Rabu, 25 April 2018

Ode Untuk Eyang Sri

April 25, 2018 | Febriana Firdaus






Nawala ini saya tulis sekitar dua jam setelah saya menerima kabar bahwa Sri Sulistyawati, atau yang lebih dikenal sebagai Eyang Sri, meninggalkan kita semua di umur 78 tahun. Ia memang sudah jatuh sakit sejak awal Maret lalu.  
Siapakah Eyang Sri? Saya pertama kali bertemu eyang Sri itu pada 2016. Eyang Sri dikenal khalayak umum setelah pada Simposium Nasional 1965 —sebuah acara diskusi yang difasilitasi pemerintah untuk korban dan pelaku tragedi 1965—di Jakarta pada 18 April 2016, Ia memegang mikrofon dan berbicara dengan lantang tentang sejarah paling gelap di negeri ini: Pembantaian massal 1965: 
“Bukan jumlah korban, tapi kebiadaban cara membunuh berapa manusia yang tidak bersalah, dikubur hidup-hidup,” ujarnya. Hadirin pun bertepuk tangan.  
Saya beruntung pernah mewawancarainya dan mengenalnya lebih dekat seperti nenek saya sendiri. Eyang memang akrab dengan semua orang, terutama anak muda. 
Eyang adalah satu dari jutaan korban peristiwa 1965 yang nyaris tidak diakui oleh negara. 
Eyang sendiri adalah seorang mantan wartawan di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh Indonesia milik PNI, yang dipimpin Sukarno. Sukarno melirik bakatnya dan memintanya untuk meliput di Istana Negara.  
Tapi hidup eyang berubah. Puncaknya 1 Okt 65, tersiar kabar kudeta di Jakarta. Singkatnya eyang ditangkap oleh pasukan Batalion Lintas Udara 18 di Blitar, Jawa Timur pada 18 Juli 68. 
Kehidupan yang sunyi dari satu penjara ke penjara lain pun dilaluinya. Penjara pertama yang ia huni terletak Suruhwadang, Blitar, kemudian Lodoyo.  
Saat dipenjara, Ia mengalami penyiksaaan. Ia pernah ditindih dengan bangku kayu dari bahan jati. Ia terkapar dan kritis. 
Ia kemudian dipindah lagi ke LP Wanita di Malang. Di situlah ia ditanya tentang Lubang Buaya.  
Ia kemudian dipindah ke Posko Gang Buntu di Kebayoran Lama. Selama tiga minggu, ia dicecar dengan pertanyaan yang sama, tentang Lubang Buaya. Karena tak bisa menjawab, giginya pun disetrum. 
Pada malam hari, penyiksaan pun tak berhenti. Ia dibiarkan tidur tanpa alas, bantal, apalagi selimut. 
Eyang akhirnya menghirup udara bebas pada 1979. 
Hidup di luar penjara ternyata juga tak mudah. Eyang dan tapol lainnya mengalami diskriminasi, KTP mereka ditandai dengan ‘ET’ alias eks tapol. Meski pada akhirnya tanda itu akhirnya dihapus oleh pemerintah.  
Belum lagi penolakan keluarga. Banyak korban sebayanya yang tak diterima keluarga setelah keluar dari penjara. Mereka kemudian memilih untuk memulai hidup sendiri dan menyimpan rasa sedih karena penolakan itu. Beberapa menua di panti asuhan dan memendam rindu untuk dijenguk keluarga. 
Yang paling membuat saya sedih adalah Eyang masih mengalami peristiwa ‘horor’ meski penguasa Orde Baru telah tumbang 20 tahun yang lalu. Yakni ketika LBH Jakarta diserang pada Oktober 2017 lalu, ia ada di dalam gedung. Namanya sempat dimasukkan dalam daftar ‘antek-antek PKI’ oleh, tentu saja, orang-orang yang tidak bertanggungjawab. 
Perihal itu, ia berkata pada saya, “Eyang sudah biasa diperlakukan demikian,” katanya. 
Beberapa pekan lalu, saat Eyang sakit, Ingat65 sempat menjenguknya. Kami bahagia, Eyang pernah bagian dari keluarga ini. 
Semoga Eyang Sri akan dikenang oleh anak-anak muda seusia kita. Karena lewat kisahnya, kita bisa lebih memahami tentang sejarah bangsa kita yang paling kelam.  
Sejarah bisa ditulis oleh pemenang, dalam hal ini Orde Baru, tapi sejarah akan menemukan jalannya sendiri lewat membaca buku, pengalaman, atau sosok-sosok seperti Eyang Sri. 
Seperti yang dialami oleh penulis kita pekan ini, Bagas Yusuf Kausan. Meski ia memulai belajar tentang tragedi 1965 dari buku produk Orde Baru, tapi toh akhirnya ia menemukan jalan yang terang.  
Untuk pembaca dan teman-teman penulis Ingat65, Kami mohon doanya untuk Eyang Sri. Semoga Eyang dapat beristirahat dengan tenang. 
Rest in power, Eyang..


Febriana Firdaus 
Editor Ingat65 

Sumber: Ingat'65 

0 komentar:

Posting Komentar