Jumat, 20 April 2018

Pram dan Arsipnya

Aryono | 20 April 2018


Beragam catatan pribadi Pramoedya Ananta Toer dipamerkan. Banyak yang belum diketahui khalayak.



Pengunjung pameran "Namaku Pram" di DIa.Lo.Gue, 17 April-20 Mei 2018. Foto: Aryono/Historia

“Bung Pram ytt. Dengan ini aku menyampaikan bahwa aku dan keluarga sehat-sehat saja. Aku harap kau begitu juga. Anak-anak sekarang sudah besar-besar dan Yudi pun sudah agak tinggi dan cukup nakal. Sekarang tambah hitam karena sehari-hari main layang-layang. Sekian dahulu Pram. Peluk cium untuk kau dari keluarga”.
Tulisan di atas adalah surat Maemunah Thamrin, istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer, tanggal 16 Februari 1971. Pada bagian amplop, tertera stempel Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru.
Pram ditangkap tahun 1966 kemudian dipenjara –tanpa proses pengadilan– di Pulau Buru, wilayah kepulauan Maluku. Dia menjadi tahanan politik bersama sekira 10.000 orang. Pram baru bebas pada 28 September 1979.
Surat tersebut bagian dari pameran arsip dan catatan bertajuk “Namaku Pram di kafe galeri Dia.Lo.Gue. Pameran yang dihelat hingga 20 Mei 2018 mendatang menampilkan puluhan surat, arsip, dan memorabilia milik Pram yang jarang diketahui khalayak.
Menampilkan secara gamblang surat-surat pribadi seorang mantan tahanan politik Orde Baru bukan perkara mudah. Perlu kepercayaan dari keluarga Pram.
“Bukan sesuatu yang mudah. Sebuah tanggung jawab yang besar. Saya mengenal keluarga Pak Pram sejak 2005 dan menjalin silaturahmi yang baik. Saat terlibat di pertunjukan Nyai Ontosoroh dan tak henti saya merasa memiliki sudut pandang dan pilihan hidup seperti beliau. Nah, kemudian di pertunjukan yang lalu, Bunga Penutup Abad, adaptasi Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Saat itu saya main ke perpustakaannya. Wah, haru saya. Dia pencatat terbaik. Dari situ, saya berkeinginan menampilkan karya-karya tersebut jika pementasan Bunga Penutup Abad itu sukses. Ternyata sold out. Dan saya berkewajiban menunaikan nazar itu,” ujar aktris Happy Salma, inisiator pameran, kepada Historia.
Happy pun melakukan pendekatan yang lebih intens dengan Astuti Ananta Toer, putri sulung Pram. Sembari itu, Happy menggandeng rekannya yang lain, Engel Tanzil dari kafe galeri Dia.Lo.Gue.
“Kami bertemu dengan mbak Astuti. Memang mulanya gak percaya. Ada kecurigaan. Tapi dengan ketekunan, kita persiapan dua tahun, ya on and off,” ujar pendiri Titimangsa Foundation, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang seni pertunjukan.
Setelah melewati tahap yang panjang, mulailah pengkurasian. Happy sadar, pameran untuk Pram ini harus digarap oleh orang-orang yang mumpuni. Dia pun menunjuk Danny Wicaksono sebagai kurator pameran.
“Saya diajak bergabung Januari kemarin. Tidak ada kesulitan tentang bahan pameran. Cuma memang perlu berhati-hati, mana yang perlu dikeluarkan, mana yang tidak. Dilihat dari apa yang akan disampaikan,” ujar arsitek pendiri Studio Dasar.
Danny membagi pameran arsip Pram ini menjadi beberapa kelompok yaitu bagian perjalanan hidup, ruang arsip, kantor/ruang kerja, dinding memorabilia, wajah buku, taman kata, dan video. Pada bagian dinding memorabilia, terdapat 21 lukisan tentang Pram yang berasal dari beberapa kawannya. Kemudian pada bagian wajah buku, termuat 34 buku karya Pram dalam berbagai bahasa.
Yang menarik adalah bagian surat-surat pribadi Pram dan kerja besarnya yang bernama Ensiklopedi Citra Indonesia (ECI). Dalam naskah ECI misalnya, Pram menulis sosok Jos Cleber, aransemen lagu Indonesia Raya pada 1950-an. Dalam tulisan tangan itu, Pram menyebut Jos Cleber sebagai “seorang pemusik kelahiran Yugoslavia yang kemudian meninggalkan negerinya, menanggalkan kewarganegaraannya. Sejak itu menjadi seorang kosmopolit tanpa kewarganegaraan. Tahun 50 mendapat kepercayaan untuk memimpin orkes radio Jakarta”.
Inti dari pameran ini, menurut Danny, adalah menampilkan sisi lain dari Pram, khususnya tentang kerja-kerja intelektual yang belum banyak diketahui publik.
“Inginnya, generasi sekarang atau siapa pun bisa melihat ini. Bahwa pencapaian kekaryaan dan dedikasi seseorang itu berawal dari proses,” ujar Happy.
Tarian jemari Pram di atas tiga mesin tik, semalam (19/04), seperti hadir kembali. Suasana ini diciptakan oleh duo John David dan Adra Karim yang khusus mendedikasikan karya musik mereka bertajuk Tiga dari Lima kepada sosok Pramoedya Ananta Toer.
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar