HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 April 2018

Bisakah Korea Selatan dan Korea Utara Berdamai?

Oleh: Tony Firman - 30 April 2018


Pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-Un berjabat tangan dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-In di dalam pertemuan mereka di zona demiliterisasi, Desa Panmunjom, perbatasan Korea. FOTO/REUTERS

Kim Jong-un memecahkan sejarah pemimpin Korea Utara pertama yang menginjakkan kaki ke Korea Selatan sejak gencatan senjata 1953.
Momen bersejarah di Semenanjung Korea baru saja terjadi pada Jumat (27/4) kemarin ketika berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Antar Korea 2018. Untuk pertama kalinya sejak Perang Korea terhenti pada 1953 dan berstatus gencatan senjata, pemimpin tertinggi Korea Utara menginjakkan kaki di wilayah Korea Selatan.

Sekitar pukul 09.30 pagi waktu setempat, Kim Jong-un muncul dari Gedung Panmungak di sisi Korea Utara. Bersama beberapa delegasi tertinggi negara termasuk adik perempuannya, Kim Jo-yong, ia menuruni tangga menuju garis demarkasi militer yang selama ini membelah Korea Selatan dan Korea Utara.

Tidak ada ekspresi ketegangan yang terekam. Kim berjalan ke depan menyambut uluran jabat tangan Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan yang sudah lebih dahulu berdiri di dekat garis demarkasi militer di sisi Korea Selatan. Sambil tetap berjabat tangan tepat di atas garis, kedua pemimpin ini sempat berbincang hangat. Momen bersejarah selanjutnya adalah ketika Kim mulai melangkahkan kaki melewati garis demarkasi berdiri di sisi wilayah Korea Selatan.

Setelah menginjakkan kaki di sisi Korea Selatan, Kim kemudian sempat mengajak Moon melangkahkan kaki sebentar melintasi garis demarkasi ke sisi Korea Utara.
“(Kamu) datang ke Selatan, kapan aku bisa mengunjungi Korea Utara?” tanya Moon.
“Mari kita melangkah sekarang,” jawab Kim Jong-un sambil mengajak Moon melintasi garis demarkasi menuju sisi Korea Utara, dilansir dari Korea Herald.
Dua pemimpin itu kemudian kembali ke wilayah Korea Selatan. Dengan saling berpegang tangan, mereka berjalan menuju Wisma Perdamaian di Panmunjom, Korea Selatan. Keduanya tampak terlibat percakapan tanpa canggung, sambil disambut dengan upacara tradisional Korea Selatan.

Sore harinya, kedua pemimpin sempat menyelenggarakan upacara penanaman pohon pinus secara simbolis. Tanah dan air yang dipakai diambil dari kedua negara. Di dekat situs penanaman simbolis itu, terdapat prasasti batu yang bertuliskan “Tanamlah kedamaian dan kemakmuran.”

Ada banyak sekali momen bersejarah sekaligus makna simbolis selama pertemuan dua pemimpin Semenanjung Korea ini. Secara keseluruhan, ada satu pesan kuat yang terus dibawa, yaitu perdamaian dan kesatuan.

Tidak Terduga

Jumat kemarin adalah pertemuan pertama antara dua pemimpin Semenanjung Korea dalam satu dasawarsa terakhir. Kali terakhir kedua pemimpin negara bertemu ketika KTT Antar Korea tahun 2007 silam. Ketika itu Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong-il, ayah dari Kim Jong-un. Sementara Presiden Korea Selatan kala itu dijabat oleh Roh Moo-hyun.

Selain kunjungan pertama pemimpin Korea Utara ke Korea Selatan, KTT Antar Korea tahun ini menghasilkan sebuah deklarasi bernapas perdamaian bagi hubungan saudara serumpun dalam Semenanjung Korea. Perang Korea meletus pada 1950 sampai 1953. Semenanjung Korea menjadi panggung pertempuran berdarah dari pengaruh Perang Dingin. Korea Utara dibekingi oleh Cina dan Uni Soviet sedangkan Korea Selatan dibantu oleh Amerika Serikat, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.

Dilansir dari The Korea Times, Kim dan Moon sepakat menandatangani Deklarasi Panmunjom. Ada Sembilan poin perjanjian yang semuanya bernada positif yaitu, Pertama, mengakhiri Perang Korea sejak gencatan senjata 1953. Kedua, denuklirisasi untuk Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Ketiga, Moon Jae-in akan mengunjungi Pyongyang di musim gugur tahun ini.

Keempat, setuju saling mengakhiri tindakan permusuhan baik di darat laut dan udara. Kelima, mulai 1 Mei 2018 saling mengakhiri siaran propaganda di perbatasan. Keenam, mendirikan kantor penghubung yang dioperasikan di Gaeseong, Korea Utara. Ketujuh, mengadakan reuni keluarga korban Perang Korea pada 15 Agustus mendatang. Kedelapan, mengaktifkan kembali jalur kereta api antar negara. Kesembilan, bersama-sama berpartisipasi dalam Asian Games 2018.

Dalam upaya mengakhiri status Perang Korea yang selama 65 tahun terakhir masih berstatus gencatan senjata, para pemimpin Korea sepakat bakal menempuh pertemuan yang melibatkan Amerika Serikat dan Cina.

Tema denuklirisasi juga menarik perhatian publik. Korea Utara selama ini membangun reputasi kekuatan di mata dunia dengan terus mengembangkan senjata nuklir dan melakukan serangkaian uji coba. Berkali-kali PBB atau negara-negara tetangga melayangkan sanksi kepada Korea Utara terkait nuklir. Namun, berkali-kali pula mereka acuh. Belum lagi aksi saling ancam antara Trump dan Kim yang mendaku punya tombol nuklir di ruang kerjanya tambah membikin ketar-ketir bagi perdamaian dunia.

Sanksi yang diterima Korea Utara memang terus meningkat dan makin berat. Pada 2006, ketika Korea Utara mulai melakukan uji coba nuklir pertama, PBB menjatuhkan sanksi melarang pasokan persenjataan berat, teknologi rudal dan barang-barang mewah. Desember 2017, sanksi dari PBB kepada Korea Utara mulai menyasar menyasar migas serta pendapatan ekspor Korut. 

Sebagaimana dilaporkan Council on Foreign Relations, sejauh ini Cina berperan penting sebagai mitra dagang Korea Utara termasuk untuk sektor pasokan pangan dan energi. Rezim Kim mau tak mau terbantu oleh kebijakan Cina yang secara historis menentang sanksi internasional keras yang dijatuhkan ke Korea Utara.

Namun akhir-akhir ini sikap Beijing mulai berubah dengan mengikuti beberapa aturan sanksi internasional. Pada Februari 2017, Beijing menghentikan sementara impor batu bara dari Korea Utara. China National Petroleum Corporation juga menghentikan penjualan bahan bakar pada Juni 2017. Pada September 2017 bank-bank Cina membatasi aktivitas keuangan perorangan dan bisnis Korea Utara.

