Minggu, 24 Juni 2018

Debu Pengotor: Puisi dan Politik Taufiq Ismail

24 Juni 2018 | Joss Wibisono

Taufiq Ismail adalah penandatangan Manifesto Kebudajaan kelima jang pernah saja djumpa. Sebelum itu saja pernah bertemu H. B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Soe Hok Djin jang kemudian berganti nama mendjadi Arief Budiman. Arief Budiman jang tidak lain adalah engkoh (kakak) Soe Hok Gie itu adalah suhu alias dosen saja. Di Salatiga pada tahun 1980an saja beladjar banjak darinja. Bukan hanja resmi dalam bangku kuliah (saja mengambil dua mata kuliah jang diampunja), tetapi djuga dalam pertjakapan se-hari2 di luar bangku kuliah. Salah satu hal jang saja peroleh dari pertjakapan se-hari2 itu adalah kesusastraan Indonesia.

Dari Arief Budiman saja beladjar bahwa kesusastraan Indonesia tidak mungkin dilepas dari politik. Periodisasinja sadja sudah berkaitan erat dengan perkembangan politik Indonesia, mulai dari Hindia Belanda sampai berachirnja zaman Demokrasi Terpimpin. Pada zaman Hindia Belanda ada angkatan Balai Poestaka dan angkatan Poedjangga Baroe. Konon kesusastraan Indonesia berawal pada zaman Balai Poestaka ini.

Aneh sebenarnja, karena djustru pada zaman Balai Poestaka itu buku2 jang berkisar tentang tjita2 Indonesia merdeka tidak boleh diterbitkan oleh lembaga penerbitan kolonial jang aslinja bernama Instituut voor Volkslectuur (institut batjaan rakjat) ini. Karena politik penguasa kolonial ini, Soewarsih Djojopoespito (1912-1977) misalnja, tidak bisa menerbitkan novel Marjanah. Pada tahun 1937 Balai Poestaka menolak naskah dalam bahasa Sunda ini karena dinilai tidak mendidik. Untunglah Soewarsih bisa menerbitkan novel dalam bahasa Belanda pada tahun 1940. Berdjudul Buiten het gareel (kira2 berarti "Di luar kendali"), novel ini tertutur tentang perdjuangan seorang perempuan, seorang istri jang aktif dalam dunia pendidikan di zaman pergerakan tahun 1930an. Dengan kasus Soewarsih ini sadja sudah patut dipertanjakan apakah Balai Poestaka benar2 merupakan awal kesusastraan Indonesia, sementara lembaga kolonial ini djustru melarang penerbitan buku2 jang berisi tjita2 Indonesia merdeka.

Poedjangga Baroe menandai bangkitnja kesadaran kebangsaan jang djelas sangat berbeda dari Balai Poestaka. Walaupun Daniel Dhakidae menjebut angkatan ini militan ke-kanan2an dan sangat teknokratik, Poedjangga Baroe tetap menundjukkan kaitan sastra dengan politik, apalagi karena pada 1933 itu mulai tersebar gagasan kebangsaan. Orang mulai sadar bahwa Indonesia itu adalah bangsa tersendiri jang bukan (merupakan bagian) bangsa Belanda.

Angkatan 45 jang berlatar belakang proklamasi kemerdekaan dan perdjuangan mempertahankan kemerdekaan itu djelas sepenuhnja merangkul politik. Begitu pula Angkatan 66 jang waktu itu ber-tjita2 mendjatuhkan Bung Karno dan Demokrasi Terpimpinnja serta menggusur politik Nasakom—nasionalisme, agama, dan komunisme. 

Salah satu tokoh Angkatan 66, tak pelak lagi, adalah Taufiq Ismail, jang malam hari 20 djuni lalu meluntjurkan kumpulan puisinja jang sudah diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Angkatan 66 sebenarnja djuga berisi para sastrawan jang menandatangani Manifesto Kebudajaan, walaupun djelas penulis lain jang bukan penandatangan djuga bergabung. 

