HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 30 Juni 2013

Tapol minta presiden akui kebenaran

30 Juni 2013

Pembunuhan massal pada 1965 diperkirakan merenggut sekitar satu juta nyawa

Organisasi hak asasi manusia, Tapol, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengakui kebenaran atas peristiwa pembunuhan massal pada 1965 di Indonesia.
Dalam kampanye Say Sorry for ‘65atau Minta Maaf untuk ’65, yang diluncurkan akhir Juni ini, Tapol juga berharap dapat membangun kesadaran masyarakat atas peristiwa 1965.
Mereka mengajak dukungan internasional kepada para korban yang saat ini putus asa menanti permintaan maaf resmi dari negara.
Salah satunya dengan mengupayakan petisi online kepada presiden dalam tapol.org/saysorryfor65.
Kampanye yang digelar bersamaan dengan peringatan 40 tahun berdirinya Tapol tersebut, dibuka dengan pembukaan pemutaran film The Act of Killing di Bioskop Ritzy di Brixton, London.
Film dokumeter ini memiliki dampak besar di berbagai penjuru dunia dan membantu untuk mengangkat kesadaran atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada masa Jenderal Soeharto menuju kekuasaan pada 1965-1966.
Hampir satu juta orang dibunuh saat Soeharto mengambil alih kekuasaan, yang termasuk pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20.
“Fakta yang mengejutkan adalah ketika semua orang mendengar tentang kekejaman di Kamboja, Rwanda dan Bosnia, pembantaian 1965 sedikit sekali diketahui, dan tak seorang pun dibawa ke proses peradilan atas kejahatan yang mengerikan ini," kata pendiri Tapol, Carmel Biduarjo, dalam siaran pers Jumat (28/06).
"Sekarang adalah saat yang tepat bagi Presiden Yudhoyono untuk mengambil tindakan yang benar dan minta maaf kepada pihak-pihak yang telah banyak menderita.”
Carmel Budiardjo sendiri dipenjara oleh rezim ini selama 3 tahun tanpa proses peradilan. Ia mendirikan Tapol setelah dibebaskan dan kembali ke Inggris pada 1973.

Sumber: BBC Indonesia 

Kamis, 27 Juni 2013

Hidup Saya sebagai Dalang Wayang Kulit di Bawah Soeharto


Oleh: Ki Tristuti Rachmadi | 27 Juni 2013




Hadirin dan para peserta konferensi yang terhormat:

Saya Tristuti Rachmadi dari Solo, Indonesia. Hari ini Sabtu, 7 April 2001, dan saya di sini memenuhi undangan panitia untuk konferensi “History and Memory in Contemporary Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Center for Southeast Asian Studies di University of California, Los Angeles.
Saya bahagia memeroleh kesempatan ini, dan ingin menyampaikan terima kasih yang dalam bagi semua pihak yang telah berkenan mengundang saya di sini, untuk ikut berkontribusi dalam konferensi tentang sejarah Indonesia ini – tentu saja berdasar kapasitas dan pengalaman saya sendiri.

Para pendengar yang terhormat:

Saya lahir di sebuah desa kecil bernama Sugihmanik di wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Indonesia, pada hari Rabu, 3 Januari 1939. Sudah menjadi kehendak Ilahi bahwa saya lahir dari keluarga seniman wayang kulit. Ayah saya, mendiang Suryatman Yososudarso, adalah seorang dalang wayang kulit. Ibu saya anak dari seorang dalang di zaman kolonial Belanda. Sejak dalam kandungan ibu saya, jiwa seorang dalang telah tercurah dalam diri saya. Oleh karena itu, meskipun saya menerima pendidikan formal (sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, dan pendidikan matematika selama dua tahun), perjalanan hidup saya pada akhirnya selalu membawa saya ke dunia pedalangan.

Saya mulai menampilkan pertunjukan wayang semalam suntuk sejak usia 15 tahun (saat saya kelas tiga sekolah menengah) pada tahun 1953-4. Karir saya berkembang seiring perjalanan waktu. Pada dasarnya, sebagai seorang dalang profesional saya telah melalui tiga era, yaitu Orde lama, Orde Baru dan akhirnya Reformasi sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Berkenaan dengan dunia pedalangan pada masa Orde Lama, saya masih dapat mengingat kesederhanaannya. Dalang masih memainkan peran sebagai seniman tunggal yang memimpin seluruh pertunjukan wayang selama delapan jam. Pada masa itu tidak ada pengaruh dari rekaman kaset ataupun televisi, apalagi VCD. Pertunjukan wayang masih didominasi oleh cita rasa masyarakat, terlebih masyarakat Jawa. Serta, pertunjukan wayang belum diruncingkan ke arah propaganda politik, atau pun agama, atau hal-hal lain. Kalau pun ada, itu dilakukan dengan terampil dan cara yang menyenangkan.

Pada awal 1960, pengaruh ideologi luar mulai nampak kentara dalam pertunjukan wayang – misal dalam cerita Janaka Banteng, Udawa Waris, Wahyu Lintang Rembulan, dan lain-lain. Ini terjadi karena iklim politik di Indonesia tengah memanas. Pada akhir masa Orde Lama adalah insiden 1965, yang membawa perubahan ke masa Orde Baru. Saya tidak ingin bicara tentang persoalan politik. Saya hanya akan bercerita tentang pengalaman saya pribadi, terlebih karir saya sebagai seorang dalang wayang kulit.

Sejak 5 November 1965 (pada hari Jum’at) sampai dengan 10 Oktober 1979 – 14 tahun – saya hidup dari penjara ke penjara: penjara Beteng Ambarawa, penjara Purwodadi, Nusakambangan, dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Saya bertanya ke diri sendiri: saya salah apa? Apa dosa saya? Sepertinya tidak ada jawaban: saya adalah salah satu korban dari pergolakan politik Indonesia. Benar adanya bahwa kapanpun terjadi pergolakan, masyarakat bawah selalu menjadi korban. Saya hanya seorang dalang wayang kulit, bertahan hidup dengan keahlian saya menyampaikan cerita wayang. Saya bukan anggota fungsionaris partai politik mana pun, saya bukan pejabat pemerintah, ataupun seorang pemodal besar yang mengendalikan roda perekonomian Indonesia. Sekali lagi, Tristuti Rachmadi di sini hanya satu di antara banyak orang biasa, tapi pada saat itu terjebak dalam tragedi nasional yang telah melukai hati selama bertahun-tahun, tanpa proses hukum dan keadilan yang sepantasnya. Tiba-tiba dicokok, kemudian dijebloskan ke penjara selama 14 tahun, dan tanpa hak bertanya tentang apa pun, semua harus diterima, habis perkara.

Para pendengar yang terhormat:

Namun, di atas semua itu, saya akhirnya menjadi sadar bahwa hanya dengan melalui perjalanan yang panjang dan gelap itu saya dikuatkan oleh Tuhan untuk menjadi dalang di dunia untuk menggelar pertunjukan di tengah penderitaan, terpenjara, selama bertahun-tahun. Di bawah pemerintahan rezim Suharto saya sudah lebih dari kenyang merasakan tekanan mental dan fisik. Dalam penjara saya (bersama ribuan kawan yang memiliki nasib yang sama) telah diperlakukan sangat tidak manusiawi. Kami hanya punya kewajiban, tanpa sedikitpun hak. Segala hal yang disediakan untuk makan, kesehatan, tempat tinggal dan kebutuhan pokok sama sekali tidak mencukupi. Kami hanya memiliki cukup banyak aturan—jangan melakukan ini, jangan melakukan itu, itu terlarang, ini terlarang…

Pada tahun 1968, istri saya tercinta tidak sanggup lagi menanggung tekanan dalam hidupnya, dan saya ditinggalkan untuk menelan penderitaan. Istri dan anak-anak saya hidup dengan seorang lelaki lain, yang kemudian pergi jauh meninggalkan negara kami. Kepahitan hidup lengkap sudah. Saya telah kehilangan segalanya—istri dan anak, hak milik, kehormatan, hak hidup, dan semua; semua dirampas paksa oleh rezim penguasa Orde Baru.

