Selasa, 29 Maret 2016

Merayakan Genosida

Verdi Adhanta

PERADABAN manusia memang pernah menyaksikan genosida-genosida yang serupa terjadi di Indonesia pada 1965-67, tapi ada satu hal yang begitu aneh: yaitu fakta bahwa genosida ini dirayakan tidak saja di Indonesia tapi juga oleh berbagai Negara lain. Sejak film karya Joshua Oppenheimer The Act of Killing (Jagal), fakta tersebut dipertontonkan, dan perlahan-lahan berbagai pihak mulai menyadari dan mengakui adanya genosida tersebut. Salah satu adegan di film ini menunjukkan sebuah rekaman di televisi pemerintah TVRI Sulawesi Utara, di mana sejumlah orang dengan penuh keriaan merayakan pembantaian terhadap berjuta manusia. Sementara itu sang presenter TV, dengan riang, mentertawai pembantaian itu, membicarakannya seolah sebuah obyek kuliner atau lifestyle, dan bertanya kepada salah seorang pelaku tentang bagaimana mereka melewatkan penyiksaan dan langsung membunuh korbannya, diikuti dengan gegap tepuk tangan penonton: “Ada juga langsung disikat habis saja ya, Pak? Nggak usah disiksa dulu?”. Kekejian yang dilakukan senior-senior mereka di tahun 1965 itu, bahkan dipersembahkan untuk generasi muda, untuk dipelajari dan diingat.

Namun sempat, sebuah artikel di New York Times pada akhir tahun 1965 memuji kekejaman massal ini sebagai “secercah cahaya di Asia,” sementara dunia memilih untuk diam. Para ekonom sibuk menggambar-ulang peta komoditas, investasi dan pipa-pipa saluran keuangan, dan kesempatan baru yang terbuka setelah komunis di Indonesia tumbang. Begitu juga artikel in New York Herald Times tertanggal 9 Oktober 1965 dengan judul “Red HQ burned in Djakarta”, yang menyatakan hal ini sebagai sebuah kemenangan.

red1

Ketika berita-berita dan publikasi lainnya dengan amat jelas menyatakan angka korban; 500 ribu sampai 2,5 juta jiwa yang dibantai, angka-angka itu seolah tanpa wajah atau nama, atau sesuatupun yang bisa dihubungkan dengan kemanusiaan, angka-angka itu segera tenggelam dalam lautan teriakan kemenangan yang riuh: “Long live America” – “Kita menang!”


“Red scare”

Adalah dulu apa yang disebut “The Red Scare” (ketakutan akan yang merah atau komunis) di Amerika Serikat, di tahun 1950an. Ia adalah sebuah program nasional untuk menakut-nakuti bahwa para komunis, sudah mengancam di pintu mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa ketakutan adalah alat yang paling efisien untuk mengendalikan orang awam. Mereka kini menyebutnya McCarthyism. Sebuah propaganda dengan spektrum yang lengkap, secara sosial, budaya dan politik, yang dikenal dengan nama sang pemain dan pendukung utama di belakangnya, yaitu senator dari partai Republik, Robert McCarthy.

Perang dunia II baru saja berakhir dan kelas menengah di Amerika bertransformasi akibat pertumbuhan masyarakat desa yang cepat. Pemuda-pemuda yang baru saja pulang dari perang ini diuntungkan oleh undang-undang Servicemen’s Readjustment Act tahun 1944, yang memberi mereka rumah murah, bunga kecil, akses edukasi yang mudah dan uang bagi mereka untuk jangka waktu tertentu.

red2

Hal ini mendorong pergeseran budaya Amerika, dengan gambaran kehidupan keluarga heteroseksual yang ideal di pedesaan. Tapi ini tidak berlaku bagi beberapa kelompok tertentu seperti etnis minoritas, homoseksual dan feminis. Dengan pergeseran budaya ini, kaum konservatif mendapat angin. Era setelah perang dunia II di Amerika ditandai dengan penuhnya kebijakan sosial yang konservatif, menentukan bagaimana seorang perempuan seharusnya; seorang ibu yang feminin yang tinggal di rumah menunggu para suami yang menafkahi keluarga.

Para ibu rumah tangga ini tidak butuh pendidikan, karena itu mereka disarankan untuk tidak sekolah dan tidak berkarir, kecuali tentu saja bagi yang berkulit hidam, yang masih boleh bekerja sebagai pembantu di keluarga kulit putih. Yang dibutuhkan oleh perempuan tentunya hanyalah sebuah dapur yang apik.

Orang kulit putih dan kulit hitam disegregasi. Homoseksual digambarkan manusia tak bermoral. Sementara di televisi, tayangan-tayangan marak dengan gambaran keluarga patriarkal yang harmonis sebagai satu-satunya bentuk kehidupan ideal. Pada saat yang sama, melalui para penulis dan tokoh publik, anak-anak perempuan diarahkan untuk bermain dengan boneka, sementara anak-anak laki-laki dengan mainan mobil-mobilan dan perang-perangan.

