Selasa, 26 Juni 2018

“Surat perintah pembunuhan: antara Hilter dan harto” oleh Joss Wibisono

2018/06/26

Sampul buku Jess Melvin dan Führerbefehl
Artikel terbaru Jess Melvin dalam situs Indonesia at Melbourne menurunkan salah satu intisari terpenting bukunja The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (Tentara dan genosida Indonesia: mekanisme pembunuhan massal). Berikut dua alinea jang merupakan djantung artikel itu:
It can now be revealed that Soeharto was much more active in consolidating his position and operating independently of Soekarno. New documentary evidence indicates Soeharto sent telegrams to regional military commanders on the morning of 1 October in his assumed position of Armed Forces commander, declaring that a coup – led by the 30 September Movement – had occurred in the capital. This order was then followed by an instruction sent from Sumatra’s Mandala I commander, Mokoginta, who declared that military commanders should “await further orders”. 
These “further orders” would come at midnight that night, when Mokoginta announced over the radio that all orders issued by Soeharto should be “adhered to”, in direct contradiction to Soekarno, who had told Soeharto to step down. Mokoginta then ordered that “all members of the Armed Forces [must] resolutely and completely annihilate… down to the roots” all those alleged to have been involved in the 30 September Movement. This is the earliest known instance of such an instruction.
Terdjemahan was-wes-wosku:
Sekarang dapat diungkap bahwa Soeharto djauh lebih gesit dalam memperkuat posisinja dan bergerak dengan tidak mendjalankan perintah Soekarno. Dokumen2 jang baru terungkap menundjuk bahwa Soeharto mengirim telegram kepada beberapa panglima kodam pagi hari 1 oktober 1965, dalam djabatan baru sebagai panglima tentara, mengumumkan bahwa kudeta —dipimpin oleh Gerakan 30 September— telah terdjadi di Djakarta. Perintah ini kemudian diikuti dengan instruksi kepada Komandan Mandala I Sumatra, letdjen Ahmad Mokoginta, jang isinja harus “menunggu perintah selandjutnja”.
Perintah selandjutnja ini datang tengah malam itu djuga, tatkala melalui radio Mokoginta mengumumkan bahwa semua perintah Soeharto harus “ditaati”, berlawanan langsung dengan presiden Soekarno jang sudah minta mundur Soeharto. Mokoginta kemudian memerintahkan bahwa “semua anggota angkatan bersendjata harus tegas dan sampai ke akar2nja” membasmi semua jang terlibat dalam Gerakan 30 September. Baru sekarang ini instruksi itu terungkap.
Tak pelak lagi, itulah intisari atau djantung hati buku Jess Melvin jang terbit awal tahun ini. Dan inilah penemuan penting buku itu. Selama ini orang tidak tahu bahwa ada perintah seperti itu jang dikeluarkan oleh harto. Perintah itu penting, karena itu adalah bukti adanja instruksi untuk melakukan pembunuhan.
Di bagian lain tulisannja Jess Melvin menarik paralel atau persamaan antara harto orde bau dengan nazinja Hitler. Ia menjebut bahwa dalam mengganjang PKI tentara memang mengerahkan komando militernja di daerah. Walau demikian peran militer di ibukota Djakarta tetap penting, itulah pusat koordinasi pembunuhan orang2 PKI dan simpatisannja.Tjara demikian djuga bukan hal baru, demikian Melvin. Di sini dia terus menundjuk langkah nazi dalam melaksanakan Holocaustnja, melewati rangkaian komando teritorial chusus. Dan itu persis seperti jang dilakukan orde bau.
tampang harto 1965
tampang harto 1965
