Rabu, 18 April 2018

Nasib Keluarga Ketika Sjafruddin Prawiranegara Dipenjara

M.F. Mukthi

Politik sebabkan Sjafruddin Prawiranegara dipenjara. Persahabatan sebabkan keluarganya tak merana.



Farid Prawiranegara. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.

MENDIANG Farid Prawiranegara, putra ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sjafruddin Prawiranegara, merasakan betul besarnya rasa kemanusiaan Sukarno dan orang-orang di sekitarnya saat ayahnya ditahan.
Di masa Sukarno, kata Farid, persahabatan di atas segalanya. 
“Politik memang boleh beda. Tapi, anak-istri nggak boleh terlantar,” ujarnya kepada Historia ketika ditemui di rumahnya.
Ketika Sjafruddin ditahan akibat terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), hidup anak-istrinya memang seketika jadi susah. Rumah mereka diambil paksa, Farid dan saudara-saudaranya hidup tercerai-berai. Ada yang menumpang pada saudara atau dititipkan ke famili. Lily, istri Sjafruddin, dan dua anak terkecilnya ditampung keluarga Zainal Abidin Ahmad, ketua Fraksi Masyumi di Konstituante.
“Ibu dapat garasi sama kamar pembantu. Jadi garasi itu diubah jadi ruang tamu,” kata Farid.
Lily membiayai hidup anak-anaknya dari pemberian sahabat-sahabat Sjafruddin dan segelintir orang yang bersimpati. Banyak orang takut mendekati keluarga Sjafruddin semasa dia ditahan. Akibat ketakutan itu antara lain, Farid kesulitan mendapatkan sekolah ketika hendak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Sekolah Muhammadiyah yang –notabene dekat dengan Masyumi, partai tempat Sjafruddin berkancah– didatangi Lily bahkan tak berani menjamin bisa menerima Farid.
Persoalan itu baru bisa dipecahkan oleh persahabatan Sjafruddin dan IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik. Setelah mendapat surat Sjafruddin yang diantar langsung oleh Farid, Kasimo langsung memberi saran dan surat pengantar. 
“Kamu datang saja ke Kanisius, pasti diterima,” kata Kasimo sebagaimana disitir JB Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo. Berbekal surat itulah Farid akhirnya bisa melanjutkan sekolah di SMP Pangudi Luhur yang terletak di Jalan Brawijaya, tak jauh dari rumah Sjafruddin.
Kesulitan keluarga Sjafruddin berubah begitu dua putrinya, Salvyah dan Aisyah, mengadu kepada Waperdam Leimena dan Waperdam Soebandrio di kantor Leimena. Kedua waperdam kaget begitu mendengar kesulitan hidup keluarga Sjafruddin pasca-penahanan sang kepala keluarga. Soebandrio langsung menelepon Jusuf Muda Dalam, gubernur Bank Indonesia, agar yang menyita rumah Sjafruddin, segera mengembalikan rumah itu. Oleh Jusuf, perintah Seobandrio langsung ditindaklanjuti dengan merapikan rumah itu terlebih dulu. 
“Jadi kita masuk itu (rumah) udah dicat semua. Udah bersih,” kata Farid.
Leimena dan Soebandrio juga mengatakan kepada dua putri Sjafruddin agar datang ke rumah Leimena di Jalan Teuku Umar saban bulan untuk mengambil sembilan bahan pokok. “Ini kontribusi kita untuk bapakmu. Kita kan sama bapakmu berteman sebetulnya,” kata Leimena sebagaimana ditirukan Farid. Leimena juga berpesan, mereka mesti merahasiakan bantuan itu.
Sejak itu, keluarga Sjafruddin kelebihan bahan keperluan sehari-hari. Setiap bulan, Lily membagikan kelebihan barang-barang itu kepada keluarga tahanan politik lain macam M. Natsir dan Burhanuddin Harahap.
Meski dirahasiakan, kabar bantuan Leimena-Soebandrio itu sampai juga ke telinga Presiden Sukarno. Sambil mengutarakannya ke pengusaha Dasaad saat sarapan di Istana, Sukarno mengatakan keprihatinannya mengetahui Lily harus menggunakan bis kota untuk bepergian semenjak Sjafruddin ditahan.
“Itu Leimena sama Bandrio kasih sembilan bahan pokok sama duit. Kita kasih dua mobil ya! Anda kan dapat keagenan Mazda kotak, tolong kasih dua mobil sama Lily,” kata Sukarno sebagaimana ditirukan Farid, yang mendapat cerita itu dari Soebandrio.
Beberapa hari kemudian, Dasaad mengontak Halid, putra tertua Sjafruddin. Dia meminta Halid datang ke Rua Malaka, tempat gudang mobil Mazda berada. 
“Di Rua Malaka, mobil Mazda-nya banyak banget, (Halid –red.) suruh milih. Bingung Halid, nggak tahu milih yang mana,” kata Farid. Seorang Jepang yang ada di situ lalu memilihkan satu. “B7211 F nomornya yang pertama itu,” kenang Farid.
Sukarno tetap belum senang lantaran Dasaad hanya memberi satu mobil. Dasaad pun memanggil Farid kembali. “Jadi, kita punya dua mobil,” kata Farid. 
“Kita kan bingung, dari mana ini. Baru belakangan Opa Dasaad kasih tahu dari Bung Karno. Jadi, zaman itu hubungan kaya begitu. Ini yang harus dicontoh sama anak-anak muda sekarang. Jangan hendaknya masalah politik menjadikan silaturrahmi putus sama sekali. Makanya saya bilang, bapak-bapak kita luar biasa,” tutup Farid.
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar