Rabu, 06 Juni 2018

Dewan Kerukunan Nasional, akankah efektif atau mubazir?

6 Juni 2018 | Nuraki Aziz untuk BBC Indonesia




Dalam waktu dekat akan dibentuk Dewan Kerukunan Nasional untuk menyelesaikan dan mencegah berbagai konflik nasional, seperti masalah hak asasi manusia, SARA ataupun sengketa agraria.
Pada hari Senin (04/06), Presiden Joko Widodo sudah menyatakan persetujuan pembentukannya, kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.
Dewan ini akan beranggotakan 17 orang independen dari masyarakat, di antaranya berlatar belakang hukum dan birokrasi seperti mantan Menteri Kehakiman Muladi, kata salah satu orang yang diundang untuk bertemu presiden, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
"Misinya diperluas (dibandingkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) bukan hanya menangani, menyelesaikan kasus-kasus masa lalu tetapi juga kasus masa kini, dan termasuk juga melakukan fungsi pencegahan untuk konflik-konflik skala nasional di masa depan," kata Jimly yang disebut-sebut akan menjadi ketua Dewan baru ini.
Pemerintahan Jokowi akan menggunakan undang-undang yang sudah ada dan mengeluarkan Perpres dan Keppres untuk menyederhanakan pembentukan dewan ini.
Peraturan yang akan digunakan adalah Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang pernah ditolak MK pada tahun 2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD.
Berbagai pihak mengomentari rencana ini, salah satunya dengan nada mempertanyakan keefektifannya. Yang diperlukan sebenarnya adalah kemauan politik pemerintah, kata anggota Komisi 1 DPR, Effendi Simbolon.
"Sebenarnya persoalannya kembali berpulang kepada political will dari negara, dari pemerintah dan DPR. Jadi saya tidak terlalu mengerti kalau kemudian harus dibangun kembali sebuah kedewanan yang sepertinya ada lagi kelembagaan yang harus menyelesaikan itu. Padahal penyelesaiannya itu hanya merujuk ke UU HAM dan undang-undang lainnya," kata Effendi.
Berdasarkan pengalaman anggota dari Fraksi PDI Perjuangan ini di Panitia Khusus Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 2008, keputusan paripurna DPR yang diteruskan ke presiden pada akhirnya tetap tidak ditindaklanjuti sesuai dengan mandat yang diberikan lembaga legislatif tersebut.
G30S PKIHak atas fotoBETTMANN / GETTY IMAGES
Image captionPeristiwa G30S/PKI dan kekerasan yang menyusul masih menjadi perdebatan di kalangan warga Indonesia.

Di bawah Wiranto?

Hal lain dapat membuat dewan ini mandul adalah pihak yang mengkoordinirnya adalah Wiranto, pejabat yang diduga terlibat pelanggaran HAM di masa lalu.
"Kalau kedewan-dewanan yang kemudian diisi oleh orang-orang yang notabene podo wae, sepertinya aja tokoh tetapi sebenarnya sama-sama aja. Apalagi ini akan dibawah kementerian polhukkam, yah podo wae ajalah. Di zamannya pak Wiranto apa sih yang pernah diselesaikan secara tuntas. Beliau juga termasuk yang diduga ikut terlibat disitu," kata Effendi dari komisi DPR yang di antaranya membidangi masalah politik dan HAM.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam berbagai kesempatan telah menegaskan tidak bersalah.
Sementara pendukungnya memandang, janganlah keampuhan dewan ini dikaitkan dengan pribadi salah seorang pejabatnya, karena Polhukkam adalah sebuah lembaga yang tidak terkait dengan siapa yang menjadi pemimpinnya.
"Apa kaitan itu? Tidak ada kaitannya. Ini kan negara, masa' negara you anggap bersalah semua. Menko Polhukkam itu institusi, lain dengan Wiranto. Wiranto itu pribadi. Institusi kan bisa siapa saja duduk disitu. Ini kan negara Republik Indonesia, bukan pribadi," Jimly menegaskan.
Dewan ini diperkirakan akan berwenang memutuskan jalan keluar masalah.
Badan ini tidak akan memiliki kantor sendiri, meskipun pasti ada staf administrasi pendukung, jadi diperkirakan tidak akan mengeluarkan dana sebesar Badan Ideologi Pembinaan Pancasila misalnya.
Alberto Muhammad, Timor Lestet, Markita XimenesHak atas fotoBBC INDONESIA
Image captionAlberto Muhammad -salah seorang dari 4.000 anak Timor Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga- saat bertemu kakaknya, Markita Ximenes, setelah terpisah 32 tahun.

Mubazir

Dewan Kerukunan Nasional ini direncanakan akan mengkoordinasi pekerjaan untuk menyelesaikan berbagai masalah seperti peristiwa G30S PKI, Talangsari Lampung (1989), Semanggi dan sebagainya.
Tetapi sebenarnya sejumlah lembaga sudah memiliki bagian yang menangani berbagai hal ini, misalnya saja Komnasham, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri disamping Kementerian Polhukkam sendiri.
"Kalau ada lembaga baru yang lebih banyak, ada dana baru yang kemudian keluar untuk soal ini, padahal sudah ada. Kemudian ada personil baru yang ditugasi untuk ini. Memang ada benarnya kritikus itu," kata M. Mas'ud Said dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia.
"Semestinya Kementerian Dalam Negeri, disitu kan ada direktorat jenderal yang berkaitan dengan harmonisasi sosial. Kementerian Sosial, juga ada direktorat jenderal dan direktur yang mengenai konflik sosial," Mas'ud yang juga guru besar Universitas Muhamadiyah Malang menjelaskan lebih jauh.
Berbagai pihak memang mempertanyakan kinerja pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus HAM.
Misalnya saja pendemo yang menuntut penyelesaian kasus penembakan Universitas Trisakti 98, yang setelah bertemu presiden pada tanggal 31 Mei tetap melanjutkan acara Kamisannya.
Jimly memandang justru karena itulah Dewan Kerukunan Nasional diperlukan untuk menuntaskan masalah sejenis ini karena belum ditangani oleh berbagai badan yang ada.
"Fenomena setelah reformasi memang demikian, banyak lahir badan-badan, lembaga-lembaga baru. Produksi lembaga-lembaga seperti ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing, itu kalau dilihat bagus. Kalau dilihat secara keseluruhan memang saatnya konsolidasi.
"Tapi ada hal-hal yang di luar itu, menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu. Ini kan terkatung-katung, nggak ada yang menangani," Jimly Asshiddiqie.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44371401

0 komentar:

Posting Komentar