Dari Arief Budiman saja djuga tahu bahwa penggagas Manifesto Kebudajaan adalah Wiratmo Soekito. Lebih landjut, demikian dosen tertjinta ini, Wiratmo Soekito itu sangat dekat dengan djenderal Abdul Harris Nasution. Arief Budiman jang waktu itu masih bernama Soe Hok Djin jakin adalah djenderal Nasution jang men-dorong2Wiratmo supaja mendirikan organisasi sastra untuk menjaingi bahkan melawan pegiat sastra kiri jang waktu itu sudah punja Lembaga Kebudajaan Rakjat, lebih terkenal dalam singkatan Lekra. Bahkan dosen saja ini tahu persis bahwa Manikebu (singkatan 'manifesto kebudajaan') adalah projeknja tentara. Sastra Indonesia sudah djelas berdekapan erat dengan politik.

Mungkin Taufiq Ismail tidak tahu soal ini, atau besar kemungkinan ia djuga tidak setudju dan menjangkalnja. Terus terang saja kesulitan menemukan karja sang penjair jang menjangkal keterlibatan tentara dalam Manikebu. Tentang tentara hanja bisa saja temukan sadjak berikut ini jang djuga diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
TENTANG SERSAN NURCHOLIS ~ Taufiq Ismail

Seorang Sersan
Kakinja hilang
Sepuluh tahun jang lalu

Setiap siang
Terdengar siulnja
Di bengkel arlodji

Sekali datang
Teman2nja
Sudah orang resmi

Dengan senjum ditolaknja
Kartu anggota
Bekas pedjuang

Sersan Nurcholis
Kakinja hilang
Di djaman Revolusi

Setiap siang
Terdengar siulnja
Di bengkel arlodji

Ditulis pada 1958, dalam puisi ini djelas betapa Taufiq Ismail masih berada dalam bajang2 Angkatan 45. Ia berpuisi tentang seorang sersan jang 10 tahun sebelumnja, tatkala berlangsung perang kemerdekaan, kehilangan satu kaki, tapi menolak mendjadi anggota organisasi pedjuang dan lebih memilih bekerdja sebagai tukang arlodji. 

Sajang, Taufiq tidak mendjelaskan lebih chusus lagi kaki sersan Nurcholis sebelah mana jang hilang? Kaki kirinjakah? Kaki kanannjakah? Mungkin waktu itu kanan dan kiri masih belum begitu penting baginja. Jang djelas puisi ini adalah ode kepada pedjuang jang menolak kedudukan, dan tegas bernafaskan revolusi, nafas Angkatan 45. Bahkan, dengan menulis “teman2nja sudah orang resmi”, Taufiq membunjikan nada jang tidak begitu simpatik kepada kalangan militer jang waktu itu, 1958, mulai mendominasi kehidupan ekonomi Indonesia dengan menguasai perusahaan2 Belanda setelah dinasionalisasi oleh Bung Karno. Seperti dikatakan peneliti Prantjis, almarhum Jacques Leclerc (1935-1995), nasionalisasi perusahaan2 Belanda waktu itu tidak lebih dan tidak kurang dari tentaraisasi.

Selandjutnja kita tahu, setelah perkasa setjara ekonomi, tentara djuga ingin menguasai politik. Tentu sadja politik ini termasuk sastra; maka dari itu, seperti tadi sudah saja sebut, djenderal Nasution mendekati Wiratmo Soekito, men-dorong2nja untuk mendirikan Manikebu. Tapi, mana puisi tentang para djenderal? Mana puisi tentang “orang resmi”? Saja kesulitan menemukan karja seperti itu dalam chazanah puisi Taufiq Ismail.

Satu2nja puisi tentang djenderal jang berhasil saja temukan bukan ditulis oleh Taufiq Ismail, melainkan oleh Widji Thukul. Ja, si penjair tukang plitur jang hilang sedjak 1996 dan sampai sekarang tidak ketahuan rimbanja. 

Salah satu kumpulan puisinja berdjudul “Para djenderal marah2”, ditulis tatkala Thukul dalam pelarian sebagai buron orde bau jang pada 1996 itu sudah kesulitan untuk terus bertahan dalam kekuasaan. “Para djenderal marah2”, mungkin merupakan kumpulan puisi terachir Thukul jang berhasil diselamatkan, mentjakup 23 puisi, salah satunja, nomer 20, terbatja seperti ini:
sebuah bank
memasang iklan
ukuran setengah halaman koran, teriaknja:
Dirgahaju Republik Indonesia 51 Tahun

dengan huruf kapital
iklan itu djuga me-mekik2
MERDEKA MERDEKA MERDEKA

sementara itu ratusan aktivis
di daerah dan di ibukota ditangkapi

sebuah iklan
ukuran setengah halaman koran
menggusur kenjataan jang se-wenang2
jangseharusnja diberitakan

MERDEKA MERDEKA MERDEKA
siapa jang merdeka?

Puisi ini lajak disedjadjarkan dengan puisi “Tentang sersan Nurcholis” karena masing2berkisah tentang peringatan kemerdekaan dan perdjuangan mentjapai kemerdekaan itu. Menariknja, kalau pada 1958 Taufiq Ismail bersjair tentang sersan Nurcholis jang menolak mendjadi anggota organisasi pedjuang, padahal dalam perdjuangan dia kehilangan salah satu kakinja, maka 38 tahun kemudian, pada 1996, Widji Thukul djustru bertanja “siapa jang merdeka”, ketika “ratusan aktivis di daerah dan di ibukota ditangkapi”. 

Tak pelak lagi, Thukul jang waktu itu buron dan bersembunji tidak bisa tidak pasti mengkaitkan keadaannja itu dengan peringatan kemerdekaan. Masuk akal belaka kalau dia mempertanjakan apa makna kemerdekaan, kalau masih ada sadja orang jang harus bersembunji supaja tidak ditangkap? Kita tahu Widji Thukul kemudian ditjulik dan sampai sekarang tidak djuga kembali.

Terus terang saja sangat tergoda untuk djuga mengkaitkan djudul “Para djenderal marah2” jang dipasang Widji Thukul pada kumpulan 23 puisinja itu dengan salah satu larik puisi Taufiq Ismail jaitu “Sekali datang teman2nja sudah orang resmi”. Djangan2 si “orang resmi” pada 1958 itu pada 1996 telah berubah mendjadi “para djenderal marah2”? Sajang seribu sajang, kelandjutan itu ditulis oleh Widji Thukul bukan oleh Taufiq Ismail sendiri. Jang djelas setelah Angkatan 66, tidak muntjul angkatan lain dalam dunia sastra Indonesia. Mana ada penulis jang membentuk Angkatan 1998, untuk menandai tersingkirnja orde bau misalnja? Mungkinkah ini lantaran sastra Indonesia sudah enggan terus2an berdempetan erat dengan politik?

Penjair Indonesia dalam Dunia Bahasa Belanda

Sedjak Noto Soeroto (1888-1951) menerbitkan tudjuh kumpulan puisinja jang berbahasa Belanda antara 1915 dan 1931, tidak banjak penjair Indonesia jang hadir dalam dunia puisi Belanda. 

Pada 1984 Joop van den Berg menghimpun puisi2 karja penjair Indonesia dan Indo, artinja penjair Belanda berdarah tjampuran Indonesia-Belanda. Berdjudul Indië-Indonesië in 100 gedichten (berarti "Hindia-Indonesia dalam 100 sadjak"), bundel ini memuat puisi2 karja Noto Soeroto (asli dalam bahasa Belanda), Chairil Anwar dan Rendra jang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Tidak dimuat karja Taufiq Ismail. 

Berkala budaja de Tweede Ronde edisi musim semi 1988 memuat sjair2 dalam terdjemahan bahasa Belanda karja Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Toeti Heraty, Yudhistira ANM Massardi, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Bibsy Soenharjo, B.Y. Tand, dan J.E. Tatengkeng. Kembali tak ada nama Taufiq Ismail. 

Pada 1992, terbit kumpulan puisi berdjudul De sarong van Adinda: liefdespoëzie uit Insulinde (kira2 berarti "Sarung Adinda: puisi tjinta Insulinde", itulah tjara orang Belanda menjebut Nusantara). Kedua penghimpun, jaitu Bert Paasman dan Peter van Zonneveld, menampilkan puisi2 karja penjair Belanda dan penjair Indonesia tentang Nusantara. Ada nama2 Noto Soeroto, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, dan Rendra. Kemudian djuga terpampang nama Han Resink jang walaupun berdarah Indo (tjampuran Indonesia-Belanda), tetapi memilih warga negara Indonesia. Pramoedya Ananta Toer menjebut nama Han [Resink] pada halaman2 awal baik Bumi Manusia maupun Anak Semua Bangsa. Lagi2 nama Taufiq Ismail tidak ada. 