Para pendengar terhormat:

Ribuan manusia telah mengalami penderitaan fisik dan batin dalam kurungan selama 14 tahun, termasuk saya sendiri. Saya ingat petuah dari guru saya di masa silam – dalang yang baik adalah dalang yang mampu membawa kenyamanan bagi masyarakat di saat-saat sulit, meskipun si dalang itu sendiri tengah menanggung penderitaan. Jika seorang dalang tampil dengan perangkat gamelan, wayang dan sound system yang bagus, yang diiringi oleh musisi handal dan pesinden yang mumpuni, dengan bayaran uang dalam jumlah besar, di sebuah tempat pertunjukan yang megah, dan dalang tampil dengan semangat dan mencapai keberhasilan, tidak ada capaian luar biasa dari semua itu, itu biasa saja!!!. Dalam bahasa Jawa, saya bilang itu lumrah.

Namun, jika ada seorang dalang yang tampil tanpa sepeser pun bayaran uang, dengan perangkat sederhana, diiringi pengrawit dan pesinden dengan keahlian rata-rata, dan pertunjukan itu diselenggarakan di tengah suasana sedih, maka dalang tersebut telah berhasil memenuhi darmanya sebagai pelaku yang hidup, bertanggungjawab, berhasil membawa suka cita di tengah keadaan yang sulit, dan membawa keputusasaan menjadi harapan baru. Dialah yang kemudian bisa disebut DALANG SEJATI. Demikian ajaran dari guru saya sebelum saya masuk penjara. Seorang dalang adalah seorang dalang. Anda dapat mencari penghasilan: lanjutkan dan carilah ketenaran, tapi identitas seorang dalang harus jelas: yakni, dia adalah seorang seniman yang melayani masyarakat di sekitarnya.

Mengingat pelajaran dari guru saya cukup untuk mengubah arah berpikir saya saat itu. Rasa dendam berubah menjadi renungan. Rasa sedih, sakit hati, dan kegelisahan, saya mengubahnya menjadi pandangan positif dan rasa optimis. Saya ubah angan-angan saya tentang,”bagaimana seandainya…” menjadi kobaran semangat baru, sesuai dengan kualitas seni kepedalangan yang saya miliki. Pada awal-awal tahun, 1965 sampai dengan 1970, saya mulai membuat pagelaran di penjara para tahanan politik tanpa diiringi oleh siapapun. Saya bermain dengan gaya bercerita cerita rakyat, tanpa gamelan atau pun seorang pesinden. Kegiatan ini biasanya dilakukan usai makan malam, sebelum tidur, kawan-kawan meminta saya untuk bercerita tentang kisah-kisah pewayangan. 
Sekitar satu jam saya akan bercerita tentang Bima, Arjuna, Gatotkaca dan sebagainya. Itu hanya mendongeng, belum benar-benar sebuah pagelaran. Sesekali saya akan membumbuinya dengan nukilan-nukilan dialog penting, atau menambahkan lelucon untuk menghidupkan suasana, dan kadang saya akan menyanyikan pupuh puisi pendek dan sempalan syair.

Dalam masa tahun-tahun tersebut kawan-kawan saya berpikir bahwa kegiatan mendongeng ini bisa diiringi dengan perangkat dasar yang dibuat dari piranti makan dan mandi, seperti piring seng, cangkir aluminium, mangkok, timba dan sendok. Semua peralatan ini dilaras menyerupai skala suara gamelan. Semua itu terlihat demikian lucu, tapi bagi saya terdapat makna yang tak akan bisa hilang. Saya merasa bangga di tengah kegetiran ini, dan saya masih bisa menghibur kawan-kawan saya yang menderita tanpa rasa ingin mementingkan diri sendiri. Anda pikir ada dalang lain yang melakukan pertunjukan wayang dengan perangkat makan selain saya? Tidak mungkin!!

Benar apa kata para sesepuh dulu, bahwa jika kamu ingin dibantu, bantulah sesamamu lebih dulu. Jika kamu ingin disembuhkan, rawatlah sesamamu lebih dulu. Jika kamu ingin memiliki kegembiraan, hiburlah dulu sesamamu. Saya melakukan ini semua dengan hasil positif. Meskipun begitu banyak tekanan di penjara, hati saya terhibur karena saya kerap membawa kegembiraan bagi kawan-kawan saya. Kadang penjaga penjara akan meminta saya bercerita memakai hand-speaker, sejenis perangkat pengeras suara, sehingga suara saya dapat didengar ke sel-sel lain tempat para tahanan lain. Bahkan penjaga penjara ikut menyimak cerita saya. Aneh bukan, bahwa orang-orang yang bebas dapat menikmati cerita seseorang yang tertindas? Itulah yang terjadi pada kurun waktu 1965-70.

Para pendengar yang terhormat:

Pada bulan Agustus 1970, bersama dengan ribuan kawan-kawan, saya dipindahkan dari penjara Nusakambangan dan dibawa berlayar untuk dibuang di Pulau Buru. Tempat itu punya nama yang indah – ‘Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru’, tapi pada kenyataannya itu hanyalah sebuah tempat pengasingan. Pada awalnya, terasa pilu untuk menjejakkan kaki di lokasi rawa hutan bakau dan kebun sagu itu. Namun kemudian, rasa optimis menyala kembali. Saya bertahan dengan darah saya sebagai dalang, menghibur kawan-kawan saya.

Di Pulau Buru, para tahanan dapat hidup lebih leluasa karena tempat itu serupa wilayah proyek pertanian. Di waktu luang, setelah membersihkan semak-semak, menggali parit drainase, dan sebagainya, mulai jam lima sampai jam enam petang.Kami membuat semacam gamelan dari sisa-sisa kaleng insektisida, wadah aspal dan sebagainya, sehingga kami memiliki seperangkat gamelan dengan laras slendro dan pelog. Di hutan, banyak binatang buas berkeliaran, termasuk kijang. Kami akan makan dagingnya, dan kulitnya dikeringkan untuk membuat wayang kulit: itulah wayang kulit rusa dari Pulau Buru. Di antara kurang lebih 12,500 tahanan politik, beberapa berpengalaman memainkan gamelan, dan mereka pun menjadi para pengrawit kami. Karena tidak ada yang perempuan di sana, pesinden kami pilih dari beberapa orang pemain ludruk Jawa Timuran, karena mereka bisa menirukan suara pesinden. 
Dengan begitu kami memiliki satu grup, dengan dalang, pengrawit, pesinden, gamelan wayang, yang uniknya dibuat di Pulau Buru. Bagaimana dengan kostumnya? Ya, kami membuatnya. Kami meminjam dari beberapa kawan yang membawa satu atau dua potong baju batik, meskipun warnanya pudar, dan surjan, serta udeng. Menggembirakan, bukan? Sama sekali tidak!! Ini mengharukan.

Dan bagaimana dengan semangat saya? Tak pernah pudar!! Saya selalu tampil dengan penuh kegairahan, dan kawan-kawan juga menyambut semangat saya. Mereka menonton dengan rasa kagum, dari awal hingga akhir, dari adegan demi adegan tanpa beranjak dari tempat duduknya. Di mana para komandan dan para penjaga penjara? Mereka juga menonton. Dan jika opsir seniornya kebetulan seorang Jawa, maka saya akan diperintahkan untuk melakukan pertunjukan lebih sering. Luar biasa, kan? Seorang yang tertindas diminta untuk menghibur orang-orang yang bebas.

Itu adalah gambaran singkat bagaimana saya menjalankan tugas profesi sebagai seorang dalang ketika di pengasingan pada masa Orde Baru. Saya hidup di sana dari tahun 1970 sampai dengan Oktober 1979; pada malam hari saya melakukan pementasan, dan di siang hari saya harus bekerja jadi buruh kasar – mencangkul, memanen, mengatur air, dan mengangkut bahan bangunan dan sebagainya. Itu semua demikian pahit, seperti menelan pil kina, tapi mau tidak mau saya harus terus melangkah melewati jalan gelap itu sampai tahun 1979.

Para hadirin yang terhormat:

Pada tanggal 10 Oktober 1979 saya dikeluarkan dari neraka Pulau Buru, dan ‘dibebaskan’. Saya putuskan untuk kembali ke Semarang untuk bersama keluarga, karena tidak ada lagi yang tersisa di tempat asal saya, Purwodadi. 
Dari Semarang, saya mencari mata pencaharian di Yogyakarta, kemudian di Pati, dan akhirnya ke kota Solo. Meskipun kata yang digunakan adalah ‘dibebaskan’, itu hanyalah sekadar pernyataan politis. Saya masih tidak memiliki hak untuk hidup seperti warga negara lain. Saya tidak diijinkan untuk melakukan pertunjukan, dan untuk memeroleh pekerjaan di manapun seseorang harus memeroleh surat yang menyatakan bahwa dia ‘bersih’, yang bagi saya mustahil untuk saya dapatkan. Sementara itu, KTP saya diberi tanda ET, yang artinya ex-tapol. Hidup saya dari tahun 1979-1999, tepat 20 tahun, seperti seorang penderita lepra, sebuah penyakit menular yang susah disembuhkan dan orang enggan mendekat. Suharto memang luar biasa; secara resmi dia penuh perasaan kemanusiaan, sehingga para tahanan menjadi ‘dibebaskan’. Tapi, pada kenyataannya, ini semua tak lebih dari membunuh secara perlahan. Sungguh luar biasa!! Kepada siapa saya harus menuntut atas ketidakadilan ini? Sebelum dibebaskan dari Pulau Buru, saya dan seluruh tahanan politik lainnya diperintahkan untuk menandatangani sebuah PERNYATAAN yang menyatakan KESEDIAAN untuk tidak akan menuntut secara formal ataupun meminta ganti rugi atas segala hal terkait pemenjaraan kami. Saya seperti orang tak bisa bicara yang telah menelan buah yang pahit – saking pahitnya membuat saya tidak sanggup mengucapkan satu kata pun. Demikianlah rasanya bagi saya dan kawan-kawan saat itu.

Hadirin yang terhormat:

Kembali kepada jiwa seorang dalang: selama 20 tahun saya telah berjuang untuk bertahan hidup, mencari penghasilan ke sana ke mari dalam kesulitan yang mahabesar. Namun, di tengah perjalanan yang suram tersebut, jiwa dalang dalam diri saya tetap menyala terang. Bukannya lantas jadi tumpul, malah lebih tajam. Saya tidak putus asa, tapi saya mengisi setiap saat dengan kegiatan yang positif, dan salah satunya, saya menulis. Saya menulis sastra Jawa, khususnya naskah-naskah untuk pertunjukan wayang. Tuhan memberi berkah untuk saya dalam hal ini. Naskah-naskah saya dikenal luas dan dibeli oleh para dalang terkenal. Saya menulis naskah wayang pendek maupun naskah panjang. Saya juga menulis Janturan, silsilah, Bantah, Tembang, Banyolan, dan sebagainya. Naskah-naskah ini menarik minat dan digunakan dan dibaca oleh para dalang kondang seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Purbo Asmoro – singkatnya, banyak dalang di wilayah Solo yang menggunakan hasil karya saya. Harga naskah beragam, beberapa terjual dengan harga 25,000 rupiah, yang lain 50,000 rupiah dan untuk naskah lengkap saya dibayar 500,000 rupiah. Meskipun harga-harga tersebut sebenarnya terlampau murah jika dibandingkan dengan bayaran yang mereka terima dalam jutaan rupiah, untuk manusia yang ditimpa kemalangan seperti saya, semua yang bisa disampaikan adalah 'terima kasih’. Saya merasa beruntung karena dapat membiayai hidup saya untuk makan sehari-hari. Aneh, bukan?

Selain menulis, kadang saya juga ikut dengan rombongan para dalang terkenal sebagai penyimping (yang membantu dalang menyimping wayang). Di setiap pertunjukan, saya dibayar 50,000 rupiah—cukuplah… untuk sekadar membeli garam dapur. Sangat disayangkan bahwa tak satupun di antara karya-karya tersebut menyebutkan nama penulisnya, dan seiring berjalannya waktu makin banyak dalang menyalin dari dalang yang lain tanpa sepengetahuan saya, sehingga saya tak dibayar sedikitpun. Itu tak jadi soal, itung-itung jadi tabungan berbuat baik. Suatu kali kebetulan saya mengadakan pertunjukan sendiri pada masa itu, tetapi risikonya memang besar. Seusai pergelaran, banyak surat kaleng yang datang penuh dengan ancaman dan ancaman. Saya juga sering dipanggil oleh pemerintah dan menerima kecaman tanpa dasar. Lucu, bukan? Mereka marah kepada orang yang membawa kegembiraan untuk masyarakat. Demikian berkuasanya mereka!!

Tapi yang terpenting adalah bahwa semangat saya sebagai dalang tidak pernah hilang, dan masih menyala. Baik dalam melakukan seni mendalang maupun menulis, saya akan selalu menjadi dalang yang sesungguhnya. Banyak mahasiswa STSI memeroleh pengetahuan mereka tentang seni pedalangan dari saya. Banyak mahasiswa dari jurusan pedalangan mencari saya. Ini artinya bahwa sejak 1979 sampai dengan 1999 pikiran saya penuh dengan masalah-masalah seni pewayangan. Tidak buruk-buruk amat!!

Pendengar yang terhormat:

Mei 1998 tiba saatnya jatuhnya rezim Suharto, yang kemudian diikuti oleh era Reformasi. Masa ‘penguningan’ telah berakhir, dan taring Orde Baru telah ditepis oleh gerakan mahasiswa menuju demokrasi. Sendi-sendi kehidupan mulai bergerak sedikit lebih bebas , meskipun di sana-sini jejak-jejak Orde Baru masih bisa ditemui. Dengan adanya angin baru Reformasi, saya mulai keluar dan mucul di panggung pedalangan, meskpun tidak lantas sekonyong-konyong saya menjadi dalang kondang. Di wilayah Solo, saya melakukan pagelaran tanpa menggunakan ‘ijin seniman’ dari dinas pendidikan, dan tidak ada masalah. Namun, di Kabupaten Pati, di Grobogan, dan di beberapa kabupaten, saya perlu memiliki surat ijin untuk melengkapi persyaratan ke polisi (ini sebenarnya aturan lama dari era Suharto). Hanya pada bulan Desember 2000, saya akhirnya berhasil memeroleh surat ijin seniman. Saya memulai pagelaran dari awal, diminta oleh kerabat saya (tanpa bayaran), kemudian berikutnya di tempat tinggal rekan dalang (di rumah Anom Suroto pada acara Rebo Legen, di tempat Manteb pada acara Selasa Wagen, Warseno Slenk pada acara Setu Legen, dan sebagainya). Tentu saja ini dengan bayaran yang tidak terlampau besar. Akhirnya, saya mulai melakukan pertunjukan di tempat-tempat pemerintahan, termasuk kampus STSI dan TBJT di Solo, dengan honorarium yang pantas.

