Kamis, 31 Maret 2016

Tuntaskan Tragedi 1965 Melalui Penegakan Hukum, Bukan dengan Kekeluargaan

March 31, 2016 | Soe Tjen Marching


DI AWAL tahun 2016, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu tuntas pada pertengahan 2016.

Ia mengatakan, saat ini Kejaksaan Agung dan Kemenko Polhukam sedang mengupayakan penyelesaian dengan teknis non-yudisial karena penyelesaian pelanggaran berat HAM tidak bisa dibawa ke ranah yudisial. Lantas seperti apa penyelesaian teknis non-yudisial yang disodorkan pemerintah?

Dari pernyataan Luhut (dengan istilah teknis non-yudisial) yang ‘visioner’ tersebut, berarti bentuk penyelesaiannya berada di luar jalur hukum legal formal, baik nasional maupun internasional. Kalau menyimak kebiasaan yang terjadi di Indonesia, bentuk penyelesaian perkara di luar ruang pengadilan sering disebut dengan istilah secara kekeluargaan. Banyak kasus di Indonesia dari pelanggaran ringan sampai berat yang diselesaikan secara kekeluargaan, baik yang terang-terangan dipublikasikan maupun yang diam-diam.

Ironisnya, ketika negara Indonesia telah dicanangkan sebagai negara hukum dengan jargon tersohor ‘hukum sebagai panglima’, justru penegakan hukum masih sarat kepentingan kekuasaan, tidak berlandaskan hak asasi manusia, dan tebang pilih. Bahkan menjadi semakin paradoks ketika penyelesaian perkara secara kekeluargaan sering dilakukan untuk menyembunyikan kebusukan.

Singkat saja, saya bingung dengan namanya ‘kekeluargaan’ di Indonesia ini. Kalau memang dari dulu dibilang cara kekeluargaan ini lebih diutamakan, apanya yang ‘kekeluargaan’ dari peristiwa ‘65? Pemerkosaan para perempuan yang dituduh Gerwani? Mutilasi tubuh mereka? Atau penyiksaan orang-orang yang dituduh PKI?

Saya cuplik di sini tulisan Saskia Wieringa (peneliti di University of Amsterdam) yang dimuat di Majalah Bhinneka terbaru. Wieringa mengisahkan pembunuhan yang terjadi di Kebun Raya Purwodadi: “Para tahanan setelah diturunkan, diseret ke tepi. Mereka diperintahkan untuk berlutut dan tenggorokan mereka digorok. Kadang-kadang telinga dan hidung mereka dipotong bahkan juga alat kelamin mereka. Atau mata mereka dicungkil. 

Kemudian, mereka ditebas sampai mati, lalu didorong ke depan hingga terlempar ke dalam lobang, berturut-turut. Mayat mereka kemudian ditutupi pasir sehingga malam berikutnya sekelompok tahanan baru bisa dibunuh.”
Apakah yang seperti ini bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan? Apakah jika rakyat, atau dalam hal ini korban, yang menuntut agar tragedi ‘65 diselesaikan secara hukum setelah 50 tahun lamanya maka berarti mereka dalam kondisi terlalu baper (bawa perasaan)?

Mari kita bayangkan sosok Bapak Menko sebagai seorang ayah yang memarahi seorang anak supaya legowo, insaf bahwa mereka sudah terlalu lama ngeles dari tanggung jawab, dan mau meminta maaf. Untuk anak yang lain, Bapak Menko perlu menegur supaya jangan terlalu mendramatisir dan mau menerima permintaan maaf yang lain.

Bukankah ini sangat absurd? Menyodorkan penyelesaian tragedi genosida ‘65 dengan cara kekeluargaan, sama saja dengan meremehkan suatu kasus pelanggaran HAM berat, dan tentu merendahkan hak asasi manusia juga.
Kalau mengambil contoh dalam kasus lain, seperti kasus Lumpur Lapindo, seolah penyelesaian kekeluargaan dianggap begitu mudah untuk meringankan penderitaan rakyat. Tinggal salaman, tidak ada yang dihukum berat, ganti rugi uang dari negara, dan semua bisa kelar dengan cara mufakat. Beginikah tawaran non-yudisial ala pemerintah? Tawaran ‘damai-damai’ saja?

Dan semua penyelesaian kekeluargaan serba gampang tersebut nyatanya hanya untuk mempermudah pejabat atau kriminal yang sudah melanggar HAM besar, bukan untuk mempermudah rakyat atau korban yang sudah mengalami musibah.

Ini adalah cermin dari sistem Negara kita. Para penguasa dan pembesar yang terlibat korupsi dan pelanggaran HAM berat sering lolos dengan sistem ‘kekeluargaan’. Tidak mengherankan bila Setya Novanto pun sidangnya tiba-tiba bisa tertutup dan kasusnya dilupakan dengan ‘salam kekeluargaan’ para pejabat.

Lah kok tragedi ‘65 mau ‘dibegitukan’ juga? Bagaimana dengan para penyintas-nya yang masih mengalami teror di sana-sini. Bahkan hak berbicara mereka pun dibatasi?

Sejarah yang diselewengkan pun belum kelar diusut. ‘Cara kekeluargaan’ yang kini berkumandang mengiringi upaya-upaya pelurusan sejarah, rekonsiliasi, dan penegakan hukum atas tragedi ’65 hanyalah cermin ketakutan dari para pejabat dan penguasa. Bahkan diundang baik-baik ke Pengadilan Rakyat International kasus ’65 (IPT ’65) pun, perwakilan pemerintah Indonesia tidak menunjukkan batang hidungnya! Padahal pengadilan ini jelas terbuka, jelas tidak ada yang kita sembunyikan (bandingkan dengan sidangnya Setya Novanto yang serba tertutup – hingga kita tidak tahu tikus jenis apa yang ikut jadi hakim). Apakah dengan keadaan ini, kita sudah bisa untuk menerima ‘salaman’ dan senyum sana-sini dengan para penguasa lalu melupakan dan menganggap semua selesai?
 
http://bhinnekanusantara.org/mengakhiri-tragedi-1965-dengan-hukum-bukan-secara-kekeluargaan/

0 komentar:

Posting Komentar