Jumat, 08 Juni 2018

Sekilas tentang Pembantaian Massal Indonesia tahun 1965 lewat kacamata sensus: migrasi dan pengungsi di Jawa Timur

Oleh Siddharth Chandra | Diterjemahkan oleh Febriana Firdaus


Pengantar: Made Supriatma
Sensus dan Pembantaian: Satu lagi karya ilmiah telah terbit tentang Pembantaian 1965. Topik ini sangat kontroversial untuk publik Indonesia. Mungkin sebagian besar orang Indonesia pada masa kini tidak percaya bahwa pembantaian itu pernah ada dan terjadi.

Setiap perbincangan tentangnya menimbulkan kesan pahit di mulut. Setiap perbantahan tentangnya tidak pernah menjadi diskusi yang bernalar. Seringkali ia berubah menjadi percekcokan dan penyebaran kebencian.
Narasi yang dibangun sejak tahun 1965 oleh pihak militer terus menerus diperkuat hingga saat ini. Jauh sebelum sistem politik Amerika jatuh ke dalam berita palsu (hoax) yang disebar oleh Rusia dan menaikkan Donald Trump menjadi presiden, Indonesia pun sesungguhnya sudah membangun 'hoax' tersebut dan menjadikannya institusi yang mapan. Institusi itu bernama Orde Baru dengan tentara sebagai tulang punggungnya. Tidak salah kalau ada dikatakan bahwa Orde Baru didirikan diatas sebuah "hoax" politik terbesar dalam sejarah modern.
Militer Indonesia sudah berhasil membentuk persepsi tentang 1965. Mereka berhasil menciptakan narasi hegemonik, yaitu narasi besar yang dianggap tidak perlu dibantah. Saya perlu menggarisbawahi kata 'tidak perlu' karena bukan berarti narasi ini tidak bisa dibantah. Narasi ini, sekalipun hegemonik, berdiri di atas pondasi yang rapuh. Orang dianjurkan untuk menerima penjelasan militer. Apa adanya. Itulah hasil utama dari totalitarisme dalam pengontrolan pikiran.
Narasi milliter diperkuat oleh berbagai kepentingan, baik oleh militer sendiri dan oleh sipil sendiri. Kita tahu, jendral yang ingin mendapat kekuasaan politik menggunakan isu dengan sebaik-baiknya dengan menebarkan isu kebangkitan PKI. Kelompok-kelompok agama dengan senang hati merangkul isu ini dengan menggabungkannya dengan elemen kesalehan dan mengkaitkannya dengan kekufuran. Menjadi PKI sama dengan tidak bertuhan dan karena itu ganjaran di akhirat akan sangat fatal, yakni ceruk terdalam neraka.
Itulah. Namun, adakah yang menyadari akibatnya? Saya kira tidak banyak. Kalau pun ada, orang tidak mau membicarakannya secara terbuka. Politisi akan menghindar. Intelektual memilih berbicara hal-hal yang lebih seksi (Hello, budaya pop? Hello, kelas menengah? Hello, ayat-ayat cinta Pramoedya? dll.)
Narasi besar 1965 yang diciptakan militer dan OrBa itu memberikan platform politik sekaligus platform discursive untuk para elit -- politik, intelektual, agama, seniman, budaya, dll -- untuk TIDAK berbicara soal-soal sehari-hari yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tidakkah Sodara sadari bahwa perbincangan publik kita sama sekali tidak menyentuh: ketimpangan pendapatan, ketimpangan akses terhadap modal, ketimpangan spasial (mengapa satu propinsi sangat makmur, dan lainnya sangat rendah? Mengapa propinsi yang memberikan banyak penghasilan tapi punya angka kemiskinan tinggi?); rendahnya mutu pendidikan (20% budget itu untuk apa?), ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja sehingga jutaan tenaga produktif kita mencari kerja di luar negeri dan tidak mendapat perlindungan, dan masih banyak lagi.
Sebaliknya, Sodara disibukkan oleh tatacara beragama; saling mengkafirkan; mendirikan negara agama dengan janji-janji yang tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan kecuali bahwa dalam negara itu Sodara akan hidup seperti di sorga. Apakah politisi seperti Rizieq Shihab, Felix Siauw, Bachtiar Nasir, dan sejenisnya itu (untuk saya mereka adalah politisi) pernah bicara isu-isu tersebut diatas sekalipun dalam konteks keagamaan yang selalu mereka usung?
Narasi besar 1965 itu memungkinkan para politisi kita lepas dari tanggungjawabnya memerintah. Mereka lepas dari semua aspek akuntabilitas mengelola negara secara modern. Intelektual dan agamawan kita bisa melenggang bebas tanpa pernah berbicara hal-hal kongkrit dalam hidup sehari-hari rakyat. Kalau pun bicara, mereka akan mengangkat hal yang abstrak dan besar: 40% tanah Indonesia dikuasai asing. Terus? Siapa yang asing? Siapa yang membolehkan mereka menguasai? Jangan harapkan perbincangan akan beranjak kesana. Pernyataan besar dan kontroversial akan sejenak menjadi headline dan kempes pada jenak berikutnya.
Seperti yang saya katakan diatas, narasi besar 1965 sesungguhnya tidak berdiri diatas pondasi yang kokoh. Hari ini saya menerima terjemahan dari artikel Prof. Siddart Chandra yang dengan tekun melihat data sensus untuk membuktikan ada pembantaian. Akademisi (sebagian besar dari luar namun di dalam negeri juga mulai berkembang) mulai mengupas persoalan ini sedikit demi sedikit dan mencari data-data pendukungnya. Mereka menggunakan berbagai metode. Prof. Chandra setahu saya adalah seorang ekonom. Dia pernah menulis (bersama Prof. Douglas Kammen) tentang tren dalam 'tour of duty' di dalam militer Indonesia.
Mungkin membaca karya-karya seperti ini seperti menelan pil pahit. Kita dipaksa untuk mempertanyakan apa yang menurut kita sudah menjadi keyakinan, sudah mapan (settled). Namun, tidak bisa tidak, obyektivitas tentang apa yang terjadi pada tahun 1965, sebelumnya, dan sesudahnya, pelan-pelan pasti akan terbongkar. Kalau tidak sekarang, sepuluh tahun lagi, lima puluh tahun ke depan, atau bahkan mungkin setelah Indonesia ini tidak lagi berbentuk seperti Indonesia yang sekarang kita kenal.
Saya berterima kasih kepada Febriana Firdaus yang menerjemahkan karya ini.
Silahkan baca artikel lengkapnya disini. Artikel asli dalam bahasa Inggris terbit di jurnal "Indonesia":
***
Kekerasan anti-Komunis yang meluas yang diikuti dengan penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal senior Indonesia pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, mungkin merupakan periode paling traumatis dalam sejarah Indonesia. Dirancang dan dieksekusi oleh Tentara Nasional Indonesia dan sekutu politiknya, kekerasan mengakibatkan hilangnya nyawa sekitar 500.000 jiwa(1). Sebagian besar penelitian tentang hal ini sebelumnya fokus pada masalah politik seputar pembunuhan dan kemunduran politik rezim Presiden Soekarno dan naiknya pamor Mayor Jenderal Suharto (2), skandal sosial budaya dan sosial ekonomi di Jawa atau Bali yang telah menghadapkan-hadapkan kelompok yang berbeda satu sama lain(3), sejauh mana organisasi militer dan sipil yang terlibat bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan yang meluas (4), atau pembunuhan itu sendiri dan akibatnya (5). Namun hampir selalu kasus pembantaian massal sebenarnya disertai dengan migrasi, karena orang-orang tersebut takut menjadi korban atau kehilangan mata pencaharian mereka karena melarikan diri dari daerah-daerah kantung kekerasan untuk mencari perlindungan. Dilihat dari sudut pandang ini, tidak adanya fenomena migrasi di narasi ilmiah tentang 1965 cukup menarik perhatian.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengeksplorasi dua pertanyaan tentang migrasi di Indonesia selama bulan-bulan penuh kekerasan yang diikuti peristiwa Oktober 1965. Pertama, apakah ada bukti bahwa migrasi massal yang terjadi terkait dengan kekerasan dan, jika demikian, apa itu? Kedua, apa kekuatan dan keterbatasan bukti tersebut dan apa implikasinya bagi penelitian masa depan?Menggunakan data dari tiga sensus Indonesia yang diambil sebelum atau setelah pembantaian, dalam waktu dua dekade tersebut, perkiraan perubahan populasi di tingkat kecamatan (kecamatan, atau kabupaten) yang disebabkan oleh peristiwa selama 1965-1966 dihitung dan dinilai untuk mendapat pola yang mungkin menunjukkan migrasi tersebut. Secara khusus, perkiraan ini dapat dibandingkan dengan informasi yang dikumpulkan antara 1965 dan 1968 untuk menguji hipotesis bahwa lokasi di mana kader Partai Komunis Indonesia (PKI) berkumpul kembali setelah pembantaian, sebagaimana diidentifikasi oleh aparat intelijen militer Indonesia, secara tidak sengaja sama dengan lokasi yang menunjukkan adanya bukti-bukti (yaitu, data sensus) adanya migrasi besar-besaran yang terjadi selama 1965–66. Hipotesis kedua adalah bahwa lokasi pengungsian ini cenderung berada di kantung wilayah pertahanan PKI yang kuat, yang oleh tentara tidak dapat ditembus secara efektif, di mana lawan politik PKI memiliki dukungan yang relatif lemah, dan di mana pengungsi dapat berharap untuk mencari perlindungan di antara orang-orang yang bernasib sama. Temuan ini juga dapat memberikan petunjuk tentang lokasi di Jawa Timur di mana para peneliti dapat menemukan informasi tambahan tentang pergerakan orang-orang tersebut dan tentang pembantaian 1965–66 secara lebih umum dari orang yang selamat dan saksi. Diharapkan bahwa temuan penelitian ini akan mendorong para sarjana sejarah dan politik Indonesia untuk melakukan penelitian komplementer yang mengeksplorasi migrasi yang diinduksi oleh kekerasan ini, menambah dimensi penting bagi pemahaman kita tentang sebuah episode yang menentukan dalam sejarah Indonesia yang merdeka.
Artikel ini merupakan bagian dari proyek yang lebih besar tentang pembantaian massal 1965-1966. Makalah sebelumnya (6), juga menggunakan data sensus dari Jawa Timur, mengidentifikasi pola perubahan demografi yang jelas di seluruh kabupaten (kabupaten) provinsi, yang tampaknya terkait dengan kekerasan (7). Studi ini didasarkan pada temuan-temuan tersebut dengan melakukan pendalaman hingga ke tingkat kecamatan untuk memberikan gambaran perubahan populasi yang lebih rinci. Selama periode waktu yang dipertimbangkan, rata-rata ada sekitar empat belas kecamatan per kabupaten. Ketelitian geografis yang lebih dalam ini memungkinkan perbandingan dengan temuan-temuan komplementer dan lebih rinci tentang kekerasan dan respons PKI terhadapnya. Dalam hal ini, materi itu terutama didatangkan, tetapi tidak secara eksklusif, dari laporan intelijen yang dikeluarkan oleh Kodam Brawijaya (komando militer Indonesia) yang berlokasi di Jawa Timur (8).

Data dan Sumber
Studi ini meneliti data dari sensus Indonesia bersama dengan materi yang diterbitkan oleh aparat intelijen Tentara Nasional Indonesia di Jawa Timur. Jawa Timur adalah kasus yang cocok untuk studi migrasi terkait kekerasan karena sejumlah alasan. Pertama, sebagai salah satu dari empat provinsi yang paling terkena dampak (yang lain adalah Jawa Tengah, Bali, dan Aceh), data sensus Jawa Timur lebih mungkin menghasilkan bukti dampak demografis dibandingkan dengan provinsi lain yang relatif kurang terkena dampaknya. Kedua, materi pelengkap ada dalam bentuk laporan intelijen tentara cukup terperinci tentang gerakan kader PKI pasca kekerasan, lengkap dengan informasi geografis yang juga terperinci. Ketiga, data sensus untuk Jawa, termasuk Jawa Timur, cenderung memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan beberapa provinsi lain yang lokasinya lebih terpencil di Indonesia, terutama untuk sensus 1961. Akhirnya, Jawa Timur menyajikan kasus yang jelas tentang peran perpecahan sosial budaya yang melanggenggkan kekerasan, dengan bantuan brigade pemuda (Ansor) dari partai Islamis Nahdlatul Ulama (NU) berkolaborasi dengan Tentara Nasional Indonesia untuk membunuh mereka yang dianggap ‘kurang religius’ dan dianggap dekat atau ‘berafiliasi’ dengan PKI.
Tiga sensus dilakukan dalam dua dekade setelah pembunuhan – 1961, 1971, dan 1980 (9). Di Jawa Timur, data jumlah penduduk tersedia di tingkat desa (desa) untuk sensus tahun 1961 dan 1980, dan di tingkat kecamatan untuk sensus tahun 1971. Data dari sensus-sensus ini memberikan informasi yang diperlukan, dengan menyederhanakan asumsi tentang trayektori pertumbuhan populasi sebelum dan sesudah kejadian, untuk memperkirakan perubahan populasi yang terjadi sebelumnya di berbagai kecamatan di Jawa Timur pada tahun 1965-1966 menggunakan pendekatan konseptual yang sama yang saya gunakan di tempat lain (10).
Singkatnya, untuk setiap kecamatan, perubahan populasi pada tahun 1965-1966 dihitung dengan menghitung trayektori pertumbuhan populasi setelah tahun 1966 menggunakan data dari sensus tahun 1971 dan 1980 dan memproyeksikan trayektori ini kembali pada waktunya hingga 1966 untuk mendapatkan perkiraan populasi secara langsung setelah pembunuhan (lihat Gambar 1) (11).
Kemudian, menggunakan laju pertumbuhan populasi yang dihitung untuk periode 1971–80 dan menyesuaikannya ke atas dengan jumlah tetap untuk mencerminkan laju pertumbuhan populasi yang lebih cepat sebelum 1965 (12) perkiraan populasi sesaat sebelum pembantaian dihitung menggunakan populasi yang diperoleh dari sensus 1961 dan mengolahnya dengan laju yang disesuaikan.
Penyesuaian ke atas yang serupa dengan tingkat pertumbuhan penduduk juga dibuat untuk siklus lintasan periode 1965-1971 (tidak ditunjukkan pada Gambar 1). Akhirnya, perbedaan antara dua trayektori menyajikan perkiraan, untuk setiap kecamatan, dari satu kali penurunan (atau peningkatan) dalam populasi yang bertepatan dengan waktu pembantaian massal.
Gambar 1: Perhitungan Estimasi Penurunan/Pertambahan Penduduk

Catatan: Trayektori populasi dalam gambar tampak linear, tetapi, mengingat sifat eksponensial pertumbuhan populasi, sebenarnya ini melengkung.
Sumber: Siddharth Chandra, “Temuan Baru tentang Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966,” Journal of Asian Studies 76, 4 (2017): 1064.
Dalam menafsirkan perkiraan perubahan populasi, pembaca harus sadar akan asumsi yang mendasari perhitungan ini dan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh perkiraan ini. Asumsi utama yang mendasari perkiraan adalah:
  1. Tingkat pertumbuhan penduduk di setiap kecamatan antara 1971 dan 1980 adalah konstan. Oleh karena itu, jika penduduk di sebuah kecamatan tumbuh pada tingkat 2 persen pada 1975-1976, misalnya, itu juga tumbuh pada tingkat 2 persen pada 1976–77. Ini adalah asumsi standar dalam analisis demografi. Meskipun premis ini tidak pernah tepat dalam kenyataan di lapangan, artinya ini menggabungkan angka kelahiran, tingkat kematian, dan tingkat migrasi bersih penduduk suatu kecamatan menghasilkan tingkat perubahan populasi tahunan yang konstan selama interval waktu yang ditentukan. Asumsi ini digunakan dalam perhitungan laju pertumbuhan penduduk antara 1971 dan 1980.
  2. Tingkat pertumbuhan penduduk antara 1961 dan akhir 1965, dan antara awal 1966 dan 1971, konstan dan sama dengan laju pertumbuhan penduduk antara 1971 dan 1980 ditambah faktor penyesuaian ke atas untuk mencerminkan tingkat populasi pertumbuhan penduduk yang lebih laju di Jawa Timur sebelum 1971 dibandingkan tahun 1971 dan sesudahnya.
  3. Tidak ada satu pun peristiwa penurunan populasi atau pertambahan peristiwa dalam periode 1961–80 terlepas dari peristiwa yang menggoncang di tahun 1965-1966. Asumsi ini memungkinkan kita untuk menganggap bahwa siklus lintasan itu akan berlanjut sepanjang waktu kecuali untuk sebuah pertambahan yang terjadi (atau penurunan) yang terjadi pada 1965–66.
Perhitungan juga secara implisit mengasumsikan bahwa pembantaian massal berakhir pada tahun 1966 meskipun, dalam kenyataannya, peristiwa itu berlanjut dengan jeda waktu sampai 1968. Dampak asumsi ini pada perkiraan minimal karena sebagian besar pembantaian terjadi pada 1965-1966. Perkiraan penurunan populasi pada 1965–66 terdiri dari kombinasi efek mortalitas yang lebih tinggi daripada normal (dari pembunuhan), kesuburan yang lebih rendah dari yang diharapkan, dan sebuah migrasi. Di daerah-daerah di mana ada banyak kekerasan, diperkirakan bahwa angka kematian yang tinggi akan disertai dengan penurunan kesuburan dan migrasi (dari daerah-daerah tersebut) secara besar-besaran. Di daerah yang damai dan stabil, mortalitas “normal” akan disertai dengan kesuburan yang stabil dan, mungkin juga, dalam migrasi ke daerah tersebut.
Oleh karena itu, ketiga penggerak perubahan populasi akan mengarahkan perkiraan sebuah perubahan itu dalam populasi ke arah yang sama atau tidak akan berkontribusi terhadap perubahan. Para sarjana yang mempelajari penurunan populasi dengan skala besar di bagian lain Asia Tenggara telah menggunakan data tentang struktur usia penduduk untuk memperkirakan dampak perang atau genosida (13). Sayangnya, data yang dapat diandalkan tentang struktur usia penduduk di tingkat kecamatan tidak tersedia untuk Jawa Timur untuk sensus 1961, ini menjadi penghalang analisis serupa dalam kasus ini.
Selain itu, bahkan data struktur usia yang ada untuk sensus 1961 di Jawa Timur, yang dikumpulkan hingga tingkat provinsi, telah menjadi bahan perdebatan sengit dan banyak yang skeptis tentang keakuratannya (14).

Perkiraan Perubahan Penduduk, 1965–66
Asumsi di atas, sementara umum dalam penelitian demografi, tidak dapat menangkap ketidakberesan yang mau tidak mau sebenarnya terkait dengan perubahan demografis di dunia nyata. Oleh karena itu, agar tidak mengecilkan arti dari pertambahan atau penurunan populasi yang terjadi yang mungkin merupakan hasil dari contoh daripada mencerminkan fenomena nyata, makalah ini hanya fokus pada kecamatan-kecamatan yang perubahan populasinya “besar,” yaitu, di mana populasi menunjukkan perubahan yang terjadi minimal 5 persen pada 1965-1966. Gambar 2 adalah peta Jawa Timur di mana kecamatan yang diarsir menunjukkan peningkatan populasi setidaknya 5 persen selama 1965-1966. Menariknya, perhitungan menghasilkan 91 kecamatan menunjukkan terjadinya pertambahan populasi yang “besar”. Penjelasan yang paling mungkin untuk lonjakan ini adalah telah terjadi sebuah migrasi, karena tidak mungkin bahwa kecamatan ini telah mengalami lonjakan di angka kesuburan atau mengalami penurunan drastis di angka kematian— fenomena biasanya menunjukkan itu terjadi tidak langsung melonjak ke atas (lahir) atau jatuh ke bawah ( kematian) dalam waktu yang singkat.
Jika memang ada migrasi sistematis dari daerah-daerah yang rawan ke lokasi-lokasi yang dianggap ‘bersahabat’ untuk PKI, maka kita akan berharap melihat penumpukan populasi di daerah-daerah yang dikenal sebagai kantung wilayah PKI tersebut. Peta pada Gambar 3 menunjukkan kekuatan PKI di Jawa Timur berdasarkan persentase kursi yang dimenangkan dalam pemilihan lokal 1957, pemilihan terakhir yang diadakan sebelum pembantaian massal (15).
Gambar 2: Kecamatan dengan Perkiraan Besar Peningkatan Penduduk pada 1965-1966
Daerah yang diarsir pada Gambar 2 menunjukkan dugaan migrasi pada umumnya terjadi bertepatan dengan daerah yang diarsir pada Gambar 3 yang menunjukkan dukungan PKI yang kuat di kabupaten pesisir barat daya dan selatan provinsi. Tentu saja ada pengecualian pada pola ini. Misalnya, tidak seperti kabupaten pedesaan yang mengalami campuran demografi, daerah perkotaan—beberapa di antaranya merupakan basis PKI—populasinya mengalami penurunan yang seragam. Hal ini dapat dijelaskan oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah daerah itu merupakan kantung wilayah Tentara Nasional Indonesia, yang telah melakukan banyak pembantaian. Secara umum, variasi dari sifat ini menunjukkan sifat kompleks dari perubahan populasi yang terjadi terkait dengan pembantaian dan menggarisbawahi kebutuhan untuk mencermati berbagai faktor yang kemungkinan terkait dengan perubahan ini. Pola yang luas dan tumpang tindih antara lokasi dengan dukungan PKI yang kuat dan lokasi migrasi juga sesuai dengan apa yang telah ditemukan oleh peneliti lain: “Tempat-tempat mereka melarikan diri berada di selatan (Zuid [Belanda: selatan] Besuki, Zuid Malang, Zuid Madiun , sampai ke Jawa Tengah)” (16).
Gambar 3: Dukungan untuk Partai Komunis (PKI) di Pemilu Lokal 1957

Sumber data kedua dan lebih fokus memperkuat interpretasi ini dari perkiraan perubahan populasi berasal dari Tentara Nasional Indonesia sendiri. Pada tahun 1968, Tentara Nasional Indonesia meluncurkan Operasi Trisula—untuk memberangus sisa-sisa pemikiran kepemimpinan PKI— untuk dibentuk kembali di Blitar Selatan dan bagian lain dari Jawa Timur dan Tengah. Sebelum melaksanakan operasi, militer melakukan operasi intelijen untuk mengidentifikasi orang-orang yang dicurigai sebagai basis PKI. Sebuah peta dari laporan resmi Operasi Trisula (17) yang ditampilkan kembali pada Gambar 4, menunjukkan lokasi dari kubu PKI ini sebagaimana diidentifikasi oleh operasi intelijen militer. Lingkaran besar di peta menunjukkan tujuh kompro (Komite Proyek, atau komite proyek, yaitu, Kendeng, Lawu, Pandan, Blitar Selatan, K.K.A [Kelud, Kawi, Arjuna], Semeru, dan Raung-Argopuro) yang didirikan beserta lokasinya. Yang kedelapan, Bendjeng, sedang dalam persiapan. Selain itu, dua Komite Kota (komite kota), di Surabaya dan Malang, ditampilkan sebagai lingkaran kecil. Karena daerah perkotaan mengalami dinamika yang berbeda dari daerah pedesaan, studi ini fokus pada tujuh kompro pedesaan yang sudah mapan. Unsur penting dari kompro ini adalah lokasinya di daerah terpencil dengan medan yang sulit (yaitu lereng kompleks vulkanik dan desa karst kapur yang tidak rata dari pantai selatan Jawa Timur), sebuah titik yang juga dicatat oleh Hearman (18).
Sumber: Semdam VIII Brawidjaja, Trisula Operation by the 8th Regional Military Command Brawidjaja (Surabaya: Jajasan Taman Tjandrawilwatikta, 1972), 285.
Gambar 4: Reproduksi Peta dalam Operasi Laporan Trisula Menampilkan Lokasi Komite Proyek PKI

Kompro dan Kecamatan Menunjukkan Populasi Yang Signifikan Meningkat
Berdasarkan hal tersebut di atas, hipotesis saya dapat disajikan kembali sebagai berikut: setiap kompro mengalami migrasi (ke lokasi kompro tersebut) yang signifikan terkait dengan peristiwa dan kekerasan 1965-1966. Hipotesis kondisional ini berbeda dari yang lebih luas bahwa setiap lokasi di mana ada migrasi adalah kubu kompro. Seperti disebutkan di atas, mungkin ada karakteristik kecamatan lain, yang bukan fokus dari makalah ini, yang menarik bagi orang yang melarikan diri dari daerah yang rawan untuk pindah.
Gambar 5 melapisi informasi pada Gambar 2 (lokasi peningkatan populasi yang signifikan) dengan lokasi kompro dari Gambar 4. Hasilnya mencolok. Untuk semua kompro yang terletak terutama di Jawa Timur (Kendeng, pengecualian, terletak untuk sebagian besar di Jawa Tengah), Gambar 5 menunjukkan sejumlah area yang tumpang tindih.
Gambar 5: Perbandingan Lokasi Komite Proyek dan Populasi Satu Kali Meningkat pada tahun 1965-1966
Korespondensi ini tercantum dalam Tabel 1. Dalam setiap kasus, dibandingkan daripada satu kecamatan yang bertepatan dengan lokasi kompro, ada sekelompok kecamatan yang berdekatan. Hal ini penting karena menunjukkan bahwa kita tidak menyaksikan satu-satunya fenomena khusus kecamatan yang berasal, mungkin, dari jumlah sensus yang menyimpang atau perkiraan populasi, atau penyimpangan dari salah satu asumsi yang disebutkan sebelumnya, tetapi lebih kepada sesuatu yang lebih sistematis. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa semua klaster kecamatan yang melintasi batas-batas kabupaten, menunjukkan bahwa keanehan administrasi pengambilan sensus yang mungkin terjadi dalam satu kabupaten bukan merupakan penjelasan alternatif yang masuk akal untuk fenomena tersebut. Dengan kata lain, setiap kompro mengalami migrasi, yang mendukung hipotesis yang disebutkan sebelumnya.

Kesimpulan, Batasan, dan Implikasi untuk Penelitian Masa Depan
Temuan penelitian ini konsisten dengan fenomena migrasi secara sistematis ke dalam kantung wilayah PKI pedesaan pada pertengahan 1960-an, bagian dari “dorongan untuk melarikan diri dari kota-kota Jawa”(19) serta migrasi dari daerah pedesaan yang tidak aman ke tempat yang lebih ‘ramah’. Sementara itu bukti di lapangan yang mendukung atau tidak mengkonfirmasikan hasil ini sangat tipis dan data tidak memungkinkan seseorang untuk mengurai sejauh mana pergerakan orang-orang tersebut merupakan migrasi dari kota ke desa atau pedesaan ke desa, perhitungan tersebut sejajar baik dengan materi yang disajikan dalam laporan Operasi Trisula tentang pengelompokan kembali kader PKI di daerah terpilih di Jawa Timur (20) dan, lebih luas lagi, dengan data yang mengidentifikasi dukungan politik untuk PKI. Di antara literatur yang jarang ditemukan yang secara anekdot menyebutkan migrasi, Hearman memfokuskan sebagian pada wawancara dengan enam tahanan politik yang ditangkap setelah kekerasan 1965, beberapa dari mereka atau rekan PKI dari luar kabupaten mereka pindah ke Blitar Selatan(21). Operasi Laporan Trisula juga menyebutkan ratusan penangkapan atau eksekusi (22) dan catatan langka pengungsi korban kekerasan yang “tidur di gua-gua lembap dengan ratusan lainnya” (23) menguatkan dugaan bahwa jumlah pengungsi itu memang cukup besar. Sebagaimana yang diamati Hughes dengan benar, jika keanggotaan PKI adalah tiga juta, maka ratusan ribu korban akan berjumlah kurang dari seperlima dari keanggotaan PKI bahkan jika semua korban adalah anggota PKI, yang sebenarnya tidak (24). Sejumlah besar anggota dan pendukung PKI memang hidup dengan risiko. Oleh karena itu, tidak beralasan untuk mengharapkan bahwa sejumlah besar orang yang rentan, sekali lagi sebesar sebagian kecil dari total keanggotaan PKI, akan melarikan diri dari daerah-daerah yang dianggap paling rawan kekerasan.
Perlu diulangi bahwa kesimpulan di atas tentang migrasi dibuat dari perhitungan yang didasarkan pada asumsi yang tercantum sebelumnya. Jika salah satu dari asumsi tersebut dilanggar ke tingkat yang signifikan di kecamatan tertentu, maka interpretasi hasil dalam konteks kecamatan tersebut perlu dimodifikasi. Contoh migrasi yang tidak terkait dengan kekerasan bisa disebabkan oleh guncangan besar lainnya yang terjadi terhadap populasi (misalnya, epidemi atau peristiwa cuaca yang buruk, efek yang tidak merata dari hiperinflasi 1963-1965 di berbagai belahan Pulau Jawa, atau ledakan migrasi yang terkait dengan kesempatan kerja tertentu) atau penurunan yang lebih besar dalam tingkat pertumbuhan populasi setelah 1971 daripada yang diasumsikan untuk studi ini, yang akan mengubah ukuran perkiraan perubahan populasi yang terjadi pada Gambar 1. Oleh karena itu, sampai temuan ini diverifikasi menggunakan bukti tambahan, temuan ini harus diperlakukan sebagai peta jalan untuk penelitian masa depan.
Tabel 2: Kecamatan Cluster dengan Perubahan Penduduk Satu-Waktu sebesar 5 persen atau Lebih Besar Tidak Berada di Kompro
Barangkali cara yang paling tepat untuk mengkonfirmasi atau tidak membenarkan temuan-temuan untuk lokasi berbeda yang diidentifikasi sebagai titik panas dalam migrasi adalah melakukan penelitian lapangan. Untuk tujuan ini, penelitian ini juga dapat dilihat sebagai panduan untuk lokasi (Tabel 1), sampai saat ini sebagai bagian besar yang diabaikan atau kurang diteliti, dengan matang untuk penelitian tersebut. Tambahan lokasi yang menjanjikan yang berada di luar fokus makalah ini karena tidak terdapat dalam wilayah (lingkaran) yang diidentifikasi sebagai kompro oleh laporan Trisula Operasi termasuk kecamatan yang tercantum dalam  Tabel 2.
Tiga lokasi tersebut adalah daerah Lawu Utara (Magetan-Ngawi), kompleks Liman-Wilis (Madiun-Ponorogo – Trenggalek Utara – Tulungagung Utara), dan pantai barat daya Jawa Timur (Pacitan-Trenggalek Selatan – Tulungagung Selatan). Ada kemungkinan bahwa daerah-daerah ini juga merupakan lokasi berkumpul bagi orang-orang PKI yang selamat, tetapi menghindari perhatian intelijen militer Indonesia. Sebagai contoh, sebuah telegram dari Konsulat AS di Surabaya menyatakan, “Dari laporan berita tampaknya mungkin beberapa unit angkatan bersenjata Madiun mungkin pro PKI dan PKI dari Jawa Tengah mungkin telah mendekati Patjitan, dengan harapan pada akhirnya dapat mendapat akses ke laut.”(25) Atau, keterpencilan daerah-daerah ini mungkin telah menarik orang-orang yang merasa bahwa hidup mereka mungkin berada dalam bahaya jika mereka tetap berada di lingkungan yang lebih padat penduduknya dan seringkali di daerah perkotaan, dan di antara orang-orang yang mengenal mereka, jaringan sosial mereka, dan kecenderungan politik mereka. Diharapkan bahwa penelitian ini akan mendorong para ahli sarjanapeneliti menggunakan teknik-teknik penelitian lapangan untuk menjelajah ke lokasi-lokasi tersebut untuk memperoleh laporan pribadi dari para saksi atau mereka yang memiliki pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di bidang-bidang ini.
***
Catatan Kaki
Siddharth Chandra adalah profesor bidang ekonomi di James Madison College di Michigan State University dan direktur MSU’s Asian Studies Center (MSU) dan direktur Pusat Studi Asia di MSU. Penulis menyatakan bahwa Ia mendapat bantuan dari Jia Feng dico untuk merancang dan -menghasilkan template dan peta di Gambar 2, 3, dan 5; dan ucapan terima kasih kepada Robert Cribb, Greg Fealy, Vanessa Hearman, Douglas Kammen, dan resensi, komentar, serta tanggapan dari orang-orang yang tidak disebut namanya atas penelitian ini.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai  https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.104.0027?seq=1#page_scan_tab_contents
___
1 Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, 1990).
2 Lihat: Benedict R. Anderson and Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in  (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971); Herbert Feith, “The Study of Indonesian Politics: A Survey and an Apologia,” dalamiin Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, ed. Benedict R. Anderson dan Audrey Kahin, pub. no. 62 (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982); John Hughes, The End of Sukarno—A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild(Singapore: Archipelago Press, 2002); dan John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Madison: University of Wisconsin Press, 2006).
3 Lihat: Greg Fealy, “Killing for God,” Inside Indonesia 99 (January–March 2010), http://www. Insideindonesia.org/killing-for-god, accessed January 26, 2018; Greg Fealy dan Katherine McGregor, “East Java and the Role of Nahdlatul Ulama in the 1965–66 Anti-communist Violence,” dalamiin The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965–1968, ed. Douglas Kammen and Katherine McGregor (Singapore: NUS Press, 2012), 104–30; Robert W. Hefner, The Political Economy of Mountain Java (Berkeley: University of California Press, 1990); Margo Lyon, Bases of Conflict in Rural Java (Berkeley: Center for South and Southeast Asia Studies, 1970); Merle C. Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java: c. 1930 to the Present (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2012); Geoffrey Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (Ithaca: Cornell University Press, 1995); danand Allan A. Samson, “Religious Belief and Political Action in Indonesian Islamic Modernism,” in  dialam Political Participation in Modern Indonesia, ed. R. William Liddle (New Haven: Yale University Southeast Asian Studies, 1973).
4 Lihat: Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978); Kammen and McGregor, eds., The Contours of Mass Violence in Indonesia; David Jenkins and Douglas Kammen, “The Army Para- commando Regiment and the Reign of Terror in Central Java and Bali,” in  di The Contours of Mass Violence in Indonesia, ed. Kammen and McGregor, 75–103; Jess Melvin, “Mechanics of Mass Murder: How the Indonesian Military Initiated and Implemented the Indonesian Genocide: The Case of Aceh” (PhD Dissertation, The University of Melbourne, 2014); John Roosa, “The State of Knowledge about an Open Secret: Indonesia’s Mass Disappearances of 1965–66,” Journal of Asian Studies 75, 2 (2016): 281–97; danand Kenneth R. Young, “Local and National Influences in the Violence of 1965,” dialamin The Indonesian Killings of 1965–1966, ed. Cribb, 63–100.
5 Lihat: Anonim, “Report from East Java,” Indonesia 41 (April 1986): 135–50; Center for Village Studies, Gadjah Mada University, “Rural Violence in Klaten and Banyuwangi,” trans. Antony Cominos, dalamiin The Indonesian Killings of 1965–1966, ed. Cribb, 121–58; Robert Cribb, “Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia,” diin The Indonesian Killings of 1965–1966, ed. Cribb, 1–44; Robert Cribb, “Genocide in Indonesia, 1965–1966,” Journal of Genocide Research 3, 2 (2001): 219–39; Robert Cribb, “How Many Deaths? Problems in the Statistics of Massacre in Indonesia (1965–1966) and East Timor (1975–1980),” diin Violence in Indonesia, ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer (Hamburg: Abera, 2001), 82–98; Robert Cribb, Soe Hok Gie, et al., “The Mass Killings in Bali,” in  dalami The Indonesian Killings of 1965–1966, ed. Cribb, 241–60; Vannessa Hearman, “Guerillas, Guns, and Knives? Debating Insurgency in South Blitar, East Java, 1967–68,” Indonesia 89 (April 2010): 61–91; Mary Ida Bagus, “West Bali: Experiences and Legacies of the 1965–66 Violence,” in  dalami The Contours of Mass Violence in Indonesia, ed. Kammen and McGregor, 208–33; and ; dan Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno (Jakarta: Hasta Mitra, 1995).
https://www.cambridge.org/core/journals/ jurnal-of-asian-studies / article / new-findings-on-the-indonesian-killings-of-196566 / A53ACF4B79AD100D81C0324F0834C7EB
7 Sebagai contoh, kabupaten yang mengalami penurunan terbesar dalam populasi terletak di daerah-daerah yang didominasi oleh Nahdlatul Ulama di Jawa Timur bagian utara. Sebaliknya, kabupaten yang didominasi PKI mengalami penurunan yang lebih kecil dan, dalam beberapa kasus, bahkan pertambahan dalam populasi yang mungkin menandakan migrasi dalam negerike kabupaten tersebut.
8 Semdam VIII Brawidjaja, Trisula Operation by the 8th Regional Military Command Brawidjaja (Surabaya: Jajasan Taman Tjandrawilwatikta, 1972).
9 Lihat: Biro Pusat Statistik, Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia (Djakarta [Jakarta]: Biro Pusat Statistik, 1962); Biro Pusat Statistik, Sensus Penduduk, 1971 (Djakarta [Jakarta]: Biro Pusat Statistik, 1971–78); Biro Pusat Statistik, Sensus Penduduk 1971, Seri E, vol. 13, Jawa Timur (Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1974); Kantor Statistik Propinsi Jawa Timur, Penduduk propinsi Jawa Timur 1980, menurut jenis kelamin, status perkawinan dan kewarganegaraan per desa : hasil pencacahan lengkapSensus penduduk 1980 (Surabaya: Kantor Statistik Propinsi Jawa Timur, 1982); danand Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Sensus penduduk 1961: penduduk desa Jawa, No. 23 (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1980).
10 Untuk detail teknis, lihat: Siddharth Chandra, Goran Kuljanin, dan Jennifer Wray, “Mortality from the Influenza pandemic of 1918–19: The Case of India,” Demography 49, 3 (2012): 857–65; danand Siddharth Chandra, “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia,” Population Studies 67, 2 (2013): 185–93. Untuk penerapan metodologi ini pada kasus pembantaian massal 1965, lihat Siddharth Chandra, “New Findings on the Indonesian Killings of 1965– 66.”
11 The Langkah pertama dalam memperkirakan laju populasi pada Gambar 1 adalah memastikan bahwa batas-batas kecamatan tetap dan konstan sepanjang waktu. Untuk memfasilitasi ini, daftar desa-desa di masing-masing kecamatan pada tahun 1961 dan 1980 sensus dibandingkan. Dalam beberapa kasus, desa-desa dialokasikan kembali melintasi batas kecamatan atau bahkan kabupaten ketika mereka dimodifikasi. (Untuk contoh perubahan komposisi teritorial atau status hukum kabupaten dan kota di Jawa Timur, lihat: Mohammad Ichsan, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1965 Tentang Perubahan Batas Kotapraja Surabaya Dan Daerah Tingkat II Surabaya Berdasarkan Undang-Undang 12 Tahun 1950, Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar Dalam Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta ”[“ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1965 Tentang Perubahan Batas Kotamadya Surabaya dan Wilayah Administrasi Tingkat II Surabaya dengan Mengamandemen Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Kota Besar di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, ”suatu tindakan Parlemen] (Jakarta: Kementerian Dalam Negeri, Republik Indonesia, 1965), dan SH Sudharmono, “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Kota Administratip Jember ” [Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Kota Administratif Jember] (Jakarta: Kementerian Dalam Negeri, 1976).) Karena data tingkat desa tidak tersedia untuk sensus 1971, dalam hal ada realokasi desa-desa lintas batas kecamatan, kecamatan yang terkena dampak digabungkan untuk keperluan menghitung jumlah penduduk sehingga semua realokasi desa terjadi dalam batas-batas unit yang lebih besar (gabungan) ini. Contoh paling nyata dari realokasi tersebut terjadi, tidak mengherankan, di Blitar Selatan, di mana reorganisasi administratif berskala besar terjadi antara sensus 1961 dan 1980. Unsur-unsur reorganisasi ini di tingkat desa diperinci dalam laporan Operasi Trisula (Lihat, misalnya, Semdam VIII Brawidjaja, Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja, 251–64).
12 Lee-Jay Cho, Griffith M. Feeney, Peter McDonald, Si Gde Made Mamas, Geoffrey McNicoll, Masri Singarimbun, Sam Suharto, Haryono Suyono, and Robert J. Lapham, Recent Trends in Fertility and Mortality in Indonesia: Committee on Population and Demography, Report No. 29 and Papers of the East-West Population Institute, No. 105 (Washington, DC: National Research Council and Honolulu: East-West Center, 1987); and ; dan Sylvia D. Quick, “Indonesia—Country Demographic Profiles,” ISP-DP-18 (Washington, DC: Department of Commerce, Bureau of the Census, Population Division, 1979).
13 Untuk Kamboja, lihat Patrick Heuveline, “‘Between One and Three Million in Cambodia’: Toward the Demographic Reconstruction of a Decade of Cambodian History (1970–1980),” Population Studies 52, 1 (1998): 49–65. Untuk Vietnam, lihat M. Giovanna Merli, “Socioeconomic Background and War Mortality during Vietnam’s Wars,” Demography 37, 1 (2000): 1–15.
14 P. F. McDonald, “Fewer Indonesians?” Bulletin of Indonesian Economic Studies 8, 1 (1972): 69–78.
15 Penggunaan data pada pemilu 1957, meski tidak bersamaan dengan waktu pembantaian, namun memberikan gambaran luas tentang afiliasi politik di provinsi tersebut. Di antara pemilihan-pemilihan itu dan 1965, ada beberapa perubahan penting dalam lingkungan politik. Sebagai contoh, partai Masyumi dilarang pada tahun 1960, dan pada tahun 1963 PKI memulai serangkaian aksi redistribusi tanah (aksi sepihak) di Jawa Timur yang mungkin telah mengubah politik lokal di daerah-daerah yang terdampak. Namun demikian, sebagai gambaran umum, data pemilu tahun 1957 memberikan gambaran yang mencerminkan bidang kekuatan bagi PKI di awal 1960-an juga.
16 Anonim, “Report from East Java,” 145.
17 Semdam VIII Brawidjaja, Trisula Operation by the 8th Regional Military Command Brawidjaja (Surabaya: Jajasan
Taman Tjandrawilwatikta, 1972), 285.
18 Hearman, “Guerillas, Guns, and Knives?” 74.
19 Hearman, “Guerillas, Guns, and Knives?” 72.
20 Lihat: Semdam VIII Brawidjaja, Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja (Surabaya: Jajasan Taman Tjandrawilwatikta,
1969); and ; dan Semdam VIII Brawidjaja, Trisula Operation by the 8th Regional Military Command Brawidjaja.
21 Hearman, “Guerillas, Guns, and Knives?”
22 Lihat, contohnya, Semdam VIII Brawidjaja, Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja, 176, 187, 229–34.
23 Anthony Deutsch, “Mass Killings under Suharto Recalled: Survivors Paint a Bloody Picture of Dictator’s Reign,” The Boston Globe, January 29, 2008,  http://archive.boston.com/news/world/asia/articles/ 2008/01/28/mass_killings_under_suharto_recalled/, accessed January 31, 2018.
24 Hughes, The End of Sukarno, 196.
25 Jacob Walkin, “Action Djakarta Priority 164 Info Dept 28 CINCPAC,” Telegram No. 164, Control No. 191A, November 4, 1965, dari Konsulat Jenderal di Surabaya kepada Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.
Sumber: Tribunal1965.Org 

0 komentar:

Posting Komentar