HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 31 Maret 2016

KontraS Anggap Luhut Salah Tafsir Soal Rekonsiliasi

, CNN Indonesia

Wacana Rekonsiliasi adalah Ancaman Bagi Keadilan

Press-Release | Kamis, 31 Maret 2016


KontraS dan Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK), menegaskan bahwa rekonsiliasi tanpa proses hukum bukanlah solusi atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sepanjang pemantauan KontraS, rencana rekonsiliasi atau yang kini namanya diperhalus menjadi penyelesaian non-yudisial yang diwacanakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), masih merupakan wacana yang tidak memiliki kejelasan konsep untuk memenuhi prinsip-prinsip HAM bagi para korban. Wacana ini telah berlangsung sejak tahun lalu (2015) selama berbulan-bulan yang pada awalnya digulirkan oleh Jaksa Agung. Wacana rekonsiliasi terus digelorakan dimedia tanpa adanya rumusan yang jelas.

Kami tidak melihat target dari pewacanaan yang terus digulirkan. Selain dari itu, kami menilai proses ini sangat eksklusif dan tidak partisipatif membangun dialog dengan korban dan keluarga korban untuk didengar tuntutannya. Tidak ada satu konsultasi pun yang secara resmi dilakukan ke korban, keluarga atau komunitas korban. Sementara berbagai pertemuan dilakukan antara pihak Wantimpres yang diwakili Sdr. Sidharta, dengan berbagai pegawai lembaga negara dan segelintir ahli serta 3 orang anggota Komnas HAM.
Pertemuan demi pertemuan ini hanya menghasilkan ide untuk simposium. Patut disayangkan dan dikecam jika negara hanya mampu melakukan simposium untuk penyelesaian kasus-kasus kemanusiaan yang masif dan luas terjadi.

Proses di atas masuk dalam kategori lamban dan tidak sensitif pada kondisi korban. Para korban makin tua, sakit dan rentan. Sementara negara hanya berwacana tanpa kejelasan proses dan hanya akan melakukan simposium. Hal ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan pengingkaran terhadap janji Nawacita.

Kami mengingatkan bahwa Pemerintah, Komnas HAM dan siapapun dalam proses ini harus memahami bahwa, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat harus dilakukan dengan kepemimpinan yang jelas, bukan seperti saat ini saling lempar bola. Kami menganggap bahwa Presiden Joko Widodo tidak berani menghadapi realitas pelanggaran HAM ini dan hanya melempar pada pembantu-pembantunya. Sementara para pembantu berusaha menghindar dan pada akhirnya hanya menunjuk Sdr. Sidharta, untuk membuat acara simposium.

Kami mengingatkan bahwa proses pemenuhan keadilan bagi para korban, pengungkapan kebenaran bagi bangsa, adalah kerja bersama, berproses dan membutuhkan waktu yang cukup. Metode ini bukan metode ‘asal cepat selesai’. Pemerintah harus dalam memulai, dengan membuat rumusan kebijakan, menyiapkan struktur tim kerja dan perangkat kerjanya, menjamin akses informasi dan perlindungan pengungkapan kebenaran.

Terakhir, kami meminta agar Komnas HAM, jika tidak bisa membantu memenuhi hak korban agar menyingkir saja dan tidak mengganggu upaya korban mencari keadilan.

Jakarta, 31 Maret 2016 
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

http://kontras.org/home/index.php?id=2258&module=pers

Kuburan Massal di Kebun Raya Purwodadi

March 31, 2016


PAK KARTO (nama samaran) adalah seorang teman keluarga. Dia sering datang untuk berkunjung, dari rumahnya di lereng gunung berapi Arjuna. Sepanjang hidupnya, ia bekerja di kebun teh dekat puncak gunung berapi. Sekarang dia telah pensiun dan merawat taman besarnya sendiri, di mana ia menanam singkong dan buah-buahan. Dia berusia awal 60an, berperawakan kecil, berbaju rapi, dan berwatak lembut. Dengan suara dalam yang kuat, ia berbagi pengetahuannya yang luas tentang budaya Jawa. Tapi dia tak pernah mengatakan kepada kami bahwa ia terlibat dalam suatu pembunuhan massal yang paling mengerikan di Jawa Timur: korban yang dikuburnya di dekat Kebon Raya Purwodadi.

Ia dibesarkan di daerah Lor, kampung Utara, tidak jauh dari rumah kami. Dulunya, kampung ini adalah kampung nasionalis, orang-orang menganggap diri mereka Marhaenis, pengikut setia Presiden Sukarno. Kepercayaan mereka tidak terpisahkan dari agama Jawa kuno, dengan sesajennya. Ini berbeda dengan lingkungan sekitar masjid besar di sepanjang jalan menuju Malang, Kedul, Kampung selatan. Di Kedul ada beberapa sekolah agama dan orang-orang menaati ibadah ketat dari NU. Para pemuda mempunyai kelompok mereka sendiri, termasuk drumband dan himpunan sembahyang. Beberapa anak dari lingkungan sekitar rumah kami, Lor, juga bergabung dalam kegiatan tersebut, seperti Bu Ning (semasa dia kanak-kanak). Meskipun pembagian antara dua lingkungan di satu desa ini cukup nyata dan diakui, mereka menghormati satu sama lain. Mereka semua umat Islam dengan berbagai warna. Setelah 1 Oktober 1965, hal ini berubah. Beberapa pemuda dari Kedul, lingkungan dengan masjid yang sudah bergabung dengan kelompok pemuda NU, Ansor, terlibat dalam pembunuhan massal. Tapi bukan hanya mereka.

Pada salah satu kunjungan Pak Karto, kita mengobrol tentang pembantaian 1965-66 di kampung Lor. Hari sebelumnya, dua perempuan yang bersahabat akrab, Bu Ning (nama samaran) dan Bu Parti (nama samaran), siswi SD pada saat itu, mengenang periode ini. 
Dalam perjalanan mereka ke sekolah, mereka sering melihat penggalan tubuh. Sungai yang jernih, kata mereka, diwarnai merah dari darah. Bu Parti bertanya kepada temannya, bu Ning, 
“Bu, ingat Ibu Siong? Saya yakin, dia meninggal karena diperkosa dan dibunuh oleh pembunuh suaminya sendiri?” Bu Ning tidak begitu ingat. “Maksud bu Parti, penjahit dekat sekolah kami?” Karena mereka berdua tidak pasti tentang apa yang terjadi pada Ibu Siong, Bu Ning bertanya kepada Pak Karto, yang beberapa tahun lebih tua.
Pak Karto mengangguk – ketika itu, ia masih SMP dan menyaksikan pemandangan serupa. 
“Tapi kisah tentang Ibu Siong sangat berbeda”, tambahnya. Bu Ning menatapnya dengan heran. “Dia tidak dibunuh oleh pembunuh suaminya, tapi bertahun-tahun kemudian dia dirampok, dan dipaksa untuk menikahi penyerangnya. Dia merasa dia terus diperkosa dalam pernikahan ini, jatuh sakit dan meninggal.”
“Bagaimana pak Karto tahu itu?”
“Karena saya ada di sana, ketika Pak Siong dihabisi”, kata Pak Karto. “Saya menyaksikan semua itu. Tapi saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun. Bahkan istri dan anak-anak saya tidak tahu keterlibatan saya dalam pembunuhan tersebut. Ini adalah rahasia yang telah lama ingin saya ungkap dengan Ibu.” Dia kemudian terbata-bata, emosional, terkait dengan apa yang dia alami pada bulan-bulan yang mengerikan itu.
“Ketika Siong dibunuh, saya baru berusia 16 tahun. Saat itu, Desember 1965: saya dibangunkan sekitar jam 11, oleh Tasrif (nama samaran). Ayo dik, dia berkata kepada saya, kita akan menjemput Siong. Tasrif adalah teman sekolah saya; dia sedikit lebih tua. Dia membawa parang panjang dan diikuti oleh sekelompok pemuda – semuanya anggota Ansor/Banser. Saya tidak ikut kelompok itu, karena saya masih terlalu muda dan tetap tinggal di kampung saya Lor. Siong adalah pelatih tim sepak bola lokal. Dia ganteng sekali, berumur 26 atau 27 tahun, dan terkenal di lingkungannya. Ia sudah menikah, tetapi pasangan ini tidak mempunyai anak. Dia biasa dipanggil ke pertemuan tim sepak bola di kantor kelurahan. Tapi kali itu, sudah malam sekali waktu dia dipanggil. Dia baru saja tertidur ketika mereka membangunkannya, dan memintanya keluar untuk hadir ke pertemuan. Pak Siong mengatakan bahwa dia masih berbaju tidur, dengan singlet dan sarung, jadi dia mau ganti baju yang lebih layak. Tidak perlu, kata mereka, lalu menyeret lengannya ke kantor kelurahan. Dua belas lelaki totalnya saat itu yang mengelilingi Siong, dan tanpa banyak cakap, ia ditebas, pertama dengan parang di kepalanya, kemudian di wajahnya. Kemudian kulit dirobek dari lengannya dan tenggorokannya digorok.”
Hari itu, Pak Karto dengan tersendat, sesekali menangis di hadapan kami, tersedak, mengungkap hal-hal buruk yang ia saksikan dan bahkan terlibat, pada 1965-1966. Dia telah bungkam selama ini, hampir 50 tahun. Tak seorang pun dari keluarganya mengetahui apapun tentang hal itu. Dia begitu takut. Dia kuatir bahwa kami sekarang akan memandangnya sebagai jagal atau algojo. Bahwa keluarganya akan marah besar, dan bahwa, sedikit saja rahasia ini terkuak, mereka akan diganggu oleh fundamentalis Muslim tetangga mereka. Bahwa mereka akan dilihat sebagai syirik, pengkhianat Islam. Hal ini harus disimpan rapat-rapat di antara kami.

Dalam bulan-bulan berikut, kami bertemu lagi beberapa kali dan kisah-kisah selanjutnya terungkap. Suatu kali, ia mengatakan bahwa bukan Bu Siong yang diperkosa dan dipaksa menikahi pembunuh suaminya serta pemerkosa sendiri, seperti yang dikisahkan Bu Ning dan Bu Parti. Hal itu terjadi pada Pak Sanosi, pemimpin Pemuda Rakyat. Dia adalah seorang pemuda berusia tidak lebih dari 30 tahun, dan memiliki istri yang cantik sekali. Ia seksi, selalu berpakaian anggun, dan menjadi kembang desa. Kain yang dipakainya agak pendek, sehingga pergelangan kakinya terlihat, dan dia berjalan dengan begitu elegan. Pasangan ini tidak memiliki anak. Pak Ansori (nama samaran), seorang pemimpin dari Banser, begitu bernafsu mendapatkan perempuan ini, sehingga ia mengatur pembunuhan Pak Sanosi supaya bisa menikahi istrinya.

Beberapa bulan kemudian, Pak Karto setuju bahwa ceritanya harus diketahui lebih luas, tapi ia meminta identitasnya dirahasiakan. Pada 9 Agustus 2014, saya mewawancarainya secara resmi dan bertanya kepadanya mengapa dan bagaimana Pak Siong dibunuh, serta apa saja yang terjadi. Berikut adalah kutipan dari wawancara itu:


Pak Karto: “Siong lelaki yang cukup ngetop. Dia dan istrinya adalah penjahit. Tempat kerja mereka di dalam rumah bambu, di ujung jalan utama dari Surabaya ke Malang. Tapi Pak Siong mempunyai kelebihan, dia adalah seorang pelatih sepak bola yang andal. Dia terkenal dengan keahliannya ini di Purwodadi. Tapi ia hanya melatih anggota PKI atau BTI. Dia tidak pernah mengundang orang-orang dari kelompok Muslim untuk pelatihan. Inilah yang membuat mereka sakit hati. Perasaan marah dan cemburu meningkat karena ia Cina. Jadi tiga pemimpin Ansor/Banser, Pak Taufan (nama samaran), Pak Salim (nama samaran) dan Pak Ansori memutuskan untuk membunuhnya. Orang-orang ini sering mengunjungi rumah kami. Pak Ansori adalah famili dari keluarga bibi saya. Suatu malam, orang tua dan adik-adik saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, mereka meminta saya untuk bergabung dengan mereka. Saya harus membawa lampu minyak besar, karena waktu itu gelap gulita, masih belum ada listrik.

Sesudah kita menjemput Pak Siong dan membawanya ke kantor kecamatan, ia diberitahu: Kamu adalah orang Cina dan waktu kamu memberikan pelatihan, kamu tidak adil. Ini adalah upahmu. Dan dia dipukul kepalanya dengan pisau. 

Dia berteriak karena kesakitan, lalu jatuh berguling-guling di tanah. Dia dipukul lagi pada mulutnya dengan pisau, oleh orang lain. Kemudian mereka mengulitinya dan membabat daging dari tubuhnya. Pisau yang mereka gunakan sangat tajam. Tak lama kemudian, dia meninggal. Jenazahnya dibawa ke pinggir jalan, dan dibuang di parit, sekitar 50 meter di utara gerbang kecamatan. Ada air yang mengalir di parit itu. Tubuhnya tinggal di sana sampai pagi. Kemudian Pak Salim, yang merupakan anggota PNI, diberitahu untuk mengubur mayatnya. Dia membawa 4 orang bersamanya, termasuk saya. Kami membungkus mayat itu dengan kain putih. Darahnya sudah mengering.

Istri Pak Siong datang untuk mengetahui suaminya sudah dibunuh, keesokan harinya. Dia tetap tinggal di rumah mereka, dan menjahit. Tapi sekitar tahun 1986 seorang pria datang ke rumahnya dan meminta perhiasannya. Dia diberitahu untuk tidak menolak, tapi tetap memberontak, lalu diperkosa, kemudian harus menikah dengan pria yang memperkosanya. Tak lama setelah itu, ia meninggal. Saya tidak tahu siapa penyerangnya, apakah anggota Banser atau tidak.”

Setelah malam mengerikan, menjadi saksi Pak Siong dibunuh, Pak Karto “diundang” lagi untuk bergabung dengan para jagal. Dan dia diberitahu, ia juga akan dibunuh kalau menolak. Selama satu bulan ia harus bergabung dengan geng Ansor/Banser pembunuh, bertugas membawa petromax, lampu minyak besar untuk menerangi jalan dan adegan pembunuhan. Jadi dari dekat, ia menyaksikan apa yang terjadi. Setiap malam selama minimal 30 hari dalam bulan Februari dan Maret 1966, truk yang dipenuhi muatan manusia akan tiba, mulut mereka tersumbat, tangan mereka di belakang dengan jempol terikat. Mereka dikirim oleh militer, dari kantor Koramil, dimana beberapa anggota Banser akan bergabung dan menaikkan mereka ke truk yang disita. Lalu, mereka diturunkan dari truk terbuka sekitar tengah malam, di tengah Kebun Raya.

Sebuah anak sungai mengaliri taman itu, yang membuat kelokan curam – di tempat tersebut lubang besar telah digali, seluas 5 x 5 meter dan 3 meter dalamnya, untuk membangun kolam ikan. Tapi lubang tersebut tak akan pernah digunakan untuk tujuan semula. Para tahanan setelah diturunkan, diseret ke tepi. Mereka diperintahkan untuk berlutut dan tenggorokan mereka digorok. Kadang-kadang telinga dan hidung mereka dipotong bahkan juga alat kelamin mereka. Atau mata mereka dicungkil. Kemudian, mereka ditebas sampai mati, lalu didorong ke depan hingga terlempar ke dalam lobang, berturut-turut. Mayat mereka kemudian ditutupi pasir, sehingga malam berikutnya sekelompok tahanan baru bisa dibunuh.

Pak Ansori dan Pak Taufan yang paling sadis, menurut Pak Karto. Mereka bahkan senang bermain-main dengan telinga yang mereka potong. Tapi Pak Salim, pemimpin lokal dari PNI, sudah benar-benar gila. Dia pulang membawa alat kelamin dan mata salah satu korban dan meminta ibunya menggorengkan, untuk dia makan. Tapi melihat itu, ibunya langsung pingsan sehingga ia goreng semua sendiri. Mata itu ia masak seperti memasak bekicot, dan memang rasanya hampir sama, kata pak Salim kepada teman-teman. Mereka semua juga akan meminum darah korban, untuk menjadi kuat dan tidak membiarkan pembunuhan mempengaruhi mereka.


Mengapa semua orang ini dibunuh, saya bertanya? Apakah memang sudah ada bentrokan serius antara PKI dan NU?

Pak Karto: “Pada masa-masa menjelang pembunuhan, situasi memang tegang di daerah kami, tetapi tidak ada konflik besar. Gerakan pemuda PKI dan Pemuda Rakyat sebenarnya lemah. Gerwani dan BTI juga punya pengikut, tapi tidak ada bentrokan di distrik kami Purwodadi. Mereka jauh kalah jumlah dengan gerakan pemuda NU, Ansor, juga kalah dengan kelompok paramiliter dari NU dan Ansor, Banser.

Anggota Banser biasanya lebih tua dari anggota Ansor, dan lebih sadar politik. Tetapi mereka sering bergerak bersama-sama. Di wilayah ini, mereka sering mengadakan parade, di mana mereka akan berbaris mengenakan seragam mereka, Banser dengan seragam hitam dan pisau tajam terselip ikat pinggang mereka. Orang-orang akan menonton mereka lewat berbondong-bondong, mereka begitu militan dan gagah, dengan seragam menyerupai tentara kerajaan Inggris atau Belanda. Setiap desa memiliki grup Ansor sendiri, dan mereka akan bersaing satu sama lain dengan berbaris supaya tampak paling tangguh. PR dan Gerwani hampir tidak pernah kelihatan. Pak Taufan adalah pemimpin dari Ansor dan Banser, Pak Ansori hanya dari kelompok Banser.

Kemudian, semua siaran radio terdengar, bahwa ada masalah di Jakarta. PKI telah melakukan tindakan ekstrimis, sehingga semua organisasi yang berafiliasi dengan PKI harus dibasmi (dibumihanguskan). Radio memberitahu kami bahwa PKI adalah sebuah organisasi ateis. Jadi semua pemimpin agama sudah siap. Militer, Pangkostrad (yaitu Soeharto), menginstruksikan para pemimpin agama, dan orang-orang dari semua lapisan masyarakat mempelajari apa saja yang harus mereka lakukan. Tentu saja Ansor dan Banser segera mengikuti petunjuk dari para pemimpin mereka.

Kami juga mendengar bahwa anggota Gerwani telah ikut membunuh para jenderal, dengan pisau. Dan bahwa mereka menari dan menyanyikan lagu “Genjer-genjer”. Ini sebenarnya lagu dari daerah Banyuwangi, di bagian timur Jawa (ia menyanyikan beberapa baris). Di wilayah ini, semua anak-anak sekolah hafal dengan nyanyian itu, karena memang lagunya sangat populer. Tapi kita mengetahui tentang semua ini yang paling langsung, adalah dari kelompok-kelompok Muslim, khususnya kiai.

Kiai di desa-desa segera menelepon orang-orang untuk pertemuan besar. Tidak ada orang-orang militer, hanya kiai, tetapi mereka diperintahkan oleh militer, dari Kodim dan kantor koramil. Anggota Koramil mengunjungi kiai ini dan meminta mereka untuk mempersiapkan laskar Ansor untuk membela Negara. Milisi diperintahkan untuk membasmi semua asosiasi PKI di wilayah tersebut. Koramil sudah memiliki daftar nama-nama para pemimpin yang harus dibunuh. Mereka mendapat data ini dari pemerintah desa. Semua orang tahu di mana kelompok-kelompok PKI setempat berkumpul dan siapa saja pemimpinnya.

Pada saat itu, tidak ada demonstrasi besar. Daftar dibuat, kelompok Ansor dan Banser menerima instruksi dan kemudian beberapa orang diculik secara diam-diam. Mereka semua dikumpulkan di kantor Koramil. Ini dimulai pada bulan November. Pada bulan Febuari pembunuhan massal terjadi, pada bulan Maret semua telah rampung. Dari para tahanan yang tersisa, banyak di antara mereka yang dibawa ke Pulau Buru. Tidak ada yang pernah kembali ke Purwodadi.

Sebelum mereka dibunuh atau diusir, mereka semua diklasifikasikan A, B atau C. Di sini, di Purwodadi sebagian besar diberi kategori C. Kategori grup A sebagian besar berada di Jakarta, atau di tingkat propinsi. Kategori C adalah kategori ringan, orang-orang ini dianggap bisa dipandu (dibimbing), karena mereka masih memiliki hubungan keluarga dan mereka masih bisa menjadi lebih relijius. Jadi mereka diselamatkan. Artinya, mereka tidak diculik, namun diawasi terus oleh Banser, atas perintah Koramil, sehingga mereka tidak akan memberontak. Tapi mereka semua pasif, tidak berbahaya. Sedangkan tahanan kelas B adalah pemimpin cabang dan mereka diculik dan dibawa ke kantor Koramil. Ada kategori C di sana juga, karena orang-orang ini dianggap pintar (Cerdas). Mereka kemudian dibebaskan dan harus melapor ke Koramil setiap minggu. Tetapi jika mereka kategori tahanan B, mereka dibawa pada malam hari. Mereka tidak pernah pulang. Dibunuh.”

Pak Karto tidak pernah kembali ke Kebun Raya. Tapi dia ingin menunjukkan kepada kita tempat pembunuhan tersebut. Bersama-sama, kami merencanakan tamasya keluarga. Keponakan dan anak-anak keponakannya bergabung dengan kami, dan berangkat bersama naik jip. Pak Karto mengenakan pakaian hitam, melambangkan kekejianan yang telah disaksikannya. Keponakan dan anak-anaknya diturunkan di tempat piknik, sedangkan kami melanjutkan perjalanan. Pak Karto dengan gugup mencari tanda-tanda yang masih dia ingat. Kami dengan perlahan berkeliling sampai Pak Karto berseru: “Itu! Pohon kelapa! Itulah perbatasannya.” Kami turun dan terus turun ke anak sungai kecil, ke tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon palem dan pohon lainnya. Sebuah nisan terletak di tepi, menandakan bahwa ini memang kuburan. Kami berdoa bagi jiwa-jiwa yang begitu brutalnya dihabisi di sana.

Pak Karto meninggal dunia pada tanggal 15 Mei 2015.

Saskia Wieringa, profesor di University of Amsterdam dan kepala bidang Women’s Same-sex Relations Cross-culturally.
 
Sumber: BhinnekaNusantara 

Tuntaskan Tragedi 1965 Melalui Penegakan Hukum, Bukan dengan Kekeluargaan

March 31, 2016 | Soe Tjen Marching


DI AWAL tahun 2016, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu tuntas pada pertengahan 2016.

Ia mengatakan, saat ini Kejaksaan Agung dan Kemenko Polhukam sedang mengupayakan penyelesaian dengan teknis non-yudisial karena penyelesaian pelanggaran berat HAM tidak bisa dibawa ke ranah yudisial. Lantas seperti apa penyelesaian teknis non-yudisial yang disodorkan pemerintah?

Dari pernyataan Luhut (dengan istilah teknis non-yudisial) yang ‘visioner’ tersebut, berarti bentuk penyelesaiannya berada di luar jalur hukum legal formal, baik nasional maupun internasional. Kalau menyimak kebiasaan yang terjadi di Indonesia, bentuk penyelesaian perkara di luar ruang pengadilan sering disebut dengan istilah secara kekeluargaan. Banyak kasus di Indonesia dari pelanggaran ringan sampai berat yang diselesaikan secara kekeluargaan, baik yang terang-terangan dipublikasikan maupun yang diam-diam.

Ironisnya, ketika negara Indonesia telah dicanangkan sebagai negara hukum dengan jargon tersohor ‘hukum sebagai panglima’, justru penegakan hukum masih sarat kepentingan kekuasaan, tidak berlandaskan hak asasi manusia, dan tebang pilih. Bahkan menjadi semakin paradoks ketika penyelesaian perkara secara kekeluargaan sering dilakukan untuk menyembunyikan kebusukan.

Singkat saja, saya bingung dengan namanya ‘kekeluargaan’ di Indonesia ini. Kalau memang dari dulu dibilang cara kekeluargaan ini lebih diutamakan, apanya yang ‘kekeluargaan’ dari peristiwa ‘65? Pemerkosaan para perempuan yang dituduh Gerwani? Mutilasi tubuh mereka? Atau penyiksaan orang-orang yang dituduh PKI?

Saya cuplik di sini tulisan Saskia Wieringa (peneliti di University of Amsterdam) yang dimuat di Majalah Bhinneka terbaru. Wieringa mengisahkan pembunuhan yang terjadi di Kebun Raya Purwodadi: “Para tahanan setelah diturunkan, diseret ke tepi. Mereka diperintahkan untuk berlutut dan tenggorokan mereka digorok. Kadang-kadang telinga dan hidung mereka dipotong bahkan juga alat kelamin mereka. Atau mata mereka dicungkil. 

Kemudian, mereka ditebas sampai mati, lalu didorong ke depan hingga terlempar ke dalam lobang, berturut-turut. Mayat mereka kemudian ditutupi pasir sehingga malam berikutnya sekelompok tahanan baru bisa dibunuh.”
Apakah yang seperti ini bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan? Apakah jika rakyat, atau dalam hal ini korban, yang menuntut agar tragedi ‘65 diselesaikan secara hukum setelah 50 tahun lamanya maka berarti mereka dalam kondisi terlalu baper (bawa perasaan)?

Mari kita bayangkan sosok Bapak Menko sebagai seorang ayah yang memarahi seorang anak supaya legowo, insaf bahwa mereka sudah terlalu lama ngeles dari tanggung jawab, dan mau meminta maaf. Untuk anak yang lain, Bapak Menko perlu menegur supaya jangan terlalu mendramatisir dan mau menerima permintaan maaf yang lain.

Bukankah ini sangat absurd? Menyodorkan penyelesaian tragedi genosida ‘65 dengan cara kekeluargaan, sama saja dengan meremehkan suatu kasus pelanggaran HAM berat, dan tentu merendahkan hak asasi manusia juga.
Kalau mengambil contoh dalam kasus lain, seperti kasus Lumpur Lapindo, seolah penyelesaian kekeluargaan dianggap begitu mudah untuk meringankan penderitaan rakyat. Tinggal salaman, tidak ada yang dihukum berat, ganti rugi uang dari negara, dan semua bisa kelar dengan cara mufakat. Beginikah tawaran non-yudisial ala pemerintah? Tawaran ‘damai-damai’ saja?

Dan semua penyelesaian kekeluargaan serba gampang tersebut nyatanya hanya untuk mempermudah pejabat atau kriminal yang sudah melanggar HAM besar, bukan untuk mempermudah rakyat atau korban yang sudah mengalami musibah.

Ini adalah cermin dari sistem Negara kita. Para penguasa dan pembesar yang terlibat korupsi dan pelanggaran HAM berat sering lolos dengan sistem ‘kekeluargaan’. Tidak mengherankan bila Setya Novanto pun sidangnya tiba-tiba bisa tertutup dan kasusnya dilupakan dengan ‘salam kekeluargaan’ para pejabat.

Lah kok tragedi ‘65 mau ‘dibegitukan’ juga? Bagaimana dengan para penyintas-nya yang masih mengalami teror di sana-sini. Bahkan hak berbicara mereka pun dibatasi?

Sejarah yang diselewengkan pun belum kelar diusut. ‘Cara kekeluargaan’ yang kini berkumandang mengiringi upaya-upaya pelurusan sejarah, rekonsiliasi, dan penegakan hukum atas tragedi ’65 hanyalah cermin ketakutan dari para pejabat dan penguasa. Bahkan diundang baik-baik ke Pengadilan Rakyat International kasus ’65 (IPT ’65) pun, perwakilan pemerintah Indonesia tidak menunjukkan batang hidungnya! Padahal pengadilan ini jelas terbuka, jelas tidak ada yang kita sembunyikan (bandingkan dengan sidangnya Setya Novanto yang serba tertutup – hingga kita tidak tahu tikus jenis apa yang ikut jadi hakim). Apakah dengan keadaan ini, kita sudah bisa untuk menerima ‘salaman’ dan senyum sana-sini dengan para penguasa lalu melupakan dan menganggap semua selesai?
 
http://bhinnekanusantara.org/mengakhiri-tragedi-1965-dengan-hukum-bukan-secara-kekeluargaan/

Rekonsiliasi Tanpa Cabut Undang-undang Diskriminatif Sama Saja Omong Kosong



YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966
(YPKP 65)
SK Menkumham  No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Tambahan Berita Negara RI Nomor 45, Tanggal 5 Juni 2007
Pengurus Pusat: Jl. M.H.Thamrin Gg. Mulia No.21, Tangerang 15143
Banten, INDONESIA  Phone : (+62  -21) 53121770, Fax 021-53121770,


Pernyataan Sikap YPKP 65
05/YPKP65/III/2016

REKONSILIASI TANPA CABUT UNDANG-UNDANG DISKRIMINATIF
SAMA SAJA OMONG KOSONG

Munculnya wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang akan diumumkan pada 02 Mei 2016 oleh Menkopolhukam perlu disambut  dengan nilai positif karena hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan  kasus pelanggaran HAM masa lalu seadil-adilnya dan bermartabat.

Namun, kita para Korban Pelanggaran HAM khususnya Korban 65 perlu menanggapinya  secara kritis dan berhati-hati karena konsep yang akan digunakan oleh Kemenkopolhukam menggunakan jalur Non Yudisial (diluar hukum, rekonsiliasi) bukan menggunakan mekanisme Yudisial (hukum).

Perlu dipertanyakan, bagaimana bentuk penyelesaian Non Yudisial/Rekonsiliasi  yang dimaksud? Mungkinkah penyelesaian Rekonsiliasi  dilaksanakan tanpa didahului dengan pengungkapan kebenaran? Rekonsiliasi dengan siapa, apabila Pelaku (perpetrator) belum diidentifikasi melalui mekanisme pengungkapan kebenaran/pengadilan?

Kasus pelanggaran HAM masa lalu khususnya Tragedi 1965/66 adalah kasus pelanggaran HAM berat  yang maha dahsyat karena mengorbankan jiwa 500.000 – 3. 000. 000 jiwa, meliputi korban penghilangan secara paksa, pembunuhan massal, pemerkosaan, perampokan, penahanan sewenang-wenang, perbudakan/kerja paksa, diskriminasi dan penghancuran sistematis  orang/kelompok yang berbeda aliran politiknya. Karena itu, perlu penanganan luar biasa, dan komprehensif.

Merujuk kepada permasalahan yang begitu kompleks maka dengan ini YPKP 65 mendesak/bersikap:

1.   Presiden segera menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden/Keputusan Presiden) untuk Rehabilitasi Umum  sebagai payung hukum penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu.

2.   Perlu dibentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM yang anggotanya terdiri dari  orang-orang yang memiliki  integritas, kapabilitas dan komitmen kuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM – termasuk juga  berasal dari unsur pegiat HAM  dan Korban - . Komite  tersebut langsung  dibawah kendali Presiden dengan tugas  menyelesaikan kasus pelanggaran HAM mengacu kepada Undang-Undang yang sudah ada (UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

3.   Jaksa Agung  segera tindak lanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM untuk menyidik perkara yang sudah diselidiki Komnas HAM.

4.   Cabut Undang-Undang/Ketetapan/Peraturan  diskriminatif  sebagai prasayarat Rekonsiliasi.

5.   Segera laksanakan Rehabilitasi Umum/Pemulihan Hak-Hak Korban.
Demikian Pernyataan Sikap ini disampaikan agar ditindaklanjuti.


Jakarta  31 Maret 2016

Salam,

Bedjo Untung
Ketua YPKP 65

Selasa, 29 Maret 2016

Keluarga korban pelanggaran HAM usul pembentukan komisi kepresidenan

Febriana Firdaus | March 29, 2016 3:47 PM
Setara dan keluarga korban mengatakan tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran 
TUNTUT KEADILAN. Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan Kontras melakukan aksi Kamisan ke-436 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/3). Dalam aksinya mereka menolak upaya pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan keluarga korban dalam menyelesaikan perkara dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu tanpa melalui mekanisme hukum untuk mengungkap fakta. Foto oleh Wahyu Putro A/Antara

JAKARTA, Indonesia — Keluarga korban pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu meminta Presiden Joko 'Jokowi' Widodo membentuk komisi kepresidenan untuk membantu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung mengungkapkan kasus dan melakukan validasi data serta mengawal proses penyelidikan dan penyidikan.

“Kami mengusulkan pemerintah membentuk semacam komisi kepresidenan yang beranggotakan wise man (orang bijak – Red) seperti Pak Syafii Maarif, Mustofa Bisri, Romo Magnis, dan Ibu Kemala Candra Kirana,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi saat mendampingi keluarga korban menemui dua anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Selasa, 29 Maret.

Bila terbentuk, komisi tersebut, menurut Hendardi, harus bertanggungjawab dan bekerja di bawah presiden. Pekerjaan utamanya adalah membantu Komnas HAM dan Kejaksaan melakukan validasi data. Hasilnya mengikat, bukan sekedar rekomendasi.

Mengapa harus komisi kepresidenan?

Menurut Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, untuk menyelesaikan kasus HAM sebelumnya, ada dua undang-undang yang dirujuk. Pertama, undang-undang nomor 26 tahun 2002 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua, undang-Undang nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Tapi undang-undang KKR dianulir berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.

“Karena tidak adanya undang-undang KKR ini, kami mengusulkan pada pemerintah untuk membentuk semacam komisi kepresidenan untuk menggantikan KKR itu,” ujar Bonar.

Tujuan komisi tersebut adalah mengungkap kebenaran dan menggiring penyelesaian ke ranah yudisial, bukan sekedar non yudisial dan meminta maaf.

“Karena rekonsiliasi itu hanya hasil dari proses yudisial dan non yudisial. Tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran,” kata Hendardi menambahkan.

Setara Institute dan keluarga korban juga menolak usulan tim gabungan kejaksaan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi, Badan Intelijen Negara (BIN).

Mengapa? “Mereka ini bagian dari masalah di masa lalu, kok malah disuruh menyelesaikan masalah. Gagasan semacam ini tidak bisa kami terima. Karena itu kita butuh komisi ini, terdiri dari wise man,” katanya.
Prioritas dari komisi kepresidenan ini adalah membawa kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang terjadi sejak kemerdekaan, atau minimal 50 tahun lalu, ke pengadilan.


Tolak rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran

Lalu bagaimana perkembangan proses menyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu? Hendardi mengatakan proses penyelesaian saat ini tak ada kemajuan.

Proses Kasus HAM berat masa lalu dimulai dari penyelidikan oleh Komnas HAM, jika sudah lengkap maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan.

Komnas HAM sebelumnya juga telah membentuk tim ad hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) periode 1997-1998 dan menyimpulkan dalam laporan setebal 301 halaman, Tim Mawar adalah yang paling bertanggungjawab atas peristiwa penculikan puluhan aktivis ini.

Tim Mawar merupakan sebuah tim yang dibentuk di bawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasarkan perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu Mayjen TNI Prabowo Subianto.

Pada tahun 2006, Komnas HAM juga telah menyerahkan laporan itu ke Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan terseut. Namun, Kejagung menolak dengan dalih menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad Hoc.
Hingga hari ini, Kejaksaan belum pernah melakukan penyidikan atas kasus pelanggaran HAM berat.

Belakangan, pemerintah menyatakan sedang menggodok opsi non yudisial dengan rekonsiliasi alias meminta maaf. Keluarga korban telah menyatakan penolakan terhadap rencana tersebut.

Soal rekonsiliasi ini, Jaksa Agung HM Prasetyo pernah berkata kepada Rappler pada pertengahan 2015 lalu bahwa lembaganya sedang membahas penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada 13 aktivis 1998 yang melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
“Yang kami uraikan, pendekatan penyelesaiannya secara non yudisial atau rekonsiliasi,” kata Prasetyo, Sabtu, 30 Agustus.

Kejaksaan Agung, menurut Prasetyo, sedang mengajak pihak lain untuk mempertimbangkan opsi rekonsilasi ini sehingga kasus tersebut dapat segera diselesaikan

Mengapa pilih jalan rekonsiliasi? “Karena itu perkara lama sekali, yakni tahun 1997. Mencari buktinya tidak mudah,” katanya.

Menanggapi sikap Kejaksaan Agung ini, keluarga korban tidak sepakat. Hendardi dan Bonar dari Setara mengatakan, untuk itulah komisi kepresidenan dibentuk, untuk memastikan kasus pelanggaran HAM berat tidak hanya diselesaikan hanya dengan minta maaf.


18 tahun menunggu keadilan

Sementara itu, Sumarsih, Ruyati Darwin, dan Yayan yang merupakan keluarga korban pelanggaran HAM berat mengaku masih berharap pada Presiden Jokowi.

Karena itu mereka meminta dua anggota Watimpres, Sidarto Danusubroto dan Sri Adiningsih untuk mengingatkan presiden akan janji nawacitanya.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak hanya masuk dalam salah satu agenda prioritas pemerintah atau Nawa Cita butir ke-4 dan poin ke-9, tetapi juga tertuang dalam visi-misi pemerintah yang berbunyi:

“Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi 1965-1966.”

Menurut Sumarsih, ibu dari salah satu korban tragedi Semanggi I, Presiden Jokowi seharusnya menerbitkan surat keputusan presiden untuk membentuk pengadilan ad hoc segera. Dia juga meminta Jokowi untuk mengundang pejabat yang berkuasa saat itu untuk dimintai keterangannya, seperti BJ Habibie, Wiranto, dan Kivlan Zein.

Yayan, bapak dari Ucok, salah satu korban penghilangan paksa, juga menanti langkah tegas Presiden menyelesaikan kasus ini. “Kami meminta khusus kepada Pak Watimpres supaya kami lebih tenang, agar dinyatakan saja, anak kami sudah meninggal atau tidak.

Sementara itu Ruyati Darwin, yang merupakan salah satu orang tua tragedi Mei 1998 juga mengatakan ia sudah 18 tahun menunggu keadilan, tapi penyidikan di Kejaksaan Agung pun belum digelar.

“Pemerintah harus bertanggungjawab, karena sudah banyak ibu dan bapak dari korban yang sudah meninggal di tengah-tengah perjuangan menuntut keadilan. Semua ibu-ibu tragedi 1998 sudah kecewa, lelah, 18 tahun tidak mendapat kepastian,” katanya.

“Saya berharap, semoga Bapak Jokowi memerintkan pada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti berkas-berkas,” katanya.

Akankah presiden tergerak? —Rappler.com

http://www.rappler.com/indonesia/127446-keluarga-korban-usul-pembentukan-komisi-kepresidenan

Pemerintah Didesak Bentuk Komisi Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban HAM

Selasa, 29 Maret 2016 | 14:39 WIB

Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi, di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (14/9/2015).

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah didesak membentuk Komisi Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban.
Hal tersebut disampaikan Ketua Setara Institute Hendardi usai mengadakan pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden.

Komisi tersebut, kata Hendardi, haruslah terdiri dari orang-orang bijak. Mereka bukan merupakan perwakilan institusi negara yang justru bagian dari masalah kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Contoh Pak Syafii Maarif, Mustofa Bisri, Romo Magnis, Kemala Chandra Kirana. Ini usulan kami tadi," kata Hendardi di Gedung Wantimpres, Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2016).

Komisi tersebut, nantinya akan melakukukan validasi data-data terutama hasil penyelidikan Komnas HAM.

Kemudian, setelah melalui suatu proses dapat ditentukan mana kasus yang dapat dilanjutkan lewat pengadilan dan mana yang tidak.

Setara dan perwakilan keluarga korban kasus HAM masa lalu memilih menemui Wantimpres karena mereka langsung berhubungan dengan Presiden Joko Widodo.

Sehingga mereka berharap, poin-poin yang disampaikan dapat langsung disampaikan kepada Jokowi.

"Pada dasarnya ini adalah usaha kami untuk mendesakkan satu penyelesaian HAM masa lalu. Keluarga korban sampai saat ini sudah 436 kali selalu berada di depan Istana setiap Kamis untuk mendesak penyelesaian HAM masa lalu," tutur Hendardi.

Menurut dia, harapan para keluarga korban HAM masa lalu sangat tinggi ketika Jokowi terpilih menjadi Presiden. Pasalnya, Jokowi merupakan figur yang tak terbebani peristiwa masa lalu.

Karena itu, kata Hendardi, sangat wajar jika harapan masyarakat terutama keluarga korban sangat tinggi terhadap Jokowi.

"Setahun menapaki kekuasaan dan ini tahun kedua, kami tidak ingin menunggu tahun-tahun berikutnya," tegasnya.

Penulis: Nabilla Tashandra
Editor : Sandro Gatra
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/29/14392511/Pemerintah.Didesak.Bentuk.Komisi.Pengungkapan.Kebenaran.dan.Pemulihan.Korban.HAM.?utm_campaign=related&utm_medium=bp-kompas&utm_source=news&

Tuntaskan Kasus HAM, Jokowi Diminta Bentuk Komisi Independen

, CNN Indonesia

Merayakan Genosida

Verdi Adhanta

PERADABAN manusia memang pernah menyaksikan genosida-genosida yang serupa terjadi di Indonesia pada 1965-67, tapi ada satu hal yang begitu aneh: yaitu fakta bahwa genosida ini dirayakan tidak saja di Indonesia tapi juga oleh berbagai Negara lain. Sejak film karya Joshua Oppenheimer The Act of Killing (Jagal), fakta tersebut dipertontonkan, dan perlahan-lahan berbagai pihak mulai menyadari dan mengakui adanya genosida tersebut. Salah satu adegan di film ini menunjukkan sebuah rekaman di televisi pemerintah TVRI Sulawesi Utara, di mana sejumlah orang dengan penuh keriaan merayakan pembantaian terhadap berjuta manusia. Sementara itu sang presenter TV, dengan riang, mentertawai pembantaian itu, membicarakannya seolah sebuah obyek kuliner atau lifestyle, dan bertanya kepada salah seorang pelaku tentang bagaimana mereka melewatkan penyiksaan dan langsung membunuh korbannya, diikuti dengan gegap tepuk tangan penonton: “Ada juga langsung disikat habis saja ya, Pak? Nggak usah disiksa dulu?”. Kekejian yang dilakukan senior-senior mereka di tahun 1965 itu, bahkan dipersembahkan untuk generasi muda, untuk dipelajari dan diingat.

Namun sempat, sebuah artikel di New York Times pada akhir tahun 1965 memuji kekejaman massal ini sebagai “secercah cahaya di Asia,” sementara dunia memilih untuk diam. Para ekonom sibuk menggambar-ulang peta komoditas, investasi dan pipa-pipa saluran keuangan, dan kesempatan baru yang terbuka setelah komunis di Indonesia tumbang. Begitu juga artikel in New York Herald Times tertanggal 9 Oktober 1965 dengan judul “Red HQ burned in Djakarta”, yang menyatakan hal ini sebagai sebuah kemenangan.

red1

Ketika berita-berita dan publikasi lainnya dengan amat jelas menyatakan angka korban; 500 ribu sampai 2,5 juta jiwa yang dibantai, angka-angka itu seolah tanpa wajah atau nama, atau sesuatupun yang bisa dihubungkan dengan kemanusiaan, angka-angka itu segera tenggelam dalam lautan teriakan kemenangan yang riuh: “Long live America” – “Kita menang!”


“Red scare”

Adalah dulu apa yang disebut “The Red Scare” (ketakutan akan yang merah atau komunis) di Amerika Serikat, di tahun 1950an. Ia adalah sebuah program nasional untuk menakut-nakuti bahwa para komunis, sudah mengancam di pintu mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa ketakutan adalah alat yang paling efisien untuk mengendalikan orang awam. Mereka kini menyebutnya McCarthyism. Sebuah propaganda dengan spektrum yang lengkap, secara sosial, budaya dan politik, yang dikenal dengan nama sang pemain dan pendukung utama di belakangnya, yaitu senator dari partai Republik, Robert McCarthy.

Perang dunia II baru saja berakhir dan kelas menengah di Amerika bertransformasi akibat pertumbuhan masyarakat desa yang cepat. Pemuda-pemuda yang baru saja pulang dari perang ini diuntungkan oleh undang-undang Servicemen’s Readjustment Act tahun 1944, yang memberi mereka rumah murah, bunga kecil, akses edukasi yang mudah dan uang bagi mereka untuk jangka waktu tertentu.

red2

Hal ini mendorong pergeseran budaya Amerika, dengan gambaran kehidupan keluarga heteroseksual yang ideal di pedesaan. Tapi ini tidak berlaku bagi beberapa kelompok tertentu seperti etnis minoritas, homoseksual dan feminis. Dengan pergeseran budaya ini, kaum konservatif mendapat angin. Era setelah perang dunia II di Amerika ditandai dengan penuhnya kebijakan sosial yang konservatif, menentukan bagaimana seorang perempuan seharusnya; seorang ibu yang feminin yang tinggal di rumah menunggu para suami yang menafkahi keluarga.

Para ibu rumah tangga ini tidak butuh pendidikan, karena itu mereka disarankan untuk tidak sekolah dan tidak berkarir, kecuali tentu saja bagi yang berkulit hidam, yang masih boleh bekerja sebagai pembantu di keluarga kulit putih. Yang dibutuhkan oleh perempuan tentunya hanyalah sebuah dapur yang apik.

Orang kulit putih dan kulit hitam disegregasi. Homoseksual digambarkan manusia tak bermoral. Sementara di televisi, tayangan-tayangan marak dengan gambaran keluarga patriarkal yang harmonis sebagai satu-satunya bentuk kehidupan ideal. Pada saat yang sama, melalui para penulis dan tokoh publik, anak-anak perempuan diarahkan untuk bermain dengan boneka, sementara anak-anak laki-laki dengan mainan mobil-mobilan dan perang-perangan.

Setelah budaya demikian sudah siap, Anda dapat dengan mudah menuangkan ketakutan di dalamnya, dan untuk inilah McCarthy-ism ada. Pertama, Anda pilih setan yang cocok. Dan manakah yang lebih baik dari musuh berbendera merah dengan bahasa yang asing dan pakaian yang lucu dari sebuah negri di seberang lautan yang orang-orangnya belum pernah kau temui? Kedua, sebarkan ketakutan terhadapnya. Anda lakukan tindakan dan kebijakan represif terhadap rakyat Anda sendiri, yang disamakan atau dikelompokkan dengan setan yang sudah Anda pilih. Jadi dari tahun 1950-1956, tiba-tiba banyak komunis di seluruh pelosok Amerika Serikat, dan warga negara patriotik harus menyingkirkan mereka.

Warga patriotik Ameriksa Serikat yang baik harus mengusir setan-setan ini dari televisi dan layar sinema, karena banyak siaran dan pertunjukan yang diproduksi Hollywood dibiayai oleh si merah, the Reds. Para sutradara dan aktor-aktornya dianggap komunis yang membangga-banggakan Marxisme. Dan kalau Anda masih menonton siaran dan pertunjukan itu, artinya Anda membantu Moscow dan “Internationalist”, karena Anda membiarkan mereka menyalurkan gagasan-gagasan mereka ke dalam ruang tamu Anda, dimana pikiran anak-anak muda akan teracuni.

Di tahun 1950an, pemerintah Amerika Serikat menuduh ribuan warganya sebagai komunis atau simpatisan komunis. Aktifis perserikatan buruh, pekerja pemerintahan, guru, pembuat film, artis dan sebagainya, tak lepas dari aktifitas ini. Begitu banyak yang kehilangan pekerjaan terlepas dari tuduhan yang ditimpakan pada mereka terbukti atau tidak. FBI adalah agen utama yang menjalankan program kegiatan anti-komunis ini, dan kemudian menghasilkan Hollywood Blacklist, yang berhasil membuat berbagai pekerja sinema menjadi pengangguran. Mereka yang akrab dengan sejarah Indonesia di tahun 1965 sampai 1998 akan segera mengenali elemen-elemennya dan menyadari dari mana rejim Orde Baru Soeharto mendapatkan gagasannya.


Bayang-bayang ketakutan

Banyak yang telah berubah sejak perang dingin berakhir. Di hampir seluruh dunia Barat, taktik Red Scare jelas sudah kehilangan strategisnya sejak Uni Soviet runtuh. Dunia Barat yang sekarang sudah atau tengah dipasangi ketakutan yang lain, yang saya bisa sebut Green Scare atau setan hijau, tapi itu kisah yang lain lagi. Indonesia dalam era Orde Baru, atau mungkin bahkan sampai sekarang, menjadi seperti kloningan dari Amerika Serikat pada era Red Scare, tapi dengan intensitas dan tingkat kesuksesan yang hanya akan menjadi mimpi bagi para McCarthyist di A.S. Karena McCarthyist di Amerika Serikat tidak berhasil membunuh berjuta manusia dan bebas merdeka tanpa konsekuensi apapun.

Penjelasan dari Joshua Oppenheimer, dengan tepat menggambarkan situasi Indonesia paska 1965, yaitu seperti Jerman tapi dengan Hitler yang tetap berkuasa dan menang perang dunia II. Para penjagal tidak saja lolos tanpa konsekuensi, tapi juga memegang jabatan penting hingga kini. Sebagai tiruan dari Amerika Serikat pada era Red Scare, Indonesia juga mengalami bagaimana kelompok-kelompok perempuan progresif seperti Gerwani dihancurkan hanya untuk diganti dengan gagasan yang dimiliki oleh masyarakat konservatif Amerika tentang perempuan. Soeharto menciptakan organisasi Dharma wanita, dimana perempuan adalah istri-istri yang tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga.

Di dunia Barat, Red Scare telah lama berakhir, dan banyak penulis, sejarawan, aktifis hak azazi manusia, pembuat film dan lainnya, mulai menemukan apa yang terjadi di Indonesia, dan bagaimana negara mereka mungkin saja punya andil di dalamnya. Beberapa hasil penelitian tentang hal ini telah dipublikasi dan para aktifis juga mencoba menyebarkan kesadaran tentang masalah ini. Berkat mereka, mata dunia mulai terbuka dan mengenali genosida yang terlupakan.

Kekuatan pembebasan yang serupa mulai dirasakan oleh orang-orang Indonesia, tapi Indonesia masih mempunyai masalah besar. Bahkan setelah jatuhnya Soeharto, para pelaku pembantaian masih bergelantungan pada kekuasaan, bahkan berhasil melakukan berbagai kekejaman lain dan lolos dari konsekuensi apapun. Semua ini hanya akan membangun budaya kebal hukum, dimana bayang-bayang ketakutan akan komunis masih menggema di udara terbuka, untuk dengan bebas digunakan oleh generasi baru pelaku kejahatan, kekerasan dan kekejian lainnya di masa datang.

Verdi Adhanta
 
http://bhinnekanusantara.org/merayakan-genosida/