite easily 100 dead. A reliable informant, in Bali in late may, said that the figures quoted to him by a village headmen could scarcely make up the lowest estimates. However a Balinese theological student, at home during December, talked of whole villages being wiped out, of streets piled high with bodies and of a total there of three quarters of a million killed.
Certainly the families of the PKI or suspected PKI suffered also. Many women and children were killed. Army authorities on several occasions are reported to have said that the killing of the immediate family was done in order to stop reprisals either in the near or less immediate future. The extent of the death must often have been carried out for fear of future power to redress a balance. There was a similar uprising of the Communists in 1948. PKI members, prior to the coup, numbered in the region of three million [in the 1955 elections – the last to be held in Indonesia – they polled 16.4 per cent of the total]. Their power was perhaps not so great as it appeared, but for years it had been a bluff that was working; andthe general reaction still is 'it was them or us'.
There are official numbers of arrests, but these too seem to be underestimated. Malik mentioned a figure in April of 160,000, but by early June it was generally accepted that the figure was nearer 200,000. even this may well be an understatement. Those reported as being directly involved in the coup [some of these are communists, but many are not] are being tried by military tribunal, and reports indicate that those tried are found guilty and shot. Leaders and cadres of the PKI and its associates, containing the middle echelon of important communists, are considered a major security problem, and despite official assurances, some detainees are being summarily executed. There have been realeases, but both the prison authorities – presumably in most cases the army – and the released prisoners have found themselves in difficulties. Those being released fear the consequences of freedom, an in some cases they are demonstratably correct in their fears. Those responsible for these releases fear both an upsurge of feeling against the ex-prisoners, and perhaps even more, reprisals from them.
Rumours have been heard from different sources of the sending of prisoners from java and Bali to the outer islands, to become auxiliary soldiers and/or forced labourers [settlers?]. Food at the moment is a problem throughout most of the islands, but usually it seems that the ration of six ounces of rice a day is being given to the prisoners. Accounts of illness, insufficient water and malnutrition are current. Food has improved but here certainly were many cases of malaria in the prisons inCentral Java at the beginning of June.
The Protestant and Roman Catholic Churches have been a right of entry and access to prisoners of their own faith. Fear has stultified the sual ability of the Indonesians to care for each other, and apart from some brave exceptions, widows and children have often been totally ostracised, churches there is little effort being made; Muslims [Indonesia is 90% Muslim, though only a small amount of this is at all extreme] regard the elimination of the Communists as being in many ways part of a religious war. The political tensions still extant, even after the banning or the PKI in March and the removal of Subandrio, have effectively frightened most people too much for the usual 'gotong royong' atmosphere. The possibility of the removal of Sukarno as an alternative to the unacceptable donditions he played on the endorsement of the Bangkok Pact [despite the curbing of his powers] is the cause of further tensions, about which, particularly in Central and East Java, and within the army itself there is mounting controversy.
_____________
July, 1966
xxxxxxx xxxxxx is of Investigation Bureau

Nr.1142:
...p.6:
October 1, 1965 and After then came the October 1 coup. Debate will continue for a long time on just what was attempted on that day, and particularly on what the precise relationship was between Lieutenant-Colonel Untung, the palace guard officer who attempted to seize power, and the Indonesian Communist Party which gave him at least qualified support, and on whether Peking was involved. What is clear is that the coup's defeat produced a radically new constellation of power in Indonesia, and that the army leaders who had survived the coup were able to blame it onto both the Indonesian Communists and the Chinese government. This is the explanation which has come to be accepted in Indonesia.
The Chinese in Indonesia were soon a target of army and popular hostility. Baperki, the largest organization of the Indonesian-citizen Chinese was banned in October, and its university in Djakarta was burned down. Chinese shops were burned in a number of towns inOctober and November and there were several attacks on the homes of Communist Chinese diplomats. Moreover there were occasional press demands for Chinese property to be seized. Some hundreds of Chinese reportedly left the country. But the violence directed against the Chinese was on a markedly smaller scale than that directed against the Indonesian Communists and army commanders in a number of the cities seem to have taken pains to see that no anti-Chinese rioting got under way. The tension was certainly great in this two-month period, and the number of Chinese who lost their lives asa result of mob violence – mainly in the smaller towns and rural areas, but also in one or two cities, like Makassar – probably ran to some hundreds. But the worst was still to come.
On December 19 an official at the Chinese consulate in Medan, North Sumatra, let off shots of gunfire against a group of hostile demonstrators outside. This of gunfire against a group of hostile demonstrators outside. This led the demonstrators to march on a part of the Chinese business district, which it proceeded to burn and wreck, with at least 75 and perhaps up to 200 Chinese persons losing their lives on the one day. There was similar violence, on a smaller scale, in Bandjarmasin and a great deal on the islands of Bali, Lombok and Sumbawa. Estimates can only be very general and tentative, but it seems likely that the number of Chinese who [mulai halaman 7:] hen been killed had reached four figures by the end of January 1966. this is not a particularly high figure if one bears in mind that the post-October 1965 massacres of people alleged to have had connections with the coup movement or the Communist party are thought to have cost between 200,000 and 500,000 lives [7]. 
President Soekarno's attempt to reassert his power in February, when he annouced a cabinet reshuffle which involved the dismissal of General Nasution, resulted in a temporary softening of Sino-Indonesian relations and a partial abatement of pressure on the Indonesian Chinese. But the abatement was shortlived. By March 11 President Soekarno had been forced to hand over most of his powers to General Soeharto, and it was clear that those who had brought about this change – a coalition of army officers and the KAMI and KAPPI student organizations – included some strongly anti-Chinese groups.
The Latest Phase [8]
in the period immediately after the “muffled coup: of March 11a new wave of anti-Chinese actions began, one which the Western press has almost entirely ignored. In late March the new government decided that the New China News Agency which had frequently been denounced for its attacks on the Indonesian government and army, would have to close it Djakarta office, and then that the Chinese consulates in Makassar, Bandjarmasin and Surabaja would have to close. A large number of Chinese diplomats left Indonesia around the same time.
In April KAPPI demonstrators seized Chinese language schools in a snowballing series of actions in various cities and towns actions which were justified on the grounds that these schools were centres of Communist indoctrinations. In almost every case the actions of the KAPPI groups were followed by decisions of the local military commanders that these schools would be closed; and these bans were extended in some centres to various Chinese social organizations, some of them said to be harboring fugitive Communists. By the end of April very few Chinese-language schools were open, and government statements suggested that their closing might be permanent. This was to be confirmed on May 19 when it was announced that the government had bannedthe operation of foreign - run schools apart from ones established by foreign embassies for the families of their own staffs.
On April 12 the Peking government demanded that Chinese nationals in Indonesia be permitted to return to China immediately, that emigration procedures be simplified to make this possible, and that the Indonesian governement provide ships to take them there. The Indonesian governement replied by saying that the alien Chinese were entirely free to leave the country, but only after complying with the emigration procedures which obtained, and that it was no part of Indonesia's responsibility to facilitate their travel to China.
On April 15 a rally of Indonesian-citizen Chinese was held in Djakarta, at which resolutions were passed for the closing down of all Chinese-language schools in Indonesia and the breaking of diplomatic relations with Peking. Those attending the rally went on from there to demonstrate outside the Chinese embassy, where they fought with chancery officials, wounding one of them. On the following day Djawoto, the pro-Communist Indonesian ambassador in peking, resighned from his post, denounced the Djakarta governement for its Right-oriented domestic and foreign policy and whipping up of “racist terrorism” and was granted political asylum in China. At the same time China withdrew the technicians who were building a textile mill in West Java under an aid agreement dating back to before October 1965.
by this time most of the stops were out. Radio Peking had been strident in what it ....
[7]: See especially the articles of Nicholas Turner [Guardian, April 7, 1966], of the Special Correspondent of the London Times [April 13, 1966], of C.L. Sulzberger [New York Times, April 13, 1966], of Robert Sa. Elegant [Los Angeles Times, April 22, 1966], and of Stanley Karnow [Washington Post, May 4 and 5, 1966].

Source: 
Siswa Santoso