Perubahan sikap Cina boleh jadi telah membuat Kim melunak dan menata ulang strategi. Dilansir dari Hankyoreh, sejak Kim mengumumkan komitmen denuklirisasi kepada Korea Selatan Maret lalu, situs uji nuklir di Desa Punggye telah ditutup. Uji coba nuklir dan balistik antarbenua juga ditangguhkan.
infografik korea selatan dan korea utara

Reaksi Dunia dan Pesimisme

Sebagai negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Korea Utara dan punya akar dukungan ketika Parang Korea meletus, Cina mengatakan pertemuan bersejarah itu merupakan langkah signifikan untuk memastikan perdamaian dan stabilitas jangka panjang di Semenanjung Korea.

Ucapan selamat turut datang dari Donald Trump melalui kicauannya di akun twitter pribadinya. Sebagai kepala negara AS, ia berseru tentang berakhirnya Perang Korea dan mengajak semua pihak untuk ikut bangga dengan apa yang terjadi di Korea.

Namun di tengah kabar optimisme perdamaian di tanah Semenanjung Korea, Eli Lake menulis dalam kolom opini di Bloomberg mengenai kewaspadaan dari perjanjian denuklirisasi bagi kubu Amerika Serikat. Ia memandang bahwa frasa denuklirisasi yang dipakai Korea Utara tak lebih dari sekadar upaya jangka panjang Pyongyang untuk menggembosi kekuatan AS yang selama ini menyokong Korea Selatan. Lake mengingatkan kembali pidato Kim saat tahun baru kemarin mengenai kekuatan nuklir Korea Utara yang tidak mungkin ditarik mundur.

Dalam Deklarasi Panmunjom mengenai denuklirisasi memang tidak mencantumkan waktu dan proses. Mereka juga tidak menetapkan definisi jelas tentang seperti apa Korea yang bebas nuklir. Hanya persetujuan perjanjian damai mengakhiri status perang saja yang telah dipatok bakal dilaksanakan tahun ini. Seperti dikutip dari The New York Times, hal ini yang tampaknya bakal membuat Donald Trump menemui kesulitan ketika nanti menekan Kim Jong-un untuk berunding soal ketentuan nuklir.

Kelompok konservatif Korea Selatan menunjukkan ketidaksenangan dengan langkah perdamaian yang ditunjukkan para pemimpin Korea. Dilansir dari Time, kalangan Kristen konservatif yang umumnya generasi tua masih memiliki pandangan politik yang terkait erat dengan kehidupan saat Perang Korea meletus. Mereka melihat bahwa Korea Utara masih sebagai musuh dan AS sebagai sekutu yang amat penting di kubu Korea Selatan.

Meski bukan berarti semua orang Kristen di Korea Selatan berpandangan seragam, para konservatif ini juga tidak menyukai Presiden Moon Jae-in pasca pemakzulan Park Geun Hye pada 2016. Moon dianggap melambangkan kebangkitan politik kiri di Korea Selatan dan membuka era dialog dan kerja sama dengan Korea Utara.

Bruce Klinger, pengkaji Korea dari Heritage Foundation dilansir dari The Atlanticmelihat bahwa apabila perjanjian perdamaian perang benar-benar direalisasikan, perlu diformalkan oleh PBB dan diratifikasi oleh Korea Utara, Cina, Amerika Serikat dan kemungkinan besar Korea Selatan. Jika tidak, sekedar deklarasi saja itu dianggap sangat bermasalah dan tak menunjukkan implementasi serius apapun. Termasuk perkara ancaman nuklir dan sejenis harus terlebih dahulu dibereskan sebelum penandatanganan perjanjian damai.

Sebelum KTT Antar Korea berlangsung, pada 25 April kemarin The Korea Timesmenurunkan opini tulisan Mahmood Elahi yang mengingatkan reputasi Dinasti Kim yang mencemari perjanjian denuklirisasi sebelumnya. Kim Jong-un kini didesak untuk membuat langkah yang dapat diverifikasi untuk menunjukkan bahwa benar-benar melucuti senjata nuklir dan program pengujian rudal balistik.

KTT Antar Korea tercatat pernah terlaksana pada 2000 dan 2007. Berkaca pada KTT sebelumnya, pola-pola seperti membuat perjanjian perdamaian nyatanya sudah dilakukan di KTT sebelumnya. Tetapi pada kenyataannya deklarasi semacam itu hanya menguap begitu saja. Sejumlah faktor seperti lemahnya dukungan dari dalam negeri dan internasional menjadi penghambat terealisasinya deklarasi perdamaian, dilansir dari CNN.

Patut dinanti realisasi rangkaian kesepakatan dalam deklarasi, terutamanya soal mengakhiri status perang dan pelucutan senjata nuklir. Atau justru seperti hasil KTT sebelumnya yang tidak banyak mengubah wajah Semenanjung Korea.

Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf

Sumber: Tirto.Id 

1950: Perseteruan Buruh Komunis versus Buruh Muslim


Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 30 April 2018
Ilustrasi: organisasi buruh SOBSI vs SBII. Tirto/Hafitz Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 30 April 2018


Pada 1950-an gerakan buruh terpecah oleh ideologi. tirto.id - Usai lima tahun revolusi, mulai 1950 pemerintah Indonesia berupaya membangun perekonomian nasional yang stabil. Namun, upaya ini berjalan lambat dan salah satu golongan yang terimbas adalah buruh. Persoalannya klasik, upah rendah yang sulit bagi mereka memenuhi kebutuhan harian. Keadaan ini mendorong beberapa pemogokan buruh menuntut kenaikan upah.

Pemogokan buruh yang cukup menonjol tahun itu terjadi di Pelabuhan Belawan, Sumatera Timur. Di Belawan, para buruh menuntut kenaikan upah sebesar 50 persen. Mereka juga meminta kuota beras untuk Sumatera Timur diperbanyak. Pemogokan besar menuntut kenaikan upah juga terjadi Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Menurut Puji Suwasono dalam karya skripsinya, Sarekat Buruh Islam Indonesia 1947-1960 (2002), tuntutan para buruh soal kenaikan upah akhirnya dikabulkan oleh pemerintah. Namun, aksi mogok itu membuat aktivitas bongkar muat terhenti dan menimbulkan kelangkaan barang.
“Hal tersebut telah mengakibatkan naiknya harga beras dan harga barang-barang lain. Pada bulan Januari 1950, harga barang-barang di Sumatera Timur masih sama dengan harga barang di Jakarta. Namun, setelah terjadi pemogokan, harga barang-barang menjadi lebih mahal dibandingkan dengan di Jakarta,” tulis Suwasono (hlm. 44-45).
Kejadian ini mendapat komentar negatif dari Sarekat Buruh Islam Indonesia (SBII). Bukan memperbaiki nasib, pemogokan itu disebut SBII malah membikin buruh kian susah. Secara nominal upah mereka memang naik, tapi tak ada gunanya karena harga barang juga naik, demikian pendapat SBII.

Karena itu, ketika pemerintah menerbitkan aturan larangan mogok pada Februari 1951, SBII sangat mendukungnya. Sikap SBII itu lantas dikecam oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Organisasi buruh yang punya ikatan kuat dengan PKI ini menuduh SBII sebagai pembela majikan (hlm. 51). SBII menyerang balik kecaman SOBSI. 

