Jumat, 20 April 2018

Perspektif Dunia 2018 - Bagian III

Jumat, 20 April 2018


Rusia
GettyImages 489129346.0.0
Gejolak di Ukraina dan aneksasi Krimea memiliki pengaruh signifikan pada seluruh spektrum politik Rusia. Tetapi euforia nasionalis pada 2014, ketika popularitas Putin mencapai 84%, telah perlahan-lahan kempes. Jatuhnya harga minyak dan juga sanksi ekonomi Barat (dalam tingkatan lebih rendah) telah melemahkan nilai mata uang Rusia dan menyebabkan inflasi 13% pada 2015.
Tingkat suku bunga Bank Sentral yang tinggi, serta sanksi-sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Barat, telah memukul sektor finansial dengan sangat serius, yang mengakibatkan bangkrutnya lusinan bank. Menghadapi situasi ini pemerintah menggunakan cadangan keuangan mereka untuk mendukung kelompok-kelompok finans dan industri terbesar yang punya hubungan dekat dengan negara, yang mengakibatkan konsentrasi kapital lebih lanjut.
Di lain pihak, pemerintah menggunakan kebijakan administratif untuk memerangi pengangguran, dengan melarang pemecatan massal. Untuk mengurangi defisit anggaran, sejumlah kebijakan yang sangat efektif diperkenalkan, yang ditujukan untuk mengurangi korupsi dan penghindaran pajak. Kebijakan ini terutama memukul lapisan borjuis kecil dan menengah, terutama perusahaan-perusahaan keluarga kecil seperti para pemilik truk dan jasa pengiriman.
Selain alasan ekonomi murni, Putin juga merespons mood protes di antara strata menengah di kota-kota besar dimana dia paling tidak populer. Di sini, Putin bertindak dengan prinsip “untuk sahabat saya semuanya diperbolehkan – untuk musuh saya, kekuatan penuh hukum.”
Pada saat yang sama, reforma sistem pendidikan tinggi juga diimplementasikan, yang memperburuk posisi para guru dan pengajar yang Putin anggap tidak loyal. Dengan cara ini Putin mampu mempertahankan dukungan dari lapisannya sendiri, dari antara para pensiunan, dan pekerja gaji-rendah dengan mengorbankan lapisan kelas menengah di kota-kota besar. Kekecewaan dari lapisan kelas menengah ini menemukan ekspresi politiknya lewat seorang demagog borjuis, Alexei Navalny.
Setelah 2014, semua partai parlementer, termasuk Partai Komunis Federasi Rusia (CPRF), mengadopsi posisi mendukung Putin sepenuhnya, mendukung semua RUU yang diajukan pemerintah. Tentu saja ini tidak meningkatkan popularitas CPRF. Selama sepuluh tahun CPRF terus dalam krisis. Ada pemburuan permanen dimana orang-orang dipecat dengan tuduhan fitnah “Trotskisme”, walaupun mereka semua adalah pendukung setia Zyuganov [ketua CPRF].
Keanggotaan CPRF di Moskow, St. Petersburg,  dan kota-kota besar lainnya jatuh sebesar dua pertiga. Ini menciptakan vakum dalam gerakan oposisi terhadap Putin, yang lalu diisi oleh Navalny. Dia adalah seorang demagog tipikal, yang mencitrakan dirinya sebagai “pemimpin wong cilik”, dan mengkopi tradisi Amerika. Tetapi dia berbeda dengan kaum oposisi lainnya. Basis kampanyenya adalah penggunaan media sosial dan terutama YouTube, dimana dia mengunggah video-video mengenai korupsi di jajaran petinggi pemerintah.
Navalny sendiri telah dirampas haknya untuk ikut pilpres karena dua tuduhan korupsi. Sekali-sekali Navalny menyerukan para pendukungnya untuk turun ke jalan. Skala mobilisasi ini sekitar 100 ribu orang yang tersebar di kota-kota besar. Kebanyakan adalah kaum muda, yang tertarik pada keteguhan Navalny dan talentanya dalam menggunakan media sosial.