Setelah budaya demikian sudah siap, Anda dapat dengan mudah menuangkan ketakutan di dalamnya, dan untuk inilah McCarthy-ism ada. Pertama, Anda pilih setan yang cocok. Dan manakah yang lebih baik dari musuh berbendera merah dengan bahasa yang asing dan pakaian yang lucu dari sebuah negri di seberang lautan yang orang-orangnya belum pernah kau temui? Kedua, sebarkan ketakutan terhadapnya. Anda lakukan tindakan dan kebijakan represif terhadap rakyat Anda sendiri, yang disamakan atau dikelompokkan dengan setan yang sudah Anda pilih. Jadi dari tahun 1950-1956, tiba-tiba banyak komunis di seluruh pelosok Amerika Serikat, dan warga negara patriotik harus menyingkirkan mereka.

Warga patriotik Ameriksa Serikat yang baik harus mengusir setan-setan ini dari televisi dan layar sinema, karena banyak siaran dan pertunjukan yang diproduksi Hollywood dibiayai oleh si merah, the Reds. Para sutradara dan aktor-aktornya dianggap komunis yang membangga-banggakan Marxisme. Dan kalau Anda masih menonton siaran dan pertunjukan itu, artinya Anda membantu Moscow dan “Internationalist”, karena Anda membiarkan mereka menyalurkan gagasan-gagasan mereka ke dalam ruang tamu Anda, dimana pikiran anak-anak muda akan teracuni.

Di tahun 1950an, pemerintah Amerika Serikat menuduh ribuan warganya sebagai komunis atau simpatisan komunis. Aktifis perserikatan buruh, pekerja pemerintahan, guru, pembuat film, artis dan sebagainya, tak lepas dari aktifitas ini. Begitu banyak yang kehilangan pekerjaan terlepas dari tuduhan yang ditimpakan pada mereka terbukti atau tidak. FBI adalah agen utama yang menjalankan program kegiatan anti-komunis ini, dan kemudian menghasilkan Hollywood Blacklist, yang berhasil membuat berbagai pekerja sinema menjadi pengangguran. Mereka yang akrab dengan sejarah Indonesia di tahun 1965 sampai 1998 akan segera mengenali elemen-elemennya dan menyadari dari mana rejim Orde Baru Soeharto mendapatkan gagasannya.


Bayang-bayang ketakutan

Banyak yang telah berubah sejak perang dingin berakhir. Di hampir seluruh dunia Barat, taktik Red Scare jelas sudah kehilangan strategisnya sejak Uni Soviet runtuh. Dunia Barat yang sekarang sudah atau tengah dipasangi ketakutan yang lain, yang saya bisa sebut Green Scare atau setan hijau, tapi itu kisah yang lain lagi. Indonesia dalam era Orde Baru, atau mungkin bahkan sampai sekarang, menjadi seperti kloningan dari Amerika Serikat pada era Red Scare, tapi dengan intensitas dan tingkat kesuksesan yang hanya akan menjadi mimpi bagi para McCarthyist di A.S. Karena McCarthyist di Amerika Serikat tidak berhasil membunuh berjuta manusia dan bebas merdeka tanpa konsekuensi apapun.

Penjelasan dari Joshua Oppenheimer, dengan tepat menggambarkan situasi Indonesia paska 1965, yaitu seperti Jerman tapi dengan Hitler yang tetap berkuasa dan menang perang dunia II. Para penjagal tidak saja lolos tanpa konsekuensi, tapi juga memegang jabatan penting hingga kini. Sebagai tiruan dari Amerika Serikat pada era Red Scare, Indonesia juga mengalami bagaimana kelompok-kelompok perempuan progresif seperti Gerwani dihancurkan hanya untuk diganti dengan gagasan yang dimiliki oleh masyarakat konservatif Amerika tentang perempuan. Soeharto menciptakan organisasi Dharma wanita, dimana perempuan adalah istri-istri yang tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga.

Di dunia Barat, Red Scare telah lama berakhir, dan banyak penulis, sejarawan, aktifis hak azazi manusia, pembuat film dan lainnya, mulai menemukan apa yang terjadi di Indonesia, dan bagaimana negara mereka mungkin saja punya andil di dalamnya. Beberapa hasil penelitian tentang hal ini telah dipublikasi dan para aktifis juga mencoba menyebarkan kesadaran tentang masalah ini. Berkat mereka, mata dunia mulai terbuka dan mengenali genosida yang terlupakan.

Kekuatan pembebasan yang serupa mulai dirasakan oleh orang-orang Indonesia, tapi Indonesia masih mempunyai masalah besar. Bahkan setelah jatuhnya Soeharto, para pelaku pembantaian masih bergelantungan pada kekuasaan, bahkan berhasil melakukan berbagai kekejaman lain dan lolos dari konsekuensi apapun. Semua ini hanya akan membangun budaya kebal hukum, dimana bayang-bayang ketakutan akan komunis masih menggema di udara terbuka, untuk dengan bebas digunakan oleh generasi baru pelaku kejahatan, kekerasan dan kekejian lainnya di masa datang.

Verdi Adhanta
 
http://bhinnekanusantara.org/merayakan-genosida/

0 komentar:

Posting Komentar