Rabu, 06 Juni 2018

Aku anak golkar yang bicara tentang 1965

Benni Yusriza | 6 Juni 2018 

“Maybe the target nowadays is not to discover what we are but to refuse what we are.” ― Michel Foucault

Seharusnya tanggal 3 Juni 2018 yang lalu saya merayakan hari ulang tahun bapak yang ke-66, lalu memberinya kado sepatu karet kekinian (baca: sneaker) dan sebagian uang Tunjangan Hari Raya (THR) saya. Namun, kali ini, hanya al-fatihah dan doa memohon kepada-Nya yang bisa saya bisa berikan agar Tuhan mengampuni segala dosa dan menerima segala amal kebaikan bapak.

Saya menuliskan esai ini, untuk mengenang mendiang bapak sekaligus tetap berdialog dengannya, meskipun hanya sebatas imajinasi.

Keluarga kami tidak mempunyai kultur berbincang secara intim. Kami tidak bisa secara nyaman membicarakan persoalan pribadi seputar kehidupan kami perorangan. Mungkin karena anak bapak semuanya laki-laki yang malas saling ‘menye-menye’ menceritakan hal paling pribadi.
Mungkin karena bapak dan ibu keduanya pekerja keras dan mereka tidak sempat menanyakan apa yang saya dan kakak-adik alami di sekolah selain belajar.

Satu-satunya keintiman yang saya dapat adalah ketika berbincang politik dengan bapak.

Tidak ada yang lebih saya hasrati sekarang selain bisa berbincang kembali dengannya di meja makan seputar politik Indonesia dan politik ibu kota. Kami juga berbincang seputar kisah heroik bapak sebagai politisi muda Golkar di kabupaten Bekasi.


Bapak adalah kader Golkar sejati. Dia pernah menjadi ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di kabupaten Bekasi. Dia ikut merumuskan kelahiran Kota Bekasi. Dia dijuluki si singa panggung karena kepiawaian bapak sebagai juru kampanye Partai Golkar pada masanya.

Kira-kira saya berumur tujuh tahun, sewaktu pertama kali ikut bapak naik di mobil kampanye. Tahun 1997, saya begitu bangga melihat sang singa panggung beraksi untuk pertama dan terakhir kali. Rompi kuning tidak mau saya lepaskan, walaupun panas badan terasa. Saya memutuskan sedari kecil ingin menjadi politisi Golkar satu saat nanti.
“Inilah saya, si anak Golkar,” mungkin itu yang saya ingin katakan saat itu sambil berteriak lantang.
Selama saya hidup, hanya bapak yang saya tahu mengamalkan Ikrar Panca Bhakti poin ketiga dengan penuh perasaan. Ikrar ‘watak setia kawan’ menjadi jalan hidupnya.

Entah sudah berapa banyak orang yang bapak bantu melalui Golkar dengan menunjung tinggi watak setia kawan. Banyak orang yang temui, mulai dari preman pasar hingga tokoh penting pemerintahan kota dan kabupaten Bekasi, menghormati bapak bukan karena pengaruhnya di partai Golkar atau hartanya, namun karena kehangatan bapak sebagai sahabat.

Saya ingat betul waktu masa SMA komentar Kepala Sekolah ketika melihat saya mendapat kasus. Dia yang merupakan anak intelektual bapak di Golkar merasa gagal karena dia tahu saya anak bapak. Dia merasa takut karena tidak bisa menuntaskan janji sebagai murid dan sahabat bapak dalam mendidik saya.

Bapak bukan orang kaya materil, tapi dia kaya secara karakter dan kuat secara pendirian. Ibu pernah berkata, “[…] kalau bapak mau jadi orang kaya, sudah dari dulu kita punya rumah dimana-mana, punya tanah dimana-mana. Tapi bapak tidak mau kaya kalau dari hasil korupsi. Kita bisa seperti ini sekarang karena Bapak kerja dari nol di Golkar, sampai cari uang halal jadi PNS [pegawai negeri sipil].”

Ya, bisa dibilang, mulai dari lahir, sampai tumbuh besar dan bisa mengenyam pendidikan semua berkat kerja keras bapak di Golkar.
Ya, semua berkat Golkar!

Bapak akan selalu marah jika saya atau anaknya yang lain mencoba mengkerdilkan peran Soeharto kepada Republik ini. Dia akan selalu mengingatkan kami bahwa semua yang kita rasakan sekarang karena ada Soeharto yang memberikan kesempatan Bapak berkembang di Golkar.



Lalu, bagaimana semua ini berhubungan dengan Ingat 65? Atau lebih lanjut, bagaimana bisa anak Golkar mengingat 65?

Lahir tahun 90 memang buah simalakama. Saya mendapati proses pengalaman sejarah yang bercampur aduk, sebuah mixtape yang kacau dalam istilah Ellena.

Pada satu waktu, ujung rambut hingga kuku saya percaya bahwa Golkar adalah jawaban dari segala hal. Namun pada waktu lain, reformasi memberikan ruang untuk meluluhkan kebenaran tunggal tersebut. Banyak guru semasa saya SMP mulai berani bersuara menyalahkan Golkar dan Soeharto atas carut marut republik. Guru-guru ini terlalu lama diam takut memberikan fakta tandingan.
Sungguh sebuah masa transisi yang penuh kegegeran.

Secara politik, meskipun dialog tentang politik secara rutin saya lakukan dengan bapak mulai dari berbicara soal pemilu dan bagaimana politik secara etika harus terlaksana, tidak satu kali pun bapak mengarahkan saya untuk masuk partai politik.

Bapak tahu, diantara semua anaknya, hanya saya yang mempunyai keinginan terjun jauh ke arena politik. Tapi bapak tidak pernah sekalipun mengenalkan saya ke politik praktis yang dulu membesarkannya.

Saya tidak pernah bertanya alasannya. Tapi, lama-kelamaan, saya merasa bapak ingin saya menolak siapa yang saya dulu pikirkan adalah saya yaitu seorang pemuda pemuja golkar dan ingin terjun ke politik praktisPenolakan semakin menguat, hingga politik praktis bukan menjadi tujuan saya lagi.

Satu-satunya tujuan saya belajar politik hanya ingin tetap berdialektika secara intim dengan bapak. Saya ingin tetap menghadirkan analisa-analisa mendalam ketika kami berbincang fenomena politik.

Hasrat tersebut yang membawa saya jauh untuk mengingat 65, khususnya menggali literatur-literatur yang tidak pernah dibincangkan.

Kegegeran saya dan proses panjang berdiskusi dengan bapak menyadarkan saya bahwa ada narasi yang terlalu sama antara Orde Baru dan Reformasi, walaupun keduanya saling tidak bertegur sapa.

Keduanya tetap menjauhkan paham sosialisme dan ‘menyetankan’ PKI sebagai musuh abadi semua golongan. Temuan ini membawa saya untuk lebih banyak membaca literatur sosialisme, dan turunnya teori kritis untuk membaca kembali sejarah dengan pendekatan yang menolak kebeneran absolut.

Sedikitnya, ada tiga hal yang saya pelajari selama pergeseran dimensi tersebut.
Pertama, tidak ada peristiwa yang lepas dari konstruksi sejarahnya. Sejarah selalu menciptakan representasi-representasi dominan yang dapat seenaknya membentuk realitas.

Peristiwa 1965 mengingatkan kita tentang itu, dimana terdapat satu narasi dominan yang melakukan monopoli kebenaran. Sangat disayangkan, Partai yang dulu saya puja memainkan peranan penting dalam proses tersebut.

Kedua, dominasi selalu muncul dalam bentuk kebudayaan. Sialnya, kebudayan ini bersifat produktif, dimana kita dengan suka rela memberikan persetujuan untuk dikelola dan dimanfaatkan.

Pada kisah hidup saya, saya merasakan kebudayaan, pasca 1965, dalam arti pengetahuan bisa sedemikian rupa diterima secara masif tanpa ada perlawanan sedikit pun, tanpa ada orang mempertanyakan sedikit pun secara kritis.

Hal ini tentu saja tidak mengherankan, karena secara organik kita dilepaskan dari sumber-sumber pengetahuan yang mampu menilai masalah bukan hanya pada level subjek atau agensi, tapi lebih jauh melihat struktur dominan yang mengakibatkan kerentanan. Saya sendiri baru bisa membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer di tahun 2006 ketika saya kelas 1 SMA. 
Buku-buku Pram pernah dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru karena isinya yang menantang narasi dominan tentang peristiwa 1965. Bahkan setelah Orde Baru tumbang, mendapatkan buku Pram bukan perkara gampang. Saya sampai mencari bukunya di pasar buku bekas di Kwitang, Jakarta Pusat.

Ketiga, kebutuhan untuk mendapatkan satu identitas yang stabil selalu dilandasi oleh dua narasi utama yakni ketakutan dan kemenangan. Baik orde baru dan reformasi menyajikan narasi ketakutan dan kemenangan untuk mengonstruksikan kebenaran untuk dikonsumsi secara masif.

Peristiwa 1965 adalah representasi yang amat jelas untuk poin ini. Penguasa berhasil menyudutkan satu pihak tertentu dan membuatnya sebagai ancaman terhadap golongan lain. Di sisi lain, kemenangan satu golongan, misalnya TNI, menjadi narasi yang selalu di elu-elukan oleh masyarakat, bahkan pada saat tidurnya. Dampaknya, di negara kita jika ada satu masalah yang menyangkut ancaman hidup dan mati, jawaban akan selalu dikembalikan pada pemegang narasi kemenangan tersebut.

Saya yang sekarang adalah apel yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, walaupun jatuhnya sedikit ke kiri.

Saya mengingat 65 dengan cara seperti ini. Dengan menolak siapa saya sebelumnya.


Saya harap Anda menemukan ingatan Anda dengan cara Anda sendiri.

Sumber: Ingat 65 

0 komentar:

Posting Komentar