Kenapa puisiTaufiq Ismail selalu tidak diikutsertakan dalam himpunan puisi Indonesia jang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda?

Untunglah perpustakaan Leiden menjimpan bundel jang berdjudul gedichten (sjair2), di dalamnja terdapat terdjemahan bahasa Inggris dan bahasa Belanda puisi2 Rendra serta terdjemahan bahasa Belanda puisi2 Taufiq Ismail. Ada sembilan puisi Taufiq Ismail jang diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda, kira2 pada tahun 1972 oleh A. Teeuw, waktu itu mendjabat gurubesar kesusastraan Indonesia di Universitas Leiden. Sebagai stensilan, terdjemahan ini djelas belum pernah terbit. Entah mengapa, bisa djadi para penerdjemah tidak berhasil menemukan penerbit jang berniat menerbitkannja sebagai kumpulan puisi. Almarhum profesor Teeuw memang menjebut puisi2 Taufiq Ismail bersuara sangat chusus (very distinct voice) dalam perpuisian Indonesia. Tetapi kenjataan bahwa tidak ada penerbit Belanda jang tertarik pada puisi2nja, bisa disimpulkan bahwa walaupun chusus dan sangat lagi, suara itu tetap tidak menarik untuk diterbitkan.

Kemudian saja temukan nama tiga penjair jang sudah almarhum: Amir Hamzah, Rendra, dan Sitor Situmorang. Kumpulan puisi mereka diterdjemahkan ke dalam bahasa si bekas pendjadjah. Kumpulan puisi Sitor Situmorang berdjudul Bloem op een rots (kira2 berarti, "Bunga di atas karang"), diterdjemahkan oleh Kees Snoek dan diterbitkan oleh De Geus pada 1990. Kumpulan puisi Rendra berdjudul IJzeren wereld(kira2 berarti "Dunia besi") djuga diterdjemahkan oleh Kees Snoek dan diterbitkan pula oleh penerbit De Geus pada 1991. Kumpulan puisi Amir Hamzah berdjudul Heimwee (artinja "Rindu kampung halaman"), diterdjemahkan oleh Rudy Kousbroek dan A. Teeuw serta diterbitkan oleh Meulenhoff pada 2001. 

Tampaknja ini merupakan kumpulan puisi Indonesia terachir jang terbit dalam terdjemahan bahasa Belanda. Sampai sekarang belum terbit lagi kumpulan puisi penjair lain dalam terdjemahan bahasa Belanda. Sangat saja pertanjakan adanja penerbit Belanda jang masih bernjali untuk menerbitkan puisi2 penjair Indonesia.

Debu di atas debu: Diterbitkan Horison, yang Dikelola Taufiq Ismail Sendiri

Lalu bagaimana dengan Stof op stof, djudul kumpulan puisi Taufiq Ismail ini? Diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh profesor Edwin Wieringa, gurubesar filologi Indonesia pada Universität zu Köln, Djerman, kumpulan ini berisi 87 puisi jang ditulis antara 1958 dan 2010. Dengan tebal 303 halaman, himpunan puisi dua bahasa ini diterbitkan pada 2015 oleh madjalah sastra HorisonHorison tampaknja djuga menerbitkan terdjemahan bahasa Djerman jang bersama2 dilakukan oleh Edwin Wieringa dan Carsten Beermann, berdjudul Staub auf Staub. Pada 2015 itu Indonesia merupakan Gastland alias negara tamu pada Frankfurter Buchmesse, pameran buku terbesar sedunia di Frankfurt, Djerman.

Terdjemahan bahasa Belanda ini tentu sadja ditudjukan kepada publik pembatja Belanda. Merekalah jang akan membatja dan mengapresiasi puisi2 Taufiq Ismail. Tapi mengapa terdjemahan bahasa Belanda itu diterbitkan oleh Horison jang merupakan penerbit Indonesia dan djelas bukan penerbit Belanda? Tidak adakah penerbit Belanda jang berminat menerbitkannja? 