Melalui majalah Suara Partai Masyumi edisi Maret-April 1951, pimpinan SBII menyatakan bahwa bagi orang-orang komunis, pemogokan hanyalah alat politik. Kaum komunis dianggap hanya ingin mengacau, alih-alih memperjuangkan hak.
“Jika ekonomi sudah kacau maka penderitaan rakyat akan bertambah dan stabilitas dalam negara tidak akan terwujud. Penderitaan rakyat akibat kekacauan ekonomi merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya komunisme,” kutip Suwasono dalam penelitiannya (hlm. 49).
Pertarungan Ideologis Polarisasi semacam itu adalah hal lazim di Indonesia selama dekade 1950-an. Sumbernya tak lain adalah perbedaan ideologi. Asal-usulnya dapat ditelusuri sejak revolusi kemerdekaan. SOBSI dibentuk pada November 1946 sebagai penggabungan dari Gabungan Sentral Buruh Vertikal (GSBV) dan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI). Sejak awal, SOBSI menyatakan bahwa gerakannya berdasarkan pada teori Marxisme. Sebagian besar pengurusnya pun adalah aktivis PKI.

 Kecenderungan kiri itu semakin nyata saat SOBSI terlibat dalam Pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Djumadi dalam Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia (2005, hlm. 23) menulis,
“Peristiwa Madiun tersebut sangat memengaruhi persatuan organisasi perburuhan di Indonesia, yang berakibat terbaginya berbagai golongan dan pengotak-ngotakan organisasi buruh yang lebih parah.”
Menjelang Peristiwa Madiun, SOBSI cukup gencar mengadakan pemogokan di sekitar Surakarta. Saat itu belum ada organisasi buruh muslim yang cukup kuat. Yang berhadapan langsung dengan SOBSI adalah Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang berafiliasi dengan Masyumi.

Menurut Onghokham dalam Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965 (2009, hlm. 141) STII berperan aktif sebagai pendukung pemerintah menghadapi pemogokan SOBSI. STII cukup berhasil membendung gerakan SOBSI serta organisasi-organisasi kiri lain.
“Mereka menduduki kebun-kebun kapas, menyerang kedudukan SOBSI dan Sarbupri (sarekat-sarekat buruh kiri) dari desa-desa di sekitar Solo dan bertempur dengan laskar Lembaga Buruh Tani (LBT). Peranan STII dan Masjumi semakin diperluas dengan peristiwa-peristiwa di Madiun,” terang Onghokham. Usai geger Madiun, barulah Masyumi melebarkan sayap di ranah perburuhan. Pada November 1948, SBII dibentuk.
Tujuannya secara spesifik adalah memerangi pengaruh SOBSI. Karenanya, teori gerakan SBII sangat bertolak belakang dari SOBSI. Iskandar Tedjasukmana dalam The Political Character of the Indonesian Trade Union Movement (2009) menjelaskan SBII menolak teori pertentangan kelas ala kaum komunis. SBII menekankan gerakannya pada kerja sama antara buruh dan majikan dalam menyelesaikan persoalan perburuhan. 
“Konsepsi kerja sama buruh-majikan itu tampak sangat mirip dengan konsep ‘prinsip solidaritas’ yang diadvokasi oleh gerakan buruh religius di Eropa Barat,” tulis Iskandar (hlm. 60).

Saling Serang antara SOBSI & SBII 

Penerapan atas konsep kerja sama ala SBII itu terlihat dari pilihannya mendukung larangan mogok oleh pemerintah pada 1951. Kendati demikian, dukungan itu punya latar politis juga karena yang jadi perdana menteri saat itu adalah Sukiman—pemimpin Masyumi yang jadi partai induknya. 

Semasa Demokrasi Parlementer, SOBSI dan SBII termasuk dalam empat besar organisasi buruh dengan jumlah anggota terbanyak. Iskandar Tedjakusuma mencatat pada 1956, SOBSI punya 2,6 juta anggota. Sedangkan SBII sebanyak 275.000 anggota.

Organisasi buruh lain yang terbesar adalah Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) dengan 735.100 anggota dan Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) dengan 94.477 anggota (hlm. 38-39). 

Segera terlihat SOBSI adalah yang terbesar. Secara kuantitas barangkali SBII terlihat sulit menyaingi rival komunisnya itu. Akan tetapi, SBII bukan organisasi semenjana yang lantas kalah pamor. Sebagaimana partai induknya, Masyumi, SBII tak ragu dalam beroposisi dengan SOBSI.

Soal larangan mogok pada 1951 itu bukan satu-satunya momen SOBSI dan SBII saling serang. Puji Suwasono mencatat pada 1955 SBII pernah mengutuk SOBSI sebagai pemeras anggotanya. Di Jambi, SBII mendapati bahwa selain dimintai iuran wajib, anggota SOBSI juga diharuskan menyetor 30 rupiah dari penghasilannya (hlm. 53).

SOBSI sekali lagi menyerang SBII secara terbuka pada September 1957. Muasalnya pernyataan pimpinan SBII Komisariat Deli Serdang, Hasyim Zakaria, ketika meresmikan SBII Kring (pengurusan tingkat desa) Sei Mencirim. Selain para buruh, manajemen perkebunan Sei Mencirim ikut hadir dalam acara peresmian itu. 

Dalam acara itu Hasyim Zakaria menyatakan SBII bersedia bekerja sama dengan manajemen perkebunan. Ini ditegaskan oleh pimpinan SBII Konsulat Sumatera Utara Abdul Majid. Abdul Majid bahkan berpesan kepada para buruh agar jangan bekerja dengan menipu majikan.

Pernyataan itu dikecam oleh SOBSI. Melalui Harian Rakjat—koran resmi PKI, SOBSI menyebut bahwa pernyataan pimpinan SBII itu telah mencederai kaum buruh. Diulang pula tuduhan yang sama bahwa SBII adalah pendukung majikan (hlm. 52-53).

Perseteruan kedua organisasi ini pernah pula menimbulkan korban jiwa. Di Langsa, Aceh, seorang anggota Sarbupri—sayap SOBSI—ditangkap karena menikam dua orang buruh anggota SBII. Kasus lain terjadi di Perkebunan Parakan Salak, Sukabumi. Anggota SBII terlibat bentrokan dengan anggota Sarbupri yang merasa tersaingi.

Kedua peristiwa itu terjadi pada 1951 (hlm. 57). 
 “Pertentangan SBII dengan SOBSI terus terjadi bersamaan pertentangan kedua induk organisasi mereka, yaitu PKI dan Partai Masyumi. Pertentangan ini berakhir tahun 1960 ketika akhirnya Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA,” tulis Puji Suwasono.

Asal-usul perseteruan serikat buruh komunis vs buruh muslim sejak revolusi kemerdekaan antara PKI vs Masyumi

20 Tahun Reformasi: Yang Terjadi Sepanjang Maret 1998

Oleh: Ivan Aulia Ahsan - 30 April 2018



TVR Kronik Reformasi Maret. tirto.id/Gery


Maret 1998 ditandai pelantikan Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa menyambut dengan demonstrasi yang mulai berakhir bentrok.
Memasuki Maret 1998, semakin terang betapa krisis ekonomi berdampak menjadi krisis politik. 