Selama satu tahun terakhir, Putin berhasil membendung inflasi, dan secara umum menanggulangi krisis, setidaknya untuk sementara. Akan tetapi, dengan harga minyak hari ini, defisit anggaran Rusia tetap tinggi dan dalam 2-5 tahun cadangan uangnya akan habis, sementara peluang Rusia untuk meminjam uang minimal. Bila harga minyak tetap rendah selama tiga atau empat tahun ke depan, seluruh situasi ini dapat berbalik.
Bila momen ini tiba, Putin (yang jelas akan terpilih kembali menjadi presiden) akan menghadapi problem serius. Pemerintah tidak akan lagi bisa menyelesaikan masalah defisit anggaran tanpa memotong pengeluaran publik. Pada momen ini popularitasnya akan menguap dengan cepat. Inilah mengapa Putin menggunakan setiap kesempatan yang ada sekarang untuk memperketat kendalinya terhadap internet, dan menerapkan berbagai restriksi terhadap kebebasan berpendapat dan hak-hak demokratik lainnya.
Untuk sementara waktu Putin masih punya ruang untuk bermanuver. Dia dapat menghindari kebijakan pengetatan atau menurunkan secara drastis taraf hidup rakyat. Inilah mengapa kubu oposisi masih belum berhasil memobilisasi elemen-elemen proletariat.
Pada tahapan ini, yang berpartisipasi secara terbuka di jalan-jalan kebanyakan adalah kelas menengah dan borjuis kecil. Walaupun Navalny telah mengedepankan tuntutan meningkatkan upah minimum, dia belum berhasil membangun koneksi dengan masalah-masalah sosial. Ada batas seberapa jauh kubu oposisi dapat berhasil menang di atas basis tuntutan demokratik dan pemberantasan korupsi.
Kendati demikian, banyak kaum muda yang telah bergabung dengan kubu oposisi, terutama pelajar dan mahasiswa. Mereka telah turun ke jalan dengan jumlah signifikan. Ini adalah perkembangan penting. Sejarah Rusia menunjukkan bahwa terbangunnya kaum muda adalah antisipasi gerakan kelas buruh di masa depan. “Angin selalu menggoyangkan ranting-ranting atas pohon terlebih dahulu.”

Eropa Timur dan Balkan
slovaks april 2017resize
Kebangkitan nasionalisme sayap-kanan dan retorika anti-imigrasi di Eropa Timur adalah usaha pemerintah untuk mengalihkan perhatian massa dari kesulitan yang terus tumbuh karena taraf hidup rendah dan beban krisis kapitalis yang diderita oleh massa rakyat, dalam situasi dimana kelas buruh masih belum memasuki arena perjuangan secara menentukan.
Tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi, relatif dibandingkan dengan negeri-negeri Eropa Barat, menutupi realitas eksploitasi ekstrem yang dialami oleh kelas buruh bertalenta di bawah rejim upah murah, yang dipaksakan untuk memaksimalkan profit kapitalis dan investasi asing. Studi termutakhir dari Institut Serikat Buruh Eropa (“Mengapa Eropa sentral dan timur membutuhkan kenaikan upah”) menunjukkan perbedaan upah antara Eropa Barat dan Timur, yang sampai pada 2008 perlahan-lahan menyempit, tetapi telah meningkat kembali selama 10 tahun terakhir.
Sebagai konsekuensinya, ada tanda-tanda radikalisasi di antara kaum muda, yang gejala pertamanya adalah mobilisasi melawan korupsi di sejumlah negeri, yang merefleksikan sikap penolakan yang semakin besar terhadap seluruh tatanan. Seksi-seksi kunci kelas buruh juga telah mulai bergerak – dalam banyak kasus untuk pertama kalinya sejak runtuhnya rejim Stalinis – dan melakukan pemogokan-pemogokan penting demi kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.
