Rabu, 25 April 2018

Meniti Jembatan Sejarah 65 Bersama Anak Muda

  |

Partitur Sekeping Kenangan yang disimpan sebagian penyintas sebagaimana terlihat di film. Foto Anton Muhajir.

Almarhum Ni Ketut Kariasih linglung ditanya soal lirik lagu karyanya.

Roro Sawita dengan tekun mencoba agar ia mengingat, dan harus bicara setengah berteriak persis di kupingnya. “Lagu apa? Ketimbang menyanyi, sibuk mikir disiksa saja,” perempuan lanjut usia ini terus menjawab dengan bingung dalam bahasa Bali.

Roro, relawan pendamping para penyintas kekerasan politik 1965, dan teman-temannya menuntun ingatan Kariasih dengan sebuah buku tulis penuh tulisan tangan indah berisi syair. Dia menyorongkan sebuah buku lusuh.

Kariasih yang biasa dipanggil Bu Pasek, dari nama suaminya, mulai membaca khusyuk. Roman wajahnya berubah. Ada senyum di sana saat membaca syair dengan kutipan kata setangkai bunga mawar.

Senyum, dan bahkan sesekali tawa, yang sama saat Sekeping Kenangan, film dokumenter tentang proses pengumpulan lagu-lagu itu diputar menyebar di Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar akhir Maret lalu.
Film ini disusun dari rekaman-rekaman amatir perjumpaan anak-anak muda komunitas Taman 65 di Bali dengan sejumlah korban pembunuhan massal pada 1965-1966, sejarah kelam bangsa ini.

Sekeping Kenangan adalah sejarah dan jembatan menuju pengungkapan kebenaran. Sejumlah penyintas (survivor) yang direkam, termasuk Bu Pasek, sudah meninggal saat kepingan sejarahnya ditayangkan dan ditonton ratusan orang didominasi anak muda ini.

Lagu dari Penjara

Sebelumnya, hasil menjahit ingatan para korban ini sudah dirangkum dalam buku dan CD musik pada 2015 bertajuk Prison Songs. Buku berisi narasi tiap penyintas yang dipenjara di Bali dan lagu serta syair karya mereka. Sesuatu yang sudah hilang dari ingatan atau sengaja dilupakan.
Enam lagu dalam album Prison Songs inilah yang membawa pembaca dan pendengar ke kisah-kisah tragis tahanan politik ini. Usai penayangan film, ada konser enam lagu karya tapol yang dikumpulkan dan sebagian diaransemen ulang anak-anak muda Taman 65 ini.

Salah satu syair Kariasih dijadikan lagu oleh tahanan politik lain, Amirudin Tjiptaprawira aka Pak Atjit berjudul Di Kala Sepi Mendamba. Oleh Taman 65, Jerinx, personil band rock Superman Is Dead (SID) diminta menyanyikannya. Kali ini digubah ulang dengan nada balada lembut bertenaga.

“Laksana candra menjelang purnama menyinari alam semesta. Duhai juwita rasa kasih mesra kini datang meronta jiwa. Laksana ombak merindukan pantai bergelora sepanjang masa. Curahan kasih kini tak ternilai tertumpah padamu jelita.

Mengapa mengapa dikau menjelma di kala sepi mendamba. Ku tak mengira kerlingan dara membekas sulit kulupa. Aduhai kasih percikan asmara bila kian kan datang menjelang. Kelana resah menantikan tuan di kala sepi mendamba.



Rangkuman Kisah Kelam

Dalam buku yang menyertai terbitnya album Prison Songs pada 2015 silam, para aktivis Taman 65 juga membuat catatan untuk tiap lagu.
Ribka Alvania, misalnya, merangkum perjalanan hidup Kariasih yang kelam.

Pada bulan Desember 1965, berbarengan dengan dimulainya aksi pembantaian massal di daerah Pekambingan, Denpasar, Kariasih yang sedang menggendong anak bungsunya yang masih bayi, ditangkap oleh tentara dan dibawa ke markas Kodim. Siksaan demi siksaan dideritanya setiap hari ketika proses interogasi berjalan. Tuduhan atas keterlibatan pembunuhan 7 orang perwira tinggi Angkatan Darat di Jakarta yang tidak dia ketahui sama sekali terus dikorek oleh para interogator. Dari dalam tahanan, Kariasih mendapatkan kabar dari anak sulungnya bahwa Pak Pasek, suaminya, yang ditahan di kantor polisi dipindahkan entah kemana dan tak diketahui lagi kabarnya, hingga saat ini.
Tak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata akan perasaannya saat itu. Kesedihan, penderitaan, penyiksaan, bak berlomba-lomba datang menerjang kehidupannya. Kehilangan suami tercinta, harta benda dibakar dan dirampas, dan terpaksa harus meninggalkan ketiga buah hatinya. Hampir 6 bulan menjadi tahanan Kodim, Kariasih dan bayinya dipindahkan ke penjara Pekambingan.
Dikeluarkan pada bulan Agustus 1966 dengan status tahanan rumah yang mengharuskannya wajib lapor setiap hari ke kantor Kodim.

Film dokumenter menjelaskan duduk perkara munculnya ide merajut kisah-kisah penyintas ini. Roro Sawita lama meneliti dan bergaul dengan sejumlah korban di Bali. “Kita banyak bergaul dengan survivor, sering ngobrol termasuk lagu-lagu mereka sebelum dan sesudah 65. Selain ingatan tentang kehilangan masa depan dan diskriminasi,” urai Roro, perempuan peneliti yang kini mukim di Australia.

Perburuan ingatan pun dimulai sejak 2012, mereka berbagi peran. Ada yang mewawancarai, mengumpulkan semua penyintas yang berhasil dikontak, mendekati musisi yang diajak terlibat, dan Made Candra aka Made Mawut berperan mengolah jadi komposisi lagu termasuk aransemen baru.

Gde Putra, tim Taman 65 lain, merasakan kuatnya emosi dan komunikasi dalam lagu-lagu yang mereka kumpulkan dari serakan ingatan ini. 
“Agar bisa kuat dalam kondisi siksaan di penjara dengan berdendang. Bukan semata alat pelipur lara juga tersimpan data sejarah,” tutur penulis muda ini.
Tim dengan sejumlah anak muda bergairah ini mulai menerjemahkan karya yang tersimpan di memori mereka ini, memungut serpihan nada, memadukan lirik untuk jadi puzzle lengkap.



Made Mawut, penyanyi solo genre blues ini menyontohkan ketika menelusuri lagu Tini dan Yanti karya Ida Bagus Santosa dari Klungkung, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana. “Tini dan Yanti” diciptakan untuk mengingat istri dan anaknya saat mendekam di penjara.

Buku Prison Songs mengisahkan Tini (sang istri) melahirkan anak perempuan mereka. Santosa berimajinasi buah hatinya yang baru lahir itu bernama Yanti. Sebelum pria ini dijemput maut dan hilang tak berjejak, dia menuliskan syair Tini dan Yanti di dinding tembok penjara. Si pencipta syair tidak pernah bertemu lagi dengan istri dan buah hati yang dia rindukan setengah mati.

Menurut para eks Tapol, Santosa tak tampak lagi di penjara sekitar akhir Desember 1965 atau awal Januari 1966.

Syair puisi Santosa ini lalu digubah menjadi lagu oleh Amirudin (Mister Amir atau Pak Atjit panggilan namanya oleh para tapol). Lelaki asal Madura yang pernah bertugas sebagai Kepala RRI Kupang dan cakap membuat nada lagu.

“Tini dan Yanti, kepergianku buat kehadiran di hari esok yang gemilang. Jangan kecewa, meski derita menantang, itu adalah mulia. Tiada bingkisan, hanya kecintaan akan kebebasan mendatang. La historia me absolvera. La historia me absolvera.”

Dalam konser ini dinyanyikan Rara Sekar, biduan perempuan muda yang terkenal dengan duo Banda Neira (kini bubar) bersama jurnalis Ananda Badudu. Keduanya membuat aransemen baru Tini dan Yanti dari komposisi awal yang dirajut Made Mawut.
“Hanya sedikit yang ingat lirik Tini dan Yanti. Nada dasar belum lengkap, diciptakan bukan dengan alat musik,” Made Mawut mengingat. Untuk menyiasatinya, tim ini mengumpulkan paa survivor informan mereka jadi satu.
Dalam suasana hujan deras di sebuah tempat di Bali, mereka bersua. Memutar memori, dan diminta menyanyikan sejumlah lagu yang berhasil dirajut. Hadhi Kusuma, sutradara film Sekeping Kenangan memperlihatkan bagaimana bahagia dan suka ria membuncah saat para penyintas ini bersua.

Lagu lain adalah Dekon karya Ketut Putu musisi muda asal Singaraja, Buleleng. Ia menggubah kutipan pidato Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 di Jakarta, yang berjudul “Deklarasi Ekonomi” tentang kemandirian ekonomi.

Gunawarma, personil band Nosstress menyanyikan lagu berbahasa Bali yang banyak dinyanyikan sebelum 1965 ini dengan syahdu. Memberi suasana sendu pada lirik lagunya yang revolusioner. Memberi kesan jika lagu ini sangat merakyat ketika itu, suara-suara pekerja keras emoh ditindas.
“Pertama dengar, kakak saya kaget. Kenapa menyanyikan lagu seperti ini,” kata Gunawarma yang lebih akrab disapa Kupit. Ia memulai mendiskusikannya bersama ibunya dan mendapati trauma masa lalu yang mencekam.
Lagu Sekeping Kenangan karya Amirudin Tjiptaprawira dinyanyikan Dadang S. Pranoto, personil band Navicula dan Dialog Dini Hari. Saat konser, ia terlihat masih murung dan mengaku menyanyikan lagu sedih ini untuk sahabatnya Made Indra yang baru meninggal kecelakaan bersama calon istrinya, Afi. Saat pemutaran film dokumenter, konser, dan dialog ini panitia menyediakan semacam tugu penghormatan dengan foto Made-Afi serta kotak donasi untuk upacara ngaben Made.

Pak Amir juga menciptakan Si Buyung yang dinyanyikan Nyoman Angga, personel Nosstress lainnya.

Made Mawut mengaransemen dan menyanyikan lagu berjudul Latini, disadur dari puisi karya seorang eksil Agam Wispi. Pria ini terkenal sebagai penyair yang menyuarakan ketidakberdayaan sebelum dinyatakan sebagai tapol.

Puisinya antara lain “Matinya seorang petani”, “Sahabat”, “Yang Tak Terbungkam”, “Pulang”, dll terangkum dalam antologi puisi Agam Wispi. Salah satu puisinya yang terkenal pada masanya yaitu “Latini”, syairnya dijadikan lagu sehingga mudah diingat oleh masyarakat.

Sebelum konser, tiga penyintas pria berbagi kisah singkat kehidupannya sebelum dan sesudah dipenjara. Mereka adalah Natar, Jumpung, dan Jenawi.
Jenawi adalah anak tentara, kini berusia 70 tahun. “Saya apresiasi apa yang dibuat anak muda ini,” ujarnya. Ia ikut meneriakkan Barisan Sukarno dengan ikut aksi, buat buletin, dan pamflet menyuarakan anti imperialisme.
Ia ditangkap pada 1968 di sekolah saat SMA dan dituduh subversif dipenjara enam tahun, lalu ditambah empat tahun lagi. “Bagaimana pertahankan diri di penjara? Kami punya keyakinan sejarah akan membebaskan, termasuk bertemu orang tua,” kisahnya.

Ia mengingat lagu Dekon sangat terkenal di Bali sebelum peristiwa pembunuhan dan penangkapan massal dampak peristiwa yang disebut pemberontakan PKI itu. 
“Dekon itu bagus, agar kemiskinan hilang dengan kemandirian ekonomi karena banyak tikus koruptor,” urainya.
Lagu lain yang juga dihapal para tapol saat dipenjara di Pekambingan, Denpasar adalah Si Buyung. Ketika sepi melanda, mereka berteriak menembus sel agar ada yang mulai menyanyi lalu dilanjutkan tapol-tapol lain jadi koor. Koor kesedihan adalah hiburan.

Testimoni di depan sekitar 500 penonton didominasi anak muda ini membawa keheningan, khusyuk mendengar kisah yang sangat jarang bisa disampaikan para korban, saksi hidup ini. Barangkali sebagian pernah mengalami masa saat rezim Suharto mewajibkan pelajar berbondong ke bioskop menonton film G30SPKI untuk cuci otak sejarah versi penguasa. Film yang memancing amarah dengan adegan-adegan penyiksaan, dan melanggar hak anak karena tak sesuai psikologis mereka.
“Melalui lagu dan dibawakan penyanyi berkualitas adalah strategi untuk ruang dialog karena penguasa menilai musisi dan musik ini kan apolitis,” ujar Gde Putra. Namun, stereotipe ini yang dimanfaatkan untuk mengajak makin banyak anak muda meniti jembatan sejarah yang direkayasa Orde Baru.
Film Sekeping Kenangan sejarah orang biasa yang dipenjara, sejarah bukan hanya milik negara. “Saya anak 90an, selama ini sejarah dikuasai pemenang. Saya perlahan menggali informasi dan menyadari saya pun korban kekejaman peristiwa 65 ini,” ungkap Nyoman Angga, personil band Nosstress.
Film dan konser ini juga sebagai penghormatan terakhir untuk penyintas yang terlibat dan sudah meninggal saat film ditayangkan yakni Santa, Prayitno, Badra, bu Pasek, dan lainnya. Suasana kekelaman masa lalu makin hadir dengan visualisasi kuat karya-karya ilustrasi dari street artist dan seniman grafis berpengaruh Bali seperti WD, Bayak, Slinat, dan Alit Ambara.

Konser lagu-lagu mereka yang dirilis dalam buku dan CD berjudul Prison Songs ini seperti upaya rekonsiliasi damai yang hingga kini tak serius dilanjutkan pemerintah. Forgive but not Forget. [b]

*Sebelumnya sudah dimuat di koran dan online The Jakarta Post

Luh De Suriyani, Ibu dua anak lelaki, tinggal di pinggiran Denpasar Utara. Anak dagang soto karangasem ini alumni Pers Mahasiswa Akademika dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Pernah jadi pemimpin redaksi media advokasi HIV/AIDS dan narkoba Kulkul. Sambil mengasuh Bani dan Satori, juga menulis lepas untuk sejumlah media seperti Bali Buzz dan portal Mongabay.
BaleBengong 

0 komentar:

Posting Komentar