Pada 10 Maret 1998, Soeharto resmi ditetapkan sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR untuk masa periode 1998-2003. Ini menjadi yang ketujuh kalinya Soeharto ditahbiskan sebagai penguasa tertinggi di Republik Indonesia (pertama kali terjadi pada 1968). Kali ini ia berpasangan dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden. 

Pelantikan Soeharto-Habibie dengan segera disambut rangkaian demonstrasi, terutama dari mahasiswa. Penolakan terhadap Soeharto tidak hanya semakin massif, namun juga disampaikan dengan cara-cara yang verbal. Bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan mulai bermunculan di bulan Maret ini.

Daya gedor penolakan ini sudah tak bisa disepelekan lagi. Sampai-sampai, untuk pertama kalinya, ABRI — melalui Wiranto sebagai Pangab — bersedia melakukan dialog dengan mahasiswa.

Krisis politik tampak pada tuduhan-tuduhan kepada beberapa orang yang disebut sebagai otak atau master mind rencana kudeta. Arifin Panigoro dan Amien Rais menjadi salah dua nama yang disebut-sebut merencanakan kudeta kepada rezim yang sah. Selain problem ekonomi yang semakin mencekik, Soeharto juga semakin tertekan oleh makin massifnya informasi tentang penculikan para aktivis. 

Berikut peristiwa-peristiwa terpenting sepanjang Maret 1998.

1 Maret 1998

Selain Habibie, Golkar Tutup Pintu

Fraksi Karya Pembangunan menutup pintu bagi cawapres selain B.J. Habibie. Meskipun mereka tetap terbuka bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi nama lain, hal itu tidak akan mengubah keputusan fraksi yang sudah final.

(Kompas, 2 Maret 1998)

2 Maret 1998

Cadangan Devisa RI Capai Rekor Terendah

Cadangan devisa berupa aktiva luar negeri Indonesia kembali mencapai rekor titik terendah. Posisinya di akhir Februari hanya berjumlah $16,33 miliar. Cadangan devisa ini setara dengan empat bulan impor nonmigas. Jika dibandingkan posisi 15 Januari 1998 yang sebesar $20,385 miliar berarti telah terjadi penurunan 4,052 miliar dalam jangka waktu satu setengah bulan. Pengamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto mengatakan, penurunan itu terjadi lantaran intervensi yang dilakukan BI untuk menstabilkan rupiah.

(Republika, 3 Maret 1998)

3 Maret 1998

Soeharto Bicara 1,5 Jam dengan Utusan Khusus Clinton

Utusan Khusus Presiden AS Bill Clinton, Walter Mondale, melakukan pembicaraan dengan Soeharto selama 1,5 jam. Menurut Mondale, beberapa waktu terakhir, Soeharto dan Clinton selalu mengadakan kontak secara teratur dalam rangka membantu Indonesia menyelesaikan kesulitan ekonomi. Clinton juga disebut sangat prihatin dengan krisis ekonomi yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Bahkan, secara pribadi Clinton melibatkan diri dalam masalah ini.

(Kompas, 4 Maret 1998)

4 Maret 1998

PPP Belum Putuskan untuk Menerima LPJ Soeharto

Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) menjadi satu-satunya fraksi MPR yang belum secara eksplisit memutuskan menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPR dalam SU MPR. Sikap F-PP belum final dan masih akan dibahas dalam rapat-rapat komisi berikutnya. Sementara juru bicara Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (F-ABRI) Hari Sabarno menyatakan bersyukur berkat kepemimpinan Soeharto, bangsa Indonesia bisa lepas dari kemelut 1966 dan dapat menikmati Orde Baru yang ditandai adanya ciri kehidupan konstitusional yang mantap.

(Kompas, 5 Maret 1998)

5 Maret 1998

Mahasiswa UI Serahkan Pemikiran Reformasi kepada Fraksi ABRI

Delegasi mahasiswa UI yang terdiri dari 20 orang menyerahkan dokumen berisi pemikiran mengenai upaya melakukan reformasi politik dan ekonomi di Indonesia kepada F-ABRI. Dokumen tersebut diterima Letjen. Yunus Yosfiah selaku Ketua F-ABRI. Di UGM, sejumlah dosen bergabung dengan belasan ribu mahasiswa yang melakukan aksi keprihatinan. Mereka menuntut diturunkannya harga-harga dan reformasi politik sesegera mungkin. Aksi serupa juga dilakukan para mahasiswa di Bandung, Padang, Surabaya, dan Ujungpandang.

(Kompas, 6 Maret 1998)

6 Maret 1998

Rupiah Tembus 12.000 per Dolar

Nilai tukar rupiah makin melemah dan sempat menembus angka Rp 12.100 per dolar AS. Terpuruknya nilai tukar rupiah antara lain dipicu kabar menyangkut kerugian Bank Exim dalam transaksi valuta asing.

(Republika, 7 Maret 1998)

7 Maret 1998

IMF Tunda Pencairan Dana

Tanri Abeng, Anggota Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan menyayangkan sikap IMF yang menunda pelaksanaan rapat pembahasan pencairan bantuan tahap kedua. Pencairan dana dari IMF tahap kedua sejumlah $3 miliar hampir dipastikan tidak turun bulan Maret. Sejauh ini, Indonesia telah menerima $3 miliar dari total $43 miliar dalam apa yang disebut paket penyelamatan ekonomi guna memulihkan kepercayaan serta stabilitas pasar dan ekonomi Indonesia.

(Republika, 8 Maret 1998)

8 Maret 1998

Soeharto Bersedia Dicalonkan Lagi

Presiden Soeharto secara resmi menyatakan kesediannya untuk dipilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003. Pernyataan tersebut disampaikan di hadapan lima fraksi MPR (F-ABRI, F-KP, F-PDI, F-PP, F-UD) dalam pertemuan di kediaman Soeharto.

(Media Indonesia, 9 Maret 1998)

9 Maret 1998

Aksi Keprihatinan Terus Berlanjut di Berbagai Kota

Aksi keprihatinan dari kelompok mahasiswa terus berlanjut dalam bentuk mimbar bebas di sejumlah daerah seperti Semarang, Solo, Surabaya, Denpasar, dan Padang. Mereka menuntut penurunan harga sembako, reformasi ekonomi, reformasi politik, dan pemerintahan yang bersih. Di Ujungpandang, sedikitnya 500 mahasiswa dari berbagai kampus berunjukrasa di kampus IAIN Alauddin menolak sikap AS yang dianggap menekan Indonesia melalui IMF.

Program IMF Tetap Jalan

Pemerintah tetap melangsungkan program IMF yang sudah disepakati sejak 15 Januari 1998. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Penundaan pencairan dana tahap kedua sebesar $3 miliar oleh IMF dikecam Soeharto. Menurutnya, program reformasi yang diajukan IMF menjurus kepada liberalisme.

