Jumat, 06 April 2018

Keeping Hope: Melihat Indonesia dari Pinggiran

AS Rimbawana | 06/04/2018


Kiri-kanan: Tri Subagya, ketua program studi magister Ilmu Religi dan Budaya, USD; Sri Margana, staf pengajar UGM; Romo Hary Santoso, staf pengajar Fakultas Teologi, USD; Romo Baskoro T. Wardaya, staf pengajar program studi Ilmu Religi dan Budaya, USD; dan Leonard Andrew Immanuel selaku moderator dalam acara diskusi dan bedah buku di Institut Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma pada Jumat (06/04). Foto oleh Rimba/EKSPRESI.

Jumat (06/04), buku teranyar Romo Baskara Tulus Wardaya dibedah di Institut Religi dan Budaya (IRB), Universitas Sanata Dharma (USD). Buku yang berjudul Keeping Hope: Seeing Indonesia’s Past from the Edges merupakan antologi esai dengan berbagai tujuan. Romo Baskara mencoba mengambil benang merah dari keseluruhan esai, yakni upaya memandang Indonesia dari perspektif pinggiran, perspektif informal. “Itu yang menjadi alasan, seeing Indonesia past from the edges, dari sisi narasi kecil di luar narasi resmi,” katanya sewaktu membuka diskusi.
Pembedah buku tersebut yakni Romo Hary Susanto, staf pengajar Fakultas Teologi, USD dan Sri Margana, staf pengajar sejarah Universitas Gajah Mada (UGM). Selepas Romo Baskara selesai membuka diskusi, moderator menyilakan Romo Hary Susanto terlebih dulu untuk bicara.
Romo Hary mengatakan, bahwa keeping hope atau harapan adalah ciri khas dari orang beriman. “Orang yang punya harapan, punya segala-galanya. Sebaliknya, orang yang tidak punya harapan, kehilangan segala-galanya,” ungkapnya. Ia juga berpendapat, bahwa buku ini adalah upaya melihat masa lalu Indonesia dari pinggiran—pilihan perspektif sekaligus keberpihakkan pada yang terpinggirkan, yang terlupakan, yang tersingkir.
Hal terpinggirkan itu misalnya Romo Baskara tuangkan dalam tulisan-tulisan tentang tragedi 1965. Romo Bas, sapaan akrab Baskara T. Wardaya, dalam buku ini mengetengahkan tragedi 1965 bukan hanya dalam konteks politik nasional, tetapi juga dalam konteks global. Selain itu, buku ini juga membahas berbagai sisi Indonesia dari pinggiran.
Seperti yang dibicarakan oleh Sri Margana kemudian, Romo Bas dalam esai berjudul “Global Solidarity Against Unilateralisme” mengajak pembaca untuk memikirkan ulang makna kemerdekaan kita. “Ada pula esai berjudul ‘Smile, Laughter and Human Rights’ yang mengajak kita (berpikir) tentang betapa kemacetan luar biasa yang terjadi di Jakarta, betapa dalam menyebarang jalan pun orang Indonesia perlu bertaruh nyawa,” tambah Margana. Sebetulnya, kata-kata itu merupakan larik-larik paragraf dalam buku Pat Walsh berjudul Stormy with a Chance of Fried Rice: Twelve Month in Jakarta 2015 yang kemudian dikutip oleh Romo Bas. Pat Walsh adalah orang yang juga terlibat dalam penulisan tentang laporan HAM di Timor Leste, Chega.
A. S. Rimbawana | Editor: Ikhsan Abdul H.
Sumber: Ekspresi 

0 komentar:

Posting Komentar