Upaja Melvin menarik paralel antara harto orde bau dengan nazi pimpinan Hitler ini perlu digarisbawahi. Maklum tidak banjak orang (apalagi orang Barat) jang melakukannja. Banjak Indonesianis jang sangat alergi menarik persamaan harto dengan Hitler. Kelihatannja mereka chawatir sekali ditjap gak ngerti Indonesia kalow belum2 sudah mempersamakannja dengan Djerman di bawah Hitler. Jess Melvin djelas ogah mengikuti langkah para pendahulunja. Dengan tegas dan tegar dia menundjuk bahwa harto bukan orang pertama jang mengganjang kalangan merah dengan korban begitu banjak. Salah satu pendahulunja adalah Hitler dan geng nazinja. Dengan begitu Jess Melvin djuga membawa genosida Indonesia ke dalam rangkaian pembunuhan massal lain jang pernah terdjadi di dunia. Pembunuhan massal 1965-1966-1967 bukanlah chas Indonesia. Genosida seperti itu djuga sudah pernah terdjadi di tempat lain. Apa jang bisa dipeladjari Indonesia?
Dalam kadjian Holocaust dan genosida per-tama2 pembunuhan massal itu harus dibuktikan dengan adanja perintah untuk melakukannja. Perintah itu harus ada, kalow tidak maka itu bukan genosida. Demikian sjarat tegas kadjian ini. Untuk ini kadjian Holocaust (dan genosida) selalu mentjari apa jang disebut Führererlaß atau Führerbefehl jang tidak lain adalah surat perintah melakukan pembunuhan massal. Digunakan kata Djerman Führer karena itu adalah gelar Hitler sebagai penguasa multlak teringgi Djerman di bawah nazi.
Untuk Indonesia harus diakui sedjauh ini susah menemukan perintah harto untuk melakukan genosida. Apalagi tentara selalu menjembunjikan perannja di balik bualan bahwa mereka turun tangan untuk melerai rakjat jang berontak dan membunuhi kalangan komunis. Tentu sadja bukan itu jang terdjadi. Seperti tidak ada bukti bahwa para Pahlawan Revolusi korban G30S dipotongi alat vital serta ditjungkili mata mereka, tidak ada bukti pula rakjat berontak dan membunuhi PKI. Jang terdjadi adalah tentara jang membudjuk dan menghasut rakjat serta mengerahkan milisia untuk melakukan pembunuhan. Bagaimana tentara bisa melakukan pembunuhan massal ini? Adakah perintah jang dikeluarkan harto?
Nah, sekarang Jess Melvin berhasil mengungkap dokumen dalam bentuk telegram jang dikirim harto kepada Mokoginta supaja melakukan pembasmian orang2 kuminis. Itulah nilai tambah buku Jess Melvin di atas.
Walau begitu ada sedikit tjatetan jang pantes dikemukakan di sini. Itu berkenaan dengan perintah jang dikeluarkan Hitler untuk melakukan penangkapan. Jess Melvin menggarisbawahi tjara nazi mengerahkan stuktur komandonja untuk melakukan Holocaust. Itu benar, tapi tampaknja masih terlalu umum. Mengingat korban nazi banjak matjam, tidak sadja orang Jahudi tapi djuga kalangan komunis, homosexual, penganut Saksi Jehova, penjandang tjatjat mental, serta kaum Sinti dan Roma (dulu disebut Gipsi), maka perlu ditjari perintah chusus nazi jang sedikit banjak lebih pas untuk kondisi Indonesia. Di Indonesia harto mengeluarkan perintah pengganjangan PKI dan simpatisannja sampai ke akar2nja. Ini kira2 paralel dengan perintah jang Hitler mana?
Surat perintah pembunuhan dikeluarkan oleh Hitler Sumber https://de.wikipedia.org/wiki/Kommissarbefehl#/media/File:12-10-13-dokument-kongreszhalle-nuernberg-by-RalfR-128.jpg
Surat perintah pembunuhan dikeluarkan oleh Hitler Sumber https://de.wikipedia.org/wiki/Kommissarbefehl#/media/File:12-10-13-dokument-kongreszhalle-nuernberg-by-RalfR-128.jpg
Dari begitu banjak perintah pembunuhan jang dikeluarkan Hitler, tampaknja jang paling pas untuk Indonesia adalah apa jang disebutKommissarbefehl jang dikeluarkannja pada tanggal 6 djuni 1941. Singkatnja dalam perintahnja ini, Hitler menegaskan bahwa sesuai dengan ideologi anti Jahudi dan anti Bolshewik jang dianut nazi, maka semua tahanan Soviet jang tertangkap pasukan Wehrmacht tidak boleh diperlakukan sebagai tawanan perang, melainkan harus langsung ditembak mati. Dan kita tahu kaum Bolshewiki adalah komunis Soviet (Rusia) jang djuga berperang melawan nazi.
Kommissarbefehl inilah jang tampaknja lebih tjotjok untuk dipersamakan dengan perintah jang dikeluwarken harto kepada Mokoginta untuk membasmi kalangan komunis di Sumatra.

Source: Gatholotjo

0 komentar:

Posting Komentar