(Kompas dan Media Indonesia, 10 Maret 1998)

10 Maret 1998

Soeharto Resmi Menjabat Lagi

H.M. Soeharto resmi ditetapkan sebagai Presiden RI periode 1998-2003 dalam Rapat Paripurna ke-10 MPR RI. Rapat tersebut dipimpin Ketua MPR/DPR Harmoko dan hanya berlangsung selama 30 menit. Dari seribu anggota MPR, 923 orang yang menghadiri rapat paripurna sepakat bulat memilih Soeharto sebagai presiden. Soeharto menjadi calon tunggal yang diajukan lima fraksi MPR dengan satu alasan: penilaian atas kemampuan dan pengalaman demi kesinambungan nasional.

Setelah SU MPR, Sekjen Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) Widjojo Nitisastro beserta timnya dikabarkan segera berangkat ke Washington untuk menemui pejabat IMF. Hasil perundingan tersebut akan dijadikan patokan tentang langkah apa yang akan diambil Indonesia.

(Republika, 11 Maret 1998)

11 Maret 1998

Terpilihnya Soeharto-Habibie Disambut Unjuk Rasa

Dalam sidang paripurna SU-MPR ke 13, B.J. Habibie mengucapkan sumpah jabatan sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Soeharto. Mengakhiri SU MPR, Harmoko selaku Ketua MPR RI mengharapkan presiden, wapres, dan para menteri Kabinet Pembangunan VII untuk segera mengambil langkah-langkah mengatasi krisis.

Sementara itu, pekik “Merdeka” dan “Allahu Akbar” mewarnai unjuk rasa di kampus UGM dengan peserta berjumlah 30 ribu mahasiswa. Mereka menginginkan dibentuknya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di Surabaya dan Solo, aksi serupa berakhir bentrok antara petugas dan pengunjukrasa.

(Republika, 12 Maret 1998)

12 Maret 1998

Wiranto Tawarkan Dialog dengan ABRI

ABRI siap membuka dialog terkait merebaknya aksi keprihatinan mahasiswa di berbagai daerah. Jenderal TNI Wiranto selaku Panglima ABRI menyatakan, daripada melakukan aksi unjukrasa, lebih baik para mahasiswa melakukan dialog dan TNI siap membuka diri dengan para mahasiswa maupun tokoh pengkritik seperti Amien Rais dan Megawati.

(Media Indonesia, 13 Maret 1998)

13 Maret 1998

Tawaran Dialog dari Wiranto Disambut Baik

Tawaran Panglima ABRI Jendral Wiranto mendapat banyak dukungan baik dari berbagai pihak. Amien Rais selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah mengharapkan dialog melibatkan tokoh dari berbagai organisasi baik kampus maupun LSM. Komandan Korem 163/Wirasatya Kolonel Inf I Made Yasa menyatakan, unjuk rasa dilakukan mahasiswa karena selama ini ide-ide mereka tidak tersalurkan.

(Republika, 14 Maret 1998)

14 Maret 1998

PM Jepang Tiba di Indonesia

PM Jepang Ryutaro Hashimoto tiba di Indonesia dan dijadwalkan melakukan pembicaraan empat mata dengan Soeharto di Jalan Cendana esok harinya. Hashimoto berharap dapat membantu Indonesia untuk bisa keluar dari kesulitan ekonomi.

(Kompas, 15 Maret 1998)

15 Maret 1998

Soeharto dan Hashimoto Sepakat soal Program IMF

Presiden Soeharto dan PM Jepang Ryutaro Hashimoto sepakat tentang pelaksanaan reformasi dalam kaitannya dengan penerapan program IMF. Mereka juga sepakat bahwa Indonesia tetap perlu mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan internasional dan negara sahabat lainnya.

(Media Indonesia, 16 Maret 1998)

16 Maret 1998

Aksi Keprihatinan Terjadi Lagi

Setelah sempat berhenti, aksi keprihatinan mahasiswa kembali terjadi di beberapa kampus seperti Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Universitas Lampung (Unila), Universitas 11 Maret dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sejumlah mahasiswa Unas sempat bentrok dengan aparat keamanan yang melarang mereka keluar dari kampus. Sementara ribuan mahasiswa dan pelajar di Unila memprotes masalah kenaikan harga dan menuntut reformasi ekonomi dan politik.

Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Kanezo Muraoki mengatakan, pemerintahnya siap mengimbau masyarakat internasional untuk membantu upaya membuka blokade pencairan bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Indonesia. Hal itu dilakukan menyusul pertemuan antara PM Jepang dengan Soeharto.

(Media Indonesia, 17 Maret 1998)

17 Maret 1998

Soeharto: Tanpa Bantuan IMF, Reformasi Tetap Jalan

PM Jepang Ryutaro Hashimoto mengirimkan pesan kepada Australia, Inggris, Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Hashimoto mendesak pemimpin enam negara untuk mendukung Indonesia yang tengah berada dalam krisis keuangan. IMF telah menghentikan pembayaran cicilan paket bantuan penyelamatan kepada Indonesia dengan alasan Soeharto gagal mewujudkan reformasi yang telah disepakati.

Sementara itu, Soeharto menegaskan terus melakukan reformasi ekonomi tanpa atau dengan bantuan IMF dalam sidang Kabinet Pembangunan VI pertama di Bina Graha. Ia menolak kesan bahwa reformasi dilakukan karena program IMF. Sebaliknya, Soeharto menuturkan, reformasi adalah kebutuhan dan tekad bangsa dengan atau tanpa bantuan siapapun.

(Pikiran Rakyat, 18 Maret 1998)

18 Maret 1998

Gas Air Mata Bubarkan Rapat Akbar Mahasiswa

Gas air mata membubarkan acara rapat akbar keluarga besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Rapat akbar yang berlangsung di kampus itu menuntut reformasi ekonomi dan politik. Menhankam Pangab Jenderal TNI Wiranto menilai selama aksi mahasiswa bicara masalah yang esensial dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional, maka diperbolehkan. Tetapi bila aksi mengarah ke anarkis dan destruktif, maka tidak ditolerir.

Pemerintah & IMF Sepakat Reformasi Ekonomi Dikaji Kembali

Pemerintah Indonesia dan IMF sepakat mengkaji kembali program reformasi ekonomi Indonesia. Kesepakatan itu melibatkan pembicaraan empat mata antara Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita dengan Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Hubert Neiss.

(Media Indonesia dan Pikiran Rakyat, 19 Maret 1998)

19 Maret 1998

Habibie: Pembicaraan RI dan IMF Berjalan Baik

Wakil Presiden BJ Habibie mengisyaratkan bahwa pembicaraan antara IMF dan pemerintah RI sudah berjalan baik dan kembali pada jalurnya. Habibie menyampaikan itu kepada para politikus Partai Liberal Demokratik (LDP) Jepang. Ia juga menyatakan bahwa Indonesia berkeinginan mengimplementasikan 50 butir reformasi yang tercantum dalam kesepakatan dengan IMF.

Rektor Unpad Tak Melarang Mahasiswa Berdemo

Rektor Unpad Prof. Dr. Maman P. Rukmana meminta para mahasiswa agar menyampaikan unek-unek terkait masalah bangsa berikut pemecahan solusinya ke dalam sebuah proposal dan nantinya diberikan kepada MPR/DPR. Maman juga menegaskan bahwa pimpinan universitas tidak pernah mengganggu atau melarang aksi demonstrasi sepanjang membawa aspirasi rakyat dan murni pemikiran mahasiswa.

(Pikiran Rakyat, 20 Maret 1998)

20 Maret 1998

ABRI Mewaspadai Demonstrasi Mahasiswa

Menteri Pertahanan Keamanan/Pangab Jenderal TNI Wiranto mulai mewaspadai gejala ketidaksabaran yang ditunjukkan lewat serangkaian aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah. Wiranto membagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang memposisikan diri sebagai bagian dari pemecah persoalan dan mereka yang menjadi bagian dari persoalan. Kelompok yang terakhir menjadi kewaspadaan ABRI.

(Media Indonesia, 21 Maret 1998)

21 Maret 1998

Arifin Panigoro Dituduh Makar

Eksponen 66 sekaligus pengusaha minyak Arifin Panigoro dan Meliyono Suwondo terkena tuduhan berat berbuat makar setelah mereka hadir dalam diskusi Pusat Pengkaji Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Hotel Radisson pada 5 Februari 1998. Ini sebagai buntut dari memo Prof. Dr. Sofian Effendi, Dewan Direktur PPSK, yang menyebut bahwa Amien Rais akan menggerakkan satu juta massa ke Gedung MPR/DPR Senayan. Peran Arifin sendiri disebut sebagai wakil dari pengusaha dan elit politik yang mendukung gerakan itu.

Pertemuan RI dan IMF Capai Kemajuan

RI dan IMF capai banyak kemajuan dalam pertemuan hari ketiga antara Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita dengan Direktur IMF untuk Asia Pasifik Hubert Neiss. Mereka setuju menjamin ketersediaan sembako dengan harga wajar. Juga sepakat bakal memperkuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna mengembalikan kepercayaan masyarakat.

(Media Indonesia, 22 Maret 1998)

22 Maret 1998

Dirjen Dikti: Membawa Nama Kampus untuk Demo Tak Etis

Dirjen Dikti Bambang Soehendro menyebut, tidak etis bila mahasiswa yang melakukan aksi keluar kampus masih membawa nama perguruan tinggi. Mereka harus membawa nama diri sendiri sebagai warga negara. Bambang juga menekankan sudah ada komitmen antara aparat keamanan dengan Depdikbud yang mengacu pada SKB Tiga Menteri (Mendagri, Menhankan, Mendikbud) bahwa semua kegiatan mahasiswa di dalam kampus menjadi tanggung jawab rektor.

(Media Indonesia, 23 Maret 1998)

23 Maret 1998

Amien Rais Bantah Merancang Kudeta

Amien Rais sebagai Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kebijakan (PPSK) membantah pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta 5 Februari 1998 sebagai langkah untuk merancang kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Berkaitan dengan pertemuan tersebut, beberapa orang sudah diperiksa polisi seperti Arifin Panigoro dan Dr. Afan Gaffar.

Mahasiswa Lampung Mempraperadilankan Kapolda

Tiga mahasiswa Lampung korban “Unila Berdarah” akan mempraperadilkan Kapolda Lampung atas penangkapan dan penganiayaan yang dilakukan petugas terhadap mereka. Ibrahim Bastari selaku Ketua Komisi Perlindungan HAM LBH Bandarlampung menyatakan siap mendampingi para mahasiswa untuk mempraperadilkan Polda Lampung.

(Media Indonesia, 24 Maret 1998)

24 Maret 1998

Dua Penyusup dalam Demo Mahasiswa Lampung

Dua penyusup yang masuk ke dalam kampus Unila babak belur dipukuli massa mahasiswa ketika aksi protes berlangsung di Unila. Mereka mencurigai dua orang tersebut sebagai intel aparat. Ditemukan kartu identitas kesatuan intel aparat di salah satu penyusup, sementara satu orang lainnya adalah seorang salesman dari perusahaan asuransi.

Indonesia Akan Tiru Cara Meksiko

Tanri Abeng, anggota Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK), mengatakan bahwa Indonesia akan meniru cara Meksiko dalam upaya menyelesaikan utang swasta. Saat kriris ekonomi 1980-an, Meksiko memberikan intensif kepada debitor berupa tenggang waktu bebas cicilan selama 3-4 tahun. Namun, Meneg Pembinaan BUMN mengatakan tidak akan melakukan cara Meksiko secara penuh karena ada beberapa aspek yang harus disesuaikan.

(Media Indonesia, 25 Maret 1998)

25 Maret 1998

Mahasiswa Solo Bentrok dengan Aparat

Pengunjuk rasa di UNS Solo terlibat bentrok dengan aparat keamanan. Lima mahasiswa luka-luka, dua diantaranya harus dirawat di rumah sakit. Sebanyak 39 peserta lain terkena gas air mata. Bentrokan terjadi pukul 13.50 karena kedua pihak tidak mencapai kata sepakat tentang batas demarkasi wilayah kampus.

Subsidi Dikurangi Secara Bertahap

Pemerintah akan mengurangi subsidi secara bertahap. Guna menjamin harga bahan-bahan kebutuhan terutama bahan pangan, pemerintah mengundang investor asing untuk pengadaan bahan pangan. Selama ini, menurut Kabulog, banyak subsidi yang membebani anggaran pemerintah seperti subsidi bahan bakar, sembako, dan gula pasir.

(Kompas dan Pikiran Rakyat, 26 Maret 1998)

26 Maret 1998

Krisis Moneter Picu PHK

Menteri Tenaga Kerja Theo L. Sambuaga mengungkapkan, krisis moneter yang melanda Indonesia dalam sembilan bulan terakhir mengakibatkan 133.459 pekerja mengalami PHK. Jumlah tersebut berasal dari sekitar 676 perusahaan. Angka PHK itu berdasarkan laporan Menaker per 21 Maret 1998.

Dialog Mahasiswa dengan Soeharto Tidak Memungkinkan

Menko Polkam Feisal Tanjung menegaskan, keinginan mahasiswa untuk berdialog secara langsung dengan Soeharto tidak memungkinkan karena tidak ada aturan yang mengatur tindakan tersebut. Sebaliknya, ABRI menawarkan dialog dengan melibatkan pejabat yang lengkap baik Tingkat I, II, maupun pusat.

(Kompas dan Pikiran Rakyat, 27 Maret 1998)

27 Maret 1998

Perwira Tinggi ABRI Bertemu Amien Rais

Letjen. Susilo Bambang Yudhoyono mengundang Amien Rais untuk bertemu dan berdialog di Sheraton Mustika Hotel. Termasuk bersama perwira tinggi ABRI lainnya seperti Mayjen. Zaky Anwar Makarim, Mayjen. Mardiyanto, dan Kolonel Djoko Santoso. Amien mengatakan bahwa pertemuan tersebut dilakukan untuk mempererat silaturahim.

(Jakarta Post 28 Maret 1998)

28 Maret 1998

Aktivis SMID Diculik Orang Tak Dikenal

Aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Andi Arief diculik orang tidak dikenal pada pukul 11.00 WIB di ruko milik kakaknya di Bandar Lampung. Pihak keluarga menyerahkan masalah tersebut ke YLBHI.

