Sabtu, 12 Maret 2016

Freeport: Fakta-Fakta Yang Disembuyikan

12 Maret 2016 | Ismantoro Dwi Yuwono 

Freeport: Fakta-Fakta Yang Disembuyikan 
(Sebuah buku yang ditulis dengan perspektif Marxis)
Penerbit Narasi
Yogyakarta, 2016. 14,5X21Cm.
Harga: Rp. 50.000
___

Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (sebelumnya bernama Freeport Sulphur Company) adalah salah satu produsen tembaga dan emas terbesar dan termurah biaya produksinya di dunia. Perusahaan yang berbasis di New Orlean, Lousiana, Amerika Serikat ini sebelum beroperasi di Indonesia adalah perusahaan yang nyaris bangkrut. Revolusi sosial yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Che Guevara lah yang membuat Freeport terancam bangkrut.
Freeport terselamatkan dari ancaman kebangkrutan ketika perusahaan ini beroperasi di tanah Papua, yang memiliki kekayaan emas yang melimpah dan paling besar di seluruh dunia. Namun, untuk dapat beroperasi di tanah Papua ada berbagai halangan yang dihadapi oleh Freeport. Halangan yang sungguh mengancam keamanan modalnya. Oleh karena itulah Freeport pun harus menyingkirkan berbagai penghalang yang menghadangnya.
Halangan yang paling serius, pada awal masuknya Freeport ke Indonesia, adalah ketika Presiden pertama Indonesia, Soekarno, merebut Irian Barat (Papua) dari cengkraman imperialisme Belanda. Padahal pada waktu itu Freeport telah menjalin kerjasama untuk mengeksploitasi tembaga dan emas dengan perusahaan Belanda (Oost-Borneo Maatschappij) di tanah Papua. Tidak hanya Soekarno, John F. Kenedy pun dinilai sebagai penghalang serius oleh Freeport. Bagaimana Freeport menyingkirkan halangan itu? Di dalam buku ini penulis akan menunjukkannya kepada pembaca.
Setelah halangan disingkirkan, maka untuk selanjutnya beroperasilah Freeport di tanah Papua. Sejarah mencatat, semenjak ditandatanganinya kontrak pada 7 April 1967 (sebelum PEPERA dilaksanakan) dengan rezim Soeharto, Freeport mulai beroperasi di tanah Papua, mengeruk “tembolok burung besar,” mengeluarkan isinya dan kemudian dipasarkannya ke seluruh dunia untuk mendapatkan keuntungan yang membuat Freeport dikenal sebagai perusahaan tambang emas terbesar di dunia.
Di dalam buku ini penulis akan menunjukan kepada pembaca bagaimana Freeport memperkuat modalnya (akumulasi kapital) dan apa dampaknya bagi masyarakat setempat.
Semenjak awal Freeport beroperasi di tanah Papua, di gunung Ertsberg dan Grasberg, Freeport terlibat dalam berbagai masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pencemaran lingkungan, kemiskinan dan kelaparan yang berujung kematian rakyat Papua, penenggelaman rumpun Melanesia, keselamatan kerja, diskriminasi, rendahnya upah buruh, dan rendahnya royalti yang disetorkan kepada negara.
Buku ini mencatat berbagai tindakan protes menuntut keadilan yang dilakukan oleh rakyat dan buruh terhadap Freeport dan bagaimana Freeport menghadapinya. Keterlibatan negara dalam “mengamankan” kepentingan Freeport juga dicatat dalam buku ini.
Buku ini ditulis berdasarkan riset literatur dan wawancara dengan beberapa aktivis yang terlibat dalam menyoroti berbagai permasalahan yang berkaitan dengan proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan Freeport di tanah Papua.

0 komentar:

Posting Komentar