Senin, 16 April 2018

JFK Dibunuh, Sukarno Lengser, Freeport ‘pun Deal!

16 April 2018


“Kennedy berpikiran progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami, dia mengerti. Dia setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup, tentu kedua negara tak akan berseberangan sejauh ini,” kata Sukarno dalam oto-biografinya yang ditulis Cindy Adams mengenang kematian John Fitzgerald Kennedy (JFK), Presiden Amerika Serikat (AS) ke-35 yang tewas ditembak pada 22 November 1963.
JFK memang salah satu sahabat dekat Sukarno. Kedua pemimpin ini cocok bergaul. Lantaran itu pula hubungan Indonesia dan AS membaik setelah sempat renggang pada masa Presiden Eisenhower.
Saat Sukarno datang ke AS, Kennedy menyambutnya dengan hangat dan memberinya helicopter sebagai kenang-kenangan. Kennedy ‘pun berjanji akan mengunjungi Indonesia pada 1964. Merespon itu, Sukarno bahkan membangun sebuah paviliun khusus di Istana Negara untuk menjadi tempat Kennedy menginap saat di Jakarta. Sayang, Kennedy tak pernah menempati bangunan itu, karena buru-buru ditembak.
Sebagian pihak menilai pembunuhan Kennedy penuh nuansa politis. Adakah pula termasuk politik penggalian emas PT Freeport?
Lisa Pease membeberkan dalam artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” di Majalah Probe 1996. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC.
Freeport ternyata sudah lama mengincar Papua. Tahun 1959, Perusahaan Freeport Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Dalam artikel itu, disebut berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah kondisi perusahaan yang terancam hancur itu pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur menemui Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Gruisen bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali, tinggal meraup, karena berada di atas tanah.
Wilson tertarik dan mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi emas! Ya, dia menemukan gunung emas di Papua.
Tahun 1960, suasana di Papua tegang. Sukarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi militer yang diberi nama Trikora. Freeport yang mau menjalin kerjasama dengan Belanda lewat East Borneo Company pun belingsatan. Kalau Papua jatuh ke Indonesia bisa runyam urusannya. Mereka jelas tak mau kehilangan gunung emas itu.
Wilson disebutkan berusaha meminta bantuan JFK. Tapi, tentu Presiden AS itu malah kelihatan mendukung Sukarno. JFK pula yang mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan pemerintah Belanda agar tak mempertahankan Papua. JFK juga yang mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.
Kontrak Freeport pun buyar. Apalagi Sukarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki mereka di Papua. Pada perusahaan minyak asing yang sudah kadung beroperasi di Riau,Sukarno meminta jatah 60 persen untuk rakyat Indonesia.
Kekesalan mereka bertambah, JFK akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.
Sebutir peluru menghentikan langkah JFK. Kebijakan pengganti JFK langsung bertolak belakang. Indonesia pun makin jauh dari AS dan semakin mesra dengan Blok Timur yang bernuansa komunis.
Tragedi September 1965 menghancurkan Sukarno. Dia yang keras menolak modal asing, digantikan Soeharto.
Setelah dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Sukarno.
Kalau JFK dan Soekarno masih ada, tak akan ada Freeport di Papua. (Sumber: Merdeka.com/Gambarsulaimandjaya.blogspot.com)
Source: SejarahRI 

0 komentar:

Posting Komentar