(Kompas, 30 Maret 1998)

29 Maret 1998

Panglima ABRI akan Temui Perwakilan Mahasiswa

Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengkonfirmasi bahwa ia akan menemui perwakilan mahasiswa dari 17 kampus. Pertemuan tersebut akan digelar di Gedung YTKI Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

(Jakarta Post, 30 Maret 1998)

30 Maret 1998

Pemerintah Harus Jelaskan soal Penculikan Aktivis

Guru besar ilmu hukum Prof. Dr. Dimyati Hartono, Sekretaris Sub Komisi Pemantauan Pelaksanaan HAM Komnas HAM Clementino dos Reis Amaral, dan Anggota Komnas HAM Asmara Nababan menyatakan bahwa pemerintah harus menindaklanjuti dan memberikan penjelasan resmi seputar hilangnya beberapa aktivis mahasiswa. Peristiwa tersebut mulai mengganggu hak masyarakat untuk hidup tenteram. Kapuspen ABRI Birgjen. Abdul Wahab Mokodongan menyatakan, pihaknya tidak mengetahui tentang hilangnya sejumlah aktivis.

(Kompas, 31 Maret 1998)

31 Maret 1998

Mahasiswa Tolak Dialog dengan Menteri

Beberapa senat mahasiswa menolak hadir dalam dialog dengan sembilan menteri yang diprakarsai Eksponen ’66. Mereka juga menolak dialog yang ditawarkan Panglima ABRI. Para mahasiswa hanya mau berdialog dengan presiden.

(Media Indonesia, 1 April 1998)

Kabar penculikan para aktivis mahasiswa membuat kondisi politik pada Maret 1998 semakin panas.

Reporter: Tony Firman
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS

Sumber: Tirto.Id 

Melihat Ulang May Day: Bukan Sekedar Perayaan Namun Lebih dari Itu

*Wahyu Eka Setyawan (Editor Temporer LiSo)





Satu hari lagi bulan Mei akan datang, bulan yang menjadi simbol peringatan hari buruh sedunia. Bukan itu saja setelah tanggal satu, besoknya tanggal dua merupakan hari pendidikan nasional. Hari tersebut secara simbolik mempunyai makna tersendiri, hari yang sakral nan monumental bagi perjuangan buruh. Pengingat secara historis, di mana pada masa lampau terjadi serangkaian peristiwa yang sangat penting, yang melatarbelakangi munculnya perayaan hari buruh. 

Jikan ditilik secara historis, tanggal 1 Mei mempunyai sejarah panjang, berawal dari abad ke 19 yang merupakan periode penindasan buruh. Para buruh mulai resah, gelisah, mereka disiksa oleh para majikan. Tepatnya pada tahun 1884 buruh di Amerika Serikat melakukan tuntutan pemotongan jam kerja, karena dirasa terlampau menindas. Lalu pada akhir April 1886, sekitar 50.000 pekerja sudah melakukan aksi mogok kerja dengan cara turun ke jalan. Sebulan setelah itu, tepatnya pada satu Mei, kurang lebih sekitar 300.000 buruh yang tergabung dalam Federasi Buruh Amerika melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja di berbagai negara bagian. Puncaknya pada 3 dan 4 Mei, mereka berkumpul di Haymarket Square untuk melakukan aksi yang lebih besar, yang nantinya peristiwa tersebut akan dikenal sebagai Haymarket Martyr. Pada peristiwa tersebut terjadi kerusuhan besar, di mana para buruh mengalami represi karena melawan pabrik dan mengancam stabilitas negara. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai Haymarket Affair. (Eric Chase, 1993). 

May day di Indonesia dimaknai berbeda, karena berbarengan dengan semangat kemerdekaan. Dalam artikel yang ditulis oleh Djafar Surjomenggolo di Majalah Sedane, ada yang menarik terkait makna perjuangan buruh di Indonesia. Di artikel tersebut salah satu paragraf membahas terkait buku-buku lawas yang berkaitan dengan pemaknaan May Day. 

Perayaan resmi May Day di Indonesia pasca kemerdekaan, diawali pada tahun 1946 tepat setahun setelah memproklamirkan kemerdekaan,  sebelumnya  pada 1 Mei 1918 di Surabaya juga pernah dirayakan oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan. Acara tersebut juga dihadiri oleh Sneevliet dan Baars dari ISDV, sebagai salah satu organisasi yang menjadi garda depan pengorganisiran kaum buruh saat itu (Fajar Riadi, 2013). Kabinet II yang dikomandoi Sjahrir, kemudian menetapkan satu Mei sebagai perayaan dan refleksi kemenangan para buruh. Sebuah peringatan monumental, hingga sekolah-sekolah dan kantor diliburkan untuk menghormati perjuangan kaum buruh. Menurut Sjahrir bahwa perayaan hari buruh, merupakan kewajiban negara untuk menghormati perjuangan buruh dalam kemerdekaan. 

Namun tidak hanya sekedar perayaan, May Day mempunyai makna yang lebih dari itu. Menurut Sandra sebagaimana dikutip Djafar (2017) dalam bukunya 1 mei dan revolusi nasional, mengemukakan jika arti penting May Day dalam perjuangan gerakan buruh kemerdekaan Indonesia yang masih dimaknai sebagai bangsa Timur yang terjajah, di masa-masa penjajahan Belanda dan pasca proklamasi. Menurut Sandra, tugas buruh melampaui tugas-tugas kebangsaan, dia berpendapat bahwa: 

"Begitoelah maka penderitaan proletar Timoer di dalam hakekatnja setali tiga oeang dengan kawan2nja proletar pada masa abad 18 atau 19. Kenjataan inipoen djoega diketahoei oleh proletar di Timoer. Mereka ini moelai insjaf bahwa sebagai proletar soedah boekan lagi ia menganoet kefahaman kebangsaan, tetapi kefahaman tjita2 jang mendjadi sendi perdjoangan. Lebih2 ketika mereka mengenal 1 Mei sebagai lambang kemenangan kaoem proletar atas kaoem kapitalis" (Sandra, 1947; 37 dalam Djafar Surjomenggolo, 2017). 

Berbeda dengan pandangan Adisoemarto dari Sobsi, yang menulis sebuah buku berjudul “Revoloesi Nasional dan 1 Mei.” Dalam pernyataannya, Sobsi melihat jika perjuangan buruh harus menyokong kemerdekaan Indonesia, walaupun tujuan utama bukan hal itu saja. Tapi perjuangan buruh lebih meluas untuk membebaskan kaum pekerja. Kemerdekaan adalah jalan menuju revolusi sosial, sebagai dasar berpijak kemerdekaan politik untuk menuju kemenangan kaum buruh dan tani. Adisoemarto kemudian mengemukakan jika: 

"Kemerdekaan politik sadja tidak tjoekoep bagi massa pekerdja di pabrik dan di sawah bagi boeroeh dan tani. Mereka meminta keringan hidoepnja, beloem lagi mereka meminta kebebasan, sebab kebebasan hanja dapat tertjapai dalam revoloesi sosial, dalam masjarakat jang sosialistis. Peroet tidak haroes kerontjongan lagi. Roemah tidak lagi matjam kombong ajam. Pakaian tidak lagi goni dan tjompang-tjamping. Anak-anak mereka haroes bersekolah. Oepah bekerdja bersesoeaian dengan keboetoehan hidoep. Pendek kata kita haroes mendjalankan politik-kemakmoeran bagi mereka jang bekerdja keras jaitoe boeroeh dan tani" (Adisoemarta, 1947: 10, dalam Djafar Surjomenggolo, 2017). 

Refleksi May Day 

Perjuangan panjang para buruh dalam memperjuangkan haknya, sekarang mulai bergeser. Masih banyak yang nyinyir dengan gerakan kaum buruh, yang menjadi objek eksploitasi kerja guna mendapatkan untung lebih. Dari era fordisme klasik hingga Pos Fordisme dengan hadirnya mesin-mesin tangguh, sampai pada konteks rasionalisasi kerja. Di mana ada pengurangan pekerja, beban produksi namun meningkatkan produksinya lebih banyak lagi sesuai permintaan pasar. Sehingga eksploitasi atas buruh yang oleh Orde Baru dipisah secara makna, dengan menggunakan istilah pekerja dan karyawan, kemudian menciptakan segregasi di sektor buruh yang mengakibatkan konflik horizontal. 

Akibat dari hal tersebut munculah hirarki di antara buruh sendiri. Pakem-pakem yang berkembang pasca mutakhirnya teknologi, yang digunakan untuk meringankan beban buruh. Nyatanya semakin menekan buruh, mereka dipaksa bekerja ekstra dengan meningkatnya produksi. Kehilanggan waktu luang, karena mayoritas waktu kerja yang dominan. Hingga meningkatnya cadangan angkatan kerja, yang membuat buruh mau tidak mau harus patuh pada perusahaan. Karena ancaman pengurangan, dengan berbagai dalih seperti defisit keuangan, menuju bangkrut hingga efisiensi. Secara hak manusia mereka telah dikekang, karena tidak ada pilihan lain ketika mengekspresikan keinginannya perihal hak-hak normatif sebagai buruh (Lebowitz, 2009). 

Beberapa kasus, paradigma masyarakat mulai berubah. Hegemoni budaya Orde Baru ditambah injeksi pengetahuan “liberal (kompetisi) seringkali menggunakan logika perbandingan, yang pada intinya pemodal lebih mulia daripada pekerjanya. Logika tersebut bebasiskan sebuah realitas yang terkonstruksikan, sebagai bagian dari “Penciptaan dunia semu.” Seperti mereka melihat jika urusan “ekonomi-usaha-buruh” hanya karena persoalan "modal" dan kepemilikan "alat kerja.” Salah satu aspek yang mempengaruhi perspektif semacam itu, karena adanya sebuah kondisi di mana situasi ekonomi sedang pelik. Dampaknya kondisi tersebut turut menjadi sebuah hegemoni (dari manusia ke manusia lainnya, secara horizontal) yang bertujuan mempertahankan status quo, dengan menghilangkan akal sehat manusia sebagai mahkluk sosial. Karena di era kekinian, semua diukur oleh untung dan rugi ketika ingin turut bersuara, namun mereka yang nyinyir biasanya mengalami ambivalensi. Sebagai contoh, ketika mereka “karyawan/pekerja” turut berbahagia jika upah naik dan jam kerja berkurang, tapi selalu nyinyir ketika ada sesama “yang diupah” protes mengenai hak-hak normatifnya. 

Sebenarnya bukan tanpa sebab hal tersebut menjadi sebuah fenomena sosial yang menyakitkan. Karena stigma akan gerakan buruh selalu diidentikan dengan hal yang merugikan, tidak sadar realitas alias tak tahu diri. Belum lagi masih terpecah belahnya gerakan buruh, turut mempengaruhi upaya mereka dalam diseminasi pengetahuan, seperti menjelaskan terkait polemik yang terjadi, mengapa mereka demonstrasi, kenapa meminta kenaikan upah dan apa yang diharapkan ke depan. Sehingga muncul bias pemaknaan, yang berakibat stigma tersebut. Semua itu karena problem serikat-serikat yang elitis, buruh yang tidak mendapatkan pendidikan dari serikatnya, hingga persolan hegemoni kultural Orde Baru yang masih melekat hingga mengakar kuat. 

Salah satu aspek yang memunculkan problem kompleks dari upaya “perjuangan keadilan,” Ialah adanya kekerasan budaya pasca 65. Orde baru pada tahun 1967 benar-benar melarang May Day karena dalih bertendensi kiri menjurus komunis. Stigma buruh sebagai sesuatu yang merugikan merupakan, produk budaya orba yang cukup mendarah daging hingga sekarang. Mulai dari pelarangan budaya, pembatasan ilmu pengetahuan dan represi dalam bidang pendidikan. Merupakan cara-cara penetrasi konstruksi budaya yang inklusif, yang sekarang kita rasakan bersama. 

Problematika mengenai kompleksitas persoalan buruh dalam upaya memperjuangkan haknya, juga menyisir gerakan lainnya seperti gerakan tani, nelayan dan lain sebagainya, walaupun konteksnya berbeda namun secara esensial masih sama. Jika ditelisik lebih lanjut, strategi Orde Baru salah satunya dengan siasat dikotomi kelas, benar-benar mengcengkramkan hegemoninya begitu masif demi mempertahankan status quo. 

Maka oleh karena itu May Day bukan sekedar perayaan dan penuntutan hak. Namun sebagai upaya peruntuhan dominasi kekuasaan, dengan melakukan melihat kembali secara historis mengapa perayaan ini lahir. May Day juga sebagai budaya tanding untuk melepaskan dari cengkraman hegemoni kultural Orde Baru yang menjadi salah satu aspek problem perjuangan menggapai keadilan. 

Selain itu momentum perayaan May Day, sudah seharusnya didefinisikan ulang agar tak terjebak dalam romantisme. Upaya-upaya seperti membentuk persatuan untuk menyebarkan pengetahuan secara masif merupakan salah satu urgensi saat ini. Tentu hal tersebut sebagai salah satu rangkaian demi menuju persatuan guna membangun kekuatan politik alternatif, untuk mengembalikan demokrasi langsung yang partisipatif agar kelak diskursus “perjuangan merebut keadikan” dapat terealisasikan.

Referensi

Djafar Surjomenggolo. 2017. Bagaimana 1 Mei Dirayakan pada Masa Lalu: Studi Perayaan Hari Buruh. Diakses dari http://majalahsedane.org/bagaimana-1-mei-dirayakan-pada-masa-lalu-studi-perayaan-hari-buruh-1946-1947-2/).

Eric Chase. 1993. Origins of May Day. Diakses dari http://www.iww.org/history/library/misc/origins_of_mayday)  
Michael A. Lebowitz. 2009. The Path to Human Development: Capitalism or Socialism. Diakses dari https://monthlyreview.org/2009/02/01/the-path-to-human-development-capitalism-or-socialism/

Sumber: Lisounair