Kamis, 19 April 2018

S. Rukiah Kertapati | Pak Supi: Kakek Pengungsi

2018, April 19 | Kelana Wisnu*


Judul buku: Pak Supi: Kakek Pengungsi
Penulis: S. Rukiah Kertapati 
Penerbit: Ultimus 
Tahun Cetak dan jumlah halaman: 2018, xiv + 98 hlm.


Salah satu persoalan yang sering kita temui sehari-hari adalah kecurigaan, semakin rumit dunia ini semakin rumit pula kita melihat sesuatu. Tak pelak hal itu menimbulkan asumsi-asumsi yang tidak perlu terhadap apa yang kita lihat dan rasakan dari sekitar. Timbulnya hal ini diakibatkan berbagai kemungkinan, semisal tidak adanya hubungan komunikasi yang baik, minimnya ruang pertemuan, dan kadang rasa keterancaman. Setiap zaman menghadapi persoalan ini dengan bentuknya masing-masing, jika dulu menjauh dari peradaban bisa dianggap aneh, sekarang tidak memiliki gawai bisa dianggap serupa. Persoalan praduga ini tidak mengenal umur, dewasa atau anak-anak menghadapinya, hanya saja berbeda kerumitannya.

Sepakat atau tidak, ungkapan klise tentang dunia anak sebagai kertas putih kosong adalah sebuah pengibaratan yang cocok untuk menggambarkan bagaimana anak-anak mengimajinasikan realitas yang dihadapinya: putih polos. Pengalaman yang masih sedikit membuat anak-anak tidak begitu cergas melihat suatu sebab-akibat atas suatu masalah. Maka tak heran jika ajaran awal yang diberikan kepada anak-anak adalah tentang sebab-akibat. Saya rasa hal inilah yang diajarkan kepada saya ketika kecil, tentang bagaimana rasanya dilukai maka jangan melukai orang lain, tentang rasanya tidak enak diejek maka jangan mengejek orang lain, dan seterusnya. Pertentangan antara dua pokok persoalan juga adalah hal yang mudah dipahami, semisal benar-salah, baik-jahat, yang kelak pertentangan ini menjadi tidak sederhana saat umur manusia mulai beranjak menua.

Cerita anak yang akan diulas berikut ini menawarkan sebuah proses imajinasi sederhana itu, perkembangan proses anak-anak menyelesaikan kecurigaannya yang dikarenakan putihnya imajinasi dalam pikiran mereka. Jangan membayangkan hal-hal yang bersangkutpaut dengan istana, mitologi, hewan-hewan, atau pun hal yang serupa yang biasanya kita temukan dalam cerita anak-anak, kita tidak akan menjumpai ungkapan “Pada suatu hari”, dan semacamnya. Karangan S. Rukiah Kertapati berjudul Pak Supi: Kakek Pengungsi (2018) ini menjangkarkan narasinya pada realitas pada masa cerita anak ini ditulis, tidak heran jika kelak kita akan menemukan banyak hal yang unik dalam cerita anak yang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Swada tahun 1961 dan hadir kembali di tangan kita saat karena usaha Penerbit Ultimus untuk mengenalkan kembali sastrawati anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) ini ke publik.

Pak Supi: Kakek Pengungsi berusaha menjelaskan dunia yang disikapi serta dihidupi oleh anak-anak sebagai akumulasi dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Berfokus pada keseharian tiga sekawan, Abas, Kandar, dan Didin, yang penasaran dengan Pak Supi, seorang kakek gelandangan yang dikucilkan oleh warga desa mereka yang dicurigai sebagai penenung karena keanehannya. Seperti yang disinggung di atas, kecurigaan lingkungan itu memengaruhi pandangan tiga sekawan itu terhadap Pak Supi, tiga sekawan itu menggap Pak Supi suka menenung anak-anak. Mereka juga menggangap bahwa Pak Supi adalah gelandangan yang jahat dan suka menenung hanya karena ia hidup mengasingkan dirinya sendiri, tidak pernah berinteraksi dengan warga, serta menunjukkan sikap-sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan siapa pun.

Tigasekawan itu masih belum dapat menduga-duga bahwa sesuatu yang dialami seseorang di masa lalu berpengaruh dalam membentuk pribadinya. Jangankan anak-anak, orang yang berumur dewasa di desa itu pun masih belum dapat memahaminya. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan dan memandang Pak Supi. Mereka semua tidak mengetahui bahwa Pak Supi sebenarnya tidak gila atau pun linglung, hanya saja mengalami trauma yang begitu besar. “Tidakkah penderitaan yang hebat itu selalu mendatangkan perubahan terhadap orang-orang yang kurang kuat”, adalah salah satu asumsi yang cukup waras dari seorang tokoh Desa Sukarapih, Pak Kudus terhadap Pak Supi. 
Kelak ketiga anak itu, khususnya Abas terlibat masalah dengan Pak Supi. Karena masalah itulah mereka mengubah pandangannya terhadap Pak Supi. Seorang yang tidak jelas asal-usulnya itu menyelamatkan nasib tiga sekawan itu dari ancaman bahaya. Leraian konflik ini mengakibatkan jati diri Pak Supi yang asli terungkap, ia adalah seorang pengungsi dari Desa Banjar ke Desa Sukarapih karena kehilangan keluarganya. Lalu, ia hidup di sebuah gubuk reyot yang dibangunnya di tepi sungai sebagai sebatang kara yang menanggung trauma kehilangan itu. Hilangnya keluarga yang menjadi satu-satunya harapannya itu dikarenakan kebengisan sekelompok orang yang antisoekarno, dan peristiwa itu mengakibatkan Pak Supi trauma untuk berinteraksi dengan orang-orang.


S. Rukiah Kertapati
Keunikan cerita anak ini adalah kemampuannya dalam menjangkarkan narasi terhadap hal-hal sosial-politik waktu itu, semisal untuk menanamkan pandangan tentang kejahatan kolonialisme; menampilkan sesuatu hal realistik yang kasar, seperti kekasaran polisi terhadap Pak Supi untuk memberikan contoh bahwa penindasan dengan atribut atau alasan apa pun tidak bisa dibenarkan. Pak Supi juga mengajarkan nilai-nilai kesetiaan terhadap perjuangan lewat salah satu tokohnya bernama Apip yang rela dihajar habis-habisan saat tertangkap tentara Belanda pada masa revolusi fisik. Apip memilih habis daripada membocorkan informasi tempat persembunyian kawan-kawannya yang tengah bergerilya. Walaupun hanya berprofesi sebagai petani, Apip tidak mau berkhianat terhadap perjuangan.  


Satu hal yang paling penting dari cerita anak ini adalah penyuaraan keadilan dan kebenaran sampai kapan pun tidak akan kalah oleh keculasan. Cerita anak dengan plot yang disusun rapih ini akan membuat kita enggan untuk beranjak dari tempat duduk sebelum menyelesaikannya.

Kelana Wisnu, Bekerja untuk Jungkir Balik dan menjaga buku Perpustakaan Pijar. Suka makan stroberi dan naik gunung


Sumber: Swarumbawa 

0 komentar:

Posting Komentar