Sabtu, 12 Maret 2016

Pendeta pencatat sejarah 'Kaum Kiri' di Wonogiri

Ari Susanto | March 12, 2016 

Para penggali kubur menimbun mayat dengan tanah, tanpa upacara dan doa. Satu orang, satu lubang


Kuburan massal tahanan terduga komunis di Puh Doyong, Purwantoro, Wonogiri, sekarang menjadi pemakaman umum desa. Foto oleh Ari Susanto/Rappler
Dengan kehilangan kata-kata di hadapan Luweng Mloko
Tanpa menaburkan bunga peziarahan ini kurasa tetap sah saja
38 tahun berlalu sudah dan tetap tergambar jelas
Rentetan tembak dan teriak mengiring jatuh tawanan-tawanan
Terbanting di dinding-dinding bebatuan
Terkapar di dasar kegelapan
Masih hidup luka-luka ataukah langsung mati bukan lagi urusan
Pesan teror sudah jelas diancamkan kepada penduduk sekitar
Bila coba-coba berani menanyakan mengapa
Mungkin pohon dadap duri di pinggir luweng ini bisa bersaksi
Bagaimana wajah-wajah tiga truk tawanan sebelum mereka mati
Benarkah mereka riang bernyanyi “Genjer-Genjer", juga “Internasionale"
Ataukah diam membisu ketakutan sepanjang puluhan km perjalanan dari kamp
Dengan jempol tangan terbelenggu dikrinceng di punggung, mata dibalut kain hitam
Ketika maut dipaksakan, tak perduli hati telah pasrah ataukah berontak penasaran
Sepak sepatu lars, peluru tet tet tet tet tet, telah merebut kewenangan malaikat el-maut
Di alam sana entah bagaimana penghakiman terjadi aku tak mengurusi
Namun jelas di sini yang ada ialah: impunity
Dengan kehilangan kata-kata di hadapan Luweng Mloko
Kesunyian sekitar bukit-bukit cadas kapur tandus gersang bercerita banyak
Angkatan demi angkatan silih berganti
58 tahun Indonesiaku merayakan kemerdekaan
Dan terlalu banyak kisah seperti luweng mloko ini;
Terus menganga tak bisa ditutupi
Dan angin kabur membawa bau gendruwo, mambang dan peri
Dan tanpa ada bunga tertabur
Tulang-tulang berserak di luweng bukit kapur
Dengan diam dan sabar mengadu kepada Komnas HAM
Menantikan kerja komisi kebenaran dan rekonsiliasi
Menagih kemanusiaan minta dimaknai di Bumi Pertiwi
Puisi di atas adalah karya Yahya Tirta Prewita, seorang pendeta, penyair, dan aktivis kemanusiaan yang tinggal di Purwantoro, ujung timur Kabupaten Wonogori, Jawa Tengah. Puisi tersebut dipersembahkan untuk JJ Kusni, sastrawan kiri yang menjadi eksil di Eropa pada era Orde Baru.
Puisi yang ditulis pada Agustus 2003 itu berjudul Luweng Mloko, yang berkisah tentang sebuah goa vertikal di wilayah perbukitan karst yang gersang, yang menjadi saksi bisu penghilangan paksa ratusan orang yang diduga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) periode 1965-66. Bait-baitnya menyusun sebuah penggalan sejarah setengah abad lalu yang nyaris terlupakan.
Yahya adalah aktivis sosial pembela kelompok marjinal, petani, dan korban peristiwa 1965. Lulusan teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang ditasbihkan menjadi pendeta sejak 1992 itu memiliki catatan tentang peristiwa berdarah yang menimpa "kelompok merah" di Wonogiri.
Di luar gereja dan jemaatnya, Yahya mendata dan menuliskan dalam catatan pribadinya penuturan para saksi dan penyintas yang masih hidup. Ia berhasil menemukan sekitar 100 orang saksi dan penyintas di Wonogiri pada awal 2000-an, namun jumlahnya terus berkurang setiap tahun karena meninggal dunia.
Wonogiri pernah menjadi tempat Tan Malaka saat mengobarkan perlawanan anti-swapraja terhadap Keraton Kasunanan Surakarta dan merupakan jalur pelarian tokoh komunis Amir Syarifuddin dan Muso pasca Peristiwa Madiun 1948. Pada Pemilu 1955, PKI memperoleh suara terbanyak kedua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pergolakan politik 1965 di ibu kota membawa imbas sampai ke daerah. Simpatisan PKI di Wonogiri diburu, ditangkap, ditahan, dan sebagian lainnya dieksekusi mati tanpa pengadilan. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) ’65 pernah memperkirakan kurang lebih 1.000 orang di Wonogiri dihilangkan paksa.
Yahya bercerita, para tahanan politik di Wonogiri mendapat stigma seumur hidup. Di Kecamatan Purwantoro, misalnya, mereka yang mempunyai masa lalu sebagai penganut ideologi komunisme, Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka ditandai “ET” singakatan eks-tahanan politik (tapol).
Mereka juga selalu dikambinghitamkan setiap kali ada kerusuhan di masyarakat. Pada pemilu terakhir sebelum Orde Baru jatuh, di Wonogiri banyak terjadi kerusuhan kecil-kecil, dan para eks-tapol dikumpulkan karena dianggap bertanggung jawab.
"Orang-orang yang sudah tua renta dipanggil dan dikumpulkan, diberi pembinaan, seolah mereka itu adalah biang rusuh," kata Yahya.
http://www.rappler.com/indonesia/125654-pendeta-pencatat-sejarah-kaum-kiri-wonogiri

0 komentar:

Posting Komentar