Sangat disayangkan bahwa, ketika saya akhirnya kembali ke arena pedalangan wayang kulit, saya sudah sangat tua –62 tahun—sehingga stamina saya tidak lagi baik. Saya bernafas pendek, sehingga suara saya tidak lagi merdu, dengan tubuh yang lamban sehingga tidak dapat memainkan wayang dengan baik. Selain itu, waktu telah berganti: dunia pedalangan dewasa ini menjadi sangat berbeda dari masa ketika saya masih muda. Dunia pedalangan yang tersisa dari masa Orde Baru telah jauh dari kualitas yang diagungkan seperti dulu. 
Pagelaran wayang kini diramaikan dengan campursari, menggabungkan perangkat musik lain dengan gamelan, dengan penyanyi pop dan pelawak yang diijinkan untuk berdiri, menari di panggung. Cerita wayang terhalau oleh jumlah permintaan penonton, oleh tari dan lawakan, sehingga alur cerita kabur dan bahkan hilang sama sekali. Saya tidak bisa melakukan pertunjukan yang seperti itu, tapi apa boleh dikata jika memang demikian kenyataannya? Saya bertanya kepada diri sendiri: mengapa baru sekarang saya memeroleh kesempatan untuk melakukan pertunjukan, dan tidak kemarin, atau 20 tahun yang lalu? Sudahlah, itu sudah lewat; tidak masalah, karena saya masih mempertahankan identitas saya sebagai seorang dalang sejati.

Hadirin yang terhormat:

Dengan ketulusan hati, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih untuk para rekan-rekan di United States (terlebih di UCLA, UC Barkeley, UC santa Cruz, Wesleyan University, Brown Univeristy dan juga di New York) yang telah mengundang saya untuk menggelar pertunjukan selama bulan April 2001. Ini sungguh-sungguh sebuah obat sakit kepala yang tak tersembuhkan sepanjang 35 tahun. Pada saat yang sama, ini juga menunjukkan kepada dunia – terlebih untuk masyarakat pedalangan—bahwa daun yang kering yang Nampak tak berguna dapat tetap diminati di United States. Dan karena dalam diri saya mengalir darah dan bersemayam jiwa seorang dalang, tidaklah mengejutkan bahwa jalinan pemikiran saya dibentuk oleh filosofi wayang, yang bicara tentang hukum karma, buah dari tindakan di masa lalu. Siapa menabur benih, dia yang akan menuai. Untuk semua yang telah menabur benih kesengsaraan yang saya alami, cepat atau lambat mereka akan menuai sendiri hasil kepahitannya. Terlebih lagi, dari satu biji jagung, Anda bisa menuai ratusan biji. Untuk itulah, saya percaya bahwa sampai hasilnya dipanen, kedamaian tidak akan kembali di Indonesia.

Para pendengar yang terhormat:

Cerita saya ini hanyalah sedikit saja dari yang sesungguhnya terjadi. Mungkin ada baiknya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua. Atas kekurangan dan kesalahan saya, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih.

TRISTUTI RACHMADI SURYOSAPUTRO
____

Tulisan ini diterjemahkan dari naskah pidato Ki Tristuti Rachmadi Suryosaputro berjudul 'My Life as a Shadow Master under Suharto', yang disampaikan dalam konferensi 'History and Memory in Contemporary Indonesia' di UCLA, 6-7 April 2001, dan dimuat di dalam buku kompilasi tulisan 'Beginning_to_Remember:_The_Past_in_the_Indonesian_Present', dengan editor Mary S. Zurbuchen, dan diterbitkan oleh Singapore University Press pada tahun 2005.

Selasa, 25 Juni 2013

Jiwa Sosialisme Dalam Konstitusi Kita

25 Juni 2013 | 8:52


Almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan Presiden Republik Indonesia, pernah berujar, “UUD 1945 itu adalah instrumen untuk memenuhi kebutuhan orang banyak.” Karena itu, Gus Dur menganggap UUD 1945 sangat dekat dengan cita-cita sosialisme.

Pernyataan Gus Dur itu bukan hal baru. Memang, ketika kemerdekaan negeri ini masih diperjuangkan, hampir semua pemimpin pergerakan bersepakat bahwa ekonomi Indonesia merdeka tidak bisa dibangun di atas aksioma ekonomi kapitalisme. Organisasi moderat semacam Boedi Oetomo, misalnya, menyebut kapitalisme sebagai “tanaman dari luar” yang tidak cocok dengan iklim Indonesia.

Para pemimpin pergerakan kala itu, yang kelak menjadi pendiri negara ini, menyakini bahwa jalan menuju kemakmuran rakyat hanya mungkin jikalau melalui jalan sosialisme. Tidak heran, sebagian besar penyusun UUD 1945 saat itu adalah tokoh sosialis atau setidaknya dipengaruhi oleh ide-ide masyarakat sosialistik.

Supaya hal ini tidak terkesan sebagai klaim subjektif saya semata, marilah kita mendalami dua tokoh paling berpengaruh dalam penyusunan UUD 1945, yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Saya juga menganggap bahwa pemikiran kedua tokoh ini cukup representatif untuk menyelami suasana pemikiran jaman itu. Kedua-duanya juga adalah Proklamator Kemerdekaan.

Dalam sebuah pidatonya di New York, Amerika Serikat, 6 Juni 1960, Bung Hatta menyebut tiga pemikiran yang mempengaruhi konsepsi ekonomi Indonesia merdeka (pasal 33 UUD 1945). Pertama, cita-cita sosialisme dari Eropa yang mengutamakan dasar peri-kemanusiaan melalui penggabungan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Kedua, ajaran Islam yang mengutamakan rasa keadilan dan persamaan serta penghargaan yang tinggi terhadap manusia sebagai pribadi. Ketiga, Gotong-royong sebagai sifat bangsa Indonesia yang asli.

Dalam salah satu risalahnya di tahun 1963, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, Bung Hatta kembali mengaksentuasi cita-cita sosialisme di dalam konstitusi kita. Menurutnya, UUD 1945–terutama pasal 33, pasal 27 ayat 2, dan pasal 34–merupakan pegangan untuk merealisasikan cita-cita sosialisme yang terdekat, yakni terlepasnya rakyat Indonesia dari kesengsaraan hidup dan tiap-tiap orang terjamin penghidupannya.

Di situ Bung Hatta mendefenisikan sosialisme sebagai pergaulan hidup baru (corak produksi), di mana tidak ada lagi penindasan dan penghisapan, dan bagi rakyat, juga tiap-tiap orang, dijamin kemakmuran dan penghidupannya serta perkembangan kepribadiannya.

Sementara Bung Karno, melalui tulisan-tulisannya sejak tahun 1920-an, sudah mengadvokasi sosialisme sebagai tujuan pergerakan nasional bangsa Indonesia. Dalam artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis tahun 1933, Bung Karno tegas mengatakan, “maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”

Dalam tulisannya itu Bung Karno juga mengingatkan, kemerdekaan Indonesia hanyalah jembatan emas; sebuah tahapan menuju cita-cita yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur atau sosialisme Indonesia.

Bung Karno mendefenisikan sosialisme sebagai kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan, supaya hal itu terwujud, harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada industrialisme yang kolektif; ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi yang kolektif.

Bagi Bung Karno, pasal 33 UUD 1945 dirancang untuk menghilangkan kapitalisme dan membuka jalan bagi sosialisme. Dengan demikian, pasal 33 UUD 1945 merupakan fase awal dari penerapan sosialisme ala Indonesia.

Jiwa Sosialistik Pasal 33 UUD 1945

Untuk menguji jiwa sosialistik di dalam konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945, saya berusaha meminjam konsep “segitiga dasar sosialisme”-nya Chavez untuk menandai karakter ekonomi sosialis. Segitiga dasar sosialisme itu meliputi tiga hal: 
1) kepemilikan sosial terhadap alat produksi; 
2) produksi sosial yang diorganisir oleh kaum pekerja untuk menciptakan relasi baru diantara produsen; dan 
3) pemenuhan kebutuhan sosial sebagai tujuan utama produksi.

Sekarang, kita coba telusuri kandungan ekonomi sosialistik di dalam pasal 33 UUD 1945:
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di sini saya coba memberikan catatan:

Satu, adanya pengakuan terhadap bentuk kepemilikan sosial. Ini tercermin dari kata “perekonomian disusun sebagai usaha bersama”. Bung Hatta mendefenisikan usaha bersama itu sebagai kolektivisme. Dan bentuk usaha yang paling cocok dengan model usaha bersama itu adalah koperasi.

Dua, adanya pengakuan terhadap demokrasi ekonomi. Di dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 ditegaskan pengertian demokrasi ekonomi tersebut: ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan (kontrol) atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Karena esensi dari ekonomi sosialis adalah perencanaan, maka harus ada partisipasi rakyat dalam merencanakan produksi: bagaimana berproduksi, berapa yang harus diproduksi, bagaimana mendistribusikannya, dan lain-lain.

Tiga, azas untuk menjalankan usaha bersama adalah kekeluargaan. Di sini, kedudukan orang atau pekerja dalam produksi adalah seperti orang-orang bersaudara atau keluarga. Bung Hatta sendiri mendefenisikan azas kekeluargaan sebagai semangat solidaritas, kerjasama dan tolong-menolong.

Empat, adanya penegasan bahwa tujuan produksi, baik koperasi maupun negara, adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsipnya: Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Ini merupakan penjungkirbalikan langsung terhadap logika produksi kapitalis, yakni menciptakan keuntungan bagi si kapitalis.

Kelima, penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan negara ini untuk mencegah tampuk produksi jatuh ke tangan orang-perorangan karena dapat melahirkan penindasan bagi orang banyak/rakyat.

Namun, seperti dijelaskan oleh Bung Hatta, “dikuasai oleh negara” bukan berarti pemerintah menjadi pengusaha dengan segala birokrasinya. Bukan berarti negara menjadi mesin akumulasi/perusahaan. Di sini, tugas negara adalah meletakkan politik perekonomian di bawah kontrol rakyat agar kegiatan produksi sejalan dengan kepentingan masyarakat. Sementara produksi dikerjakan oleh badan-badan pelaksana yang bertanggung-jawab kepada pemerintah. Bentuknya bisa perusahaan negara atau perusahaan swasta (jika negara tidak sanggup).

Di sini, Bung Hatta membagi peran koperasi dan negara  dalam wilayah berbeda. Koperasi akan mengorganisir produksi dari bawah dengan melibatkan sebanyak-banyak orang (komunitas) untuk produksi kecil-kecilan. Sementara negara membangun dari atas, terutama menyelenggarakan produksi berskala besar, seperti perusahaan listrik, persediaan air minum, perhubungan, dan lain-lain.

Memang, di dalam pasal 33 UUD 1945 usaha swasta masih diberikan tempat. Tetapi itu hanya dibolehkan pada lapangan usaha yang tidak vital dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Itupun hanya dilakukan apabila koperasi dan negara tidak cukup modal, teknologi, maupun tenaga ahli untuk menjalankan. Namun, kendati usaha swasta diijinkan, mereka tetap harus tunduk pada perencanaan pemerintah.

Enam, adanya penegasan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Artinya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah kekayaan sosial rakyat Indonesia. Misalnya, di dalam UU pokok agraria (UUPA) 1960, yang merupakan turunan pasal 33 UUD 1945, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah punya fungsi sosial. Makna dikuasai oleh negara bukanlah bahwa negara menjadi pemilik. Melainkan sebagai pemegang kekuasaan untuk mengatur peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan kekayaan alam itu untuk kepentingan rakyat.
____
Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

http://www.berdikarionline.com/jiwa-sosialisme-dalam-konstitusi-indonesia/

Minggu, 23 Juni 2013

Gerwani dan Hak Anak



SETIAP tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Soeharto menetapkan peringatan ini dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 44/1984. Menurut Keppres tersebut, tujuan dari peringatan Hari Anak Nasional adalah pembinaan untuk mewujudkan kesejahteraan anak.

Untuk menyusun konsep pembinaan anak-anak Indonesia, Karlinah Umar Wirahadikusumah, pengurus Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, membentuk Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI). Salah satu hasil dari forum ini adalah program Dasawarsa Anak yang dicanangkan pemerintah pada 23 Juli 1986.

Perhatian utama Dasawarsa Anak (1986-1996) adalah peningkatan kesejahteraan anak melalui keluarga sebagai lingkungan utama, didukung lingkungan pendidikan formal dan lingkungan masyarakat.

“Pelaksana di lapangan dikerjakan oleh Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) di daerah-daerah,” kata Karlinah dalam biografinya yang ditulis Herry Gendut Janarto, Bukan Sekadar Istri Prajurit.

Sebelum peringatan Hari Anak Nasional, Indonesia sudah memperingati peringatan Hari Anak Internasional setiap tanggal 1 Juni. Peringatan tersebut diperkenalkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Organisasi ini awalnya bernama Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis), didirikan pada 1950. Pada kongres Gerwis tahun 1954, para pemimpin organisasi memutuskan untuk menjangkau lebih banyak perempuan dari kalangan bawah sehingga mengubah namanya menjadi Gerwani. 

Hari Anak Internasional dideklarasikan dalam kongres Women’s International Democratic Federation (WIDF) di Moskow, Rusia, pada 1949. Diperingati kali pertama pada 1 Juni 1950. Gerwis bergabung dengan WIDF pada 1950. WIDF menjadi saluran politik internasional bagi Gerwis –dan kemudian Gerwani. Gerwani mengirim laporan secara rutin ke WIDF dan mengutus wakilnya ke kongres WIDF.

Menurut Saskia E. Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan, salah satu gerakan Gerwani untuk merebut kepemimpinan gerakan perempuan di Indonesia adalah dengan seruan agar Indonesia merayakan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional.

“Seruan itu dibarengi dengan ajakan menetapkan 1 Juni sebagai Hari Anak-Anak Internasional,” tulis Saskia, “keduanya merupakan perayaan ‘sosialis’ yang didukung kuat WIDF.”

Kongres Gerwani II tahun 1954 memutuskan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Menurut Gerwani, hak-hak anak mencakup hak atas kemudahan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta masa depan yang cerah tanpa adanya buruh anak-anak, kawin paksa maupun pelacuran. Bahkan hak anak termasuk disediakannya tempat penitipan anak secara memadai.

Untuk kali pertama pada 1960, Gerwani merumuskan pancacinta (lima cinta untuk pendidikan anak-anak): cinta tanah air, cinta orangtua dan kemanusiaan, cinta kebenaran dan keadilan, cinta persahabatan dan perdamaian, dan cinta alam sekitar. Dalam konferensi nasional bagi pendidikan anak-anak yang diadakan Gerwani pada September 1963, terdapat perubahan terhadap pancacinta: cinta bangsa, rakyat dan perdamaian, ilmu dan budaya, kerja dan orangtua.

“Pancacinta menetapkan lima bidang yang harus mendasari seluruh sistem sekolah Indonesia, yakni bidang perkembangan intelektual, moral, teknik, artistik, dan mental,” tulis Saskia.

Pergolakan politik pada 1965 menghancurkan Gerwani. Segera setelah Partai Komunis Indonesia dan Gerwani dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, Kongres Wanita Indonesia (Kowani), payung organisasi-organisasi perempuan seluruh Indonesia, mengeluarkan Gerwani sebagai anggota pada 29 Oktober 1965.


Menurut Komnas Perempuan dalam Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa, sejak Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 7 Maret 1967, Kowani tidak lagi memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret dan Hari Anak Internasional pada 1 Juni. Alasannnya, kedua hari peringatan tersebut diprakarsai negara-negara komunis. (Baca: Clara Zetkin, Ibu Besar Revolusi)

Jumat, 21 Juni 2013

Kisah Seorang Pengawal Sukarno


Mengawal Presiden Sukarno sejak 1962. Pernah jadi kapten timnas Indonesia. Dipenjara Orde Baru tanpa proses pengadilan.

Maulwi Saelan (mengenakan baret) sebelah kanan Presiden Sukarno dalam sebuah kunjungan kenegaraan ke Korea Utara.

MAULWI Saelan, 87 tahun, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, masih ingat suatu hari di tahun 1966. Sambil membawa secarik surat dia menghadap Presiden Sukarno. “Saya lapor pada bapak kalau saya dipanggil untuk kembali ke korps.Itu pertemuan terakhir kalinya dengan Bung Karno,” kata Maulwi Saelan ditemui di Sekolah Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan, Jum’at (21/06).

Waktu itu Maulwi berpangkat kolonel CPM. Ditarik dari penugasannya sebagai wakil komandan Tjakrabirawa. Selang beberapa lama setelah peristiwa G30S 1965, ring satu yang mengitari Presiden Sukarno mulai dipreteli. Limabelas menteri dalam Kabinet Dwikora ditangkap. Pengawalan terhadap Presiden Sukarno perlahan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali bersamaan pembubaran Tjakrabirawa.

“Fasilitas untuk presiden mulai dikurangi. Pengawalan hanya dilakukan oleh CPM seadanya. Presiden tidak boleh lagi menggunakan helikopter, hanya boleh menggunakan mobil,” kenang Maulwi.

Pascabubarnya Tjakrabirawa pada 1967, pengawalan Presiden Sukarno diserahkan kepada Pomad AD yang pro Soeharto. Sementara untuk keperluan pribadi Presiden, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang dipimpin oleh Letkol. Polisi Mangil Martowidjojo, tetap bertugas seperti biasa. Detasemen itu sudah berdiri semenjak awal masa kepresidenan Sukarno.

Menurut Maulwi, para pengawal dari DKP itu mengalami tekanan batin yang sangat mendalam ketika mengawal Sukarno di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan kendati sekadar menjalankan kewajiban saja.

Pernah seorang anggota DKP mengawal Bung Karno ke Bogor dan membukakan pintu mobil setibanya di Istana Bogor. Seorang perwira Satgas Pomad langsung membentak dan melarang anggota DKP membukakan pintu mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. “Biar dia buka sendiri, kamu kultus!” kata Maulwi mengutip kesaksian seorang anggota DKP bernama Suwarto.

Perlahan Presiden Sukarno makin dikucilkan. Kendati sempat menghadiri berbagai acara di mana dia memberikan pidato, tak satu pun media yang menyiarkan pidatonya. Setelah Pidato Nawaksara 10 Januari 1967 ditolak MPRS, Sukarno resmi diberhentikan. Jadi tahanan rumah dan tinggal di Wisma Yaso sampai nyawa menjemputnya pada 21 Juni 1970.

Bagaimana nasib pengawal-pengawalnya? Pada 1967, Maulwi diinterogasi di markas Kopkamtib. Ditanyai seputar keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa G30S 1965. Maulwi sendiri yakin Sukarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu.

“Waktu itu (1 Oktober 1965 – Red) begitu Bung Karno turun dari mobil di Slipi, di rumahnya Haryati (istri kelima Sukarno –Red) dia langsung bilang wah! Ik ben overrompeld (wah saya kaget). Mukanya kelihatan bingung,” kata Maulwi. “Saya yakin dia tidak tahu menahu kejadian itu.”

Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata berujung pada pemenjaraan. Pada hari yang sama, setelah diinterogasi Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih kemudian. “Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang sampai lima tahun lebih,” katanya.

Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi. “Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.

Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen. Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.

Tak terima perlakuan semena-mena, begitu dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak? Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya tak terlibat,” tuturnya, memutar kembali ingatan ke masa lalu.

Kini Maulwi Saelan mengisi hari-harinya dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang-Red). Lelaki yang diangkat jadi anak ke-13 oleh Buya Hamka itu kini tengah menyiapkan terbitnya sebuah biografi yang bakal diluncurkan Oktober tahun ini. “Sejarah harus diluruskan,” pungkasnya.

http://historia.id/persona/kisah-seorang-pengawal-sukarno

Rabu, 19 Juni 2013

Rumah Kenangan Peristiwa 1 Oktober 1965


Oleh: Dita Anggreani/11140110041

Dor, dor, dor! Dor, dor, dor! Berondongan peluru itu ditembakan oleh tentara Cakrabirawa di depan kamar tidur AH. Nasution. Empat diantaranya mengenai Ade yang saat itu digendong oleh Mardiah, adik Pak Nas. Peluru itu menghancurkan limpa anak perempuannya yang masih berusia lima tahun itu, dua lainnya mengenai tangan Mardiah.
Hari masih terlalu pagi untuk sebuah keributan dalam rumah sederhana yang berlokasi di Jalan Teuku Umar no. 40, Menteng, Jakarta Pusat. Namun, taktik itulah yang digunakan para pasukan saat menyerang kediaman Jendral Besar Abdul Haris Nasution. Rumah yang menjadi saksi bisu peristiwa empat puluh delapan tahun silam itu sekarang telah dijadikan museum. Tempat ini mudah dikenali, dari balik pagar itu ada patung Jendral Nasution yang setinggi dua meter dan diapit meriam.
Bangunan utama rumah adalah rumah Nasution, bentuknya tidak berubah sejak peristiwa
1 Oktober 1965, yang menewaskan putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution. Lebih dalam lagi, ada ruang kerja Nasution dan terlihat diorama Nasution sedang menulis di ruangan ini. Di sebelah kiri akan ditemukan satu ruangan yang serba kuning, disebut Ruang Kuning. Ruangan ini dulunya khusus menerima tamu-tamu VIP yang datang. Disebelah kanannya merupakan kamar tidur Nasution “Di sini Cakrabirawa melepaskan enam kali tembakan, tepat ke kamar Pak Nas,” kata Kopasus Angkatan Darat, Hadi Saputro. Hari itu tentu menjadi sejarah yang tak mungkin dilupakan oleh bangsa ini. Surat kabar memberitakan pembantaian tujuh Jendral pada era Soekarno. Sebagian menyebutkan Beliau adalah dalang dibalik peristiwa berdarah tersebut karena para tentara yang menyerang  menggunakan seragam Cakrabirawa, pasukan Istana.
Jaraknya hanya sekitar 1,5 meter dari depan kamar tidur, Pak Nas pagi itu merasa terganggu dengan dengingan nyamuk. Istrinya, Yohana Sunarti, ikut terbangun mendengar suara berisik tersebut. Pukul 04.00 Ade masih tertidur pulas, meskipun ayah dan ibunya terbangun karena suara nyamuk. Saat Pak Nas sibuk mengibas-ngibaskan nyamuk, Yohana mendengar keributan lain dari lua kamar tidurnya.
Brak, brak, brak, brak, brak suara langkah tentara terdengar jelas. Seketika firasat Yoana merasa ada yang tak baik. Terlebih diikuti suara tembakan yang disusul oleh dibukanya pintu depan dengan paksa. “Cakrabirawakah itu?” bathin Yohana. Dibukanya sedikit pintu kamar untuk mengintip, lalu segera ditutup lagi.
“Pak, ada Cakrabirawa di situ!” ucap Yohana.
“Baik, biar saya keluar dan menemuinya,” kata Pak Nas sambil berusaha membuka pintu yang telah dikunci lagi oleh istrinya.  Namun, belum sempat pintu dibuka, Pak Nas dikejutkan oleh suara tembakan lagi. Pak Nas yang terkejut sontak bertiarap. Yohana yang sebelumnya sempat mencegah Pak Nas membuka pintu itu, segera menutup rapat dan mengunci pintu itu kembali.
Di ruangan ini masih terlihat bekas tembakan pasukan Cak­ra­birawa yang mengenai pintu, tembok serta meja di dalam ka­mar. Di dalam kamar tersebut juga ditampilkan beberapa ko­leksi pakaian dan kursi roda yang digunakan Nasution.
Ade masih tertidur tenang saat kedua orangtuanya panik menghadapi pasukan Cakrabirawa. Yohana segera membuka pintu belakang kamar tidurnya dan menyuruh Pak Nas bersembunyi dibalik tembok Kedutaan Iran, letaknya tepat dibelakang kamar tidur mereka. Tak lama kemudian, Mardiah terbangun karena suara berisik. Dia berjalan menuju kamar Pak Nas dan mendapati Ade Irma yang ketakutan, terbangun dari tidur lelapnya. Kamar Mardiah berdekatan letaknya dengan kamar Nasution, karena merasa ada yang tidak beres dia masuk lewat pintu belakang. Melihat Ade yang duduk sendirian di tempat tidur itu, Mardiah langsung menggendongnya.
“Nasution, keluar!” teriakan tersebut mambuat Mardiah penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa sepengetahuan Pak Nas dan Ibu Yohana, dia membuka kembali pintu kamar yang telah dikunci oleh Yohana.
Pintu itu baru dibuka sedikit, tapi Mardiah dan Ade langsung diberondong peluru. Yohana yang telah berada dibelakang kamar terkejut mendengar suara tembakan, dia kembali ke kamarnya dan berusaha mengunci lagi pintu itu. Pintu berhasil dikunci kembali oleh Yohana.
Mardiah menyerahkan Ade kepada Yohana yang sedang membantu suaminya melewati tembok batas ke Kedutaan Iran. Mereka menatap Pak Nas yang sudah ada di atas tembok. Diorama ini bisa dilihat, di sana Yohana sudah menggendong Ade yang berlumuran darah sambil menatap suaminya.
“Pak, Ade kena,” ucap Yohana memberitahukan bahwa anaknya terkena tembakan. “Papaaa… Ade salah apa? Kenapa Ade ditembak?” kata Ade. Ucapan itu juga tertulis di foto Ade Irma yang terdapat di kamarnya. Menurut Sertu Royen Sunarto, Petugas Administrasi Museum ini, kalimat tersebut diucapkan Ade ketika dia dalam gendongan ibunya saat tertembak. Saat itu Pak Nas menoleh ke arah anaknya yang sudah lemah, bathinnya bergejolak melihat anak bungsunya yang berlumuran darah. Dia ingin turun dan menghadapi pasukan Cakrabirawa itu, namun istrinya tetap mencegah.
“Jangan hiraukan kami, Pak. Selamatkan dirimu, kamulah yang diincar oleh mereka. Saya bersama Ade, selamatkan dirimu, Pak,” kata Yohana.
Dor! Suara tembakan kembali terdengar, Pak Nas yang pada data itu masih berada di atas tembok terkejut mendengar suara tembakan dan terjatuh ke kedutaan Iran. Kakinya terkena pot hingga luka. Pak Nas bersembunyi di dalam drum selama penyerangan yang terjadi di rumahnya. Setelah Pak Nas bersembunyi di Kedutaan Iran, Yohana keluar menghadapi para tentara yang masih mengobrak-abrik rumahnya subuh itu.
“Ade, masih hidup?” tanya Yoana yang menggendong Ade dalam pelukannya.
“Hidup, Mama..” jawabnya.
“Ade hidup terus?” sekali lagi Yoana bertanya.
“Hidup terus, Mama,” kata Ade. Pelukan erat dari tangan Ade masih melingkari leher ibunya. Adegan tersebut tergambar dari patung di kediaman Jendral Besar bintang lima ini. Yohana pergi ke ruang makan untuk menelepon, meminta bantuan Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma, telepon hitam itu pun masih bisa dilihat saat ini, bentuknya masih utuh dan terawat.
“Percuma, kabel telah kami putus. Katakan dimana Nasution?!” bentak salah satu tentara sambil mengarahkan tembakan ke arah istri dari sang pengagas Dwi fungsi ABRI.
“Bapak tidak ada di sini! Bapak sedang ada di Bandung. Kalian ke sini hanya membunuh anak saya!” kata Yohana tak kalah keras suaranya untuk membungkam bentakan tentara. Para tentara mulai gusar melihat Yohana saat menggendong putrinya yang berlumuran darah.
“Ade masih kuat?” Yohana khawatir pada putrinya yang sudah mulai melemahkan pelukan ke lehernya itu.
“Masih, Ma..” jawab Ade sekali lagi. Adegan dramatis ini membuat saya merinding saat berada di ruang makan Pak Nas. Saya berdiri di sebelah telepon yang digunakan Bu Yohana saat ingin meminta bantuan. Di ruangan itu terlihat ada enam tentara bersenjata dihadapan Bu Yohana, hanya dipisahkan sebuah meja makan yang masih lengkap dengan delapan buah kursinya.
Sesaat kemudian adegan lain diceritakan lagi oleh Hadi, masih berada di ruang makan. Dor! Sekali lagi peluru ditembakan dari senapan Cakrabirawa. “Nasution tertangkap!” seru Cakrabirawa. Para tentara yang berada di ruang makan menoleh ke arah sumber suara, termasuk Yohana.
“Bapak tertangkap?” pikir Yohana. Kemudian dilihatnya sosok Ajudan Pak Nas. Itu adalah Pierre Andres Tendean. “Sudah dianggap seperti anak sendiri,” kata Hadi menambahkan. “Mereka memang memiliki kemiripan, banyak yang bilang begitu. Ditambah hari itu masih subuh, jadi tentara percaya ketika melihat foto dan mereka menyatakan itu Pak Nas, karena tidak terlalu jelas,” lanjutnya.
Saya berjalan keluar ruangan dan menuju tempat Ajudan Pierre yang saat itu tinggal di rumah Pak Nas, letaknya berada di sebelah kiri dari bangunan utama. Ruangan ini telah berubah, bukan lagi sebuah kamar, melainkan replika-replika tentara dan Pak Nas dalam menjalankan tugasnya. Pada hari penyerangan itu, sebenarnya Pierre sudah meminta izin untuk pergi ke acara pernikahaan kerabatnya. Namun, Pak Nas melarang karena hari itu sudah malam dan memintanya untuk beristirahat saja sampai besok pagi.
Pierre yang subuh itu terbangun tidak belum sempat menyiapkan diri dengan serbuan Cakrabirawa. Ajudan yang seharusnya berjaga pada hari itu disuruhnya bersembunyi di kolong tempat tidur bersama Harianti Nasution, putri sulung Pak Nas.
“Di mana Nasution?!” todongan senjata yang sudah dikokang itu diarahkan tepat ke wajahnya.
“Saya Nasution,” ucapnya. Para tentara memeriksa wajahnya dan menyamakannya dengan foto Nasution yang mereka pegang.
Pierre dibawa oleh pasukan Cakrabirawa dengan mata tertutup kain dan tangannya diikat. Dia berjalan dengan dituntun pasukan tentara. Yohana hanya bisa terdiam melihat itu, rasa iba dan khawatir terus berkecimpung dipikirannya. Dia menatap Ajudan yang sudah dianggapnya sebagai anak itu sampai langkah terakhirnya naik ke mobil dan dibawa pasukan Cakrabirawa. Tatapan yang juga pengatar perpisahan dengan pada Ajudan itu.
Ketika pasukan Cakrabirawa meninggalkan kediamannya, Yohana langsung menyuruh Pak Bob Sugondokusumo, kakak ipar Pak Nas, untuk mengantarnya ke rumah sakit Gatot Subroto. Kondisi Ade saat itu sangat lemah, namun masih sadar. Sebelum ke rumah sakit Yohana meminta Pak Bob mampir ke Kedutaan Vietnam dan memberitahu ada penyerangan di rumahnya.
Sesampainya di rumah sakit Ade masih sadar dan mendapat pertolongan dengan cepat. Dokter Rubino menyarankan Ade harus dioperasi secepatnya. Sambil menunggu persiapan operasi, Ade melihat kakaknya, Yanti -panggilan akrabnya-  sedang menangis.
“Mengapa kakak menangis? Kakak jangan menangis!” katanya, lalu melihat ke arah ibunya dan kembali bertanya.
“Kenapa Ayah ditembak, Mama?” mendengar pertanyaan itu Yohana heran, dalam keadaan yang payah bungsu kelahiran 19 Februari 1960 itu masih mengingat pemberondongan tembakan yang ditujukan pada Ayahnya. “Ade sakit?” tanya Yohana mengalihkan pertanyaan, karena putrinya masih sadar meski telah kehilangan banyak darah. “Sakit, Mama. Sakit perut!” kata Ade.
Sesudah dioperasi oleh Dr. Eri Sudewo, Ade sadar terus. “Putri bungsu ini sangat kuat dan tabah meskipun fisiknya sudah melemah dia tetap dapat menggerakan bibirnya untuk minum obat,” kata Hadi menceritakan menurut kesaksian Yohana.
Saya kembali menuju kamar tidur Ade Irma, saat kejadian kamar tersebut diisi oleh Yanti dan Mardiah. Dalam kamar itu ada foto-foto Ade Irma, di sebuah lemari kaca terlihat ada gaun dan seragam jendral kecil milik Ade. Ternyata sosok Pak Nas menjadi idola putri kecilnya juga, karena dia ingin menjadi Jendral saat besar nanti.
Ketika saya berjalan ke satu sisi kanan ruangan, ada sebuah foto yang mengharukan. Di sana terlihat Ade Irma dan Ajudan Pierre Andres Tendean sedang berfoto bersama. “Foto ini diambil lima hari sebelum peristiwa penembakan,” Kata seorang pemandu museum, Imam.
Tepat di sebelah kiri ada sebuah foto Ade Irma dengan tulisan yang diulis oleh Ibunya. Di sana tertera kata-kata yang diucapkan Ade sebelum akhirnya dia meninggal.
“Ade sayang Mama, Ade sayang Papa. Tapi kenapa Ade ditembak? Salah Ade Apa, Ma?”
Pada 6 Oktober 1965 pukul 02.00 jiwa Ade dipanggil Tuhan. Selama masa perawatan, Yohana hanya dapat menangis melihat keadaan Ade yang kian melemah. “Ade… Mama ikhlaskan Ade Pergi,” bisik Yohana hari itu. Kepergian Ade diikhlaskan Yohana untuk menjadi saksi menghadap Tuhan Yang Maha Adil pada peristiwa 1 Oktober 1965 itu.
“Ade Irma dimakamkan keesokan harinya pada 7 Oktober 1965,” kata Sekertaris dari Bu Yanti, yakni Ita, sehari-hari dia berada di Kantor Yayasan Kasih Ade Irma yang berada di samping kanan belakang dari rumah Nasution. Sepanjang perjalanan Yohana memangku Ade sampai mengantarkannya ke liang lahat, itu adalah terakhir kalinya seorang ibu dapat bersama anaknya dan hanya hal itu yang dapat diperbuat oleh Yohana.
Ribuan pelajar dan rakyat Ibukota turut mengiringi Ade untuk mengantarnya sampai ke tempat peristirahatan terakhir di Blok P, Kemayoran. Sebenarnya, Ade diusulkan untuk dimakamkan di Kalibata. Akan tetapi, Pak Nas dan Bu Yohana ingin Ade berada di tengah-tengah rakyat agar rakyat dapat mengenal Ade.
Peristiwa 1 Oktober 1965 bukan hanya menyebabkan duka atas meninggalnya putri bungsu Pak Nas dan Ibu Yohana. Dalam sejarah merah itu mereka juga harus kehilangan pula Kapten Pierre Tendean, Ajudan Pak Nas yang sudah dikenalnya sejak masih bayi. Meski berat hati Yohana mengikhlaskan hal itu, tapi itulah takdir yang harus dilalui. Seolah-olah keduanya gugur sebagai pengganti Pak Nas.
Sementara Pak Nas baru dapat keluar dari persembunyiannya pukul 19.30 dari kedutaan Irak, dia diketemukan oleh Kolonel Hidayat dan Pak Bob. Setelah itu, Pak Nas langsung dibawa dengan menaiki mobil dan bersembunyi di jok belakang karena pasukan Cakrabirawa masih berjaga-jaga di depan rumahnya. Pak Nas dibawa menuju ke persembunyian barunya di Mabes AD tak jauh dari sana selama enam hari. Keesokan harinya pukul 06.30 Pak Nas baru keluar tepat saat hari di mana Ade Irma Suryani akan dimakamkan.
Dalam peristiwa yang merenggut nyawa anggota keluarganya tersebut, Pak Nas bersama keluarga membangun sebuah Yayasan Kasih Adik. Yayasan ini dibangun untuk mengenang Ade Irma dengan cara memberikan beasiswa pendidikan kepada anak-anak yang tidak mampu. Selepas kepergian orangtauanya, kini yayasan ini dipegang oleh Yanti. Sedangkan sampai saat ini juga Museum Nasional Jendral Besar AH. Nasution masih berdiri kokoh, rumah kenangan peristiwa 1 Oktober itu masih menyimpan sejarah merah pada bangsa ini melalui diorama dan sebuah cerita yang akan terus menemaninya.
Akan kuingat selalu Ade irma suryani
Waktu dipeluk dipangku ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring dipangkuan tuhan
Senang dan bahagia hatinya
Kini ia terlena tertidur terbaring
Nyenyak dipelukan Tuhannya

(Ade Irma Suryani, pencipt. AT. Mahmud)