Peluntjuran tanggal 20 djuni di Leiden University Library djuga dilakukan di hadapan sesama orang Indonesia, padahal berapa banjak orang Indonesia zaman sekarang jang masih mampu membatja dan berbahasa Belanda? Mana publik Belanda jang sebenarnja ditudju oleh terdjemahan ini? Bagaimana pula mereka akan dapat membatja karja terdjemahan ini kalau kumpulan puisi ini tidak bisa diperoleh di pelbagai toko buku Belanda? Bukankah pada kata pengantar, Taufiq Ismail sudah berharap kumpulan puisi2nja ini tidak hanja akan “masuk ke toko buku asing” melainkan djuga “dapat dinikmati oleh pengguna bahasa Belanda, di mana pun mereka bermukim”? Akankah dan kapankah mimpi indah ini mendjadi kenjataan?

Tampaknja dalam menerdjemahkan Edwin Wieringa tidak memperoleh dana dari Nederlands Letterenfonds, dana kesusastraan Belanda. Biasanja penerdjemah Belanda memperoleh subsidi dari lembaga ini. 

Maya Sutedja misalnja, salah satu penerdjemah novel Eka Kurniawan Tjantik itu Luka menerima werkbeurs (dompet kerdja) dari dana kesusastraan Belanda. Berdjudul Schoonheid is een vloek ("Tjantik itu kutukan"), novel ini diterbitkan oleh Lebowski Publishers, Amsterdam, pada 2016. Dana kesusastraan Belanda baru mentjairkan subsidi kalau terdjemahan itu sudah benar2 terbit. 

Dari mana dana bagi terdjemahan bahasa Belanda kumpulan puisi Taufiq Ismail berasal? Di bagian dalam sampul belakang kumpulan puisi ini tertera logo2 beberapa perusahaan dan lembaga jang berkaitan dengan partai politik tertentu. Rupa2nja itulah sumber dana bagi penerbitan Stof op stof. Dari sini bisa disimpulkan bahwa terdjemahan itu diterbitkan sendiri, bukan diterbitkan oleh penerbit normal jang djuga menerbitkan buku2 lain. Madjalah Horison memang ditjantumkan sebagai penerbit, tapi kita tahu madjalah sastra ini dikelola oleh Taufiq Ismail sendiri. Adakah madjalah Horison djuga menerbitkan kumpulan puisi lain, dan dengan begitu merupakan penerbit normal?

Orang Belanda punja istilah chusus bagi penerbitan sematjam ini, itulah penerbitan op eigen beheer, artinja penerbitan jang ditangani sendiri. Biasanja penerbitan seperti ini dilakukan oleh penulis2 jang belum terkenal dan karena itu sulit menemukan penerbit. Resikonja, media massa atau para kritisi sastra tidak akan ambil perduli terhadap penerbitan jang ditangani sendiri ini. Bisa dipastikan tidak akan muntjul resensi dalam pers Belanda terhadap kumpulan puisi Taufiq Ismail. 

Sebaliknja, ketika Schoonheid is een vloek terbit, terdjemahan bahasa Belanda novel Eka Kurniawan ini disambut ramai oleh pers Belanda. Paling sedikit tiga koran terkemuka Belanda (de VolksrantNRC Handelsblad, dan Trouw) menurunkan resensi, belum lagi berita tentang terbitnja novel terdjemahan ini jang dimuat oleh media massa lain.

Peluntjuran buku biasanja diselenggarakan oleh penerbit dalam rangka merajakan terbitnja sebuah buku. Ini bukan hanja kebiasaan di Belanda atau Eropa pada umumnja tetapi djuga di Indonesia. Beberapa penulis Indonesia sudah meluntjurkan buku mereka dalam terdjemahan bahasa Belanda, misalnja Ahmad Tohari, Ayu Utami, Leila Chudori, Laksmi Pamuntjak, dan Eka Kurniawan. Mereka diundang oleh para penerbit masing2 untuk datang ke Belanda. Dan hadirin jang mendatangi peluntjuran itu kebanjakan djuga orang Belanda, publik pembatja terdjemahan itu. 

Lalu bagaimana dengan kumpulan puisi Debu di atas debu ini? Jang djelas untuk peluntjuran di Leiden (begitu djuga, naga2nja, peluntjuran di Paris serta Berlin), Taufiq Ismail telah diundang oleh penerbit Horison, dan kita tahu siapa di balik penerbit ini. Amboi, bukan?

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Sumber: Tirto.Id

0 komentar:

Posting Komentar