Jumat, 01 Juni 2018

Menggugat Soeharto yang Menyalahgunakan Pancasila

Oleh: Iswara N Raditya - 1 Juni 2018


Ilustrasi Soeharto. soeharto.co

“Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila,” tegas Presiden Soeharto.
Tanggal 5 Mei 1980, tidak kurang dari 50 tokoh nasional menandatangani surat protes yang kemudian dibacakan di depan para anggota DPR-RI di Jakarta sepekan berselang. Isi Petisi 50 jelas, lugas, dan tentu saja berani: menggugat Presiden Soeharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara, Pancasila.

Ke-50 orang bernyali tinggi itu terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang merasa prihatin dengan manuver Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya. Ada Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, M. Jasin, A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan deretan sosok besar lainnya.

Klaim Soeharto Atas Pancasila

“Saya meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum,” kata Presiden Soeharto dalam rapat pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Pekanbaru, Riau, tanggal 27 Maret 1980.
Seperti khasnya, Soeharto mengucapkan kalimat itu dengan nada berat dan mendalam, kalem, tetapi intimidatif. Pada kesempatan yang sama, presiden menyinggung soal dasar negara Pancasila yang di masa lalu kerap dirongrong oleh ideologi-ideologi lain, juga partai-partai politik.

Maka, untuk menjaga Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, kata Soeharto, maka ABRI dan Golkar harus bersatu, terutama dalam menjalankan pemerintahan yang kuat dari segala ancaman.
Kasak-kusuk pun lamat-lamat terdengar di internal militer yang terpecah menjadi dua suara. Tidak sedikit yang mengusulkan main aman dengan mengikuti rencana Dwifungsi ABRI ala Soeharto, tetapi banyak pula yang menentang, terutama dari kalangan senior, yang ingin menjaga netralitas.

Tiga pekan berselang, seperti dicatat oleh Selamat Ginting dalam artikel berjudul “Petisi Perlawanan”, tanggal 16 April 1980 di Markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), Cijantung, Soeharto kembali menegaskan seruannya (Republika, 11 November 2011).
Di depan para petinggi militer, khususnya Angkatan Darat, presiden lagi-lagi membawa-bawa Pancasila, akan tetapi kali ini bersifat lebih personal. “Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila,” tegas Soeharto yang juga menghendaki Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Soeharto juga berkata dengan nada mengancam. ”Lebih baik kami culik satu dari dua pertiga anggota MPR yang akan melakukan perubahan UUD 1945 agar tidak terjadi kuorum.” 
Sejumlah perwira senior semakin resah. Beberapa jenderal yang tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Fosko TNI-AD) berkumpul untuk membahas persoalan pelik ini. Diputuskan, tokoh-tokoh sipil akan dilibatkan dalam menyikapi manuver presiden yang dianggap mulai melampaui batas.
Tanggal 5 Mei 1980, 50 tokoh bangsa berhimpun untuk membahas pernyataan Soeharto yang meresahkan itu. Atas andil A.M. Fatwa, aktivis yang kala itu kerap mengkritisi kebijakan Orde Baru, ke-50 tokoh tersebut membubuhkan tanda tangan di atas pernyataan yang mereka beri nama “Ungkapan Keprihatinan”.

Orang-orang yang meneken “Ungkapan Keprihatinan” itu berasal dari lintas kalangan: tentara, polisi, anggota parlemen, akademisi, birokrat, pengusaha, aktivis, bekas pejabat, bahkan dai (Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, 1999: 107).

Mereka membuat pernyataan atas nama Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Baskara Tulus Wardaya dalam buku Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia (2007) menjelaskan, ini adalah forum yang digagas oleh mantan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta dan mantan Kepala Staf ABRI Jenderal A.H. Nasution pada 1978 (hlm. 144).

Pada hari itu, Petisi 50 disusun dengan harapan dapat menyadarkan Presiden Soeharto agar tidak lupa diri. Kendati begitu, tentunya amat tinggi risiko bagi mereka yang melibatkan diri dalam urusan ini.

Menggugat Penguasa

Gedung DPR/MPR RI di Senayan, Jakarta, pada 13 Mei 1980 lebih riuh dari hari-hari biasanya. Tampak puluhan orang dengan wajah-wajah yang cukup familiar mendatangi gedung tempat bersemayamnya para wakil rakyat. 

Ya, 30 orang penandatangan Petisi 50 hari itu hadir di Senayan. Mantan Perdana Menteri, Mohammad Natsir, ditunjuk sebagai pemimpin utusan untuk menemui Ketua DPR/MPR-RI, Jenderal Daryatmo. 

Natsir memang menjadi salah satu tokoh bangsa yang berdiri di garda paling depan untuk berhadap-hadapan dengan pemerintahan Orde Baru. Mantan tokoh Masyumi ini merasa gerah dengan sikap otoriter Soeharto yang anti-kritik dan berhasrat menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Melalui risalahnya bertajuk “Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional”, Natsir dengan berani mengusik otoritas Soeharto. Berikut ini sedikit nukilannya dikutip dari buku Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2009: 140) karya Adian Husaini:
“Kalau tadinya Pancasila berfungsi sebagai titik temu dan pemersatu, berjiwakan Bhinneka Tunggal Ika, sekarang justru sebaliknya; diberi fungsi untuk menyingkirkan ciri-ciri khas yang telah dihayati dari zaman ke zaman oleh golongan-golongan sebangsa, jauh sebelum Pancasila dirumuskan.” 
Natsir mewakili kelompok penandatangan Petisi 50 menemui Ketua DPR/MPR RI untuk mempertanyakan maksud pidato Presiden Soeharto di Pekanbaru dan Cijantung yang membuat gempar itu. Kemudian, DPR/MPR selaku perwakilan rakyat diminta untuk menyampaikan sekaligus meminta penjelasan kepada presiden.

Dibacakan pula isi pernyataan “Ungkapan Keprihatinan” yang terhimpun dalam Petisi 50 itu yang setidaknya merangkum 6 poin penting (Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, 2012: 16). Intinya, mereka prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang: 

Pertama, berprasangka ada polarisasi di kalangan rakyat antara yang ingin “melestarikan Pancasila” dengan mereka yang ingin “mengganti” Pancasila. Kedua,Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan untuk mengancam lawan-lawan politiknya. 

Ketiga, membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana pembatalan UUD 1945. Keempat, meyakinkan ABRI untuk memihak berdasarkan pertimbangan penguasa. 

Kelima, memberikan kesan bahwa ia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila. Keenam,melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada berbagai rencana perbuatan jahat dalam menghadapi pemilu yang akan datang.
DPR tampaknya terkejut dengan datangnya Petisi 50 ini. Apalagi setelah melihat nama-nama pendukungnya yang ternyata bukan orang sembarangan. Daryatmo belum bisa bersikap tegas.
“Saya rasa yang paling tahu ini presiden sendiri,” elaknya, seperti dikutip dari buku P. Bambang Siswoyo, berjudul Sekitar Petisi 50, 61, 360 (1983: 48). Namun, Ketua DPR/MPR ini berjanji akan secepatnya menyampaikan tuntutan itu kepada presiden. 

Infografik Petisi 50 Menggugat

Petisi 50 Nihil Hasil

Apakah Petisi 50 yang diajukan barisan tokoh nasional itu membuahkan hasil? Tampaknya nyaris nihil. Soeharto kala itu terlampau sakti. 

Begini tanggapan sang penguasa yang diungkapkan Soeharto dalam otobiografinya berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989): “Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot.” (hlm. 346).
Soeharto tentu saja tidak tinggal diam terhadap orang-orang yang berani mengecamnya itu. Pemerintah menerapkan boikot terhadap para tokoh Petisi 50. Mereka dikucilkan dari kehidupan ekonomi dan politik, bahkan dihabisi atas instruksi penguasa Orde Baru (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekularisme, 2015: 161). Rumah mereka diawasi dengan amat ketat oleh intel-intel kiriman pemerintah.

Natsir dan ke-49 tokoh yang menandatangani Petisi 50 dicekal, dilarang ke luar negeri. Mereka juga menjalani hidup yang amat sulit, bisnis dan penghidupan keluarga mereka kocar-kacir karena tidak bisa mendapatkan kredit dari bank. Saking alerginya Soeharto terhadap orang-orang ini, mereka tidak boleh datang ke acara yang juga dihadiri presiden.

Soeharto bahkan sempat ingin mengirim mereka ke Pulau Buru di Kepulauan Maluku, tempat pembuangan tahanan politik. Beruntung, kehendak itu batal terlaksana karena Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal M. Jusuf, tidak sepakat dengan rencana tersebut (Ali Sadikin & Ramadhan K.H., Pers Bertanya Bang Ali Menjawab, 1995: 192).
Petisi 50 memang sempat memberikan kejutan kepada pemerintahan Orde Baru yang mulai kelewat batas. Namun, petisi bersejarah ini tidak pernah sampai kepada tujuannya. Pancasila tetap dijadikan sebagai asas tunggal. ABRI bermain politik praktis, masuk ke pemerintahan, menjadi sekutu paling menguntungkan bagi Golkar.

Senyum Soeharto pun semakin lebar karena posisinya yang kian mutlak sebagai penguasa tunggal di negeri ini, setunggal Pancasila yang sebenarnya telah ia salahgunakan demi ambisi dan berahi kekuasaan.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya

Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar