Kamis, 31 Maret 2016

Wacana Rekonsiliasi adalah Ancaman Bagi Keadilan

Press-Release | Kamis, 31 Maret 2016


KontraS dan Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK), menegaskan bahwa rekonsiliasi tanpa proses hukum bukanlah solusi atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sepanjang pemantauan KontraS, rencana rekonsiliasi atau yang kini namanya diperhalus menjadi penyelesaian non-yudisial yang diwacanakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), masih merupakan wacana yang tidak memiliki kejelasan konsep untuk memenuhi prinsip-prinsip HAM bagi para korban. Wacana ini telah berlangsung sejak tahun lalu (2015) selama berbulan-bulan yang pada awalnya digulirkan oleh Jaksa Agung. Wacana rekonsiliasi terus digelorakan dimedia tanpa adanya rumusan yang jelas.

Kami tidak melihat target dari pewacanaan yang terus digulirkan. Selain dari itu, kami menilai proses ini sangat eksklusif dan tidak partisipatif membangun dialog dengan korban dan keluarga korban untuk didengar tuntutannya. Tidak ada satu konsultasi pun yang secara resmi dilakukan ke korban, keluarga atau komunitas korban. Sementara berbagai pertemuan dilakukan antara pihak Wantimpres yang diwakili Sdr. Sidharta, dengan berbagai pegawai lembaga negara dan segelintir ahli serta 3 orang anggota Komnas HAM.
Pertemuan demi pertemuan ini hanya menghasilkan ide untuk simposium. Patut disayangkan dan dikecam jika negara hanya mampu melakukan simposium untuk penyelesaian kasus-kasus kemanusiaan yang masif dan luas terjadi.

Proses di atas masuk dalam kategori lamban dan tidak sensitif pada kondisi korban. Para korban makin tua, sakit dan rentan. Sementara negara hanya berwacana tanpa kejelasan proses dan hanya akan melakukan simposium. Hal ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan pengingkaran terhadap janji Nawacita.

Kami mengingatkan bahwa Pemerintah, Komnas HAM dan siapapun dalam proses ini harus memahami bahwa, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat harus dilakukan dengan kepemimpinan yang jelas, bukan seperti saat ini saling lempar bola. Kami menganggap bahwa Presiden Joko Widodo tidak berani menghadapi realitas pelanggaran HAM ini dan hanya melempar pada pembantu-pembantunya. Sementara para pembantu berusaha menghindar dan pada akhirnya hanya menunjuk Sdr. Sidharta, untuk membuat acara simposium.

Kami mengingatkan bahwa proses pemenuhan keadilan bagi para korban, pengungkapan kebenaran bagi bangsa, adalah kerja bersama, berproses dan membutuhkan waktu yang cukup. Metode ini bukan metode ‘asal cepat selesai’. Pemerintah harus dalam memulai, dengan membuat rumusan kebijakan, menyiapkan struktur tim kerja dan perangkat kerjanya, menjamin akses informasi dan perlindungan pengungkapan kebenaran.

Terakhir, kami meminta agar Komnas HAM, jika tidak bisa membantu memenuhi hak korban agar menyingkir saja dan tidak mengganggu upaya korban mencari keadilan.

Jakarta, 31 Maret 2016 
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

http://kontras.org/home/index.php?id=2258&module=pers

0 komentar:

Posting Komentar