Selasa, 05 Juni 2018

Bumi Manusia, Harta Milik Bersama

Kolom NURHADY SIRIMOROK | Selasa, 5 Juni 2018

Mengapa banyak orang yang kecewa bahkan marah melihat pengerdilan Bumi Manusia?


Bumi Manusia sepertinya sedang menampakkan diri sebagai sebuah ‘commons’, harta milik bersama yang dijaga secara kolektif untuk kepentingan bersama.
Isyaratnya cukup jelas, banyak orang terganggu oleh pernyataan publik Hanung Bramantyo bahwa Bumi Manusia cuma kisah percintaan dua remaja, dan bahwa Iqbaal Ramadhan hanya butuh baju adat untuk bisa memerankan Minke. Gelagat ini segera membuat banyak orang merasa cemas bahwa film yang akan dibuat itu akan menanggalkan gagasan utama yang hendak disampaikan oleh karya tersebut.
Bahwa karya-karya Pramoedya Ananta Toer dihargai oleh banyak pembaca Indonesia maupun luar negeri, itu sudah menjadi pengetahuan umum. Tetapi baru saat ini, berkat fasilitasi media sosial dan sebuah pemicu, kita melihat betapa pembaca Pramoedya bisa beramai-ramai mengacungkan kartu kuning bagi potensi pengerdilan Bumi Manusia.
Saya jadi sadar betapa karya Pramoedya dicintai banyak orang seumpama benih tetumbuhan lokal yang sudah dimanfaatkan sekelompok masyarakat sekian lama dan mewakili pengetahuan kolektif mereka. Bahwa mereka bisa melancarkan perlawanan ketika melihat benih itu hendak dipatenkan oleh satu pihak untuk melayani tujuan lain.
Apa yang ditakutkan banyak pembaca Pramoedya, sejauh yang bisa saya lihat, ialah pengerdilan Bumi Manusia menjadi kisah percintaan remaja dan Minke menjadi sekadar remaja patah hati (mungkin merujuk—dan trauma atas—produk-produk tontonan Indonesia selama ini?). Di sini, daripada soal kualitas filmnya kelak, soalnya lebih pada kepingan mana yang akan dipilih oleh para awak film itu dari novel Bumi Manusia.
Dengan keramaian ini saya jadi bisa meraba betapa karya-karya Pramoedya telah menemani banyak orang melewati masa kediktatoran Orde Baru, dan setelahnya. Karya-karya Pramoedya menyediakan sekian banyak frasa, kalimat, sampai alegori yang membantu mengartikulasi dan bahkan memberi petunjuk tentang bagaimana menghadapi sebuah tirani—yang senantiasa berusaha mengubur dalam-dalam cara berpikir kritis. Dalam banyak kesempatan, karya-karyanya menjadi parabel tentang masa penindasan dan bagaimana orang bisa melawannya.
Dalam karya-karya Pramoedya, mereka menemukan repertoar gerakan perlawanan. (Di sini saya berpikir tentang kutipan-kutipan populer seperti “Kita sudah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya” untuk menghadapi kekalahan dari penindas atau “berbuat adil sejak dalam pikiran” untuk menghindari penindasan.) Bahkan repertoar gerakan itu juga mereka temukan dalam diri Pramoedya sendiri, satu contoh hidup dan simbol perlawanan terhadap tirani.
Dengan cara inilah kebanyakan pembaca Pramoedya mengenalnya selama ini: Pramoedya dan karya-karyanya bersatu melawan bermacam-macam jenis penindasan. 
Para pencinta Pramoedya dan karyanya juga bisa kita lihat sebagai orang-orang yang secara kolektif selama ini merawat karya-karya Pramoedya, meski tidak harus terhubung satu sama lain. Mereka menerbitkan, mencetak, menjual, membeli, membaca, sampai membicarakan dan menuliskannya di berbagai kesempatan, media, dan ruang publik—atau membantu semua itu bisa terwujud. Mereka melakukan semua itu sejak seluruh tindakan itu masih ilegal sampai menghadapi beraneka macam intimidasi ketika Orde Baru sudah tumbang.
Mereka menghidupkan karya Pramoedya yang berusaha dimatikan oleh rezim Orde Baru—salah satunya untuk membantu meruntuhkan rezim itu sendiri. Mereka bekerja bersama memunculkan karya-karya yang sebelumnya dihapus rezim dari seluruh daftar bacaan resmi di Indonesia. Secara kolektif mereka membangkitkan karya-karya Pramoedya dari ketiadaan.
Jadi, Bumi Manusia bersama karya Pramoedya lainnya bukan sekadar karya sastra. Ia adalah produk intelektual yang menjadi alat dan simbol perlawanan, punya peran besar dalam perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini. Membicarakan Bumi Manusia hanya sebagai karya sastra yang cacat secara intrinsik ala Rene Wellek, dan seperti yang diisyaratkan Zen Hae, bisa dilihat sebagai tindakan pengerdilan.
Lalu ketika hasil kerja bersama ini ditengarai hendak dicaplok dan dipakai untuk kepentingan lain (mengejar jumlah penonton di bioskop?), apakah sungguh mengherankan bila banyak orang yang kecewa bahkan marah?
Bahwa sebagian reaksi terhadap rencana ini dianggap ‘berlebihan’ bagi sebagian kalangan, saya melihatnya sebagai proses pematangan sebuah ‘commons’—yang saya percaya akan lebih menguatkan posisi karya Pramoedya di Indonesia. Polemik ini, bila dikelola dengan baik, bisa berkembang menjadi pengayaan pengetahuan, terutama tentang titik berangkat masing-masing pihak.
Sekali lagi, ‘commons’ biasanya terbentuk ketika sekelompok masyarakat sadar bahwa mereka ‘punya’ sesuatu secara kolektif, yang bisa mereka jaga untuk tujuan bersama, dan bahwa harta milik bersama itu sedang terancam.
Dan sebagaimana banyak ‘commons’ di seluruh penjuru dunia, sebagian pihak bisa saja melihatnya sebagai potensi dan secara sadar maupun tidak hendak menjadikannya komoditas. Pada titik inilah harta kolektif itu bisa berbelok melayani keperluan lain.
Barangkali, itikad semacam itu tak akan menjadi masalah besar apabila pemaknaan yang selama ini menjaganya tetap sebagai harta milik bersama tidak terancam mengalami pengerdilan, atau bahkan pembalikan. Tentu para pencinta Pramoedya akan senang bila generasi lebih muda mulai mengenal karya-karya Sang Sastrawan Besar. Tentu mereka akan senang bila muncul pengayaan, bukan pemiskinan, pemaknaan terhadap karya itu.
Tetapi, bila yang ditakutkan itulah tampaknya akan terjadi, aksi kolektif untuk melawannya tentu tidak lagi terelakkan. Bukankah sejak dulu banyak penyuka Pramoedya memaknai dan memakai karya-karya Pramoedya sebagai repertoar gerakan?
NURHADY SIRIMOROK, Peneliti isu-isu perdesaan, alumnus International Institute of Social Studies, Den Haag.
Sumber: GeoTimes 

0 komentar:

Posting Komentar