Minggu, 10 Juni 2018

HRWG: Atasi Kebuntuan, Komnas HAM Perlu Diberi Kewenangan Penyidikan

KRISTIAN ERDIANTO Kompas.com - 10/06/2018, 11:05 WIB



Presiden Jokowi bertemu peserta aksi kamisan di Istana Negara, Kamis (31/5/2018).(KOMPAS.com/Ihsanuddin)

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz berpendapat bahwa Presiden Joko Widodo perlu membuat perubahan kebijakan dan terobosan institusional terkait penuntasan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa lalu. 

Pasalnya, masih terdapat perbedaan sikap antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Terlebih lagi perbedaan sikap itu muncul setelah pertemuan Presiden Jokowi dengan keluarga korban yang tergabung dalam Aksi Kamisan. 
"Pertemuan Presiden dengan korban yang konsisten melakukan Aksi Kamisan harus diterjemahkan ke dalam aksi konkret untuk kepentingan korban, baik melalui perubahan kebijakan maupun terobosan institusional," ujar Hafiz kepada Kompas.com, Sabtu (9/6/2018). 
Menurut Hafiz, Presiden Jokowi seharusnya melanjutkan rencana pembentukan Komite Kepresidenan sebagai pemberi arah kebijakan dan strategi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. 

Apalagi, pembentukan Komite ini telah disebutkan di dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. 
"Komite Kepresidenan akan memberikan arah dan strategi kebijakan bagaimana kasus pelanggaran HAM masa lalu ini dapat diselesaikan," tutur Hafiz. 
Upaya lain yang dapat ditempuh adalah dengan memperluas kewenangan Komnas HAM melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) revisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM). 

Hafiz menilai Komnas HAM perlu diberikan kewenangan penyidikan agar dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang berkasnya berhenti di Kejaksaan Agung. 
Dengan begitu pemerintah dapat mengakhiri kebuntuan tersebut dan memberikan keadilan bagi keluarga korban. 

Berdasarkan UU Pengadilan HAM, Komnas HAM hanya memiliki fungsi penyelidikan. Dengan bukti permulaan yang ada, kesimpulan hasil penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilanjutkan proses penyidikan. 

Namun, Kejaksaan Agung enggan melakukan proses penyidikan dengan berbagai alasan, salah satunya berkas penyelidikan dianggap belum lengkap. 
"Kebuntuan ini belum juga bisa diatasi. Kejaksaan tetap memaksa untuk tidak melanjutkan ke proses penyidikan, namun mandat Komnas HAM sendiri sangat terbatas pada penyelidikan," ucapnya. 
"Revisi UU Pengadilan HAM adalah mendesak dilakukan bila memang komunikasi antara dua lembaga ini tidak kunjung selesai," kata Hafiz. 

Sebelumnya, Presiden Jokowi telah bertemu dengan keluarga korban kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang tergabung dalam Aksi Kamisan. 
Namun, nampaknya pertemuan tersebut belum memberikan titik terang bagi penuntasan kasus. Pasalnya, Jaksa Agung HM Prasetyo dan Komnas HAM memiliki perbedaan sikap yang diungkapkan setelah pertemuan tersebut. 

Prasetyo menilai sulit untuk membawa perkara pelanggaran HAM berat masa lalu ke ranah hukum, siapapun yang menjadi presiden dan jaksa agungnya. 
Bahkan ia menganggap hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap enam perkara pelanggaran HAM berat masa lalu bukan bukti otentik. 

Sementara, Komnas HAM menegaskan bahwa proses penyelidikan telah dilakukan secara patut dengan meminta keterangan korban, keterangan saksi dan ditunjang dengan alat bukti. Setidaknya ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas hingga saat ini. 

Ketujuh kasus itu adalah kasus Semanggi I dan II, peristiwa penghilangan paksa pada 1997-1998, Tragedi Mei 1998, Kasus Talang Sari, Kasus Penembakan Misterius, Tragedi 1965-1966, serta kasus penembakan Wasior dan Wamena.

Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Erlangga Djumena

0 komentar:

Posting Komentar