Di Slovakia, ratusan ribu pelajar demo pada April 2017 menuntut turunnya Perdana Menteri Robert Fico yang terlibat korupsi. Ini disusul dengan pemogokan besar 12 ribu buruh di tiga pabrik mobil VW di Bratislava pada Juni, yang memenangkan kenaikan upah 14%. Kenaikan upah sebesar 7% juga diberikan pada buruh pabrik mobil KIA dan Peugeot untuk mencegah pemogokan, karena khawatir gerakan ini akan menyebar.
Kita juga saksikan gerakan-gerakan penting yang menentang kebijakan reaksioner. Di Polandia, serangan yang diluncurkan oleh pemerintah kanan di sana terhadap apa yang tersisa dari hak aborsi memercikkan gerakan Protes Hitam dari puluhan ribu kaum perempuan pada Oktober 2016, yang memaksa pemerintah untuk mundur.
Di wilayah bekas Yugoslavia, proses radikalisasi lebih maju. Ada mood penolakan terhadap rejim borjuis reaksioner yang korup di antara kaum muda dan kelas buruh, yang jelas terekspresikan dalam gerakan insureksioner pada Februari 2014 di Bosnia. Selama satu tahun terakhir ada sejumlah pemogokan penting. Pemogokan penuh 2.400 buruh pabrik FIAT di Kragujevac pada Juli 2017 adalah yang paling signifikan dari sejumlah pemogokan radikal di pabrik-pabrik yang lebih kecil. Serangkaian pemogokan dan protes juga dilakukan oleh buruh rel kereta api di Bosnia.
Gerakan protes kaum muda terhadap kemenangan Vucic di pilpres Serbia pada April 2017, walaupun didominasi oleh ilusi borjuis kecil, telah mengungkapkan semakin banyaknya kaum muda yang terbuka pada gagasan revolusioner. Potensi bagi kaum Marxis Yugoslavia ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mereka memainkan peran kepemimpinan di gerakan protes di Novi Sad.

Amerika Latin
Kekalahan elektoral Kirchner di Argentina, kekalahan PSUV di pemilu Majelis Nasional di Venezuela, kekalahan Evo Morales dalam referendum di Bolivia dan dipecatnya Dilma di Brasil telah membuat putus asa dan patah semangat kaum reformis dan kaum intelektual “progresif” di Amerika Latin. Mereka berbicara mengenai “gelombang konservatif” dan bangkitnya kontra-revolusi, tanpa memahami proses yang sesungguhnya sedang bergulir.
Selama 10 sampai 15 tahun terakhir, mayoritas Amerika Selamat mengalami gelombang revolusioner, yang melanda berbagai negeri dengan intensitas yang berbeda-beda. Chavez terpilih di Venezuela pada 1998 dan peristiwa revolusioner dengan dikalahkannya kudeta reaksioner pada April 2002 dan perjuangan melawan lockout pada Desember 2002-Januari 2003; Argentinazo pada 2001; pemberontakan di Ekuador pada 2000 menumbangkan Mahuad, lalu menumbangkan Lucio Gutierrez pada 2005, yang mengarah ke terpilihnya Correa pada 2016. Di Bolivia ada “perang air” Cochabamba pada 1999-2000 dan kemudian pemberontakan Perang Gas pada Oktober 2003 dan Juni 2005, yang mengarah pada terpilihnya Evo Morales. Di Peru ada pemberontakan Arequipazo di selatan pada 2002.
Kita juga bisa menambahkan gerakan masif melawan kecurangan pemilu di Meksiko pada 2006 dan gerakan komune Oaxaca pada tahun yang sama; gerakan pelajar Chile; mobilisasi massa melawan kudeta di Honduras pada 2009; dan bahkan terpilihnya Lula di Brasil pada 2002, yang walaupun bukan sebuah peristiwa revolusioner tetapi merefleksikan kehendak massa akan perubahan fundamental.
Sebagai hasil sampingan dari gerakan buruh (dan di sejumlah negeri juga gerakan massa tani) yang besar ini kita saksikan munculnya pemerintah-pemerintah yang secara umum “progresif” atau “revolusioner”. Jelas mereka berbeda satu sama lain. Misalnya, Chavez, dengan cara yang bingung, meraba-raba untuk maju menuju perubahan revolusioner, sementara EvoMorales, Correa dan Kirchner di Argentina berusaha mengembalikan ketertiban setelah masuknya massa ke arena politik, dan Lula dan Dilma adalah reformis yang ketika berkuasa lalu meluncurkan program kontra-reforma. Kaum Kiri di El Salvador hampir tidak punya ruang untuk bermanuver dan mulai membatalkan sejumlah reforma kecil mereka, yang lalu membuat massa kecewa dengan FMLN. Mood kekecewaan ini lalu digunakan oleh gubernur San Salvador, Nayib Bukele, yang telah dipecat dari FMLN dan mendapat simpati luas di antara kaum muda.
Akan tetapi, semua rejim ini menikmati kestabilan pada tingkatan tertentu untuk waktu yang lama. Secara parsial ini karena kekuatan gerakan massa, yang tidak dapat dikalahkan oleh kelas penguasa dalam konfrontasi langsung (kudeta 2002 di Venezuela, 2008 di Bolivia dan 2010 di Ekuador dikalahkan oleh rakyat). Di atas segalanya, rejim-rejim ini diuntungkan oleh harga bahan mentah dan minyak yang tinggi yang mengizinkan mereka untuk meluncurkan sejumlah program sosial dan menghindari benturan langsung dengan massa.
Didorong oleh pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, harga bahan-bahan mentah naik dari tahun 2003 hingga 2010. Harga minyak bumi naik dari $40 per barel ke $100. Gas alam yang sebelumnya $3/MMBtu naik menjadi sekitar $8-18. Kacang kedelai melonjak dari $4 hingga memuncak ke $17/bu. Zinc (seng) melonjak dari titik rendah $750/mt sampai ke rekor tinggi $4600, tembaga dari $0.60 per pon ke $4.50 dan timah dari $3700/mt ke $33000/mt.
Boom harga komoditas dan energi yang memberi rejim-rejim ini ruang untuk bermanuver berakhir dan mendorong wilayah ini ke resesi pada 2014-15. Inilah akar ekonomi yang menyebabkan kekalahan elektoral (dan kekalahan-kekalahan lainnya) dari rejim-rejim ini, yang sejak awal beroperasi dalam batas-batas kapitalisme.
Dengan bangkitnya Revolusi Venezuela, perekonomian Kuba mendapat sedikit ruang bernapas. Ini telah berakhir. Perekonomian Kuba masih berdasarkan ekonomi terencana, tetapi reforma-reforma yang telah diperkenalkan telah membuka ruang yang lebih besar bagi perekonomian kapitalis, dengan memperbolehkan bisnis-bisnis kecil dan juga mencoba menarik investasi swasta skala besar. Tujuannya adalah meningkatkan produktivitas dengan menggunakan metode kapitalis tanpa memperkenalkan kebijakan kontrol buruh apapun. Bahkan hari ini banyak pencapaian sosial Revolusi Kuba masih bertahan, tetapi cakupannya semakin mengecil dan kualitasnya memburuk. Ada diferensiasi sosial yang semakin membesar. Ini sangatlah berbahaya. Tahun ini akan ada pemilu dimana untuk pertama kalinya posisi presiden tidak akan diisi oleh Castro bersaudara, atau tokoh dari kepemimpinan historis Revolusi Kuba. Kita akan saksikan benturan dan tekanan dari elemen kapitalis sayap kanan, dari internal maupun asing, dan juga respons dari sisi yang lain, dari mereka-mereka yang tidak diuntungkan oleh reforma-reforma ini dan ingin mempertahankan revolusi sosialis.
Kendati keluh kesah menyedihkan dari kaum “Kiri” Amerika Latin, kalahnya Kirchner di Argentina dan Dilma di Brasil bukanlah disebabkan oleh “pergeseran ke kanan”. Naiknya Temer dan Macri ke tampuk kekuasaan telah disambut dengan gerakan protes yang masif oleh kelas buruh, yang melawan serangan dari kaum sayap kanan ini. Periode yang sedang kita masuki bukanlah periode perdamaian sosial dan stabilisasi kapitalis, tetapi periode kontradiksi yang semakin menajam dan meningkatnya perjuangan kelas. Ini telah dibuktikan dengan gerakan insureksioner di Honduras setelah pemilu 2017. Sebelumnya, di Guatemala, konflik antar-borjuasi membuat jalan untuk mobilisasi massa kaum muda, organisasi tani dan kelas buruh. Proses ini belum selesai. Pada 2017, kita saksikan pemogokan umum menuntut mundurnya presiden Jimmy Morales dan 107 anggota DPR. Negeri-negeri lain akan menyusul, seperti Meksiko yang akan menyelenggarakan pilpres tahun ini, sebuah peristiwa yang akan digunakan oleh massa untuk mengekspresikan perasaan muak dan letih mereka terhadap kapitalisme.

Venezuela
Venezuela57c9c4075124c9e04142d777 750 519
Usaha oligarki Venezuela, dengan dukungan imperialisme, untuk menumbangkan pemerintahan Maduro tampaknya sudah dipatahkan untuk sekarang. Kesalahan dan kebimbangan kepemimpinan oposisi, dan juga reaksi massa yang turun dalam jumlah besar selama pemilu Majelis Konstituante pada Juli 2017, menghentikan untuk sementara serangan kubu oposisi pada paruh pertama tahun 2017. Tetapi ini tidak mengubah apapun secara fundamental, dalam hal krisis ekonomi atau kebijakan pemerintah.
Venezuela masih terjerat oleh resesi mendalam, dengan hiperinflasi dan cadangan mata uang asing yang semakin menipis, dan ini memiliki pengaruh negatif terhadap taraf hidup massa. Imperialisme terus memperketat cengkeraman mereka dengan sanksi-sanksi ekonomi. Pemerintah meneruskan kebijakan memberi konsesi pada kapitalis dan bernegosiasi dengan para perwakilan politik kubu oposisi. Satu-satunya tujuan mereka adalah terus berkuasa. Kekalahan serangan oposisi telah membuka pintu untuk diferensiasi internal dalam gerakan Bolivarian. Ada demo-demo buruh dan munculnya kandidat kiri yang menantang kandidat resmi di pilkada-pilkada.
Posisi kita jelas: kita menentang penumbangan pemerintah Maduro yang didorong oleh kubu oposisi, karena ini akan menjadi bencana bagi massa. Pada saat yang sama kita tidak dapat mendukung kebijakan pemerintahan Maduro, yang membawa kita langsung ke bencana dan kekalahan bagi revolusi Bolivarian.
Ada mood kritis terhadap kepemimpinan Bolivarian yang semakin berkembang, dan kepemimpinan Bolivarian hari ini tidak memiliki otoritas yang sama seperti Chavez. Keputusan Eduardo Saman, seorang mantan menteri yang mendukung kontrol buruh dan menentang korporasi kapitalis besar, untuk maju sebagai kandidat dalam pilkada pada Desember 2017 adalah indikasi jelas akan perubahan mood ini.
Walaupun jelas kalau birokrasi akan menyabot kampanyenya Saman, ini tetap merupakan titik balik yang membuka peluang baru bagi tendensi Marxis di Venezuela.

India dan Pakistan
pakistanmaxresdefault
Narendra Modi naik ke tampuk kekuasaan pada 2014 di atas basis kekecewaan luas massa pekerja dan juga selapisan borjuasi terhadap Partai Kongres. Tetapi Modi belum mampu memuaskan kekuatan-kekuatan yang mendorongnya ke tampuk kekuasaan. Usaha demonetisasi [usaha menarik pecahan uang tertinggi] dan reforma pajak jual diarahkan untuk memfasilitasi bisnis, tetapi mereka justru semakin memperlemah ekonomi, yang jatuh dari tingkat pertumbuhan 9% menjadi 7% pada 2017.
Periode singkat pertumbuhan tinggi pada 2014-2016 telah disusul dengan perlambatan cepat. Bahkan selama periode pertumbuhan, tingkat pengangguran meningkat dan Modi meluncurkan serangkaian serangan terhadap gerakan buruh. Hasilnya adalah semakin menajamnya perjuangan kelas. Mahasiswa, tani dan buruh turun ke jalan. Pada September 2016 lebih dari 180 juta buruh mogok, yakni 50% lebih banyak dibandingkan pemogokan tahun lalu.
Di Kashmir juga, massa turun ke jalan dalam sebuah gerakan yang mengejutkan pemerintah, yang hanya menyurut sementara karena represi berat. Walaupun demikian, gerakan ini mempengaruhi seluruh India, terutama di antara kaum pelajar.
Modi juga telah berusaha mengalihkan perhatian rakyat dari perkembangan politik ini dengan meluncurkan kampanye sektarianisme Hindu, tetapi ini hanya bisa akan efektif sementara saja. Pada titik tertentu sektarianisme ini akan dipatahkan oleh kebangkitan kelas buruh.
Peristiwa di Pakistan dan India terikat erat satu sama lain. Kelas penguasa India dan Pakistan memiliki kepentingan yang sama dalam mempertahankan konflik antara kedua negeri ini, guna mengalihkan perhatian massa. Tetapi posisi kelas penguasa Pakistan semakin melemah.
Setelah AS menarik mundur bantuannya kepada rejim Pakistan, Tiongkok melangkah masuk. Tiongkok punya kepentingan khusus di Pakistan, sebagai sekutu dan bumper terhadap India, dan juga sebagai pangkalan operasi laut Tiongkok di Laut India. Akan tetapi investasi Tiongkok tidak menciptakan lapangan pekerjaan atau menyelesaikan kontradiksi dalam masyarakat Pakistan.
Masalah kebangsaan menjadi semakin beracun, dan di tempat-tempat seperti Baluchistan, kehadiran Tiongkok semakin memperburuk sektarianisme, yang sebenarnya adalah kedok untuk perang proksi antara kekuatan-kekuatan asing yang saling bermusuhan (Amerika, Tiongkok, Arab Saudi, Iran, dsb.) Setiap hari kebijakan reaksioner kelas penguasa terekspos di mata massa, yang membenci elite busuk yang berkuasa dan menjarah seluruh bangsa.
Di masa lalu, para pemimpin PPP (Pakistan People’sParty; Partai Rakyat Pakistan) memainkan peran menyalurkan kemarahan massa, dengan bersandar pada tradisi perjuangan pada akhir 1960an di bawah Ali Bhutto. Tetapi setelah periode panjang dalam pemerintah dan meluncurkan program pengetatan, PPP dirundung korupsi dan secara umum sudah terdiskreditkan. Ini mengizinkan Muslim League-nya Sharif untuk kembali berkuasa. Sekarang Sharif sudah terekspos di mata rakyat sebagai seorang politisi borjuis yang korup, yang tidak menawarkan apapun.
Ada pertumbuhan mood penolakan terhadap semua politisi, yang dilihat sebagai gangster yang anti-buruh dan anti-kaum miskin, dan hanya berniat melayani diri mereka sendiri. Di masa lalu, angkatan bersenjata sudah akan mengintervensi dan merebut kekuasaan, tetapi angkatan bersenjata sendiri hari ini terpecah belah dan mengalami demoralisasi. Para jenderal enggan mengemban tanggung jawab untuk membersihkan kekacauan yang ada. Dalam konteks ini kita saksikan permulaan perjuangan buruh dan kaum muda.

Afrika
87247017 87246802
Di Afrika Selatan, bertahun-tahun perjuangan kelas telah menghancurkan aliansi tripartit ANC-CPSA-COSATU [ANC adalah African National Congress, sebuah partai borjuasi kulit hitam; CPSA adalah Partai Komunis Afrika Selatan; COSATU adalah Kongres Serikat Buruh Afrika Selatan]. Gerakan pemogokan dan gerakan kaum muda di universitas telah mengarah ke lahirnya Economic Freedom Fighter (EFF, Pejuang Kemerdekaan Ekonomi) dan federasi serikat baru yang dipimpin oleh NUMSA (Serikat Nasional Buruh Metal Afrika Selatan). Walaupun gerakan ini untuk sementara menyurut, rejim yang berkuasa (pemerintahan ANC) telah terpukul secara serius oleh semua gejolak ini.
Krisis ekonomi, kemarahan massa, penjarahan kekayaan negara oleh elite-elite kulit hitam baru di sekitar Zuma dan keluarga Gupta, telah menciptakan ketidakstabilan dan melemahkan otoritas ANC. Kaum borjuasi besar, yang berkolaborasi dengan Mandela untuk menstabilkan situasi setelah peristiwa-peristiwa revolusioner pada 1980an dan 1990an, telah berbenturan dengan lapisan Orang Kaya Baru dan klik penguasa di seputar Zuma.
Di lain pihak, kelas penguasa tidak bisa mencampakkan ANC karena mereka tidak punya partai alternatif yang bisa menstabilkan situasi. Mengetahui ini, sayap Zuma telah secara serampangan menaikkan taruhan mereka dalam permainan yang berbahaya ini. Perpecahan terbuka antara dua sayap ini dan potensi perpecahan di ANC dapat memiliki konsekuensi revolusioner di negeri termaju di Afrika.
Di Nigeria, setelah ledakan perjuangan kelas yang luar biasa pada Januari 2012, pilar utama kekuasaan borjuis, yakni PDP, telah terdiskreditkan di mata massa. Inilah mengapa mereka terburu-buru membangun sebuah partai baru, APC – yang pada kenyataannya adalah fusi dari sejumlah partai kecil – dan menaruh Buhari sebagai pemimpinnya, yang mereka anggap sebagai kandidat baik untuk meraup dukungan dari massa rakyat dan dapat menghentikan proses radikalisasi.
Manuver ini berhasil karena pada pemimpin, NLC, yakni federasi serikat buruh utama di Nigeria, alih-alih membangun gerakan 2012, justru menghabiskan semua otoritas mereka untuk menghambat gerakan, sementara pada saat yang sama menolak membangun partai kelas buruh yang mandiri. Akibat absennya kepemimpinan buruh, Buhari dapat mengisi vakum ini. Tetapi kendati semua ini, tidak ada satupun masalah mendesak yang dihadapi rakyat Nigeria telah diselesaikan. Ini terekspresikan belum lama ini dalam agitasi Republik Biafran di bagian tenggara. Walaupun gerakan ini diremukkan oleh militer, ini mengungkapkan ketegangan dalam masyarakat Nigeria. Dan setelah ilusi terhadap Buhari akhirnya menguap, kita akan saksikan bangkitnya kembali perjuangan kelas dalam skala yang bahkan lebih besar.
Di Afrika Barat dan Tengah, gerakan massa melawan kaum borjuasi yang korup dan eksploitatif telah meningkat pesat selama periode terakhir. Ada gerakan-gerakan besar yang berlangsung selama periode yang panjang dan memobilisasi jutaan rakyat. Massa rakyat mengikuti dengan dekat pemberontakan heroik di Burkina Faso, sementara perekonomian negeri-negeri ini yang rapuh terhantam keras oleh krisis ekonomi global. Serangan-serangan anti-demokratik, baru-baru ini di Togo dan Kongo, menjadi batang jerami yang mematahkan punggung unta. Khususnya kaum muda melihat penindasan ini sebagai bagian dari pemerintahan yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Penderitaan yang luas di wilayah ini, dan juga peran para pemimpin oposisi borjuis yang memuakkan – yang kepentingan satu-satunya adalah menggantikan kepala rejim – mengkonfirmasikan kebenaran teori revolusi permanen dan perlunya membangun organisasi revolusioner internasional. Karena tidak adanya kepemimpinan yang teguh, setelah ledakan mobilisasi massa yang besar gerakan menyurut. Satu-satunya kesimpulan yang dapat ditarik oleh rakyat dari semua ini adalah mereka tidak boleh menaruh kepercayaan pada kepemimpinan yang lama. Teori Marxis dan organisasi revolusioner dibutuhkan untuk keluar dari kebuntuan ini.
Sumber: Militan Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar